24/10/14

yogya dan ironi kebangsaan

YOGYA adalah daerah yang tidak bisa mengelak dari ambivalensi. selain di belanda dan di bandung, gagasan kebangsaan mula-mula juga tercetus di yogya dengan dua perintisnya: HB IX dan Ki Hadjar. tokoh yang pertama termasuk dalam jajaran penguasa tradisional yang mendukung penuh kelahiran republik. tokoh yang kedua menjalankan gagasan kebangsaannya secara struktural dan kultural, khususnya lewat jalur pendidikan. ironisnya, justru pengikisan gagasan kebangsaan itu juga terjadi di yogya.

di yogya, berkumpul pelajar dari berbagai daerah di Indonesia. mereka membentuk komunitas baik formal maupun informal berdasarkan asal-usul kedaerahan. kebanyakan komunitas kedaerahan yang saya temui mengembangkan semacam primordialisme, meskipun ada individu-individu yang memiliki wawasan kebangsaan, bahkan kosmopolitan. kadang-kadang, terjadi gesekan berdarah antarkomunitas. hal ini jarang diberitakan secara nasional. entah kenapa. ada pula komunitas kedaerahan yang sebenarnya memendam cita-cita untuk memerdekakan daerahnya dari penjajahan Indonesia. jadi situasinya mirip dengan komunitas pelajar hindia tempo dulu di amsterdam atau den haag yang memendam cita-cita untuk memerdekakan bangsanya dari penjajahan belanda.

di daerah yang disanjung-sanjung sebagai indonesia kecil karena semangat kebangsaan dan keragamannya ini, telah dan sedang tumbuh banyak kelompok fundamental dan radikal Islam yang mempersoalkan pancasila sebagai ideologi negara. simpatisannya dari kalangan warga asli setempat, juga terutama dari kalangan pelajar. beberapa kampus yang sepertinya membentuk suatu jaringan gerakan, menjadi kantong kaderisasi kelompok-kelompok islam transnasional tersebut.

terakhir, jangan dilupakan bahwa ketika jakarta mempermainkan predikat 'keistimewaan' yogya, rakyatnya mengadakan demonstrasi raya sebagai pernyataan kesiapan referendum.

01/10/14

Sufisme dalam Sastra Indonesia



I
Setalah Orde Baru tumbang, sejarah Indonesia dan sejarah sastra Indonesia memasuki babak baru. Sejumlah penulis baru dari latar belakang sosial dan budaya yang beragam, dengan gagasan dan cara pengucapan baru, tampil dalam panggung sastra kita. Pada fase ini, sastra Indonesia menyaksikan maraknya penulis perempuan yang megajukan proposal kesetaraan gender, tepatnya keadilan gender, dalam karya sastra mereka (Wiyatmi, 2012: 65-78). Sekilas, hal ini memang tampak sebagai kemajuan literer dan kemajuan kebudayaan. Namun demikian, kemajuan literer itu sesungguhnya problematis. Kemajuan kebudayaan itu tidak luput dari kritik. Sebab, beberapa penulis perempuan, yang paling kontroversial ialah Djenar Mahesa Ayu dan Ayu Utami, menggugat ketidakadilan gender dengan menabrak pagar etika Timur yang menjadi idealitas alam pikiran agamis masyarakat Indonesia.

Terutama bersandar pada licencia poetica dan visi kebaruan (newness), dalam karya sastranya mereka menggambarkan fenomena seksual hampir tanpa tedeng aling-aling. Mereka pun menghadirkan tema-tema yang pada periode sebelumnya tabu untuk digarap, misalnya tema seputar Lesbian, Gay, Bisex and Transgender (LGBT). Wajarlah apabila kritikus sastra yang dalam kerangka berpikirnya tidak memisahkan etika, estetika, dan teologi, lebih-lebih yang berlatar belakang keagamaan, melabeli karya sastra penulis perempuan itu sebagai sastra biru, sastra selangkangan, sastra wangi, atau sastra daging.

Polemik sastra wangi sedikit banyak mengaburkan pandangan kita akan keragaman dan kekayaan realitas sastra Indonesia pasca-Orde Baru. Selain sastra wangi, ada fenonema sastra kontemporer lain yang tak kalah menonjol, antara lain menculnya karya sastra bercorak tradisi lokal, Tionghoa, Islam, dan sufi dalam jumlah yang tak bisa dianggap kecil. Sebagaimana sastra wangi, fenomena-fenomena literer ini tidak mengada dalam ruang hampa sejarah dan hampa sosial. Masing-masing corak sastra tersebut memiliki akar sejarah yang panjang, bahkan merentang jauh hingga masa ketika negara Indonesia masih merupakan embrio. Mereka juga merupakan respon kreatif atas kondisi sosial yang melatarbelakangi kelahirannya.

Menonjolnya karya bercorak sufi dalam sastra Indonesia barangkali menandai kebangkitan spritualitas dalam ranah kebudayaan Indonesia. Manakala materialisme menjadi gaya hidup yang dengan sadar atau tidak sadar dianut mayoritas masyarakat, spiritualitas, termasuk spritualitas Islam yang disebut sufisme atau tasawuf, menghadirkan dirinya secara tegas untuk menjawab persoalan dekadensi budaya tersebut. Dalam konteks sastra Indonesia pasca-Orde Baru, sastra sufi, yaitu karya-karya sastra Indonesia yang terpengaruh oleh sufisme, menjadi penyeimbang dari sekaligus jawaban bagi sastra daging. Jika sastra daging menyalakan api birahi pembacanya, sastra sufi memadamkannya dengan air makrifat.

Penjelasan singkat tentang sastra sufi dalam konteks sastra Indonesia kontemporer di atas menunjukkan pentingnya unsur sufisme dalam sastra Indonesia. Tanpa membicarakan unsur ini, sastra Indonesia tidak dapat dipahami secara utuh dan lengkap. Sebab itulah, dalam rangka memahami sastra Indonesia secara mendalam, pembicaraan tentang unsur sufi atau sufisme dalam sastra Indonesia menjadi mutlak perlu diadakan.

Penulis, lantaran berbagai keterbatasan, dalam artikel tidak bermaksud menyajikan hasil analisis seluruh korpus data sastra sufi yang terdapat dalam sastra Indonesia modern, dengan hipotesis yang kuat dan dengan konsep yang dapat menjelaskan hakikat, warna, dan dinamikanya. Penulis hanya akan mendeskripsikan beberapa sampel karya sastra Indonesia yang dipilih secara arbitrer untuk menunjukkan adanya unsur sufisme dalam karya-karya tersebut. Sebelum deskripsi itu disajikan, secara ringkas akan dibicarakan terlebih dahulu apa sesungguhnya sufisme atau tasawuf itu. Terakhir, seluruh pembicaraan dalam artikel ini akan diringkas dalam kesimpulan.

II
Meskipun berbeda dalam komponen dan susunan fonemis, sufisme dan tasawuf merupakan dua istilah yang dapat digunakan secara bertukar-ganti tanpa menimbulkan kebingungan semantis yang berarti. Para sarjana kajian keislaman umumnya menggunakan baik sufisme maupun tasawuf untuk merujuk realitas yang sama. Buku klasik mengenai sufisme, Sufism: A Short Introduction (2000) karangan William C. Chittick, orientalis yang menekuni kajian sufisme, diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Tasawuf di Mata Kaum Sufi (2002). Buku klasik lain dalam subjek ini, What is Sufism? karangan Martin Lings, teoretisi dan praktisi sufisme, diterjemahkan dengan judul Membedah Tasawuf (1991).

Lantas, apa sufisme atau tasawuf itu? Chittick (2002: 46) mengakui bahwa sufisme tidak mudah didefinisikan. Realitas yang diwadahi oleh konsep ini begitu kompleks. Definisi, yang pada kodratnya senantiasa mereduksi realitas itu, tidak disetujui oleh praktisi tasawuf. Seringkali mereka menerangkan apa itu tasawuf secara konkret dan praktis saja. Itu sebabnya, para praktisi tasawuf sulit menemukan titik temu dalam mendefinisikan dunia yang digelutinya itu. Sebagaimana Chittick, Schimmel (dalam Ali, 2005: 140), sarjana spiritualisme Islam terkemuka, juga menemui jalan buntu dalam usahanya mendefinisikan tasawuf. Menurutnya, definisi tasawuf yang kita rumuskan hanya akan menyentuh salah satu sudut atau aspeknya saja. Walaupun bisa menyebabkan disalahpahaminya hakikat tasawuf, definisi parsial seperti ini tetap diperlukan sebagai petunjuk awal untuk menyelami lubuk tasawuf lebih dalam.

Terlepas dari kesulitan pendefinisian tasawuf itu, sebagai pegangan, dalam makalah ini dipilih dan digunakan definisi sufisme atau tasawuf menurut Anshoriy (2008: 25) yang sederhana, tetapi cukup dapat menggambarkan hakikat tasawuf, kendati tidak lengkap dan menyeluruh. Bagi Anshoriy, tasawuf adalah suatu upaya atau usaha untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan tekun beribadah dan melalui pembersihan jiwa dengan jalan memutuskan ketergantungan hati selain kepada Allah dan menjauhkan diri dari kemewahan dunia dan segala akibatnya. Maka, tasawuf terutama memiliki dua esensi. Pertama, pendakatan hamba kepada Allah. Kedua, penyucian jiwa. Tujuan salik, demikian praktisi tasawuf disebut, adalah mendekati Allah, dalam arti menemukan-Nya. Metodenya dengan mensucikan jiwa dari segala noda, najis, dan penyakit hati.

Sebagai ekspresi keyakinan spiritualnya sekaligus sebagai kritik sosial-politik, konon pada mulanya praktisi tasawuf enggan mengenakan sandangan yang mewah. Mereka hanya memakai baju yang terbuat dari kain wol atau bulu domba kasar (shuf). Menurut keterangan yang populer, dari sinilah istilah sufi, tasawuf, dan sufisme berasal. Namun demikian, keterangan etimologis yang populer ini menyimpan masalah. Sebab, kata ‘tasawuf’ ternyata dapat diturunkan dari tidak hanya satu akar kata. Maka, para sarjana pengkaji sufisme akhirnya tidak menemukan kata sepakat dalam menentukan etimologi istilah tasawuf (Ali, 2005: 140-142; Chittick, 2002: 45; Lings, 1991: 39-40).


Selain dengan melacak akar kata tasawuf, pengertian kita tentang subjek ini dapat diperdalam dengan mengamati kedudukan tasawuf dalam agama Islam. Dalam rangka menguraikan masalah ini, Chittick (2002: 21-26) mengutip sebuah hadis yang terkenal sebagai ‘Hadis Jibril’. Hadis itu menyebutkan, pernah Jibril menemui Muhammad saw. dalam rupa seorang lelaki pengembara badui. Tanpa diketahui dari mana datangnya, lelaki itu sekonyong-konyong duduk bertelimpuh di hadapan Muhammad saw. yang tengah berbincang-bincang dengan para sahabatnya, kemudian menanyakan kepada Muhammad saw. beberapa hal, antara lain apakah islam itu, apakah iman itu, dan apakah ihsan itu. Muhammad saw. menjawab, Islam adalah bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan salat, membayar zakat, berpuasa Ramadan, dan menunaikan ibadah haji; iman adalah percaya kepada Allah, para malaikat, kitab-kitab, para rasul, hari kiamat, dan takdir Allah (baik yang baik maupun yang buruk); ihsan adalah engkau beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya, sekiranya engkau tak dapat melihat-Nya, Dia pasti melihat-Mu. Setelah Jibril pergi, Muhammad saw. menyatakan bahwa lelaki tadi adalah Jibril yang datang untuk mengajarkan apa makna agama (al-din) kepada para sahabatnya, maksudnya kepada umat Islam.

Hadis Jibril tersebut menerangkan bahwa iman merupakan dasar teologis atau pandangan dunia seorang muslim, Islam merupakan ekspresi ritual atas pandangan dunia itu, dan ihsan merupakan cara yang memungkinkan seorang muslim memaknai dan menyempurnakan ekspresi ritual tersebut. Inilah tiga serangkai aspek pembangun agama yang menentukan tegak robohnya agama Islam. Iman adalah aspek intelektual agama yang berhubungan dengan doktrin-doktrin dasar Islam yang bidang ilmunya disebut kalam, Islam adalah aspek formal yang secara teknis diistilahkan sebagai syariat yang bidang ilmunya dinamakan fiqih, dan ihsan adalah aspek rohani agama yang kajian dan praktiknya terutama digeluti oleh kaum sufi yang bidang ilmunya disebut tasawuf.
           
Sejalan dengan pengertian tasawuf yang dirumuskan Anshariy, Ismail (2005: 307) menyatakan bahwa ajaran pokok tasawuf berkisar sekitar proses penyucian jiwa dan jalan pendekatan diri menuju Tuhan. Saat menempuh jalan panjang dan berat itu salik melewati tahapan-tahapan yang disebut maqamat (stasiun). Sementara itu, di sela-sela perjalanan tersebut ia mengalami ahwal (keadaan mental) tertentu.

Ada sedikitnya enam versi teori maqamat yang beredar di kalangan tasawuf: teori 7 maqamat al-Sarraj, teori 7 maqamat al-Jilli, teori 40 maqamat al-Khair, teori 6 maqamat al-Qusyairi, teori 7 maqamat al-Ghazali, dan teori 10 maqamat al-Kalabadzi. Dari semua versi tersebut, yang paling sering dibicarakan—sepanjang penelusuran penulis—adalah teori maqamat al-Kalabadzi, yang terdiri dari 10 tingkatan atau stasiun yang berjenjang-berurutan dari tingkat paling dasar sampai tingkat paling puncak, yaitu: (1) tobat, (2) zuhud, (3) sabar, (4) fakir, (5) rendah hati (tawaduk), (6) takwa, (7) tawakal, (8) rida, (9) cinta (mahabbah), dan (10) makrifat (Ismail, 2005: 308-316; Ali, 2005: 144-152; Kartanegara, 2006: 184-202). Manakala mencapai stasiun terakhir, sufi penempuh jalan spiritual mengalami pengalaman religius khusus yang disebut dengan beragam istilah: fana-baqa, ittihad, hulul, dan wahdatul wujud (Ali, 2005: 149-152).

III
Jika kita memahami ‘Indonesia’ lebih sebagai konsep geo-budaya daripada konsep geo-politik, kita akan melihat bahwa pengaruh sufisme dalam sastra Indonesia telah berumur sangat tua, lebih tua daripada umur sastra Indonesia modern itu sendiri—menurut versi siapa pun. Sebagai bagian tak terpisahkan dari agama Islam, sufisme masuk ke nusantara bersamaan dengan masuknya agama Islam.

Dalam proses islamisasi itu, baik dalam arti ekstensifikasi maupun intensifikasi, kaum sufi menggubah karya sastra yang dikategorikan klasik dalam khasanah, antara lain, sastra Melayu dan Jawa, dua tradisi sastra besar yang diakui atau tidak merupakan induk dan ilham sastra Indonesia modern. Sebagai contoh, di tanah Melayu, Hamzah Fansuri beserta murid-muridnya menciptakan syair-syair sufistis, sedangkan di tanah Jawa Sunan Bonang menggubah sejumlah prosa-liris suluk: Suluk Khalifah, Suluk Kaderesan, Suluk Regol, Suluk Bentur, Suluk Wasiyat, Gita Suluk Latri, Suluk Jebeng, dan Suluk Wujil (Hadi, 2005: 369-376).

Setelah masa Sunan Bonang, sufisme terus memberikan pengaruh terhadap sastra Jawa sehingga bermunculanlah pujangga-pujangga sufistis Jawa yang terkenal, di antaranya Mangkunegara IV, Pakubuwana IV, dan Ranggawarsita. Demikian pula, dalam ranah sastra Melayu, pengaruh ajaran sufi masih terlacak sampai pada sastrawan-sastrawan perintis sastra Indonesia modern yang berlatar belakang kebudayaan Melayu. Pengaruh ini khususnya terasa sekali pada Amir Hamzah.

Lama setelah periode pujangga baru Amir Hamzah, pengaruh sufisme dalam sastra Indonesia menguat pada 1970-an ketika sejumlah sastrawan merumuskan konsep sastra sufi dan mencanangkannya sebagai gerakan literer. Pelopornya ialah Abdul Hadi WM, Kuntowijoyo, Danarto, Sutardji Calzoum Bachri, dan M. Fudoli Zaini. Danarto mengumandangkan gerakan kembali ke sumber, senada dengan eksponen sastra sufi yang lain yang menggagas gerakan kembali ke tradisi. Kembali ke sumber dapat berarti kembali mencari ilham penciptaan langsung dari sumber kreatif kehidupan: Tuhan, setelah rata-rata sastrawan Indonesia mencari ilham penciptaan dari sastra dan kebudayaan asing. Kuntowijoyo mencanangkan sastra profetik, yang pada substansinya adalah sastra sufi juga.

Sebelum lahirnya sastra sufi secara konseptual, kecenderungan sufistis menurut Hadi (2005: 388) telah terlihat pada karya Taufiq Ismail, Arifin C. Noer, Ikranegara, D. Zawawi Imron, Emha Ainun Nadjib, dan Hamid Jabbar. Selanjutnya, Hadi mencatat bahwa dalam generasi 1980-an terdapat sejumlah penulis yang menunjukkan kecenderungan sufistis dalam puisi-puisi mereka: Ajamuddin Tifani, Ahmad Nurullah, Abidah el-Khaliqy, Sonie Faried Maulana, Jamal D Rahman, Agus Sardjono, Isbedy Setiawan, dan Acep Zamzam Noer. Nama-nama sastrawan berkecenderungan sufistis lain yang belum disebutkan Hadi adalah Suminto A Sayuti, Rendra, Iman Budhi Santosa, Ahmadun Yosi Herfanda, Kuswaidi Syafii, Ahmad Tohari, AA Navis, Dimas Arika Mihardja, A Mustofa Bisri, Mustofa W Hasyim, Abdul Wahid BS, Aguk Irawan MN, dan lain-lain.

Nama-nama itu menulis jenis pertama sastra sufi. Karya-karya mereka mengungkapkan atau berisi gagasan-gagasan sufistis. Jenis sastra sufi kedua adalah karya yang berisi kritik atas sufisme. Karyatama Achdiat K Mihardja, Atheis, termasuk ke dalam jenis ini.

Melalui lidah Rusli, tokoh yang Marxis, Achdiat mengkritik Islam dan sufisme. Kepada Hasan, tokoh utama Atheis yang menghayati Islam sebagai warisan leluhur dan menekuni sufisme sebagai pelarian dari kegagalan cinta, Rusli mengajarkan bahwa agama itu candu bagi masyarakat. Agama merupakan penghalang besar kemajuan umat manusia. Ajaran modern ini menyebabkan Hasan bimbang dengan keislaman dan kesufiaannya. Meskipun hingga menjelang ajalnya terus-menerus bergulat dalam kebimbangan ini, Hasan tidak bisa melepaskan dirinya dari Islam dan sufisme. Sebelum nyawanya melayang, ia berkata, Allahuakbar.

Sikap kritis Achdiat terhadap Islam, khususnya sufisme, dalam Atheis sudah tergambar secara tersirat sejak halaman-halaman awal. Saat Hasan kecil, di rumahnya menginap seorang tamu yang ayahnya sangat menghormatinya, pengikut tarekat bernama Haji Dahlan. Dalam naskah roman biografisnya yang tak rampung, Hasan menggambarkan perilaku ayahnya dan Haji Dahlan saat mereka berbincang-bincang tentang tasawuf.

Tapi yang masih kuingat sekali, ialah caranya Haji Dahlan bercerita. Banyak tertawa, dan banyak bertanya: “bukan?!” di belakang hampir tiap kalimat. Yang masih aku ingat pula ialah janggutnya yang meruncing ke depan seperti janggut kambing benggala. Sambil bercakap ia suka mengelus-elus janggutnya.
Ayah mendengarkan dengan sungguh-sungguh. Ia duduk bersila menghadap Haji Dahlan yang duduk di atas sehelai kulit kambing, seraya tak ada henti-hentinya memetik tasbih hitam. Depan masing-masing sebuah mangkok besar berisi kopi tubruk.
Sekali-sekali kalimat Haji Dahlan terputus oleh suara bibir yang menyeropot air kopi yang masih panas. Kadang-kadang suara seropot itu disusul oleh suara sendawa “eueueu”, yang segera disusul pula oleh ucapan “Alhamdulillah”, sedang gondok lakinya naik ke atas sertak dengan lehernya yang memanjang. Kemudian disahuti pula oleh suara “eueueu” juga dari kerongkongan ayah.
Jarang-jarang ayah mengemukakan sesuatu pertanyaan, dan biarpun banyak bertanya “bukan?”, atau justru karena banyak bertanya “bukan?”, Haji Dahlan sangat lancar bicaranya, seperti seorang guru yang masih hafal pelajarannya. Tetapi sebaliknya, ayah sendiri seperti seorang murid yang takut dipandang bodoh, tak berani bertanya sendiri. Padahal rupanya banyak juga yang tidak dapat dimengerti oleh ayah.
(Atheis, 2011:13)
Sekilas, penggambaran itu terlihat netral, tetapi sebenarnya merupakan suatu karikatur yang kritis. Dengan tidak terbahak-bahak, Achdiat menertawakan para penghayat tasawuf, yaitu Haji Dahlan yang menggurui dan kurang etika dan ayahnya yang penakut dan tidak kritis. Pada halaman-halaman atheis selanjutnya, penertawaan lirih ini ditindaklanjuti sedemikian rupa sehingga atheis dapat dipandang sebagai kritik terhadap kecenderungan untuk menggeluti sufisme secara ikut-ikutan belaka; juga sebagai kritik terhadap mereka yang memasuki dunia sufi sebagai pelarian dari permasalahan kehidupan, diungkapkan dalam idiom Marxian, sebagai candu masyarakat. Jadi, sufisme dalam Atheis dicitrakan secara negatif.

Citra yang sepenuhnya positif terhadap sufisme terdapat dalam puisi-puisi Amir Hamzah. Bahkan, sebagai penyair, Amir Hamzah telah tersedot masuk ke dalam dunia tasawuf dan menghayati doktrin-doktrinnya. Lebih jauh lagi, puisi sufistis Amir Hamzah boleh dipandang sebagai jalan kerohanian atau suluk. Sastrawan angkatan Pujangga Baru yang oleh HB Jassin dijuluki raja penyair ini melanjutkan tradisi sastra yang pernah dijalani oleh Sunan Bonang dan Hamzah Fansuri. Salah satu puisi sufistisnya yang terkenal berjudul Padamu Jua.

Habis kikis
Segala cintaku hilang terbang
Pulang kembali aku padamu
Seperti dahulu
Kaulah kandil kemerlap
Pelita jendela di malam gelap
Melambai pulang perlahan
Sabar, setia, selalu
Satu kasihku
Aku manusia
Rindu rasa
Rindu rupa
Dimana engkau
Rupa tiada
Suara sayup
Hanya kata merangkai hati
Engkau cemburu
Engkau ganas
Mangsa aku dalam cakarmu
Bertukar tangkap dengan lepas
Nanar aku, gila sasar
Sayang berulang padamu jua
Engkau pelik menarik ingin
Serupa dara di balik tirai
Kasihku sunyi
Menunggu seorang diri
Lalu waktu—bukan giliranku
Mati hari—bukan kawanku
(Pradopo, 2010: 128-129)

Padamu Jua merekam perjalanan rohani Amir Hamzah dalam rangka mendekati dan menemukan Kau-lirik, yaitu Tuhan. Bagi penggubah dan pembacanya, baik yang menekuni laku tasawuf maupun tidak, puisi ini berfungsi sebagai sarana transendensi. Bentuk formal diterobos dengan menggunakan bentuk formal itu sendiri. Simbol dari alam empiris digunakan sebagai jembatan untuk menghantarkan kesadaran kita menuju alam metafisik. Yang bukan-Tuhan, yaitu makhluk, dipakai sebagai simbol untuk mengiyaratkan kehadiran-Nya. Yang profan dijadikan tangga naik menuju puncak yang sakral. Menurut Hadi (2004: 58), bahasa karya sastra yang menyandang fungsi ini bukanlah ungkapan lahir, tetapi kias dan simbol (mitsal). Pembaca jangan terlena dan terjebak pada ungkapan lahirnya. Ia harus menafsirkan ungkapan lahir itu sebagai dunia simbol yang melambangkan dunia lain yang berada di balik alam empiris. Jadi, engkau-lirik “yang serupa dara di balik tirai” itu, yang “pelik menarik ingin” sang penyair bukanlah perawan tertentu yang hidup di alam nyata, tetapi Tuhan yang sifat dan perilakunya dipersonifikasikan sebagai perawan.

Kerinduan dan kecemburuan yang tergambar dalam puisi itu juga bukanlah kerinduan dan kecemburuan profan, tetapi kerinduan dan kecemburuan spiritual. Kerinduan aku-lirik mengungkapkan kerinduan primordial manusia kepada Tuhannya, yang dalam terminologi tasawuf disebut isyq. Kecemburuan engkau-lirik merupakan kecemburuan Ilahi yang baru dapat dipahami dan dirasakan oleh praktisi tasawuf yang menghayati doktrin tauhid, suatu doktrin yang sentral posisinya dalam alam tasawuf. Judul puisi, Padamu Jua, sendiri sudah menyiratkan adanya cinta (mahabbah) aku-lirik yang sungguh-sungguh kepada Tuhan dan keikhlasannya untuk pulang kembali kepada-Nya (taubat al-nasuha). Dalam teori 40 maqamat al-Khair, mahabbah, ikhlas, dan taubat merupakan tiga stasiun yang harus dilewati sufi untuk sampai pada stasiun terakhir: maqam tasawwuf (Ali, 2005: 144).

Begitulah, dalam Padamu Jua ada dimensi horizontal sekaligus vertikal. Namun demikian, dimensi horizontal di situ hadir tak hanya sebagai simbol untuk menyatakan dimensi vertikal. Dimensi horizontal pun hadir sebagai rekaman pengalaman percintaan penyair selama hidupnya. Puisi ini mengungkapkan dengan samar-samar perjalanan cinta penyair dari cinta manusia ke cinta Ilahi. Setelah segala cintanya dengan seorang perempuan nyata hilang terbang dan terkikis habis, ia kembali pulang kepada Tuhan, menemui Kekasih sejatinya, satu-satunya kekasihnya, yang sabar, setia, tetapi pencemburu, yang selalu ada bahkan di saat-saat krisis, bagai kandil yang cahayanya gemerlapan, atau bagai jendela yang terbuka di malam gelap.

Jika Padamu Jua Amir Hamzah melukiskan kilatan pengalaman spiritual mahabbah, puisi Abdul Hadi WM, Tuhan, Kita Begitu Dekat, melukiskan pengalaman spiritual yang lain: ittihad, lebih tepatnya hulul, yaitu bertempatnya sifat ketuhanan (lahut) pada sifat kemanusiaan (nasut).

Tuhan.
Kita begitu dekat.
Sebagai api dengan panas.
Aku panas dalam apimu.

Tuhan.
Kita begitu dekat.
Seperti kain dengan kapas.
Aku kapas dalam kainmu.

Tuhan.
Kita begitu dekat.
Seperti angin dan arahnya.

Kita begitu dekat.

Dalam gelap
kini aku nyala
pada lampu padamu

1976
(Hadi, 1977: 40)

Dalam puisi itu, aku-lirik merasa sebegitu dekatnya dengan Tuhan. Kedekatan tersebut diibaratkan laksana kedekatan api dan panas. Tuhan adalah api yang panas, sementara aku-lirik adalah sifat panas api itu. Dengan demikian, sifat ketuhanan bersemayam dalam wadah kemanusiaan. Tuhan, Kita Begitu Dekat tampaknya adalah ungkapan kemabukan cinta ilahi penyairnya. Pada puncak perjalanan spiritualnya, sufi mengalami salah satu dari dua hal: atau kemabukan spiritual (sukr), atau ketakmabukan spiritual (sahw).

“Kemabukan spiritual,” tulis Chittick (2002: 57) “terjadi karena dikuasai kehadiran Allah dan menandakan kebahagiaan para penempuh jalan sufi dalam menemukan sumber abadi dari segenap keindahan dan cinta dalam diri mereka sendiri. Para penempuh jalan ini menyaksikan Allah dalam segala sesuatu sehingga hilanglah kemampuan mereka untuk membedakan-Nya dari makhluk atau memilah yang benar dari yang salah”. Chittick melanjutkan, sufi yang mengalami kemabukan spiritual mengekspresikan pengalaman spiritualnya dalam syair atau puisi. Secara ideal, puisi memang merupakan genre sastra yang cocok untuk digunakan sebagai media pelukisan alam imajinal pengetahuan yang tunggal dan tidak berhijab (Chittick, 2002: 59).

Sementara Abdul Hadi WM mengungkapkan kemabukan spiritualnya dengan media puisi, Danarto mengekspresikannya melalui cerpen. Salah satu cerpen kemabukan spiritual Danarto yang menarik untuk dibicarakan adalah cerpen berjudul gambar hati yang tertusuk panah—kita sebut saja judulnya Rintrik, mengambil nama tokoh utamanya, sekadar untuk memudahkan identifikasi.

Rintrik adalah hikayat al-Hallaj (244 H/859 M – 309 H/913 M), sufi Baghdad yang dihukum mati karena kemabukan spiritualnya, dalam versi Danarto. Bagi seorang Jawa, cerpen ini tentu mengingatkannya pada kisah Syekh Siti Jenar yang menurut cerita folklor juga dihukum mati oleh dewan Wali Sanga karena kemabukan spiritualnya. Rintrik, perempuan suci, saleh, dan keramat, itu dieksekusi mati oleh Sang Pemburu. Sebab, menurut pandangan tokoh yang merupakan simbol penguasa hipokrit ini, Rintrik ialah seorang ateis antisosial yang telah meracuni masyarakat, mengacaukan suasana, dan menyebarkan kata-kata yang berbahaya bagi rohani. Danarto menutup cerpen Rintrik dengan akhir yang konvensional: Rintrik mati di tangan Sang Pemburu, sebagaimana al-Hallaj dan Syekh Siti Jenar mati di tangan eksekutornya. Nasib Rintrik tidak dapat lain kecuali mati.

Dibandingkan dengan kisah syariat versus hakikat lain, yang unik dari Rintrik adalah martir sufinya seorang perempuan. Unik, namun tidak baru. Unik dari segi kemartirannya, tidak baru dari segi kesufiannya. Salah seorang perintis tasawuf, Rabiah al-Adawiyah, adalah sufi perempuan, guru besar tasawuf yang pertama kali mengajarkan doktrin cinta ilahi (mahabbah) (Ali, 2005: 147-148). Entah terinspirasi oleh al-Adawiyah sebagai model atau tidak, Danarto mendongeng bahwa Rintrik juga memendam rasa cinta yang besar terhadap Tuhan. Sedemikian besar rasa cinta itu sampai-sampai menjelang ajalnya Rintrik menyatakan bahwa keinginan terakhirnya adalah suatu syahwat yang besar sekali, yaitu melihat wajah Tuhan.

Gambaran cinta Ilahi yang lain dari yang tergambar dalam Rintrik, terdapat dalam cerpen Sepotong Kayu untuk Tuhan, karangan Kuntowijoyo. Tokoh cerpen ini ialah lelaki tua pecinta Tuhan sederhana dari kalangan awam yang ingin mengamalkan ilmu ikhlas, sebutan lain untuk cinta Ilahi. Sekali saja seumur hidupnya ia ingin memberikan sesuatu untuk Tuhan, semata-mata untuk Tuhan. Kesempatan datang ketika di kampungnya masyarakat sedang bergotong-royong menyumbang ini dan itu untuk membangun surau. Dalam pembangunan surau itu, ia mau menyumbang kayu nangka. Namun, ia tidak ingin sekadar menyumbang kayu nangka, ia ingin menyumbang kayu nangka untuk pembangunan masjid, artinya semata-mata untuk Tuhan, tanpa sepengetahuan orang lain.

Demi tujuan itu, ia berhasrat menebang sendiri pohon nangka tua yang kayunya akan disumbangkan. Tetapi, ketuaannya memustahilkan hal itu sehingga ia meminta tolong kepada seorang penebang pohon berusia muda. Orang yang telah mengetahui rahasia besarnya ini dimintanya untuk merahasiakan rahasia besarnya dari mata masyarakat. Setelah ditebang dan dibalok, bersama pemuda penebang pada suatu magrib ia menghanyutkan sepotong kayu itu di sungai yang alirannya menuju lokasi sekitar masjid. Ternyata sepotong kayu itu tidak mengalir menuju arah yang seharusnya karena pada malam harinya terjadi banjir. Sepotong kayu untuk Tuhan itu hanyut entah ke mana. Mengetahui itu, lelaki tua pecinta Tuhan yang sederhana tersebut membatin, kayu itu telah “sampai kepadaMukah, Tuhan?”

Selain ikhlas, cerpen ini mengandung sekurang-kurangnya dua warta sufistis lain. Pertama, manungsa winenang ngudi, purba wasesa ing hastane Gusti. Manusia hanya bisa berencana, hasil akhir ditentukan Tuhan. Inilah makna tawakal, salah satu maqam yang terdapat dalam teori maqamat al-Sarraj, al-Kalabadzi, al-Qusyairi, dan al-Khair. Kedua, sebuah tindakan kecil boleh jadi bernilai besar dan tidak bisa disepelekan. Besar kecilnya tindakan tidak diukur pada hasilnya, tetapi pada prosesnya, utamanya pada niatnya. Tuhan melihat niat-kerja seorang hamba, tidak melihat hasil-kerja. Seorang sufi selalu memperhatikan bagaimana penglihatan dan penilaian Tuhan terhadapnya.

IV
Sesudah melewati penjelasan yang relatif panjang mengenai sufisme dalam sastra Indonesia, sampailah kita pada sejumlah kesimpulan.

Pertama, sufisme merupakan unsur yang menonjol dan penting dalam sastra Indonesia. Tanpa membicarakan unsur sufisme, tidak mungkin memahami sastra Indonesia secara utuh, lengkap, dan menyeluruh. Ini terutama karena sastra sufi merupakan benang merah yang menyambungkan sastra Indonesia klasik dan sastra Indonesia modern.

Kedua, pengaruh sufisme dalam sastra Indonesia modern kian meluas dan mendalam. Setelah generasi pelopor, yaitu generasi konseptor sastra sufi 1970-an, bermunculan banyak sastrawan muda yang menempuh sufisme sebagai jalan sastra. Konsekuensinya, semakin menumpuklah karya-karya sastra bercorak sufi dalam khasanah sastra Indonesia modern. Sayangnya, belum banyak peneliti sastra yang mengkaji karya-karya tersebut. Karena itu, tampaknya kita memerlukan sekelompok peneliti dan kritikus sastra yang secara khusus mendalami sastra sufi di Indonesia.

Ketiga, diperhatikan secara sederhana dan kasar, berdasarkan isinya ada dua jenis sastra sufi dalam khazanah sastra Indonesia modern, yaitu (1) yang mengungkapkan atau berisi gagasan sufistis dan (2) yang berisi kritik atas sufisme. Atheis Achdiat K Mihardja termasuk jenis kedua, sedangkan Padamu Jua Amir Hamzah, Tuhan, Kita Begitu Dekat Abdul Hadi WM, Rintrik Danarto, dan Sepotong Kayu untuk Tuhan termasuk jenis pertama.

Kepustakaan
Ali, Yunasril. 2005. “Tasawuf” dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam Jilid 4: Pemikiran dan Peradaban (peny. Taufik Abdullah, dkk.). Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve.
Anshory CH, Nasruddin. 2008. Mengintip Singgasana Tuhan. Surakarta: Babul Hikmah.
Chittick, William C. 2002. Tasawuf di Mata Kaum Sufi. Bandung: Penerbit Mizan.
Danarto. 1987. Godlob. Kumpulan Cerita Pendek. Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti.
Hadi WM, Abdul. 1977. Tergantung pada Angin. Kumpulan Sajak 1975-1976. Jakarta: Budaya Jaya.
Hadi WM, Abdul. 2004. Hermeneutika, Estetika, dan Religiusitas. Esai-Esai Sastra Sufistik dan Seni Rupa. Yogyakarta: Mahatari.
Hadi WM, Abdul. 2005. “Sastra Islam di Alam Melayu”, dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam Jilid 4: Pemikiran dan Peradaban (peny. Taufik Abdullah, dkk.). Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve.
Ismail, Asep Usman. 2005. “Tasawuf” dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam Jilid 3: Ajaran (peny. Taufik Abdullah, dkk.). Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve.
Kartanegara, Mulyadhi. 2006. Menyelami Lubuk Tasawuf. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Kuntowijoyo. 1992.  Dilarang Mencintai Bunga-Bunga. Kumpulan Cerpen Kuntowijoyo. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Lings, Martin. 1987. Membedah Tasawuf. Jakarta: Penerbit Pedoman Ilmu Jaya.
Mihardja, Achdiat K. 2011. Atheis. Jakarta: Balai Pustaka.
Pradopo, Rachmat Djoko. 2010. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Wiyatmi. 2012. Kritik Sastra Feminis: Teori dan Aplikasinya dalam Sastra Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Ombak.