26/09/16

Menyikapi Ateisme

I
Mengapa umat beragama, yang percaya kepada Tuhan Yang Penyayang dan Pemaaf, saling benci, saling hina, saling pukul, dan saling bunuh satu sama lain? Jika pertanyaan itu dilontarkan seorang ateis kepada Anda, sebagai orang beragama apakah jawaban yang akan Anda berikan? Semua agama berbicara tentang cinta, kemanusiaan, dan persaudaraan, tapi mengapa (terlalu) sering pecah peperangan atas nama agama?
Tidak pernah mudah menjawab pertanyaan demikian. Penanya, yang ateis itu, juga tidak mudah diyakinkan bahwa agama normatif berbeda dengan agama historis; bahwa ajaran agama adalah satu hal, sedangkan pengamalan ajaran tersebut adalah hal yang lain. Pertanyaan demikian, yang hanya merupakan apologi bagi sikap ateisme mutlak, sesungguhnya juga tidak memerlukan jawaban. Jawaban hanya akan dipahami sebagai serangan balik yang membuat penanya mengambil strategi defensif. Ketika benteng beton rasionalisasi ditegakkan tinggi-tinggi, rasio alternatif tidak akan dapat meruntuhkannya. Maka, yang terjadi hanyalah monolog, bukan dialog.
Alih-alih dijawab, pertanyaan demikian harus disikapi dengan empati. Kita perlu masuk ke dalam dunia sang ateis. Kita perlu menjawab pertanyaan lain demi membuka pintu dialog: mengapa orang menjadi ateis, padahal agama merupakan fitrah manusia?
Tanpa agama, kehidupan menjadi tampak absurd. Kita sulit menemukan makna di balik himpunan misteri kehidupan. Mengapa seorang ibu yang baik harus menyaksikan kematian balitanya dengan matanya sendiri? Mengapa seorang gadis kecil yang tak berdosa harus kehilangan kedua orang tuanya, bahkan seluruh anggota keluarganya, karena bencana alam? Mengapa koruptor selamat dari kecelakaan beruntun, sedangkan seorang petani saleh mati tertindih mobil dalam kecelakaan tersebut?
Agama menyediakan jawaban bagi pertanyaan-pertanyaan eksistensial itu. Bukan sekadar jawaban teoretis, tetapi juga jawaban praksis dan terapis. Misteri kehidupan adalah pendakian terjal yang harus dilampahi demi mencapai puncak kebahagiaan. Bukan surga, tetapi kehidupan dunia adalah rangkaian ujian. Maka, betapa pun kehidupan terasa tidak adil, kita harus tetap berjalan tegak sebagai manusia yang waras. Kehidupan dunia ini, yang menjadi panggung bagi drama kolosal umat manusia, bukanlah tempat bagi keadilan mutlak. Seadil-adilnya, paling jauh manusia hanya mampu merealisasikan keadilan relatif, karena paling jauh dia pun hanya mampu menjangkau kebenaran relatif. Manusia lain, bahkan diriku sendiri, akan senantiasa merupakan misteri bagiku.
Terbentur oleh adanya misteri tersebut, yang merupakan bagian dari universum misteri kehidupan secara umum, manusia secara kodrati berpaling kepada Ilahi, Yang Maha Tahu, sekaligus Maha Misterius. Misteri kembali kepada Misteri. Akal dan bahasa ditanggalkan. Kita pun bergabung kembali dalam fitrah simfoni kesunyian. Dengan cara yang aneh, hidup menjadi sepenuhnya bermakna. Makna tersingkap justru dengan tidak menjawab persoalan absurditas kehidupan. Tak ada yang lebih arif, tulis penyair Sapardi, dari hujan bulan Juni/dibiarkannya yang tak terucapkan/diserap akar pohon bunga itu. Karena pertanyaan ‘mengapa ada hujan pada bulan Juni?’ dibiarkan tak terjawab, maka jawaban hakiki pun tersingkap tanpa terucapkan.
Peran agama, dalam menjawab absurditas kehidupan, tidak tergantikan oleh sains. Sains, yang bersendikan akal itu, di satu sisi bertolak dari hal-hal yang empiris, sementara di sisi lain menampik eksistensi alam non-empirik. Tidak tersedia ruang bagi yang Adikodrati dalam sains. Tidak pula ada ruang bagi misteri. Sains mau menjawab misteri kehidupan dengan akal setuntas-tuntasnya. Tapi apa yang dicapai akal? Kebuntuhan di hadapan misteri kehidupan. Hingga sekarang, filsafat Barat masih saja gagal memberi penjelasan rasional yang memuaskan atas problem of evil. Sains belum menemukan teknologi untuk menunda, apalagi meniadakan, kematian. Saintis masih bungkam di depan maut.
Jika seorang saintis bersedia jujur akan batas-batas pengetahuannya, penyelidikan dan eksperimentasi ilmiahnya pastilah mempertemukan dia dengan Tuhan. Dia akan menemukan titik, dalam rentang panjang perjalanan ilmiahnya, ketika dia menyadari bahwa jangkauan akal rupanya terbatas dan bahwa kemampuan ekspresif bahasa ternyata juga terbatas. Itulah momen ketika dia tertegun diam dalam keterposanaan akan misteri kehidupan. Itulah saatnya ketika dia melantunkan tasbih dalam simfoni kesunyian. Itulah waktunya ketika sains menjelma puisi. Berhadapan dengan kemahaan Ilahi, manusia tidak ada harganya, bahkan lebur dan sirna. Eksistensi manusia terserap total ke dalam Misteri.

II
Begitulah, bukan hanya kehidupan orang awam, tetapi kehidupan saintis pun, dengan sendirinya terarah kepada Tuhan, kepada agama. Tapi mengapa orang menjadi ateis? Tampaknya, ateisme lebih dari sekadar masalah epistemologis. Ateisme pertama-tama adalah masalah moral. Untuk memahami hal ini, marilah kita kembali mengenang sejarah Eropa Abad Pertengahan, di mana terlihat bahwa lahirnya epistemologi sains, yang menjadi tumpuan rasional kaum ateis modern, rupanya bermula dari krisis moralitas.
 Peradaban Eropa Abad Pertengahan dibangun di atas pondasi tradisi skolastik, demikian penilaian Seyyed Hossein Nasr.  Pada era itu, Eropa belum mengenal fragmentasi kehidupan. Pandangan dunia masih integral: agama dan negara adalah satu kesatuan yang bulat, doa dan kerja (ora et labora) pun merupakan kesatuan yang tak terpisahkan. Seluruh dimensi kehidupan dirembesi anasir Ilahiah. Juga ada kekuatan Ilahiah dalam diri penguasa. Dan penguasa mendapatkan legitimasi kekuasaannya dari gereja.
Di sinilah letak masalahnya. Kekuasaan adalah godaan, tidak saja bagi penguasa, tetapi juga bagi kalangan gereja. Tentu saja ada kaum gerejawi yang lurus, tetapi pendeta yang sengaja menyimpangi idealisme keagamaan demi mewujudkan ambisi duniawi, keberadaannya bukan lagi rahasia. Maka, agama dipolitisasi. Agama jadi alat untuk menumpuk kuasa dan harta.
Agama, yang pada mulanya hadir untuk membereskan masalah moral (yang berdimensi struktural), justru menciptakan masalah moral yang, ironisnya, sama dengan masalah moral yang dulu hendak dibereskannya. Agama datang untuk memberikan kabar gembira bahwa cinta dan keadilan itu pasti ada. Tapi agama kemudian digunakan oleh kaum agamawan munafik untuk menumpas harapan umat tentang adanya cinta dan keadilan. Agama normatif jadi amat berjarak dari agama historis. Agama pada akhirnya bercerai dari kemanusiaan. Dalam ungkapan yang lebih kritis, agama adalah biang dan alat penindasan.
Akibatnya, sikap skeptis terhadap agama pun bermunculan. Berbagai pertanyaan teologis radikal tampil di panggung sejarah: masih perlukah agama? Adakah alternatif lain bagi agama? Mungkinkah, atau tidakkah lebih baik, manusia mengatur kehidupannya tanpa berdasarkan agama? Inilah masa ketika peradaban Eropa Abad Pertengahan mulai tumbang, dan peradaban yang baru mulai dibangun. Inilah zaman ketika Copernicus, Galileo, Descartes, Voltaire dan lain-lain menyuarkan gagasan kritisnya, suatu zaman yang menyaksikan kelahiran manusia modern, manusia berkarakter fragmentatif yang menempatkan diri sebagai pusat semesta; suatu zaman yang juga menyaksikan kelahiran epistemologi sains.
Terhadap persoalan kemanusiaan yang ditimbulkan oleh relasi politik dan agama, manusia modern memberikan jawaban pragmatis. Kalau pun agama masih diperlukan, agama harus dipisahkan dari negara. Hukum agama biarlah mengatur ranah privat saja. Ranah publik adalah bagian hukum positif. Itulah jalan untuk memastikan tegaknya keadilan dan hadirnya kemanusiaan. Di sisi lain, manusia modern pun mencari alternatif selain agama untuk menemukan makna kehidupan sekaligus menguasai hukum kehidupan dan mengatur kehidupannya sendiri. Dan alternatif itu adalah sains.
Dan ternyata, sains memang memberikan harapan baru bagi manusia modern. Dengan sains, manusia modern memahami hukum alam yang pada gilirannya dimanfaatkan untuk menguasai alam demi progresivitas sejarah umat manusia. Sains juga memberikan pendar-pendar cahaya petunjuk dalam rangka menemukan makna kehidupan. Misteri kehidupan, yang dulu hanya dijawab oleh mitos secara semu, lalu juga oleh agama, kini sedikit demi sedikit disingkap oleh sains. Perhatian manusia modern pun bergeser dari yang metafisik menuju yang fisik, yang positif; dari yang gaib menuju yang empirik; dari agama menuju sains; dari Tuhan menuju manusia.
Jika pada Abad Pertengahan agama menjadi induk bagi ilmu, maka pada abad modern sains otonom dari dan sejajar dengan agama, bahkan bersaing dan bertentangan dengan agama. Jika pada Abad Pertengahan akal dan intuisi dipandang sebagai kesatuan instrumen epistemik, pada abad modern akal, yang menjadi tulang punggung sains, berpisah dari iman kaum agamawan. Secara teoretis, tidak ada tempat bagi iman dalam sains. Iman adalah percaya, sedangkan sains bekerja dengan keraguan dan kritik. Sains, demi hukum kausalitas, meragukan kerja dan eksistensi Tuhan. Sains, demi rasionalitas ilmiah, mengkritik kitab suci. Maka, sains menjadi senjata intelektual yang cocok bagi dan diperlukan oleh kaum ateis modern, yang memahami agama sebagai sesuatu yang mubazir, tidak berguna, bahkan berbahaya khususnya bagi kemanusiaan.

III
Mengapa orang menjadi ateis? Sampai di sini, pertanyaan ini belum terjawab dengan gamblang. Tapi dari perjalanan sejarah Eropa, sejak Abad Pertengahan hingga Abad Modern, kita telah memperoleh jawaban yang samar-samar. Penyebab ateisme jangan dicari di luar agama, walaupun faktor di luar agama sudah barang tentu ada. Kaum agamawan perlu bermawas diri. Modernitas ternyata anak yang keluar dari rahim agama. Sains, tepatnya epistemologi sains, dalam beberapa hal adalah kritik terhadap agama, tepatnya perilaku beragama. Demikian pula sekularisme. Ketiga fenomena modern ini merupakan bagian dari, dan mengklimaks pada, ateisme. Jadi, ateisme adalah kejengahan dan frustrasi manusia modern atas penyimpangan dalam beragama demi mewujudkan ambisi duniawi. Ringkas kata, ateisme adalah respons kritis dan resistens terhadap kemunafikan kaum beragama.
Karena itu, ateisme tak sepenuhnya negatif, juga tak sepenuhnya anti-agama. Ateisme justru beranjak dari dan ditenagai oleh salah satu nilai keagamaan yang paling inti: kejujuran. Ketika kejujuran perlahan-lahan meninggalkan agama, kaum ateis mengambilnya, lalu memegang dan menggenggamnya dengan kukuh. Dan karena kejujuran adalah nama lain dari ketulusan, kaum ateis juga menyelematkan ketulusan yang perlahan-lahan dilupakan dan diabaikan kaum beragama. Satu lagi, kaum ateis juga menampung nilai kemanusiaan yang disia-siakan oleh kaum beragama, padahal nilai kemanusiaan itu adalah hadiah terbesar Ilahi kepada mereka. Ini artinya, betapa jauh jarak kita, kaum beragama ini, dari Tuhan; betapa dekat jarak kaum ateis, yang kita pandang anti-agama dan anti-Tuhan itu, dengan Tuhan. Mereka menjunjung tinggi kejujuran, ketulusan, dan kemanusiaan. Sementara kita?
Kita terlalu sibuk mengurusi dan membela Tuhan, padahal Tuhan itu Maha Suci dari manusia yang kotor dan najis. Tuhan, sebagaimana dijelaskan-Nya sendiri dalam kitab suci, sudah cukup dengan diri-Nya sendiri. Tuhan hadir bagi kita, bukan sebaliknya. Alangkah congkaknya manusia yang mengaku telah mempersembahkan ini dan memberikan itu kepada Tuhan. Alangkah pongahnya manusia yang tak menyadari betapa jauh jarak antara dirinya dengan Tuhan. Bila kita tak berjarak dari-Nya, kita tak mungkin menyanyikan lagu rindu dan menggemakan tembang cinta.
Dan golongan manusia yang paling merasa jauh dari Tuhan adalah kaum ateis. Jangan-jangan, mereka diam-diam mendambakan Tuhan. Bukankah ekspresi cinta tak selamanya, juga tak selalu, lurus? Bukankah ada cinta yang diekspresikan secara melengkung melalui ragam tindakan yang tampak sebagai kebencian? Betapa pun juga, agama adalah fitrah manusia. Jauh dalam kegelapan hati manusia, menyala api rindu kepada Tuhan, hasrat kudus untuk berjumpa dan kembali manunggal dengan-Nya.
Sebab itu, kita tak perlu menghakimi dan menyalahkan para ateis. Kita hanya perlu membuka pintu dialog dengan mereka. Dalam hal ini, kaum beragama punya dua tugas berat. Tugas pertama mengarah ke dalam: kaum beragama mesti bermawas diri. Manusia tidak menggenggam kebenaran mutlak, universal, dan final. Tugas kedua mengarah ke luar: kaum beragama mesti belajar memahami dan belajar mengemong kaum ateis. Kita dan mereka pada dasarnya punya bahasa yang sama: kejujuran, ketulusan, dan kemanusiaan. Itulah modal kita untuk saling mengenal. Bahwa setelah bertegur sapa dan berbalas salam, mereka tetap saja teguh pada keateisannya, hal itu bukan lagi wilayah kerja kita sebagai manusia. Manungsa winenang ngudi, purba wasesa ing astane Gusti. Kepada Baginda Muhammad, Tuhan berfirman: Kau tidak akan pernah dapat memberikan petunjuk kepada orang yang kau cintai; Tuhan-lah yang memberikan petunjuk kepada orang yang Beliau kehendaki.


Bumi Mataram, Dulkangidah 1437 H

Membaca Jawa (1)

Kesultanan Yogyakarta, yang umurnya sudah lebih dari dua setengah abad, punya sesanti: hamemayu hayuning bawana. Sesanti ini sebetulnya bukan hanya visi yang dicanangkan sebuah kesultanan. Hamemayu juga visi kehidupan yang dihayati orang Jawa. Dengan kata lain, dalam kehidupan duniawi orang Jawa secara individual bertugas untuk hamemayu hayuning bawana. Apa makna ungkapan ini?
Jika diterjemahkan dengan sederhana, arti dari hamemayu hayuning bawana adalah menjaga keindahan semesta yang pada fitrahnya memang sudah indah. Manusia tidak dibebani amanah untuk memperbaiki dunia. Tanggung jawabnya adalah menjaga keindahan dunia dari aksi-aksi pengrusakan.
Jadi, dalam sesanti ini, samar-samar kita mendengar gema kitab suci: syukurilah kehidupan, jangan membuat kerusakan di muka bumi. Maknanya, jagalah harmoni semesta. Faktor moral penyebab kerusakan adalah rasa lebih dari yang lain dan sikap benar sendiri. Maka, untuk menjaga harmoni semesta manusia harus menghindari perilaku dumeh, ialah sikap sok, dan sifat adigang, adigung, adiguna.
Selain menggemakan seruan kitab suci, sesanti hamemayu juga mengisyaratkan pandangan kosmologis manusia Jawa. Pandangan kosmologis pertama menyebutkan, semesta pada fitrahnya selaras, harmonis, dan indah. Manusialah yang menghancurkan keselarasan tersebut. Alam batin pada fitrahnya damai, sebagaimana kita rasakan pada bayi yang baru lahir. Alam sosial pun pada fitrahnya selaras, asalkan manusia tidak mengubah fitrah keselarasan tersebut dengan campur tangan keakuannya.
Maka, dalam tindak-tanduk keseharian, sedapat mungkin kita harus menghindari konflik terbuka demi menjaga kedamaian. Caranya, kita bertindak tepat sesuai dengan konteks. Inilah lelaku adil dari sisi personal yang sehari-hari dilampahi manusia Jawa. Kita harus mengikuti tata krama. Berbicara dengan bahasa yang halus dan santun kepada yang lebih tua. Bersikap ngemong kepada yang lebih muda. Singkatnya, kita mesti rela meletakkan keakuan di bawah cita-cita kedamaian bersama. Jadi prinsipnya, jangan sampai manusia mengacaukan keselerasan semesta.
Tapi, apa makna semesta, bawana, dalam sesanti tersebut? Ternyata, makna bawana tidak hanya berkenaan dengan skala luas sebagaimana pernah diperdebatkan beberapa waktu lalu oleh kalangan keraton. Bawana adalah tentang multidimensi semesta. Pandangan kosmologis Jawa selanjutnya menyebutkan, semesta tersusun dari tiga dimensi hirarkis yang saling berkaitan. Hal ini tercermin dalam pewayangan. Dimensi teratas dari semesta adalah alam mayapada. Dimensi terbawahnya adalah alam arcapada. Adapun dimensi perantaranya adalah alam madyapada.
Pada arsitektur Candi Borobudur, alam mayapada paralel dengan dimensi arupadatu, alam madyapada paralel dengan dimensi rupadatu, dan alam arcapada paralel dengan dimensi kamadatu. Arsitektur Borobudur mengisyaratkan bahwa puncak dari perjalanan spiritual semesta yang mendaki adalah stupa kosong: suwung. Inilah awang-uwung yang tanpa ruang dan tanpa waktu. Utara adalah selatan. Selatan adalah utara. Jika naik ke atas, maka kita jatuh ke bawah. Jika turun ke bawah, maka kita terbang ke atas. Kita dapat menemukan keterangan tentang alam awang-uwung ini misalnya dalam naskah Suluk Wujil, yang konon dianggit oleh Sunan Bonang.
Jadi, bagi manusia Jawa, alam tidak sebatas yang fisik dan empiris. Di atas dan di bawah alam empiris masih terdapat dimensi alam lain. Di atas alam madyapada yang dihuni oleh manusia, terdapat alam mayapada yang disemayami dewa-dewi, para makhluk yang tersucikan. Di bawah alam mayapada, terdapat alam arcapada, tempat tinggal kaum raksasa dan makhluk halus lain. Setiap dimensi alam ini merupakan manifestasi ke-hayu-an, keindahan. Pada fitrahnya, setiap alam pun terhubung secara hayu: selaras dan harmonis.
Kalau manusia berlaku tidak adil, tatanan alam jadi kacau. Keselamatan manusia jadi terancam. Kekacauan semesta, yang berpangkal pada kegagalan manusia untuk berlaku adil, ditandai oleh datangnya bencana alam. Lagi-lagi kita dapat menyaksikan hal ini dalam pewayangan. Perang dan bencana alam seperti pasangan gelap yang datang bersamaan mengusik ketenteraman semesta.
Agar tatanan alam tidak jadi kacau, manusia bertanggung jawab menjaga harmoni semesta. Untuk tujuan inilah diselenggarakan siklus upacara slametan. Slametan menandakan tepa selira manusia Jawa terhadap multidimensi semesta. Dia bukan saja ber-tepa selira dengan manusia lain, tetapi juga dengan dewa-dewi, raksasa, dhemit, binatang, tumbuhan, bahkan dengan benda (yang dikira) mati. Jangan lupa, manusia terutama harus ber-tepa selira dengan Tuhan, yang adalah poros, inti, sekaligus puncak semesta.
Jadi, sesanti hamemayu tidak sebatas mengungkapkan kemanusiaan orang Jawa, tetapi juga secara simbolis menyatakan ke-tepa-selira-an orang Jawa yang melingkupi sekaligus melampui kemanusiaan. Manusia Jawa menghargai kehadiran liyan: manusia lain, dewa-dewi, raksasa, dhemit, binatang, tumbuhan, benda mati, akhirnya Tuhan. Bukti dari penghargaan ini antara lain kita saksikan pada upacara jamasan pusaka yang khususnya digelar pada bulan Sura. Keris, benda (yang tampak) mati yang diberi nama itu, dimandikan, seperti memandikan anak sendiri. Bukti lain, upacara lelabuhan baik di gunung maupun di pantai. Sebagai ucapan terima kasih, manusia menghargai eksistensi gunung dan pantai yang telah mendukung kehayuan hidup masyarakat manusia.
Kosmologi Jawa juga terserap ke dalam logika kekuasaan. Pada era pra-Islam, pemimpin tanah Jawa bergelar ratu tribuwana, pemimpin tiga alam, ialah alam mayapada, alam madyapada, dan alam arcapada. Jadi, raja tanah Jawa tidak hanya memimpin masyarakat manusia. Raja juga memimpin jenis masyarakat lain yang secara hirarkis eksistensinya berada di atas manusia dan di bawah manusia. Raja adalah raja bagi manusia, bagi para makhluk suci, bagi jin dan raksasa, bagi binatang, tumbuhan, benda mati, gunung, pantai, hutan, dan lain-lain. Raja sungguh-sungguh berperan sebagai bayangan Ilahi di muka bumi.
Ketika kerajaan pra-Islam runtuh, untuk kemudian digantikan posisinya oleh kesultanan Islam, kita memang tak lagi mendengar konsep tribuwana secara formal. Akan tetapi, praktik kepemimpinan tribuwana bukan sama sekali nihil. Konsep tribuwana ditransformasikan jadi konsep kalipatulah. Pemimpin, baik sebagai ratu tribuwana maupun sebagai kalipatulah, sama berperan sebagai bayangan Ilahi di bumi. Kepemimpinan sultan atas masyarakat yang menghuni alam arcapada disimbolkan dengan perkawinan mistik antara Panembahan Senopati dan Nyai Rara Kidul. Penjaga gaib Gunung Merapi pun diposisikan sebagai abdi dalem sultan.
Jadi, zaman boleh berganti, dari Hindu-Budha menjadi Islam, tapi orang Jawa tetap ber-tepa selira dengan makhluk yang menguni tiga dimensi alam. Zaman boleh bergerak, tapi orang Jawa tetap berpegang pada pandangan kosmologisnya. Visi, sekaligus misi, kehidupannya di dunia tetaplah hamemayu hayuning bawana.
Tapi, ketika tanah Jawa dilanda banjir bandang modernitas, bagaimana pandangan kosmologis itu dipertahankan? Sekarang, masih adakah hamemayu hayuning bawana itu? Inilah persoalannya.

Bumi Mataram, Dulkangidah 1437 H

28/07/16

Kaum Apa Pendapatmu

Syaikh al-Zarnuji bertutur. Dulu, jauh sebelum dia hidup, para pencari ilmu memperoleh sebutan istimewa: ma taqul, apa pendapatmu. Mengapa pelajar zaman itu dijuluki kaum apa pendapatmu? Latar belakangnya sederhana, tapi menggetarkan, apalagi untuk kita yang hidup pada zaman pasar ini.
Pada zaman itu, ke mana-mana para pencari ilmu bertanya: apa pendapatmu? Apa pendapatmu tentang hal ini? Apa pendapatmu tentang hal itu? Mereka terbiasa bertanya. Juga terbiasa mencari jawaban. Tidak merasa puas dengan jawaban sendiri, dari orang lain mereka mencari jawaban. Jawaban pembanding, jawaban penguat, jawaban penyanggah, jawaban pembatal.
Mereka tidak merasa cukup dengan diri sendiri. Sepintar apa pun, masih merasa butuh orang lain. Dengan kata lain, mereka tidak merasa benar sendiri. Tidak merasa pintar sendiri. Tidak pula merasa tinggi sendiri.
Di kalangan pencari ilmu, tersebar luas wawasan yang mawas diri: jangan-jangan aku salah dan jangan-jangan orang lain benar. Aku mungkin benar, tapi orang lain belum tentu salah. Barangkali aku benar, tapi barangkali pula orang lain benar. Apa yang kuanggap kebenaran semakin mendekati kebenaran kalau semakin banyak orang berilmu yang membenarkannya.
Pandangan kaum-apa-pendapatmu itu menunjukkan, mereka bersedia dan siap disalahkan. Juga siap melepas pendapat yang disangka benar tetapi ternyata salah. Mereka terbuka terhadap kritik. Malah mencari dan mengejar kritik. Jadi, ada keberanian untuk ditertawakan.
Juga ada kehendak kuat untuk menemukan kebenaran, dari mana pun datangnya. Jika kebenaran itu tidak datang dari dalam diriku sendiri, tetapi dari orang lain yang lebih rendah dariku, aku tetap harus menerimanya. Apa boleh buat. Saya teringat Abu Hanifah yang belajar dari seorang anak kecil. Padahal, dia ulama besar. Ulama besar lain, Ahmad bin Hanbal, belajar dari orang awam.
Ceritanya begini. Ketika tinggal di Baghdad, Ahmad bin Hanbal tiba-tiba merasa ingin pergi ke Basrah. Seperti ada yang menyuruh. Dia pun berjalan mengikuti suara hati. Karena letih, ketika sampai di kota tujuan dia beristirahat di sebuah masjid. Duduk-duduk dan tidur-tiduran di serambi.
Tak disangka, takmir mengusirnya. Takmir itu tak tahu bahwa dia sebenarnya adalah Ahmad bin Hanbal. Zaman itu belum ada media massa. Terhadap ulama besar, umat hanya kenal nama, tidak kenal wajah.
Tanpa menunjukkan jati diri, setelah diusir takmir, Ahmad bin Hambal rela keluar masjid. Tapi di depan masjid, dia termangu-mangu sendirian. Malam itu, di mana dia bisa beristirahat?
Seorang jamaah yang baru keluar dari masjid mendekati Ahmad bin Hambal. Menepuk pundaknya. Lalu berkata, “Ada apa Saudaraku? Tampaknya sedang ada masalah. Adakah yang bisa kubantu?”
“Aku memang sedang bingung, Saudaraku,” jawab Ahmad bin Hanbal. “Aku baru sampai dari Baghdad. Letih rasanya. Aku lalu istirahat di serambi masjid. Tapi takmir mengusirku. Lantas, di mana aku bisa melepas lelah malam ini?”
“Engkau bisa menginap di rumahku.”
Ahmad bin Hanbal menerima tawaran tersebut. Sejak malam itu dia menginap di rumah jamaah yang murah hati itu. Selama tinggal di sana, Ahmad bin Hanbal mengamati tingkah laku tuan rumah. Dia memandang saudara barunya yang orang awam ini sebagai guru kehidupan. Dari kehidupan tuan rumah, Ahmad bin Hanbal ingin ambil pelajaran.
Ilmu apa yang diperolehnya? Sang ulama kagum. Tuan rumahnya berbeda dari orang kebanyakan. Salehnya plus. Kebanyakan muslim memulai pekerjaan dengan basmalah. Tapi, saudara barunya memulai pekerjaan dengan basmalah + istighfar.
“Apa semua doamu terkabul?” tanya Ahmad bin Hanbal kepada tuan rumah.
“Benar. Semua doaku terkabul. Tapi ada satu doa yang belum dikabulkan.”
“Apa itu?”
“Sudah lama aku berdoa. Aku ingin sekali berguru kepada Ahmad bin Hanbal. Sampai sekarang, keinginanku belum terwujud.”
Ahmad bin Hanbal tertunduk. Diam cukup lama. Pipinya basah oleh air mata.
“Saudaraku, Engkau menangis?”
“Allah mengabulkan doamu,” ujar Ahmad bin Hanbal. “Akulah Ahmad bin Hanbal.”
Ahmad bin Hanbal dan Abu Hanifah adalah contoh pencari ilmu yang tidak merasa benar sendiri, pintar sendiri, tinggi sendiri. Mereka termasuk kaum apa pendapatmu. Di atas orang pintar masih ada yang lebih pintar. Di atas orang pintar masih ada Yang Maha Pintar. Di atas gunung, ada gunung.
Pada kenyataanya yang terdalam, sepanjang apa pun deretan gelar kecendekiaan yang disandang, manusia bukan pemilik ilmu. Dia hanya tempat kebodohan. Dia selamanya bodoh. Selamanya salah. Selamanya rendah.
Perasaan bodoh, bersalah, dan rendah itulah barangkali rahasia di balik keberkahan dan kebermanfaatan ilmu Imam Ahmad bin Hanbal dan Imam Abu Hanifah—cinta Allah semoga senantiasa tercurah kepada kedua guru besar itu.
Mereka tak segan bertanya. Tak malu berkata: “saya tidak tahu”. Tak merasa jatuh kehormatannya bila berguru kepada orang awam. Mereka belajar kepada siapa pun, kapan pun, dan di mana pun. Dalam proses pencarian ilmu, mereka menemukan Allah. Mereka menempuh jalan ilmu untuk berjumpa dengan Allah.

itulah ilmu, berperang tanpa henti
dengan murid yang merasa tinggi
seperti air mengalir, berperang tanpa akhir
dengan tempat yang tinggi
            (Al-Ghazali)

13/07/16

Leluhur Nusantara Mencari Hikmah

PERKARA cari hikmah, leluhur kita ahlinya. Kalau tidak percaya, perhatikan saja khazanah peribahasa nusantara, gudang hikmah yang, sayang sekali, jarang dijamah sedikit dilirik.
Di mana leluhur kita mencari hikmah? Jawabannya kita temukan dalam peribahasa Minangkabau yang terkenal: alam takambang jadi guru, satitiak jadikan lawik, sakapa jadikan gunung. Alam terkembang jadi guru. Setitik air jadikan laut. Sekepal tanah jadikan gunung.
Leluhur kita mencari hikmah di alam semesta. Alam semesta adalah buku yang terkembang, kitab yang terbuka. Alam semesta adalah papan tulis mahaluas. Leluhur kita membaca ayat-ayat Ilahi yang tertulis di alam semesta, al-quran al-takwiny. Mereka membaca realitas untuk mencari hikmah, membaca kasunyatan untuk menemukan makna. Berlatar belakang agama apa pun, ternyata leluhur kita mengamalkan perintah pertama yang diterima umat Islam dari langit: bacalah.

Pendekatan “ilmiah”
Pendekatan pembacaan yang mereka gunakan adalah, setitik jadikan laut, sekepal jadikan gunung. Mereka tidak menyepelekan gejala-gejala kecil di sekitar mereka. Ada kesadaran, jangan-jangan hal kecil yang tampak tak berarti, menyembunyikan hikmah agung. Jangan-jangan setitik air melambangkan lautan, sekepal tanah menyimbolkan gunung. Karena itu, dalam rangka menemukan hikmah agung itu, leluhur kita menjadikan setitik air sebagai lautan, sekepal tanah sebagai gunung.
Apa maksudnya? Pertama, mereka meletakkan hal kecil dalam konteks struktural makro. Setitik air adalah bagian dari lautan. Sekepal tanah adalah bagian dari gunung. Kedua, pandangan mereka menembus apa yang kasat mata, yang lahiriah, yang fenomenal. Di balik bentuk (shurah), ada makna (ma’na). Di balik fenomena, ada noumena. Di balik penanda (signifiant), ada petanda (signifie). Di balik setitik air, ada lautan. Di balik sekepal tanah, ada gunung. Ternyata, dalam membaca kasunyatan, leluhur kita menggunakan semacam kombinasi pendekatan semiotik-struktural dan fenomenologi.
Hasilnya, ditemukanlah segudang teori, ilmu, makna, hikmah yang diungkapkan dengan bahasa yang tidak formal dan kaku. Alat ungkapnya adalah sastra: peribahasa. Dan sastra sama sekali bukan hal besar. Ia hanyalah hal kecil yang sehari-hari.
Jadi, leluhur kita memandang besar hal kecil untuk menemukan hal besar yang diungkapkan sebagai hal kecil. Proses ilmiahnya melingkar, dari hal kecil kembali ke hal kecil, dari yang sehari-hari kembali ke yang sehari-hari, dari yang konkret menuju yang abstrak untuk kembali pada yang konkret, dari bumi naik ke langit untuk turun kembali ke bumi.
Dengan proses ilmiah melingkar itu, ilmu yang mereka peroleh jadi bermanfaat. Sedemikian bermanfaatnya hingga secara sinambung diwariskan dari generasi ke generasi. Memang, ciri ilmu yang bermanfaat adalah ketahanannya dalam ujian sejarah. Ilmu yang bermanfaat tak aus dimakan waktu. Tak lekang oleh panas. Tak lapuk oleh hujan.
Ilmu yang bermanfaat tidak hanya tertulis pada kertas, tetapi juga bersemayam dalam dada, mengalir dalam darah, merasuk dalam tulang, menyatu dengan daging. Walaupun naskah yang merekam peribahasa hancur, hilang, terbakar, kandungan hikmah peribahasa tersebut tetap hidup sebagai adat dalam masyarakat tradisional yang menghayatinya.
Dengan demikian, terbayang proses ilmiah melingkar pencarian hikmah oleh leluhur kita pada lapis yang lebih dalam: dari realitas kembali ke realitas, dari kasunyatan kembali ke kasunyatan. Kasunyatan kedua ini kemudian dibaca lagi untuk dicari hikmahnya yang pada akhirnya bakal mengejawantah sebagai kasunyatan selanjutnya. Maka, pada dasarnya, objek baca atau bahan renungan leluhur kita dalam usahanya mencari hikmah adalah kasunyatan. Bukan kasunyatan yang jauh di sana, tetapi yang dekat di sini. Realitas di sekitar kita.

Leluhur Minangkabau
Dan jumlah gejala yang dekat dengan kita, sangat banyak. Barangkali tak terhitung. Salah satunya, pohon. Ketika melihat pohon di tengah kota, bertanyalah leluhur kita dari Minangkabau: pohon di tengah kota, apa maknanya? Setelah bergumul dengan pertanyaan tersebut, dari pohon mereka memetik hikmah ini: nan bak umpamo kayu gadang di tangah koto, urek nan buliah tampek baselo, batang gadang tampek basanda, dahan kuat buliah bagantung, daun rimbun buliah balindung, buah labek dapek dimakan.
Pohon di tengah kota adalah penanda. Petandanya, pemimpin yang ideal. Pohon melambangkan pemimpin. Seharusnya pemimpin itu seperti pohon. Seluruh bagian pohon berguna bagi makhluk lain. Akarnya untuk duduk. Batangnya untuk bersandar. Dahannya untuk bergantung. Daunnya untuk berlindung dari panas dan hujan. Buahnya untuk dimakan.
Artinya, pemimpin adalah pelayan bagi rakyatnya. Dia memberikan sebesar-besarnya manfaat bagi rakyat. Sebaliknya, rakyat mengambil sebesar-besarnya manfaat dari pemimpin. Pemimpin menjadi pemangku rakyat. Kepadanya, rakyat bersandar, bergantung, dan berlindung. Kebijakan dan kebijaksanaannya adalah buah yang dapat dimakan rakyat, yang lezat bagi rakyat dan mengenyangkan mereka.
Pemimpin harus memperhatikan rakyatnya. Sewenang-sewenang terhadap rakyat adalah pantangan. Dia memandang rakyat dengan mata kasih sayang. Sebab, dia adalah pam(om)ong rakyat.
Di Jawa zaman Mataram Islam, sebagaimana di Minangkabau, fungsi pemimpin sebagai pamomong rakyat juga dilambangkan dengan pohon, khususnya pohon beringin. Akar pohon beringin untuk duduk. Batangnya yang besar untuk bersandar. Dahannya yang kuat untuk bergantung. Daunnya yang rimbun untuk berlindung dari hujan dan panas.
Di zaman Majapahit, tampaknya fungsi pemimpin sebagai pamomong rakyat dilambangkan dengan pohon kamal, asam Jawa, yang buahnya tentu dapat dimakan. Kalau kita menyaksikan wayang kulit, pada gunungan atau kayon terdapat gambar stilistik pohon kehidupan. Rupanya, sejauh menyangkut simbol pohon, budaya Minangkabau dan Jawa berbagi makna yang pada pokoknya sama. Pohon melambangkan pemimpin ideal.

Leluhur Bugis
Kalau leluhur kita dari Minangkabau dan Jawa menemukan hikmah setelah membaca pohon, leluhur kita dari Bugis menemukan hikmah setelah membaca olahan pohon: kayu. Aju maruluemi riala palewa bala. Terjemahnya, hanya kayu yang lurus yang dijadikan ramuan rumah.
Material utama rumah tradisional Bugis adalah kayu. Itu artinya, rumah adalah himpunan kayu yang disusun sedemikian rupa sehingga dapat difungsikan sebagai tempat bernaung, juga tempat berlindung dari panas dan hujan. Begitulah pemimpin dalam cakrawala harapan orang Bugis. Pemimpin adalah tempat bernaung dan berlindung rakyat. Pemimpin adalah pamomong rakyat.
Untuk membangun rumah, kita perlu menyeleksi kayu. Tidak semua kayu yang ada digunakan. Hanya kayu yang memenuhi kriteria saja yang dipakai untuk membangun rumah. Kriterianya, kelurusan kayu. Jika lurus, diambil. Jika tak lurus, tak dipakai.
Untuk mengangkat pemimpin, diperlukan seleksi. Tidak sembarang orang diangkat. Hanya calon yang memenuhi kriteria saja yang diangkat sebagai pemimpin. Kriterianya, kelurusan. Kejujuran. Kebersihan hati. Keselarasan kepribadian. Hati, otak, lidah, dan seluruh anggota tubuhnya bergerak selaras. Perasaan, pikiran, perkataan, dan perbuatannya tidak saling bertentangan. Iman, ilmu, dan amal berjalan beriringan. Rasa, cipta, dan karsanya seirama. Calon pemimpin haruslah orang yang berbudaya, berkepribadian luhur, arif.
Jadi, jika direnungkan lebih dalam, kriteria dasar untuk memilih pemimpin adalah religiositas. Betapa beruntungnya masyarakat yang memiliki pemimpin dengan religiositas mendalam. Sebab, rumah, yang bakal digunakan sebagai tempat bernaung dan berlindung, jadi tegak jika dibangun dengan kayu-kayu yang lurus. Kepemimpinan pun jadi efektif jika dijalankan oleh pemimpin religius.
Begitulah, leluhur kita dari Bugis membaca kayu sehingga menemukan hikmah kepemimpinan. Kasunyatan alam semesta, dalam hal ini berupa pepohonan dan olahannya, direnungkan maknanya. Leluhur kita dari Aceh juga membaca pepohonan. Tapi, pohon yang dibaca bukan pohon pada umumnya, melainkan bambu dan pohon kelapa yang berbuah.
Buah kelapa terdiri dari banyak bagian. Setiap bagian bermanfaat. Salah satu bagian buah kelapa adalah tempurung atau batoknya. Setelah merenungi makna batok kelapa itu, dalam kaitannya dengan bambu, mereka merumuskan peribahasa ini, bek peusaban kai ngon aree, jangan disamakan batok dengan bambu.

Leluhur Aceh
Leluhur kita dari Aceh pernah menggunakan dua jenis takaran: takaran batok dan takaran ruas bambu. Volume sebuah batok lebih kecil daripada volume sebuah bambu yang biasa digunakan sebagai standar takaran. Janganlah disamakan ukuran takaran batok dan takaran bambu. Kalau disamakan, kita bakal mengalamai salah satu dari dua hal, berlaku bodoh sehingga merugi atau berlaku sewenang-wenang yang juga mencerminkan kebodohan. Hanya orang bodoh yang menyamakan ukuran takaran batok dan takaran bambu.
Jadi, peribahasa bek peusaban kai ngon aree sebenarnya berbicara tentang relativitas nilai, yang secara ekstrem bisa pula dipahami sebagai relativitas kebenaran. Manusia bukan eksistensi yang bisa dinilai secara pukul rata. Setiap manusia unik dan subjektif. Apa yang menurut saya baik belum tentu baik bagi orang lain. Apa yang Anda nilai indah boleh jadi saya nilai jelek. Menurut Anda suatu tindakan tepat dilakukan tapi hal itu keliru dalam pandangan saya.
Ukuran saya dengan ukuran Anda berbeda, setidaknya tidak persis sama. Karena itu, marilah bertenggang rasa. Jangan memaksakan kehendak, apalagi dengan kekerasan. Nilai toleransi ini juga dihayati leluhur kita dari Jawa, Bugis, dan Mandar. Dalam budaya Jawa, ada peribahasa tepa selira. Dalam budaya Bugis, ada peribahasa otakku kuassukeki, otakmu muassukeki, takaranku kujadikan ukuran, takaranmu kamu jadikan ukuran. Dalam budaya Mandar, ada peribahasa da bajumu mupaqukkurangi tau, jangan bajumu dijadikan ukuran untuk orang lain.
Dengan adanya peribahasa-peribahasa ini, kita jadi bangga. Bangsa kita ternyata memang pada dasarnya toleran. Sejarah toleransi kita telah panjang usianya, juga telah sedemikian mengakar. Siapa-siapa yang tidak bersikap toleran, merasa benar sendiri, dan memaksakan kehendak kepada orang lain apalagi dengan kekerasan, adalah orang-orang yang tidak berbudaya. Mereka tidak kenal jati diri kebangsaannya. Walaupun tinggal, bahkan lahir, di nusantara, sesungguhnya mereka adalah orang asing yang tidak mau dengar nasihat leluhur, malin kundang yang sudah sepantasnya mendapat kutukan.
Sebab itu, agar tidak jadi Malin Kundang, juga agar tidak mendapat kutukan atau bebendu, adalah baik jika kita menghayati pesan leluhur dari Aceh, bek peusaban kai ngon aree, jangan disamakan batok dengan bambu. Kalau ada orang yang menyamakan batok dengan bambu, dia pantas disebut bodoh. Dia punya mata tapi tidak untuk melihat, punya otak tapi tidak untuk berpikir, punya hati tapi tidak untuk berempati. Nggugu karsane priyangga, tulis Mangkunegara IV dalam Serat Wedhatama.
Dia, kata al-Quran, seperti binatang ternak, atau lebih bodoh lagi. Hikmah yang diperoleh leluhur kita dari Aceh setelah merenungi makna bambu dalam kaitannya dengan pohon kelapa rupanya sejalan dengan falsafah al-Quran. Ini mengindikasikan, adat Aceh tidak bertentangan dengan al-Quran. Budaya Aceh selaras dengan ajaran Islam.
Al-Quran adalah hikmah. Peribahasa bek peusaban kai ngon aree juga hikmah. Dan hikmah bersifat perenial dan universal. Hanya saja, media dan bentuk pengungkapannya baragam. Universalitas hikmah mengejawantah dalam partikularitas tradisi, sesuai dengan dan bergantung pada konteks sosial dan lingkungan alam setempat.
Di Aceh misalnya, terdapat banyak bambu dan kelapa. Sehari-hari leluhur kita dari Aceh berinteraksi dengan bambu dan batok kelapa, hal-hal kecil yang tampak sepele. Tapi, mereka meletakkan hal kecil itu dalam konteks kehidupan makro. Pandangan mereka menembus apa yang kasat mata, yang lahiriah, yang fenomenal.
Akhirnya, berangkat dari permenungan akan bambu dan batok kelapa, mereka pun menemukan makna relativitas nilai sekaligus nilai toleransi. Setitik air mereka jadikan lautan. Sekepal tanah mereka jadikan gunung. Alam terkembang jadi guru.

Leluhur Ternate
Leluhur kita dari Ternate juga berguru pada alam terkembang. Mereka membaca kasunyatan dengan pendekatan yang sama. Salah satu kasunyatan yang dibaca adalah tembakau atau rokok, lagi-lagi hal kecil sehari-hari yang tampak sepele dan tak berarti. Mereka bertanya, apa makna rokok? Hikmah apa yang terkandung dalam sebatang rokok? Jawabannya, tobako dudumoi to-sirai jole ma-jiko, rokok sebatang dapat membakar tumpukan jerami.
Sekilas, hikmah peribahasa Ternate ini tampak serupa dengan peribahasa Melayu yang telah diangkat sebagai peribahasa Indonesia: karena nila setitik, rusak susu sebelanga. Tapi, bagi leluhur dari Ternate sendiri, peribahasa ini lebih sebanding dengan peribahasa Melayu lain yang juga telah diangkat sebagai peribahasa Indonesia: besar pasak daripada tiang.
Dalam hal keuangan, kita harus berhati-hati. Tidak ceroboh. Harus berhemat. Tidak boros. Keinginan tidak diumbar. Kebutuhan diperhitungkan dengan cermat. Tali kekang nafsu tidak dilepas. Jika tidak mendayagunakan akal untuk mengendalikan nafsu, bisa-bisa kita berlaku ceroboh. Puntung rokok yang masih menyala kita lemparkan saja ke tumpukan jerami kering. Terjadilah kebakaran.
Jika tidak memfungsikan akal untuk menilai keinginan dan kebutuhan, bisa-bisa kita berlaku boros, bertindak konsumtif. Apa saja yang diinginkan dibeli, tak pikir berapa tebal dompet yang dimiliki. Bila uang sendiri habis, kita bahkan menghutang ke sana ke mari sekadar untuk menuruti nafsu, ngumbar kanepson. Akibatnya, bangkrutlah kita. Sudah jatuh, tertimpa tangga. Sudah jatuh miskin, hutang menggunung pula.
Supaya tidak mengalami musibah itu, leluhur kita dari Ternate memberikan piwulang: tobako dudumoi to-sirai jole ma-jiko, rokok sebatang dapat membakar tumpukan jerami. Dalam pandangan mereka, dalam sebatang rokok, terkandung hikmah luhur: fungsi akal sebagai pengendali nafsu. Inilah fungsi tadbir akal, hikmah yang juga diajarkan dalam tradisi filsafat Platonik, Aristotelian, Paripatetik Islam, dan Ghazalian.
Hikmah memang universal dan perenial. Orang Ternate berbagi hikmah yang sama dengan orang Yunani Kuno, Spanyol Islam, dan Persia Islam. Dan leluhur kita dari Tarnate menemukan hikmah itu tidak dengan jauh-jauh dan ndakik-ndakik berguru pada Plato, Aristoteles, Ibnu Miskawaih, atau al-Ghazali, tetapi cukup dengan berguru pada alam terkembang, kasunyatan yang dekat dengan mereka, yang ada di sekitar mereka, yaitu tembakau atau rokok.
Di Ternate, sebagaimana di banyak daerah lain di nusantara, merokok telah menjadi kebiasaan sehari-hari. Merokok telah jadi budaya. Selain budaya merokok, dulu orang nusantara juga terkenal dengan budaya menginangnya. Pertemuan dan percakapan tidak sempurna tanpa kapur dan sirih, sebagaimana saat ini pergaulan terasa tidak lengkap tanpa rokok.
Dengan menginang, seperti halnya dengan merokok, percakapan jadi lebih lancar, luwes, dan terbuka. Suasana jadi lebih ringan dan santai. Karena itu, setiap silaturahmi, apalagi lobi dan negosiasi, perlu kapur dan sirih.
Mempertimbangkan hal ini, dalam tata krama silaturahmi, leluhur kita dari Jambi tidak hanya menyuguhkan kapur dan sirih kepada tamunya. Mereka bahkan menciptakan tarian untuk menyambut tamu dengan suguhan kapur dan sirih. Namanya, tari Sekapur Sirih. Duta penyuguhnya atau penarinya adalah gadis-gadis belia berparas rupawan.
Ini menunjukkan, budaya menginang dulu pernah amat mengakar di Jambi. Demikian pula di nusantara pada umumnya. Kapur dan sirih pun jadi kasunyatan sehari-hari yang berpotensi dibaca untuk ditemukan kandungan hikmahnya.

Leluhur Jawa
Dan leluhur kita dari Jawa, membaca kasunyatan tersebut. Mereka bertanya, apa makna sirih? Kaya sirih, lumah kurebe beda, nanging yen gineget padha rasane. Seperti sirih, warna atas dan bawahnya berbeda, tapi kalau digigit sama rasanya. Sirih menandakan adanya kesamaan dari dua hal yang tampak berbeda. Dua hal berbeda yang beresensi sama itu bisa bermacam-macam.
Pada mulanya, peribahasa ini mengemuka sebagai respons sastrawi atas penjajahan oleh orang asing di tanah Jawa. Setelah dijajah Belanda, orang Jawa dijajah lagi oleh Jepang. Yang pertama berkulit putih dan berasal dari Eropa. Yang kedua berkulit kuning dan berasal dari Asia Timur.
Dalam banyak hal, kedua penjajah tersebut berbeda. Tapi, di balik perpedaan itu, ternyata ada kesamaan: sama-sama zalim, sama-sama menindas, sama-sama eksploitatif, sama-sama menyengsarakan, sama-sama memperhinakan. Belanda dan Jepang sama-sama menjajah orang Jawa. Keduanya kaya sirih, lemah kurebe beda, nanging yen gineget padha rasane.
Peribahasa ini akan memberikan banyak manfaat jika diterapkan sebagai pendekatan dalam studi perbandingan agama. Dalam studi perbandingan agama gaya klasik, dua atau lebih agama dipelajari lebih untuk mencari perbedaan dan pengaruh daripada persamaan.
Akibatnya, berkembang paradigma aku berbeda dari kamu, kami berbeda dari mereka, agamaku sama sekali berlawanan dengan agamamu. Agamaku dan agamamu sudah berpisah jalan, tidak akan pernah bertemu. Paradigma eksklusif begini jelas mendorong muncul dan meningkatnya konflik lintas agama. Dialog antar-iman jadi sulit dijalankan. Toleransi bersendikan kemanusiaan, al-ukhuwah al-basyariyah, jadi sukar diwujudkan.
Saat ini, studi perbandingan agama klasik dengan pendekatan, paradigm, dan akibat seperti itu, sudah out of date, ketinggalan zaman dalam arti harfiahnya. Kita sudah jenuh dengan perang yang menyeret-nyeret agama. Zaman menghendaki studi perbandingan agama gaya baru, dengan pendekatan baru, yang membuahkan paradigma dan efek sosial bermanfaat, yang merupakan aktualisasi dari spiritualitas dan prinsip etik agama-agama itu sendiri.
Mengapa studi perbandingan agama jadi perlu? Untuk mengurangi konflik antaragama. Untuk memupuk sikap toleransi. Untuk mendewasakan umat beragama dalam interaksi sosial lintas iman. Untuk mencari titik temu, kalimatun sawa’, lokus perjumpaan agama-agama yang diperbandingkan. Untuk pertama-tama mencari persamaan, bukan perbedaan dan pengaruh, antar-agama. Untuk mencari “rasa” yang sama dalam setiap agama. Untuk menemukan hikmah bahwa agama-agama itu seperti kayu sirih, lumah kurebe beda, nanging yen gineget padha rasane.
Selain dapat diterapkan dalam studi perbandingan agama, peribahasa ini juga dapat digunakan sebagai pelita yang menerangi pergaulan sosial kita. Selama terus-menerus mencari perbedaan, kita akan terus-menerus pula dirundung konflik. Jika tak konflik sosial, ya konflik batin.
Tapi, jika kita terbiasa mencari persamaan yang mempertemukan satu individu dengan individu lain, satu golongan dengan golongan lain, aku dengan kau, kami dengan mereka, kondisi sosial akan lebih tertib, tenteram, dan damai. Paling tidak, hati kita jadi lebih damai, tidak dipenuhi prasangka dan kebencian dan amarah. Tidak dikendalikan daya diyu yang jahat dengan watak sura dira jayaningrat-nya.
Dengan demikian, kehadiran kita dalam pergaulan sosial jadi rahmat, bukan fitnah, bagi yang lain. Bagi kita, terbuka lebarlah peluang untuk tampil sebagai manusia yang memberikan sebanyak-banyaknya manfaat bagi manusia lain. Kita berkesempatan untuk meneladani Nabi, manusia yang memanusiakan manusia lain. Kita pun berpeluang untuk mengikuti jejak Panembahan Senopati, pemimpin Jawa yang menjalani lelaku karyenak tyasing sesama.
Berbagai kemungkinan penerapan peribahasa kaya sirih, lumah kurebe beda, nanging yen gineget padha rasane tersebut menunjukkan bahwa peribahasa ini adalah ilmu yang membumi, yang tidak mengawang-awang di langit. Ia bermula dari kasunyatan yang direnungi dan kembali pada kasunyatan. Sirih adalah kasunyatan sehari-hari. Salah satu, di antara sekian banyak, hikmah yang terkandung dalam sehelai sirih, dapat diamalkan dalam kasunyatan sehari-hari, dihayati dalam kehidupan real.

Leluhur Sunda
Apakah dalam budaya Sunda proses pencarian hikmah dengan membaca kasunyatan sehari-hari juga ada? Tentu saja. Leluhur kita dari Sunda pun berguru pada alam terkembang. Alam Sunda menyediakan banyak sungai.
Dalam budaya Sunda, sebagaimana dalam budaya Melayu, tampaknya sungai adalah unsur yang penting dan mendasar. Di ranah Melayu, banyak wilayah dinamai dengan nama sungai atau yang berkaitan dengan sungai, misalnya Sungai Tanang, Batang Hari, Way Kambas, dan Ogan Komering Ulu. Di tatar Sunda juga begitu, misalnya ada wilayah bernama Cimahi dan Cileunyi. Kata ci berpadanan dengan kata way, batang, dan sungai.
Sehari-hari leluhur Sunda hidup begitu dekat, bahkan manunggal, dengan sungai. Mereka kemudian membaca kasunyatan sungai untuk menggali hikmah yang dikandungnya. Buahnya, lahirlah peribahasa mun kiruh ti girang, komo ka hilirna, kalau sudah keruh di hulu, lebih keruh lagi di hilirnya. Peribahasa Sunda ini mengingatkan kita pada sebuah peribahasa Melayu Jambi: keruh aek di ilir prikso di ulunyo, senak aek di ulu prikso di muaronyo. Kalau keruh air di hilir, periksalah di hulunya. Kalau dalam air di hulu, periksalah di muaranya.
Redaksi kedua peribahasa tersebut hampir mirip, tapi maksudnya berbeda. Walaupun berbeda maksud, keduanya membayangkan teori ilmiah yang sama: logika kausal. Akibat tentu ada sebabnya. Sebab tentu berpengaruh terhadap akibatnya. Ada hubungan kausal antara dua variabel tertentu. Kedua peribahasa tersebut menyatakan, ada hubungan kausal antara variabel air di hulu sungai dan variabel air di hilirnya. Teorinya: kalau air di hulu sungai keruh, air di hilirnya tentu lebih keruh.
Hulu sungai adalah mata air yang biasanya terletak di dataran tinggi. Air dari hulu tersebut mengalir melewati induk dan anak sungai hingga ke tepi laut. Bagian ujung dari sungai yang berbatasan dengan laut inilah yang kita sebut hilir atau muara sungai.
Ibarat tubuh, hulu sungai seperti kepala sungai yang jumlahnya tunggal, sedangkan hilir adalah kaki sungai yang jumlahnya jamak. Kentaralah sudah, hulu sungai dalam peribahasa mun kiruh ti girang, komo ka hilirna melambangkan pemimpin, sedangkan hilirnya melambangkan para pembantu pemimpin dalam menjalankan roda pemerintahan, misalnya menteri dan gubernur.
Hulu sungai sebagai lambang pemimpin, bukan hal yang hanya dimiliki budaya Sunda. Budaya Melayu pun memilikinya. Orang Melayu menyebut pemimpin, dalam lingkup administratif kecil tertentu, sebagai peng-hulu, kepala masyarakat. Dalam kesultanan Jawa, peng-hulu adalah jabatan struktural yang diduduki pemimpin keagamaan. KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah itu, pada zamannya pernah menjabat sebagai peng-hulu dalem Kesultanan Yogyakarta.
Semasa pemerintahan kolonial Hindia-Belanda, peng-hulu adalah pemimpin keagamaan dalam sebuah residen yang tugasnya mirip seperti qadhi di Kesultanan Aceh. Setelah Indonesia merdeka, wilayah kerja dan tugas peng-hulu menciut. Kini peng-hulu hanya staf Kantor Urusan Agama (KUA). Tugasnya yang paling dikenal adalah menikahkan calon pasangan suami istri secara resmi. Dia memimpin jalannya upacara pernikahan.
Meski makna peng-hulu kian lama kian menciut, pada prinsipnya peng-hulu tetaplah pemimpin, entah pemimpin masyarakat secara umum, entah sekadar pemimpin agama. Sebagai pemimpin, dia punya bawahan atau pembantu. Kalau pemimpin sudah tak becus bekerja, bawahannya tentu lebih tak becus lagi. Manajemen pemerintahan jadi tak tertata. Program dan kebijakannya jadi tak efektif. Kalau air di hulu sudah keruh, air di hilir lebih keruh lagi. Mun kiruh ti girang, komo ka hilirna.
Hikmah peribahasa Sunda itu juga dikandung sebuah peribahasa Melayu Jambi yang lain: bejalan kincir kerno aek, begoyang dahan kerno angin. Maknanya sebangun, tapi simbolismenya berbeda. Pemimpin seperti air yang membuat kincir berputar, seperti angin yang membuat dahan bergoyang.
Jika pemimpin bersemangat, bawahannya pun bersemangat. Rakyat pun tergerak untuk maju. Kalau pemimpin tangkas bekerja, bawahannya pun lamban bekerja. Kepercayaan rakyat meningkat. Bila pemimpin bekerja profesional, bawahannya demikian pula. Rakyat pun merasa beruntung karena punya pemimpin hebat.
Sebaliknya, jika pemimpin tak bersemangat, bawahannya juga. Rakyat tak tergerak untuk maju. Kalau pemimpin lamban bekerja, bawahannya juga. Kepercayaan rakyat susut. Bila pemimpin tak becus bekerja, bawahannya demikian pula. Pihak yang paling dirugikan karena hal ini adalah rakyat. Mun kiruh ti girang, komo ka hilirna.

Leluhur Dayak Ngaju
Bukan hanya leluhur kita dari Sunda dan Melayu Jambi yang membaca kasunyatan air keruh untuk menemukan hikmah, leluhur kita dari Dayak Ngaju juga melakukan hal serupa. Apa makna air keruh? Mereka menjawab, jantun puji telaga je keruh mampalua janum je katining. Tak pernah telaga yang keruh mengalirkan air yang jernih. Telaga adalah sumber air, kasunyatan sehari-hari dalam kehidupan leluhur Dayak Ngaju.
Telaga mengalirkan air melintasi sungai-sungai kecil atau parit-parit. Jika sumber air jernih, air di parit-parit yang berasal darinya pun jernih. Jika air parit tampak jernih dari kejauhan, padahal telaga yang jadi sumber mata airnya keruh, sebaiknya air parit itu diperiksa lebih dekat dan cermat. Sebab, telaga keruh tak pernah mengalirkan air jernih. Telaga keruh pasti mengalirkan air keruh pula.
Apa makna peribahasa ini? Telaga menandakan sumber, latar belakang, asal-usul, atau golongan sosial seseorang, air yang mengalir dari telaga tersebut. Kalau kita bertemu dengan orang yang tampak baik, padahal keluarga, teman-teman, komunitas, atau tempat belajarnya buruk, sebaiknya kita berhati-hati dengan orang tersebut.
Kalau kita diberi tawaran menggiurkan yang seolah-olah tanpa pamrih oleh kader partai politik tertentu, padahal rekam jejak partai tersebut kelam, sebaiknya kita bersikap kritis terhadap kader tersebut. Jantun puji telaga je keruh mampalua janum je katining. Dengan sikap kritis tersebut, kita tidak gampang tertipu.
Kritisisme adalah jantung filsafat Barat sejak Yunani Kuno hingga pascamodern. Lebih dari itu, kritisisme bahkan barangkali jantung seluruh tradisi filsafat. Untuk mencari kebanaran atau hikmah, filsafat bertumpu pada akal sehat, penalaran yang sahih. Dalam filsafat Barat, filsafat India, dan filsafat Islam logika menempati kedudukan elementer.
Tapi memang, dalam perjalanan mencari hikmah, ada saatnya kedudukan elementer akal digantikan oleh rasa. Akal bukan instrumen “ilmiah” yang sesuai untuk mengalami hakikat kasunyatan yang terdalam. Akal punya batas capaiannya.
Meski begitu, sebelum pencari hikmah mencapai maqam puncak dalam pendakian ilmiahnya itu, dia tetap perlu bersahabat dengan logika. Kritisisme adalah pedang, tombak, perisai, sekaligus baju zirah baginya dalam medan peperangan filsafat untuk memperebutkan kebenaran. Karena pentingnya logika dalam mencari hikmah, tampaknya hampir seluruh tradisi filsafat mengajarkan kritisisme.
Kritisisme, dengan demikian, adalah ajaran kemanusiaan pada umumnya. Ia hikmah universal yang ditemukan leluhur kita dari Dayak Ngaju setelah membaca kasunyatan air parit keruh yang bersumber dari telaga keruh. Dengan berguru pada alam terkembang, berbekal semacam kombinasi pendekatan semiotik-struktural dan fenomenologi, mereka memperoleh hikmah yang luhur, agung, dan universal.

Pendekatan Kita?
Begitulah kiranya cara leluhur nusantara mencari hikmah. Alam terkembang jadi guru. Setitik jadikan laut. Sekepal jadikan gunung. Bagaimana dengan kita? Sudahkah kita mulai mencari hikmah? Pendekatan apa yang kita gunakan?
Jangan-jangan hikmah yang kita jual dan bualkan hanya ada di atas kertas dan menempel di ujung lidah, belum bersemayam dalam dada, mengalir dalam darah, merasuk dalam tulang, menyatu dengan daging. Jangan-jangan kita masih memberhalakan buku dan kitab dan tokoh. Masih terpukau dengan hal-hal besar di atas langit sana.
Jangan-jangan kita mengikuti jejak Diogenes, filsuf Yunani Kuno yang suka tertawa dan suka menertawakan kehidupan itu. Suatu malam, Diogenes berjalan sambil memandang bintang di langit. Dia suntuk dalam kontemplasinya tentang bintang-bintang, hal-hal yang sesungguhnya besar sekali dan berada di atas langit sana. Diogenes terus berjalan tanpa melihat ke depan, apalagi ke bawah. Padahal, di depannya ada lubang. Karena tak melihatnya, dia jatuh ke lubang tersebut.
Nenek yang saat itu berpapasan dengannya pun tertawa. Diogenes, yang biasanya menertawakan, kini ganti ditertawakan. Tak tanggung-tanggung, dia ditertawakan oleh seorang nenek. Perempuan uzur itu barangkali berpikir, “betapa bodohnya filsuf satu ini. Diogenes mengaku sebagai pencari hikmah, bahkan ahli hikmah. Tapi, perilakunya tak filosofis. Amalnya tak dipandu hikmah. Hikmah tak jadi cahaya penerang jalan hidupnya. Betapa tak bermanfaatnya ilmu Diogenes”.
Ya, betapa tak bermanfaatnya. Jadi, untuk apa Diogenes mencari hikmah, menuntut ilmu? Untuk apa selama ini aku menuntut ilmu?

Bumi Mataram, Rabu, 23 Ramadan 1437 H



NB: Artikel ini adalah sambungan dari artikel saya sebelumnya, Filsafat dan Hal-Hal Kecil Lainnya. Dipublikasikan di halaman facebook pribadi.