29/12/10

Epistemologi Heidegger

Heidegger mengikuti jalan fenomenologis Husserl. Heidegger melihat fenomen tidak melalui prasangka-prasangka akal belaka. Fenomen dilihat secara pra-reflektif dan menyeluruh. Fenomenologi mendeskripsikan fenomen secara apa adanya.

Sebab, akal (kesadaran) hanya merupakan satu dari sederet sejarah Ada. Kesadaran hanya bagian dari Ada. Tepatnya, “Kesadaran adalah cara Ada menampakkan diri” (Wood, 1989: 162). Bukan kesadaranku mencipta Ada, sebaliknya: Ada memungkinkan kesadaranku. Heidegger menjungkir doktrin cogito ergo sum yang melandasi teknik. “... serangan Heidegger atas konsep kesadaran modern sangat mendasar. Dengan memahami ada sebagai sesuatu yang mewahyukan diri pada dirinya sendiri, hubungan subjek-objek itu dilampaui dengan satu pendekatan holistis-estetis terhadap realitas: membuka mata selebar-lebarnya untuk Ada yang menampakkan diri dalam peristiwa. .... kesadaran diraih lebih dengan membuka diri dan berkontak dengan Ada daripada dengan menguasai sesuatu yang lain sebagai objek.” (F.B. Hardiman, 2008: 31)

Termasuk teknik yakni rasio strategis, dualisme subjek-objek, serta homo homini lupus. Semua ini adalah landasan bagi peradaban modern: hukum positif, negara hukum (nation-state), sekulerisasi relijius, kapitalisme, demokrasi, dan seterusnya.

Namun perlu diperhatikan, fenomenologi Heidegger berbeda dengan fenomenologi Husserl dalam hasilnya, kendati sama secara metodis. “Jadi, fenomenologi Husserl adalah suatu epistemologi karena menyangkut ‘pengetahuan tentang dunia’, sementara fenomenologi Heidegger adalah suatu ontologi karena menyangkut ‘kenyataan’.” (ibidem, 29).

Kongkritnya, bagaimana epistemologi Heidegger? Ia jelas memakai metode fenomenologis. Pengetahuan reflektif direduksi dan ditangguhkan sementara, akal dikurung sementara. Fenomen pertama-tama dihayati, bukan dianalisis, dengan alat pengenalan selain akal, baru untuk menjelaskan hasil temuan penghayatan fenomen tersebut akal difungsikan.

Apa alat itu? untuk sementara, kita simpan dulu pertanyaan ini. Ada baiknya kita menyimak kutipan berikut ini tentang metode fenomenologis Heidegger. “Heidegger menawarkan strategi lain dalam mendekati fenomen kesadaran: membuka diri terhadap ada dan mencandra realitas sedalam-dalamnya sebagai suatu peristiwa pewahyuan diri Ada. Bukan hanya ketajaman berpikir yang dibutuhkan di sini, melainkan terlebih kebeningan dan keheningan berpikir. Dengan pendekatan macam inilah Heidegger menurut saya lebih tampil sebagai seorang filusuf yang kepenyair-penyairan atau keseniman-senimanan daripada seorang ilmuwan yang kering dan analitis.” (ibidem, 32). Alat epistemologi Heidegger akan lebih jelas kita pahami melalui kutipan berikut ini. “Berpikir...lebih daripada ‘roh’ (Geist) dan ‘otak’ (Gehirn). Berpikir itu ‘hati’ (Herz), karena hati bersifat sentral untuk setiap tindakan merekam (aufnehmen) yang mengilhami pemikiran sejati.”(ibidem, 41).

Semakin hati dipakai sebagai alat pengenalan, semakin terbuka kemungkinan mengetahui; semakin kesadaran, atau roh, atau otak dipakai sebagai alat pengenalan, semakin tertutup kemungkinan mengetahui.

Ketertutupan pengetahuan yang paling parah, paling gelap, adalah dalam teknik (Die Frage nach der Technik, Persoalan Teknik, 1953). “Teknik...menyelubungi Ada alih-alih menyingkapnya. Selubung itu disebutnya Gestell (bingkai). Ada yang terperangkap dalam Gestell ini tidak menyatakan diri, melainkan justru terabaikan. Teknik menjadi mimpi buruk bagi kita...” (ibidem, 41).

Keterbukaan pengetahuan yang paling mungkin adalah dalam seni (Der Ursprung des Kuntswerkes, Asal-usul karya seni, 1935). “...seni mengandung tegangan antara menyembunyikan dan menyingkap kebenaran, mencipta sekaligus menyimpan, yakni memberi tempat yang kudus kepada Ada.” (ibidem, 41). Dalam seni dan dengan seni, kita baru akan mungkin mengetahui. Puisi yang padat balaghoh-bayan adalah kendaraan menuju pengetahuan. ‘Barangkali’, dalam kaitan antara pengetahuan dan seni inilah Heidegger sempat berujar: Bahasa adalah rumah ada (das haus des seins). “Akhirnya, karena bahasa metafisika tak mampu menangkap Ada, Heidegger mencoba mengembangkan bahasa sendiri dengan membaca puisi-puisi Horderlin.” (ibidem, 41-42).

Jadi, ada beda antara bahasa yang dimaksud Heidegger dengan bahasa sebagaimana dipahami oleh para strukturalis dan linguis. Bahasa Heidegger adalah bahasa puitika yang kental dengan retorik, metafor, ironi, dan seterusnya. Sedang bahasa para linguis adalah bahasa logis-matematis yang telah diabstraksi, bahasa kategorikal yang merupakan pengilmiahan dari bahasa sehari-hari; bahasa para linguis adalah teknik dalam pandangan Heidegger.

Kesederhanaan, Gandhi, dan Ki Blaka

Segala kebijaksanaan tampaknya sederhana saja. Bukan bagaimana konsep sebuah kebijaksanaan dirumuskan, tapi yang lebih penting adalah bagaimana kebijaksanaan itu dipraktikkan dengan konsisten. Sederhana. Sederhana sendiri juga kebijaksanaan.

Kesederhanaan Gandhi

Gandhi menginspirasi dunia hanya karena satu hal: pantang-kekerasan, ahimsa. Ini terlihat jelas pada banyak catatan otobiografisnya. Dan gandhi pun memang adalah orang sederhana yang biasa-biasa saja. Sehari-hari hidup dengan makan yang pas (bukan pas-pasan), mengenakan kain yang diselempangkan menutupi tubuhnya, memakai kasut yang terbilang murah, berkacamata ala master shaolin, dan tak pernah lupa ke mana-mana membawa tongkat. Gandhi tak memiliki keinginan yang muluk-muluk seperti aktivis-aktivis mahasiswa. Gandhi cuma mau konsisten menerapkan ahimsa. Itu saja. Adapun konsepsi tata politik, tata ekonomi, tata agama, tata budaya, sampai tata peradaban yang ia perkenalkan, itu hanya turunan dan pengembangan dari ahimsa-nya.

Kesederhanaan Ki Blaka

Sama seperti Gandhi, Ki Blaka, tokoh utama “Blakanis”, sebuah novel karya Arswendo Atmowiloto, juga hidup secara sederhana. Gagasan Ki Blaka hanya satu, gagasan yang sederhana saja, yakni: blaka. Blaka artinya hidup jujur, terbuka, transparan, telanjang, terbuka, tidak bohong, tidak pura-pura bohong, dan tidak pura-pura jujur. Sehari-hari Ki Blaka hidup sederhana: berjalan ngalor-ngidul telanjang kaki, hanya memakai selimut lorek yang menutupi tubuhnya, dan berbicara jujur. Bila ditanya orang, apa pun pertanyaannya, termasuk hal-hal paling rahasia, seperti sex, maka Ki Blaka akan menjawabnya dengan jujur. Tapi ini tidak tanpa syarat. orang yang bertanya pada Ki Blaka harus jujur juga. Tak tanggung-tanggung, tanpa malu-malu, Ki Blaka lantas menanyakan padanya: berapa istrimu? Apa kamu punya simpanan? Berapa kali njajan ke pelacuran? Pernah ngesex sama kambing nggak? Pingin kawin lagi, dengan siapa? dan pertanyaan gemblung lainnya.

Anehnya, bukan malah dibenci, justru karena kejujurannya tersebut Ki Blaka semakin disukai orang. Ia jadi tokoh terkenal. Ia membuka malam pertemuan di mana di sana tiap orang berbicara jujur, tanpa tedeng aling-aling. Tak peduli kejujurannya bakal menusuk orang lain atau menusuk dirinya sendiri. Yang penting, jujur saja. Titik.

Pernah seorang mantan menteri, yang banyak melakukan KKN dan kejahatan birokratis lainnya, datang ke pertemuan rutin Ki Blaka. Ia sedang kena sakit parah dan terpaksa duduk di kursi roda. Motifnya datang ke pertemuan itu adalah minta kesembuhan pada Ki Blaka. Ia pikir Ki Blaka adalah dukun, wali, atau orang pintar, dan sejenisnya. Namun nyatanya Ki Blaka bukan orang seperti itu. Ki Blaka hanya orang biasa yang ingin hidup secara blaka. Menteri tadi pun kecewa pada sosok Ki Blaka. Tapi kekecewaanya tak berlarut. Seperti para peserta pertemuan lainnya, ia pun berbicara jujur. Si menteri, Jamil Akamid namanya, malah menceritakan aktivitas KKN dan segala kejahatan birokratisnya dengan jujur. Jujur sekali. Ia cerita bahwa dirinya telah memperalat hukum, birokrasi, partai, dan bahkan presiden untuk menumpuk kekayaan pribadinya. Ia bocorkan nama-nama pejabat yang gemar ber-KKN bersamanya. Ia tunjukkan bagaimana prosesnya, di bank mana saja uang hasil KKN mereka di simpan, siapa bekengnya, dan siapa korbannya. Dan karena pengakuan Jamil Akamid diliput media, masyarakat pun panik. Para pejabat yang disebut-sebut namanya muntab. Stabilitas pemerintahan terancam. Jamil Akamid terus memanas-manasi Ki Blaka untuk menjadikan pertemuan rutinnya sebagai gerakan moral nasional. Katanya, Ki Blaka bisa jadi avan gardis pembuka kesadaran negeri. Tapi apa respon Ki Blaka? Biasa saja. sederhana. Ia hanya menjawab semua bujuk rayu si menteri dengan: O begitu; O, bisa ya; ya bagus itu. tidak tampak tanggapan yang meledak-leduk. Jamil Akamid pun dibikin stres oleh tingkah Ki Blaka. Sekali lagi menteri jujur ini kecewa (Menteri jujur? Kedengarannya lucu, soalnya selama ini menteri-menteri pada takut jujur). Nah, kekecawaannya yang kedua ini, alhamdulillah, menyadarkan Jamil Akamid. ia mafhum. Jujur itu bukan untuk siapa-siapa, kecuali untuk kebaikan dirinya. Berbicara jujur melatih diri hidup blaka. Hidup blaka menjadikan hidup lebih ringan dan mengalir. Orang yang hidup blaka, pembawaannya gembira melulu. Dikata-katain, gembira; dijelek-jelekin, gembira; diinjak-injak, gembira; dikutuk, gembira; dikasih uang segepok, oh tentu gembira dong; tidak pernah jadi juara sepakbola, gembira; bisa masuk final piala AFF, gembira; dicurangi, diprovokasi, dan dipecundangi 3-0 oleh Malaysia, gembira juga, toh hanya permainan.

Jadi, bagaiamana, apa Anda siap bersikap sederhana, realistis, dan tidak muluk-muluk? Mau jadi lelananging jagad? Mbok yo sing prasojo, hidup sederhana saja deh... []

12/12/10

Mata Levinas

Beranjak dari permenungan fenomenologis, Levinas pun sampai pada pembicaraan tentang mata. Terdapat dua varian mata: mata yang melihat dan mata yang mendengar.

Dengan mata yang melihat, kita cenderung melakukan kekerasan terhadap objek yang kita pandang (the violence of vision). Kita melihat benda, binatang, atau orang lain (l’ autri) menurut perspektif egoistis kita sendiri. Kita mengontrol dan menguasai identitas orang lain. Sorot mata kita menundukkan dan membudakkan orang lain. Kita adalah raja yang menghambakan orang lain. Kita umpama dalang yang mewayangkan orang lain. Diam-diam, dengan mata yang melihat, kita telah menjajah orang lain.

Sementara itu, dengan mata yang mendengar (al-‘ain al-musamma’), kita memberi ruang bagi Wajah untuk berbicara pada kita, memberi kelapangan bagi orang lain untuk mengungkapkan dirinya secara terbuka dan utuh pada kita (Al-Qur’an, 58:11). Mata yang mendengar mendorong kita untuk meniru (mimesis) perasaan orang yang sedang kita pandang, seolah-olah kita bertransformasi menjadi dirinya dan masuk ke dalam palung terdalam kalbunya. Dengan mata yang mendengar, kita berusaha mensetubuhi perasaan orang tersebut.

Teologi Mata

Mendengar yang sebetulnya adalah fakultas telinga (udzun), dilepas dan dipasang sebagai fakultas mata (‘ain). Tujuannya agar mata dapat mendengar panggilan (adzan) tuhan yang tersembunyi rapi di balik tuturan Wajah, yang tersirat di antara kompleksitas pengakuan survivor.

Wajah yang bicara, dengan demikian, secara tidak langsung mengajak kita untuk mendirikan solat sosial dan sujud sosial. Baru dalam kenyataan sosial, kita dapat mengalami tuhan (syuhud). Wajah yang bicara juga mengajak kita untuk bergegas menuju kemenangan, yakni untuk segera memultiplikasi peristiwa (event) Fathul Makkah, atau meminjam Aquinas: mendirikan kota tuhan (civitas dei) di bumi manusia. Jadi, adzan juga adalah panggilan sosial dan politik.

The candle (in the) night

:: sebuah himbauan

Bila kamu mengetahui bakal karamnya kapalmu, jangan terburu-buru mengabarkan hal itu. Jangan pernah mengucapkan hal yang negatif dan pesimistis. Jika orang lain mendengarnya, sedang hatimu sendiri menyahutnya, ucapan negatif dan pesmisitis tadi akan mempercepat proses karamnya kapalmu. Tragedi Yunani dan epik Mahabarata telah menunjukkan kebenaran hal itu. Sejarah pun telah memvalidasinya.

seburuk apapun gejala yang tampak, segelap apapun kondisi yang menimpa, walaupun kapalmu secara matematis akan segera karam, kamu harus terus mengucapkan hal-hal yang positif dan optimistik. Beri sahabat-sahabatmu suntikan spirit, senandungkan “badai pasti berlalu” untuk mereka, dan bisikkan “la takhof wa la tahzan, innallaha ma’ana” di telinga mereka. Optimisme dan energi positif orang lain yang tercipta akibat ucapanmu, akan menyelamatkan kapalmu dari kekeraman.

Gembirakan dan hibur sahabat-sahabatmu. Beri mereka lawakan-lawakan segar dan cerdas. Jangan biarkan mereka bersedih, murung, dan saling terkam. Sebisa mungkin ciptakan kondisi damai dan harmoni, dan tak usah menambah-nambah konflik, jika mungkin justru redakan dan sembuhkan konflik terpendam.

“Sistem politik yang ditakdirkan untuk runtuh,” ujar Sartre “merangsang orang banyak untuk mempercepat keruntuhan itu”. Oleh karena itu, orang tua-orang tua kita sering menasihati: husy, jangan berburuk sangka, jangan ngomong yang tidak-tidak, jangan bicara yang buruk-buruk! Ojo waton ngomong, nanging ngomongo nganggo waton! Dalam keadaan susah, ketika kapalmu hampir karam, nasihat semacam ini sebenarnya berfungsi sebagai terapi, baik terapi psikis maupun terapi sosial, dan bukan berfungsi sebagai larangan semata.