19/10/11

tiga sajak hari ini


Sebelum Sebelas

kau padaku lupa?
aku sajak, satu tubuh sejuta luka
minta sekerat abjad
tidak kitab lengkap:
obat mujarab cepat sehat

rindu aku padamu
pada spasi dan komamu
yang mengembara terbata-bata
di antara tata kata
sebelum mata mati
ketika ditikam titik


***


Liang  Sebilah Tiang

bulan terbuang
di langit malam
bangkit sendirian
meramu rumah


***


Nyanyi Anyar

ajal sajak sudah dekat
bila kita belaka melihat
tanpa membeli telinga keramat
kepada kera pencari derajat

dia hanuman, membakar surga
dia kurusetra, pesan cinta
baginda rama kepada sinta:

kita punya banyak aksara
mengapa masih tak bisa bicara
hanya berbisik dengan bisu mantra
mantra yang itu-itu saja
tak kunjung menjauh dari senja
yang selalu dibujuk kamboja
memendam badan dalam pusara
pusara pasir yang lumpuh merapuh
merapal epik-epik lapuk
parfum palsu para sesepuh


jogja, 19 oktober 2011

film


Saya bukan pengamat film, hanya penonton yang sedang iseng “sok” mempelajari dunia perfilman secara main-main, lebih dalam lingkup humanioranya daripada keterampilan teknisnya. Bagi saya film tidak merupakan hiburan belaka. Film adalah media yang pas untuk menelisik dan menilai apa yang sedang merayap pada alam bawah sadar masyarakat dan rekayasa sosial macam apa yang sedang digulirkan oleh otoritas kekuasaan. Tetapi jujur saya akui, saya menyukai film tidak semata-mata karena pilihan-rasional, teknosfer zaman saya juga turut mengondisikan preferensi saya terhadap film.

Generasi saya bukan generasi yang gemar bertapa 40 hari 40 malam di pantai parang kusumo atau njelajah deso milang kori berbulan-bulan dengan berjalan kaki. Kami hidup dalam dan dengan kecepatan, tepatnya ketergesa-gesaan. Setiap peristiwa, yang pada hakikatnya memang bersifat sementara, semakin terasa sementara saja. Kebahagiaan semakin singkat. Juga kesedihan. Cuaca psikis kami tidak pernah betul-betul konstan dalam periode yang panjang, sebentar-sebentar cerah, sebentar-sebentar mendung. Banyak dari kami sering mengeluh, waktu berjalan begitu cepat, rasanya baru kemarin kita merayakan tahun baru, eh lha kok sekarang sudah tahun baru lagi.

Kami adalah generasi yang terlalu bernafsu menginjak pedal gas sebuah mobil yang sepertinya sengaja tak dipasangi rem. Kecepatan mengajarkan kepada kami untuk lebih menyukai menonton film sambil mengunyah pop corn daripada menghabis-habiskan waktu membaca buku sambil mengerutkan dahi. Menonton film lebih simpel, efisien, ringan, praktis, instan, bisa disambi, dan orgastik, apa lagi bila film tersebut me-recall pengalaman batin yang paling membekas, misalkan cinta pertama atau kematian orang tua.

Begitulah. Tidak sebagaimana bapak-kakek kami yang menemukan aksara dan bahasa sebagai intisari eksistensi mereka, kami kebetulan terdampar dalam jagad audio-visual, semesta virtual yang lebih merayakan kebanalan imaji ketimbang keadiluhungan aforisma. Daripada fakta, kami lebih memilih fiksi sebagai dunia yang cocok dihidupi. Adalah mata, dan bukan tinta, yang memainkan peran utama dalam pembentukan identitas kami.

Barangkali karena determinisme mata itu, dunia sastra dan seni, termasuk film, akhir-akhir ini mencurahkan energi kreatif untuk melakukan eksperimentasi dan eksploitasi visual besar-besaran. Jika boleh beristilah—namun saya jelas tak punya kapasitas untuk membikin-bikin istilah, saya ingin menyebut fenomena ini sebagai mainstreaming visualitas.

Beberapa seniman yang cukup sabar dan tulus meniti proses kreatif mengimbangi mainstreaming visualitas itu dengan penyelaman tema dan penyubliman cerita. Tetapi para sineas yang tunduk kepada aturan main pasar, meritualkan mainstreaming visualitas tanpa mau bergulat dengan riset yang panjang, melelahkan, menguras tandas isi dompet. Hasilnya, film-film yang kini beredar hanya sedap dipandang, kurang nikmat direnungkan dan dihayati, tidak potensial menggoncang dan mereformasi tata nilai salah yang telah dianggap benar selama ini. Rata-rata film produksi domestik malah lebih buruk: sudah tidak sedap dipandang, tidak nikmat pula direnungkan.

Menurut Anda?

Yogyakarta, 19 oktober 2011

18/10/11

berdikari


pulang pulanglah hai kau si malin kundang
pulang pulanglah hai kau si anak hilang
pulanglah pulang ....

oktober 2011

kelingking


Kerikil seujung kelingking yang dilemparkan ke tengah-tengah danau akan menggelombangkan permukaan air. Segelas air putih akan menghitam jika ditetesi sesendok teh tinta. Atau coba kita rentangkan karet sepanjang satu meter, dan petik, maka karet itu akan gemetar dari pangkal hingga ke ujungnya. Atau contoh lain. Ambil sebuah potret diri Affandi, lalu pada muka kanvasnya kita goreskan satu garis berwarna merling, maka bisa jadi aura dan harga lukisan kharismatik itu akan koleps.

Banyak perubahan besar, entah itu ke arah yang lebih baik ataupun ke arah yang lebih buruk, berawal dari tindakan kecil yang sepele, tampak tak penting di mata kita. Kerap kali kita sengaja lupa mengerjakannya.

Soe Hok Gie, lebih-lebih Ahmad Wahib, merubah rupa perpolitikan Indonesia karena mereka mau menulis catatan harian. Catatan harian Hok Gie yang secara anumerta diterbitkan dalam bentuk buku oleh LP3ES pada sekitar 1980-an, dibaca para aktivis yang sudah jenuh dan jengah dengan despotisme orde baru. Para aktivis yang membaca Hok Gie sebagai teladan moral, sumber inspirasi, dan tambang spirit, kelak berhasil menggulingkan Soeharto setelah perjuangan jalanan panjang yang membuat mata dunia membelalak takjub.

Catatan harian Ahmad Wahib juga diterbitkan sebagai buku, juga oleh LP3ES, juga pada dekade yang sama. Buku ini mengilhami para pembaharu Islam Indonesia, seperti Dawam Rahardjo, Nurkholis Majid, Djohan Effendi, Abdurrahman Wahid, Ulil Absar Abdalla, dan seterusnya. Kemauan Ahmad Wahib untuk menulis catatan harian, sebuah tindakan yang sangat sepele, simpel, sederhana, ringan, dan tidak terlalu berarti bagi para mahasiswa dan politikus yang suka pamer omong besar, ternyata telah mengubah corak teologi Islam yang dipraktekkan di Indonesia, dan turut pula memermak konfigurasi politik Islam Indonesia. Saat ini sebagian besar muslim dunia merekomendasikan, pola pengamalan agama Islam di Indonesia yang ramah dan toleran selayaknya secepatnya diteladani oleh negara-negara Islam lainnya.

Maka, untuk membuat kondisi hidup masyarakat menjadi lebih baik, kita, kata AA Gym, hanya perlu melakoni 3M: Mulai dari diri sendiri; Mulai dari sekarang juga; Mulai dari hal-hal kecil. Saya tambah lagi: Mulai dari yang ada; mulai dari yang terdekat. Dengan demikian, keterbatasan dan kekurangan tak perlu disangkal dan disembunyikan rapat-rapat. Dua-duanya justru merupakan modal untuk merealisir sebuah cita-cita politik yang besar. Tak perlu juga kita tergopoh-gopoh dan terseok-seok memaksakan diri melakukan lelaku agung yang terkesan heroik. Para sosiolog percaya, perbuatan kita, sealit apa pun dan seremeh apa pun, akan mempengaruhi lingkungan di mana kita berada, cepat atau lambat bakal mengubah sikon masyarakat.


Jogja, 18 Oktober 2011

16/10/11

ironi


Entah mengapa, manusia sepertinya memiliki sebuah karakter khas: mencari yang jauh, mengacuhkan yang dekat; cenderung membaca yang fiksi, berpaling dari yang fakta; takjub menyimak mukjizat, tak lagi heran dengan kebiasaan sehari-hari yang padat dengan kontradiksi dan keretakan. Ini menguntungkan, tetapi merugikan, bagi manusia.

Rugi karena dengan karakter khasnya itu, manusia justru mengekang imajinasinya dan membatasi perkembangan potensi alaminya. Manusia takut terhadap fakta bahwa bukan saja lingkungannya, tetapi bahkan juga dirinya sendiri, ternyata tidak lain hanyalah serangkai abnormalitas atau disorderness yang tak jelas sangkanparannya. Kontradiksi, ironi, tragedi, komedi, kegilaan dan sebagainya dengan sewenang-wenang secara liar meneror manusia di mana saja saban detik.

Ladang di mana ironi tumbuh dengan subur di antaranya adalah bahasa, termasuk praktek berbahasa dalam kehidupan sehari-hari. Contohnya, praktek berbahasa Arab dan berbahasa Inggris masyarakat Indonesia pada umumnya.

Mayoritas masyarakat Indonesia beragama Islam. Sumber doktrin Islam berasal dari al-Qur’an dan al-Hadits. Dua-duanya berbahasa Arab. Artinya, bahasa Arab adalah bahasa agama Islam. Umat Islam wajib menjalankan rukun Islam yang diritualkan dalam bahasa Arab formal. Tidak sah salat tanpa menggunakan bahasa Arab.

Tetapi ironinya, hanya sedikit sekali dari para muslim itu yang mampu berbahasa Arab dengan fasih baik secara lisan maupun tulisan. Tanpa punya cukup kompetensi berbahasa Arab, bagaimana para muslim lain, yang jumlahnya begitu besar itu, dapat menghayati agama Islam dalam kehidupan sehari-hari?

Maka wajar apabila di Indonesia agama Islam seringkali dijadikan sebagai apologi, legitimasi, dan kedok bagi kekerasan, korupsi, dan teror. Lebih getir lagi, untaian ayat-ayat al-Qur’an lebih kerap diposisikan sebagai rajah atawa mantra daripada sumber ilmu dan objek studi.

Praktek berbahasa Inggris masyarakat Indonesia juga memendam ironi. Fakta abad ini, bahasa Inggris menempati posisi yang sangat strategis. Ia adalah bahasa pengetahuan, informasi, teknologi, dan pergaulan global. Siapa tak cakap berbahasa Inggris akan tertinggal atau ditinggalkan. Dia hanya akan menjadi manusia kelas bawah yang hidup terpinggir dalam tekanan inferioritas dan penjajahan kultural. Dia selamanya akan mengabdi sebagai tukang, kuli, budak bagi mereka yang mendapat keberuntungan kebetulan lahir sebagai native speaker bahasa Inggris. Dia selalu berdiri sebagai objek, bukan subjek yang secara merdeka menentukan, dan bertindak mencapai, identitas idealnya sendiri.

Indonesia, sebagai sebuah negara yang “berusaha” rasional, memberi fasilitas pendidikan kepada seluruh warganegaranya. Tiap sekolah, dari jenjang paling bawah hingga paling tinggi, mengajarkan bahasa Inggris. Ironinya, tampaknya hal ini diselenggarakan tanpa keseriusan konseptual dan implementasi. Dampaknya, banyak sekali di antara masyarakat Indonesia, bahkan yang telah merampungkan studi strata I sekalipun, belum mampu berbahasa Inggris, baik pasif, lebih-lebih aktif. 

Jadi, bila modus pengajaran bahasa Inggris kita tak segera dirombak, jangan salahkan siapa-siapa kalau kelak, lima atau sepuluh tahun akan datang, nasib Indonesia masih begini-begini saja: tidak menjadi faktor dalam sejarah dunia dan terus diping-pong oleh, dan menjadi bulan-bulanan dari, negara-negara maju.

Jogja, minggu, 16 Oktober 2011

14/10/11

air 14


 
/1/

batu berlayar di permukaan air
minyak menyelam ke dasar sungai
serpih gabus beterbangan di dalam telaga
seperti para sriti yang melayang-layang ketika petang
dan betapa wahnya,  bapak tua itu berjalan di atas air
gegas sekali menyalip rakit yang sedang menyeberang

tetapi air mata gadis kecil
berkulit butek berambut parau itu
masih turun dengan lebat
tangisnya semakin deras
raungnya bertambah keras

luka membasahi
telapak tangan dan sekujur kakinya.
lupa menggenangi
jalanan kampung yang dilaluinya.

/2/

hujan tidak selamanya tuhan.

/3/

ada air yang anyir, ya itu darah, kata ibuku.
oktober. sekarang musim darah, kata guruku.

jambi, 10 oktober 2011

nb:
ranggawarsita, juru baca buta kita itu,
memang benar: cuma sepincuk bisu yang kita dengar.

08/10/11

pamit


“Malam sudah larut. Saya permisi pulang. Saya minta maaf kalau selama ini saya ada salah sama Anda. Saya tidak akan melupakan Anda, istri Anda, dan anak-anak Anda. Sampai jumpa!” Seingatnya, itu kata-kata terakhir yang diucapkan oleh sahabatnya yang sudah dia anggap sebagai saudara sendiri. Ucapan sahabatnya itu aneh betul, laksana ungkapan perpisahan terkahir kali, seolah-olah mereka tidak akan bertemu lagi, selamanya. Benar saja! Besok paginya, handphone-nya berdering. Dia menerima kabar duka, sahabatnya itu baru saja meninggal dunia.

Anda pasti pernah mengalami hal seperti itu. Hari ini sahabat, saudara, atau orang terdekat Anda lainnya tiba-tiba berkelakuan tak lazim, mengucapkan kata-kata perpisahan yang puitik, mengutarakan permintaan ini-itu persis perangai ibu hamil ketika ngidam. Dia bahkan menjelma bagai cenayang: bisa melihat menembus waktu dan ruang, dapat meramal peristiwa apa yang bakal terjadi, mampu membaca pikiran Anda. Dia seakan sedang memberi tahu Anda bahwa jatah umurnya tinggal sejengkal menuju kuburan. Esoknya, atau esok lusanya, Anda dapat berita, dia telah meninggal.

Ada masanya tatkala kematian tidak lagi menjadi misteri. Rahasia waktu tersingkap. Segala kenangan baik dan buruk datang kembali menghampiri, untuk sepintas menegur-sapa, untuk mengingatkan salah dan khilaf, atau untuk mengajarkan bahwa ada yang harus segera diubah, sebelum terlambat, karena ajal tidak mungkin ditunda dan waktu mustahil diputarbalik. Rekaman perjalanan kehidupan kembali ditayangkan. Siapa tak tahan, hati akan semakin terluka, dada terasa sesak dan panas membara, dan keluarlah sumpah serapah dari mulut yang busuk. Siapa ikhlas menerima keadaan, sehitam dan sehina apa pun hidup yang telah dirajut, rintik-rintik air hayat akan jatuh di hatinya, mawar putih yang begitu wangi akan mengembang di jiwanya, wajahnya akan bersinar cerah berseri-seri, dan keningnya pasrah menyentuh tanah dengan rasa sukur yang paripurna.

Setelah misteri waktu terbuka, dia akan menghadapi persimpangan yang menentukan. Dia diberi kesempatan memilih dua opsi: belok kanan, yakni mensyukuri apa yang sudah, sedang, dan akan terjadi, atau belok kiri, yakni bersikap kufur, menolak realitas, menyangkal keberadaannya sendiri yang saat itu sedang akan tiada. Tidak ada pilihan ketiga atau pilihan antara. Hanya ada dua pilihan, percaya atau tidak percaya. Dia masih diberi kesempatan, sebelum titimangsanya tiba. Oleh karena itu, ada dongeng tentang penjahat yang tobat dan mati secara terhormat, ada pula kisah tentang pendeta yang mati terhina beberapa saat sesudah dia berzina.

Kemudian, dia akan permisi pulang ke rumah dan mengucapkan selamat tinggal. Dia akan segera berhenti membaca dan menulis, menutup buku catatan harian, mengakhiri tugas kehidupan, dan istirahat untuk waktu yang panjangnya tak terukur, berbaring di ruang tunggu menanti hari kebangkitan. Good bye ....

Jambi, 8 Oktober 2011

versus


KONTRADIKSI antara tradisi dengan modernitas adalah tema yang selalu aktual, universal, tak habis-habis dipermasalahkan, dan selalu menjadi masalah pelik, tak jarang mengobarkan perang, memakan nyawa manusia dalam jumlah yang sulit ditaksir. Dalam tulisan ini, tradisi merujuk pada elemen stagnan yang mati suri, sedangkan modernitas merujuk pada elemen dinamis yang hendak menghadirkan perbaruan dan perubahan. Tradisi tidak diartikan sebagai komunitarianisme. Modernitas tidak dimaknai secara sempit sebagai etika aufklaerung. Di manapun kita dapat menjumpai konflik antara kelompok adat yang kukuh memagang warisan leluhur dengan kelompok cendekiawan yang telah menyerap nilai-nilai modern.

Kita sempat mendengar perselisihan antara kaum abangan dengan kaum santri, Boedi Oetomo dengan Sarekat Islam, dan memuncak pada polemik kebudayaan antara Ki Hadjar Dewantara berhadap-hadapan dengan Sutan Takdir Alisjahbana. Alisjahbana ingin membumikan ide-ide progresi dan rasional yang dipelajarinya dari barat. Ki Hadjar berpendapat, masyarakat harus hidup dalam dan dengan kearifan tradisi lokalnya. Pramoedya menuduh budaya Jawa telah lumpuh-ompong dan kehilangan subjektivitas, daya negasi, serta kekuatan oposisi dan resistensinya. Masyarakat harus meninggalkan dan menanggalkan budaya Jawa yang sudah padam nyala dan nyalangnya itu, dan memakai piranti filosofi revolusi yang lebih hidup, jujur, maju, tangguh, menantang, dan menentang.

Walaupun benturan antara dua kelompok ini demikian dahsyat, perkumpulan kebatinan, yang mendasarkan diri kepada tradisi asli Jawa, tidak kehilangan energi hidup. Wayang dan keris tidak saja semakin ramai diperbincangkan, tetapi juga telah terdaftar sebagai warisan budaya dunia. Masing-masing golongan menjalankan prinsipnya sendiri-sendiri. Masyarakat hidup dengan keharmonisan dan toleransi yang tinggi. Konflik ideologis memang bisa meletupkan perang bersenjata, namun dapat pula mendewasakan masyarakat.

Di Aceh pernah berlangsung perang antara golongan uleebalang dengan golongan muslim fundamentalis. Yang pertama mewakili konservatifisme adat. Yang kedua mewakili teologi Islam yang sebetulnya berwatak rasional dan ilmiah. Golongan uleebalang, yang memang telah korup dan tidak memperoleh kepercayaan rakyat lagi, gugur dalam perang tanding itu. Golongan Islam menang, mewarnai ragam seni dan politik Aceh.

Minangkabau juga mengalami peristiwa serupa. Pada pertengahan abad XIX, bergolak Perang Padri, sengketa berdarah antara kubu adat yang matriarkat dengan kubu Islam yang patriarkat. Tak jelas siapa pemenang dan siapa pecundang. Perang tersebut tampaknya sedikit demi sedikit berakhir berkat rekonsiliasi ideologis, penyintesisan adat dan agama, dan berkat hadirnya Belanda sebagai musuh bersama. Hingga zaman Buya Hamka gema Perang Padri masih terasa. Roman-roman karangan Hamka dan para sastrawan Minangkabau semasanya masih mengangkat tema traumatik ini, perang antara adat dan agama.  

Seiring perjalanan waktu, perilaku beragama masyarakat menjadi tradisional, nyaris seutuhnya menafikan rasionalitas dan realitas. Dengan kata lain, agama telah menjadi adat yang kaku dan beku. Para intelektual modern yang bersentuhan dengan pikiran-pikiran liberatif (bukan liberal) merombak dan memperbarui teologi Islam yang telah mandek itu. A.A. Navis, sastrawan Minangkabau didikan INS Kayu Tanam, sebuah sekolah alternatif modern, melalui cerpennya, Robohnya Surau Kami, mengolok-olok religiositas cetek yang sehari-hari diamalkan para ulama di daerahnya. Cerpen itu merupakan prolog bagi meledaknya konfrontasi antara sastrawan sebagai pendukung modernitas dengan teolog sebagai pendukung tradisionalitas.

Bali menghadapi problem yang sama. Di pulau Dewata itu, konflik antara tradisi dan modernitas muncul dalam bentuk kesenjangan jarak antara awig-awig (aturan adat) dengan hukum modern. Awig-awig misalnya menyebutkan, pasangan suami-istri berkasta jelata yang melahirkan bayi kembar buncing (kembar laki-laki dan perempuan) dikenai sanksi adat berupa pengucilan. Bayi kembar buncing tadi mesti ditaruh di kuburan sebagai santapan leak. Pasangan suami-istri tersebut dianggap sebagai pembawa sial, demikian pula keluarganya. Mereka harus menyelenggarakan upacara bersih desa. Kelahiran bayi kembar buncing adalah isyarat bahwa sebuah desa akan ditimpa bencana dan malapetaka.

Sementara itu, di lain pihak, hukum menjamin hak hidup setiap orang, siapa pun dia, tak peduli apakah dia dilahirkan normal atau dilahirkan sebagai bayi kembar buncing. Selain kasus bayi kembar buncing, tentu masih banyak pasal awig-awig yang isinya bertolak belakang secara prinsipil dengan  pasal undang-undang hukum modern.

Tidak hanya di Indonesia, konflik antara tradisi dan modernitas terjadi pula di negara-negara lain. Dulu kelompok modern memanangi laga. Sekarang sebaliknya, kelompok modern terpojok dan mati langkah. Kelompok tradisi, yang sudah cukup sadar-diri, berdiri di podium kemenangan. Ada juga upaya-upaya rekonsiliasi dan penyintesisan antara tradisi dengan modernitas, misalnya seperti apa yang telah mulai dirintis oleh Jurgen Habermas, Ali Shariati, Muhammad Iqbal, Abdurrahman Wahid, Jorge L. Borges, dan lain sebagainya.

Mengambil posisi moderat bukan hal gampang. Kita sering terpeleset membela salah satu kubu, entah tradisi entah modernitas, baik secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan. Mengalami kontradiksi berkepanjangan ini, para aktivis akhirnya letih dan mengambil sikap tegas: kita harus memihak, tak bisa netral. Apa itu artinya kita wajib berjihad, mengokang senapan, melancarkan perang, membunuh sesama, demi mengejawantahkan cita-cita penyatuan masyarakat dan pelenyapan kontradiksi?

Sepertinya kita perlu menerima kenyataan. Kehidupan adalah tumbukan berlapis-lapis kontradiksi. Manusia niscaya pecah dan terbelah. Kontradiksi akan senantiasa ada sebagaimana perang akan senantiasa berkecamuk. Setiap hari ada darah dan daging yang harus dikorbankan. Inilah realitas. Kehidupan berjalan beriring bersama kematian. Dari sini seluruh cerita berawal. Sampai di sini semua cerita berakhir.

Tetapi pilihan sikap ini bukan merupakan legitimasi atas kezaliman dan kelaliman. Keadilan harus tegak. Tak dapat tak.

Jambi, 6 Oktober 2011