26/12/11

pendidikan 15


“Masukkan Kembali Semua!”

Totto-chan belum pernah bekerja sekeras itu sepanjang hidupnya. Hari itu ia benar-benar sial. Dompet kesayangannya jatuh ke dalam kakus! Tidak ada uang di dalamnya, tapi Totto-chan sangat suka dompet itu. Dibawanya dompet itu ke mana-mana, termasuk ke kakus. Dompet itu memang cantik, terbuat dari kain tafetta kotak-kotak merah, kuning, dan hijau. Bentuknya segi empat, tipis dan dihiasi bros berbentuk anjing scotch terrier pada penutupnya yang berbentuk segitiga.

Nah, Totto-chan punya kebiasaan aneh. Sejak kecil, setiap kali ke kakus, ia selalu mengintip ke dalam lubang setelah selesai buang air. Akibatnya, bahkan sebelum masuk ke sekolah dasar, ia telah kehilangan beberapa topi, termasuk satu yang terbuat dari jerami dan satu yang terbuat dari renda putih. Kakus, di masa itu, belum punya sistem guyur-otomatis. Di bawahnya ada semacam penampung kotoran. Tak heran jika topi-topinya tampak terapung-apung di bak penampung kotoran. Mama selalu melarang Totto-chan mengintip ke dalam lubang kakus setelah selesai memakainya.

Hari itu, ketika Totto-chan pergi ke kakus sebelum sekolah mulai, ia melupakan larangan Mama. Sebelum menyadari apa yang sedang dilakukkannya, tahu-tahu ia sudah mengintip ke dalam lubang. Mungkin karena genggamannya yang mengendor, dompet kesayangan Totto-chan terlepas dari tangannya dan tercebur ke dalam lubang. Air pun berkecipak. Totto-chan menjerit ketika dompetnya lenyap di telan kegelapan di bawahnya.

Tapi Totto-chan bertekad takkan menangis atau merelakan dompetnya hilang. Ia pergi ke gudang peralatan tukang kebun lalu mengeluarkan gayung kayu bertakai panjang yang biasa digunakan untuk menyiram tanaman. Panjang tangkai gayung itu hampir dua kali tinggi badannya, tapi itu sama sekali tidak menyurutkan tekad Totto-chan. Ia berjalan ke belakang sekolah sambil menyeret gayung itu dan coba menemukan lubang untuk mengosongkan bak penampung kotoran. Ia menduga letaknya pasti di luar sisi dinding kakus. Setelah susah payah mencari, akhirnya ia melihat penutup lubang berbentuk bundar kira-kira satu meter dari situ. Dengan susah payah, ia membuka penutup itu dan akhirnya menemukan lubang yang dicarinya. Totto-chan menjulurkan kepalanya ke dalam.

“Wah ini sama besarnya dengan kolam di Kuhonbutsu!” serunya.

Kemudian Totto-chan mulai bekerja. Ia mulai mencedok isi bak penampung kotoran itu. Mula-mula ia mengaduk-aduk tempat jatuhnya dompet. Tapi bak itu dalam, gelap, dan luas karena menampung buangan dari tiga kakus terpisah. Lagi pula Totto-chan bisa jatuh ke dalam bak jika memasukkan kepalanya terlalu dalam. Akhirnya ia memutuskan untuk terus mencedoki kotoran dan berharap akan menemukan dompetnya. Begitulah, Totto-chan mencedoki kotoran lalu menuangkannya ke tanah di sekitar lubang.

Tentu saja setiap kali mencedok ia memeriksa kalau-kalau dompetnya sudah terangkat bersama kotoran. Tapi ia tidak mengira akan perlu waktu lama untuk menemukan dompetnya dan sejauh ini belum ada tanda-tanda benda itu akan ditemukan. Di mana dompet itu? Bel berdering tanda kelas dimulai.

Apa yang harus kulakukan? pikir Totto-chan. Tapi karena sudah telanjur, ia pun memutuskan untuk melanjutkan. Gadis cilik itu meneruskan mencedok dengan semangat baru.

Tumpukan kotoran di tanah sudah cukup tinggi ketika Kepala Sekolah kebetulan lewat.

“Kau sedang apa?” tanyanya kepada Totto-chan.

“Dompetku jatuh,” jawab Totto-chan, sambil terus mencedok. Ia tak ingin membuang waktu.

“Oh, begitu,” kata Kepala Sekolah, lalu berjalan pergi, kedua tangannya bertaut di belakang punggung, seperti kebiasaannya ketika berjalan-jalan.

Waktu berlalu. Totto-chan belum juga menemukan dompetnya. Gundukan berbau busuk itu semakin tinggi.

Kepala sekolah datang lagi. “Kau sudah menemukan dompetmu?” tanyanya.

“Belum,” jawab Totto-chan dari tengah-tengah gundukan. Keringatnya berleleran dan pipinya memerah.

Kepala Sekolah mendekat dan berkata ramah, “Kau akan mengembalikan semuanya kalau sudah selesai, kan?” Kemudian pria itu pergi lagi, seperti sebelumnya.

“Ya,” jawab Totto-chan riang, sambil terus bekerja. Tiba-tiba sebuah pikiran terlintas di benaknya. Ia memandang tumpukan itu. Kalau aku sudah selesai aku bisa memasukkan semua kotoran itu kembali ke dalam bak, tapi bagaimana airnya?

Air kotor terserap cepat ke dalam tanah. Totto-chan berhenti bekerja dan mencoba memikirkan cara memasukkan air kotor kembali ke dalam bak, karena ia telah berjanji kepada Kepala Sekolah akan memasukkan semua kembali. Akhirnya ia memutuskan untuk memasukkan tanah yang basah.

Sekarang gundukan itu benar-benar sudah menggunung dan bak penampung nyaris kosong, namun dompet Totto-chan belum juga ditemukan. Mungkin tersangkut di pinggi bak atau tenggelam di dasar bak. Tapi Totto-chan tidak peduli. Ia puas karena telah mengerahkan seluruh kemampuannya untuk mencari dompet itu. Kepuasan Totto-chan jelas adalah hasil rasa percaya diri yang ditanamkan Kepala Sekolah dengan mempercayainya dan tidak memarahinya. Tapi, tentu saja hal itu terlalu rumit untuk bisa dimengerti Totto-chan saat itu.

Kebanyakan orang dewasa, jika mendapati Totto-chan dalam situasi seperti itu, akan bereaksi dengan berteriak, “Apa-apaan ini?” atau “Hentikan, itu berbahaya!” atau malah menawarkan bantuan.

Bayangkan, Kepala Sekolah hanya berkata, “Kau akan memasukkan semua kembali kalau kau sudah selesai, kan?”

Sungguh Kepala Sekolah yang hebat, pikir Mama ketika mendengarkan cerita kejadian itu dari Totto-chan.

Sejak kejadian tersebut, Totto-chan tidak pernah lagi mengintip ke dalam lubang setelah selesai menggunakan kakus. Ia juga makin sayang dan percaya kepada Kepala Sekolah.

Totto-chan memenuhi janjinya. Ia memasukkan semua kembali ke dalam bak penampungan. Mengeluarkan isi bak itu sungguh kerja yang keras, tapi memasukkannya kembali ternyata jauh lebih cepat. Tentu saja, Totto-chan juga memasukkan tanah basah. Kemudian ia meratakan tanah, menutup kembali lubang itu dengan rapi, lalu mengembalikan gayung kayu yang dipinjamnya ke gudang tukang kebun.

Malam itu, sebelum tidur Totto-chan teringat dompetnya yang indah dan jatuh ke dalam lubang gelap. Ia sedih karena kehilangan dompetnya, tapi kejadian hari itu membuatnya sangat letih hingga tak lama kemudian ia sudah lelap tidur.

Sementara itu, di tempat kejadian, tanah yang lembap memantulkan cahaya bulan yang indah.

Dan di suatu tempat, dompet Totto-chan tergeletak dalam sunyi.



NB:

Catatan ini adalah fragmen dari otobiografi Tetsuko Kuroyanagi, Totto-Chan: Gadis Cilik di Jendela, hal. 56-60 (Gramedia Pustaka Utama, 2008). Terima kasih kepada Iwan Martin yang telah meminjami saya buku bermutu ini. Totto-chan menggambarkan kondisi-pembelajaran di Tomoe Gakuen, sebuah sekolah alternatif di Jepang.

Di Indonesia pernah dan tengah ada sekolah alternatif yang cukup ideal, berkualitas, dan inspiratif, antara lain: INS Kayu Tanam, Qoryah Thoyyibah, dan masih banyak lagi. Saya berharap alumni dari sekolah-sekolah itu mau menulis pengalamannya selama belajar di almamater mereka, seperti apa yang telah dilakukan oleh Tetsuko. Saya yakin, jika jumlah sekolah alternatif di Indonesia kian banyak, maka nilai Human Development Index (HDI) kita akan kian naik dan membaik.

Sudah tak mungkin lagi, dan sudah bukan waktunya untuk, menaruh harapan terlalu besar kepada pemerintah yang kerjanya hanya melanggar undang-undang dan hukum, serta membuat masyarakatnya kecewa, bingung, frustasi, dan putus asa. Masyarakat harus mandiri, juga dalam hal pendidikan.

pendidikan 14


Boleh putus sekolah asal tidak putus belajar

(Bahruddin)

Sistem pendidikan di negeri ini nyaris kehilangan ruhnya. Demikian banyak wacana, kritik, dan koreksi dari berbagai kalangan, namun belum juga menemukan formulasi yang tepat untuk memberdayakan pendidikan. Kalau toh ada upaya perbaikan, sering tidak produktif pada tataran aplikasi karena ujung-ujungnya sebatas pada pembangunan fisik dan simbol-simbol, bukan pada penguatan esensi dan substansi.

Menanggapi realitas keterpurukan pendidikan di tanah air tercinta ini, kiranya kita semua tidak perlu sibuk mencari siapa “kambing hitam”-nya, (biasanya Orde Baru yang dikambinghitamkan). Karena kalau polemik mencari “kambing hitam” ini dibiarkan, hanya akan menghabiskan energi yang berujung seperti teka-teki anak-anak: “mana yang lebih dahulu antara ayam dan telur”. Perdebatan yang tidak berpangkal dan tidak berujung. Mungkin, karena memang terlalu banyak “kambing hitam” di dunia pendidikan kita, atau bahkan mungkin dengan tidak disadari diri kita juga termasuk salah satu dari “kambing-kambing hitam” itu? Sudahlah! Kita sudah terlalu lelah bergunjing, saling mencurigai, saling menggurui, dan saling menyalahkan.

Di sisi lain, kita juga sudah sangat kenyang dengan wacana dan konsep dari banyak pihak yang notabene menjadi kontribusi dalam membangun kualitas pendidikan. Seminar, lokakarya, serta studi banding tentang pendidikan tak henti-hentinya dilakukan oleh semua elemen dan strata pendidikan. Akan tetapi,  sering kali kegiatan dan wacana yang baik itu berhenti sebatas konsep atau catatan di atas kertas, atau sebatas kegiatan rutin sekadar melaksanakan jadwal yang jauh hari telah diagendakan. Sebaliknya, kita terlalu sedikit melihat tindakan nyata dan kesungguhan untuk mulai mewujudkan pendidikan yang berdaya, berkeadaban, dan berkeadilan.

Yang dibutuhkan negara ini adalah tindakan dan upaya konkret, meski sesederhana dan sekecil apa pun. Fenomena menjamurnya lembaga pendidikan “plus, plus, dan plus” belum bisa menjawab persoalan riil pendidikan bahkan memunculkan masalah baru, yaitu diskriminasi dan semakin mempertajam kesenjangan sosial di masyarakat. Oleh karena itu, lembaga-lembaga pendidikan yang mengklaim diri berkualitas dan modern itu telah berubah menjadi lembaga jasa pendidikan elistis dan eksklusif karena hanya terjangkau oleh kelompok masyarakat tertentu.

Dunia telah terlanjur mengglobal, tidak bisa dibendung dan tidak bisa ditawar-tawar lagi. Kita sedang berada di era global yang serba digital, bukan era kapur tulis, kertas, dan pensil yang manual dan konvensional. Di saat siswa Sekolah Dasar di negara tetangga (Singapura dan Malaysia) misalnya, telah akrab dengan internet, sebagian besar guru-guru kita masih gagap mengoprasikan komputer. Di saat mereka telah kencang melaju meningkatkan kualitas pendidikan, kita masih ribut mencari format pendidikan. Keadaan ini lebih diperkeruh oleh campur tangan politik dan kekuasaan yang sebenarnya tidak cukup berkompetensi menangani persoalan pendidikan.

Dalam hal ini, kita tidak perlu terlalu meratapi kebodohan dan ketertinggalan SDM kita ketika dibandingkan dan disandingkan dengan negara lain. Apalagi kemudian dengan emosional kita mencoba mengejar ketertinggalan tersebut dengan semangat bersaing. Bisa-bisa kebat-kliwat. Sikap emosional seperti itu tidak akan menguntungkan. Kegiatan gugat menggugat siapa yang paling bersalah dalam membuat kebijakan pendidikan juga sebaiknya segera dihentikan karena tidak akan bisa menemukan ujung pangkalnya. Alangkah indahnya bila kita semua mulai menggugat diri sendiri. Siapa tahu kita juga bersalah.

Yang terpenting, kita semua dan masing-masing kita segera mulai berbenah membangun kapasitas diri. Kita tempatkan kelompok lain, organisasi lain, bahkan negara lain sebagai mitra dan sahabat untuk menjalin kerjasama yang saling menguntungkan, bukan sebagai pesaing yang harus diungguli atau dikalahkan. Ketika memiliki kompetensi yang memadai, memiliki kemandirian, dan kepercayaan diri yang kuat dengan sendirinya kita akan menjadi individu, kelompok, dan bangsa yang terhormat karena kita dibutuhkan dan saling membutuhkan dengan yang lain.

NB: tulisan ini dicatut dari buku Lebih Baik Tidak Sekolah, karangan Sujono Samba, terbitan LkiS, hlm. 1-4. Sujono Samba adalah seniman, cendekiawan, dan staf pengajar di SMP Alternatif Qoryah Thayyibah, Kalibening, Salatiga, Jawa Timur. Sekolah kampung yang memperoleh perhatian luas dari dunia pendidikan internasional ini diprakarsai pendiriannya oleh Bahruddin pada Juli 2003.

21/12/11

pendidikan 13 / jambi 2


Keterbukaan Budaya

Oleh: Mochtar Lubis

Dalam nomor ini kami muat sebuah esei berjudul Glasnost Intelektual di Indonesia oleh Prof. Dr. P. Sidharta, yang amat terkenal di Jakarta dan di dunia perguruan tinggi di negeri kita dengan berbagai buku ilmu kedokteran yang ditulisnya.

Apa yang digambarkannya berupa gejala ketertutupan ilmiah di dunia perguruan tinggi kita, dengan memberikan contoh-contoh di bidang kedokteran, patut mengejutkan kita semua. Jika penyakit yang sama juga berjangkit di kalangan disiplin ilmu-ilmu yang lain, bagaimana bangsa Indonesia akan mampu mengembangkan ilmu seluas-luasnya di negeri kita ini? Seandainya setiap ilmuwan merasa harus menyimpan tiga jurus untuk dirinya sendiri, dan mengajarkan hanya tujuh jurus dari ilmu yang mengandung 10 jurus, maka ilmu bukannya jadi bertambah maju, akan tetapi malahan mundur. Karena mahasiswanya kemudian akan menyimpan pula sedikitnya satu atau dua jurus untuk dirinya sendiri, agar tidak terkalahkan oleh mahasiswanya nanti.

Ketertutupan intelektual seperti ini adalah juga akibat dari ketertutupan budaya. Sudah terlalu lama, sedikitnya dua kali 20 tahun lebih orde lama dan orde baru, manusia Indonesia telah tidak diberi iklim kebebasan untuk bersikap dan menyatakan kritiknya terhadap yang terjadi dalam masyarakatnya, dan manusia yang tidak kritis adalah manusia yang juga tidak mungkin kreatif. Karena itu timbul manusia-manusia Indonesia seperti yang disebut Prof. Sidharta itu. Malahan ada yang menyembunyikan buku-buku ilmiah yang sedang dipelajarinya agar tidak diketahui oleh kolega-koleganya sendiri, agar dirinya sendiri tetap lebih unggul ilmunya dari orang lain. Dia sendiri tidak kreatif, dan juga hanya menimba ilmu dari ilmuwan lain, yang lebih kreatif dari dia.

Alangkah bedanya sikap orang seperti ini, dengan umpamanya pengalaman saya dengan kawan-kawan saya di luar negeri. Tiap kali saya berkunjung ke rumah mereka, atau ke universitas tempat mereka mengajar, mereka selalu bertanya apakah saya telah membaca buku-buku baru yang mereka tahu mengenai bidang-bidang minat saya, seperti lingkungan hidup, bioteknologi, komunikasi dan informasi, falsafah, dan lain-lain.

Teman-teman saya di luar negeri itu gembira untuk membagi informasi dengan saya dan dengan teman-teman mereka yang lain. Telah menjadi keharusan dan kebiasaan pada mereka untuk menulis tentang penemuan-penemuan mereka, agar dapat diketahui orang banyak dan teman-teman sejawat mereka.

Kebudayaan kita yang tertutuplah, yang membuat orang merahasiakan apa yang diketahuinya, yang membuat orang merahasiakan apa yang diketahuinya yang berarti penting bagi perkembangan dan kemajuan bangsanya sendiri, agar dia tetap unggul sendiri.

Di kebudayaan yang terbuka ilmu dapat ditimba dari buku-buku yang dapat dibeli oleh setiap orang. Seseorang hanya dapat menduduki tempat yang unggul, jika dia dapat berpikir dan bekerja lebih kreatif, lebih keras dan lebih rajin, dan penuh integritas dari orang lain.

Malahan saya pernah menghadiri sebuah diskusi antara seorang ilmuwan lain, mengenai sebuah teori yang sedang dikembangkannya, dan mereka bertukar-pikiran dengan asyik sekali.

Mungkin masalah ini juga patut didiskusikan nanti dalam satu kongres kebudayaan nasional, jika tidak dilakukan oleh Menteri P & K Fuad Hassan, semoga oleh menteri P & K lain yang satu waktu akan menggantikannya nanti.

***

Diperlukan: Glasnost Intelektual di Indonesia

Oleh: P. Sidharta

Pendahuluan

Karena tirai besi komunis, manusia di Uni Soviet merasakan kesumpekan, kegerahan, dan kegelapan. Untuk mengadakan perbaikan agar ruang napas menjadi lebih lega, kesejukan dapat menyegarkan badan dan cahaya dapat mengusir keremang-remangan, Gorbachev telah menciptakan glasnost, yakni kondisi keterbukaan.

Demi keamanan, setiap negara, baik yang komunis, fasis maupun demokratik, memiliki satu sektor tanpa keterbukaan, yaitu sektor dinas rahasia atau dinas intelijen. Para ilmuwan yang bekerja di sektor yang dikategorikan dalam sejenis dinas rahasia, seperti ilmuwan yang bekerja di institut teknologi tinggi yang membuat alat-alat canggih untuk peperangan dan ekspansi di luar angkasa, mereka harus merahasiakan tugas dan hasil pekerjaannya. Menurut Shakarov sebenarnya mereka bukan ilmuwan. Mengapa?

Pokok keterbukaan intelektual

Shakarov, seorang ilmuwan teknologi tinggi di departemen pertahanan negara di Uni Soviet minta diberhentikan dari jabatannya, oleh karena ia kehilangan kebebasan intelektualnya. Menurut Shakarov, seorang ilmuwan tidak tahan menyimpan penemuannya dalam diri sendiri, melainkan senantiasa berhasrat untuk mengkomunikasikannya di dunia ilmiah. Maka pada hakikatnya ciri utama dari ilmuwan adalah hasratnya untuk berkomunikasi dan itulah dasar keterbukaan intelektual.

Krisis keterbukaan intelektual sepanjang masa

Dalam sejarah terdapat banyak contoh tentang usaha-usaha yang hendak meniadakan keterbukaan intelektual. Pada tahun 213 sebelum masehi, kaisar Cina Shih Huang-ti membakar buku-buku Konfusius dan karya tulis cendekiawan dengan maksud menghilangkan pengaruh pihak lawan kelas yang berkuasa. Emperium Romawi tidak dapat menandingi emperium Byzantium dalam banyak hal kecuali dalam peperangan. Karena iri hati itu maka kebudayaan Byzantium (= Helenisme) tidak dapat dikembangkan secara terbuka di Roma dan Eropa. Gereja Katolik pun anti kebudayaan helenistik yang memuja kepada dewa-dewa sehingga melarang kaum terpelajar Eropa yang beragama Katolik untuk mempelajari ilmu kedokteran helenistik.

Berbeda dengan sikap Gereja Katolik dan emperium Roma adalah sikap dunia Islam. Di ketiga kalifahnya, Bagdad, al-Iskandaria dan Kordoba, ilmu kedokteran helenistik dipelajari dengan bebas sehingga pada waktu Karel Agung membutuhkan seorang dokter untuk mengajar ilmu kedokteran di Perancis, ia mengajukan permohonan kepada Kalif Harun al-Rasyid.

Berkat keterbukaan dunia sekemakmuran Islam ilmu kedokteran helenistik (Yunani) dapat diawetkan dalam bahasa Arab. Dan karya tulis dalam bahasa Arab itulah merupakan sumber pengetahuan bagi Eropa yang menterjemahkannya dalam bahasa Latin.

Glasnost intelektual sekarang ini di Indonesia

Tuan Pronk beberapa kali datang ke Indonesia untuk melihat keadaan sosioekonomik Indonesia di sana-sini. Pada perlawatan inspeksinya kali ini, Prof. Dr. Mohammad Sadli dapat mengomentari bahwa kehadirannya (Pronk) membawa angin sejuk, karena merupakan contoh keluguan, informalitas, kesungguhan dalam keyakinan dan keterbukaan serta transparansi dalam dialognya dengan berbagai kalangan di Indonesia. Sebagai penutup tulisan Sadli di Tempo 21 April 1990, dapat kita baca: “Bagi masyarakat Indonesia, yang dewasa ini ramai mendiskusikan masalah pemerataan, masalah demokrasi ekonomi, masalah kesenjangan sosial, maka kontribusi Jan Pronk kepada dialog nasional ini harus dihargai. Tapi pemerintah RI menyadari bahwa glasnost (keterbukaan) akan membawa manfaat bagi kita semua”.

Tampaknya keterbukaan sudah masuk bidang sosioekonomik dan politik. Bagaimana dengan keterbukaan intelektual. Kini di kalangan Institut Agama Islam Negerti (IAIN) terdapat kesempatan untuk belajar bersikap terbuka melalui studi di Jurusan Bahasa dan Kebudayaan di Universitas Negeri di Leiden. Soalnya “Selama ini sarjana kita (IAIN) lebih banyak mempelajari taufik dan fikih” demikian penjelasan Bapak Zarkowi Soejoeti, Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama. Lalu penjelasan berlanjut, “Karena itu ada baiknya bila kepada mereka juga diperkenalkan pemikiran-pemikiran mengenai Islam yang ada di kalangan orientalis Barat.”

Bagaimana di universitas yang wajib merupakan benteng kebebasan berikut keterbukaan intelektual?

Kesan yang diperoleh berdasarkan kenyataan adalah sebagai berikut. Para dosen, dari profesor sampai asisten ahli, yang mengetahui misi tugasnya, yakni memeratakan pemilikan ilmu, semuanya bertindak sesuai dengan jiwa keterbukaan intelektual. Dosen yang tidak memperlihatkan keterbukaan intelektual tergolong pada kelompok yang dicoraki oleh aspirasi menjadi adikuasa intelektual.

Bukan suatu dongeng apalagi kabar burung bahwa di perguruan tinggi pemerintah ada seorang guru besar yang menginstruksikan kepada para asistennya: “Jangan memberikan pelajaran terlalu banyak, karena nantinya kita mendapat terlalu banyak saingan “ (dalam praktek kedokteran sehari-harinya).

Lain profesor yang beraspirasi menjadi adikuasa dalam ilmu kedokteran, tidak senang kalau para asistennya mengetahui buku-buku teks terbaru yang sang profesor sedang baca. Aspirasi untuk tetap menjadi adikuasa dalam bidang kedokteran terbukti juga dalam kebiasaannya untuk “memberikan 5 sampai 7 pukulan saja” kepada anak didiknya, seperti suhu silat zaman dulu, yang mempertahankan 3 pukulan bagi bela diri kalau-kalau muridnya makar terhadapnya.

Belum lama ini ada seorang dosen yang mengeluh tentang pengangkatan guru besar. Senat guru besar dianggapnya tidak bertindak bijaksana, apabila seorang guru besar diangkat dan staf bagian yang bersangkutan melontarkan pertanyaan ke ruang bebas: “Karena apa dia yang diangkat menjadi guru besar?” Jika ada keterbukaan intelektual, tidak mungkin seorang yang dikenal kurang bobot akademiknya secara obyektif diangkat menjadi guru besar.

Tindakan anti keterbukaan intelektual yang juga jelas adalah larangan belajar dari buku teks karangan seorang dosen. Profesor yang melarang itu sendirinya tidak mampu menyusun buku teks, namun ia melarang para mahasiswa mempelajari buku teks yang ada (dalam bahasa Indonesia).

Lebih-lebih di rumah sakit, praktek kedokteran sehari-hari dilakukan tanpa keterbukaan intelektual. Seorang penderita dirawat oleh seorang dokter. Dari hari ke hari keadaan pasien mundur dan keluarga pasien mengusulkan untuk mengkonsulkan pasien kepada dokter lain. Dalam hal itu terjadi banyak hal-hal yang menegangkan, yang semuanya merupakan perwujudan dari sikap yang anti keterbukaan intelektual. Salah satu contoh yang diceritakan oleh suami seorang pasien adalah sebagai berikut. “Saya mempunyai dokter langganan yang sudah seperti kawan akrab sekali. Tetapi waktu istri saya sakit dan dirawat oleh dia, saya mengusulkan untuk konsult dokter lain. Di luar dugaan dan pengertian saya ia marah besar, sampai menuding-nuding kepada saya sambil menyampaikan kemarahannya. Ia menghendaki putus hubungan sama sekali.” Minta untuk diperiksa oleh dokter lain kalau keadaan pasien mundur atau kalau diagnosis atau usul tindakan operasi dari dokter yang sedang merawatnya kurang sreg dengan perasaan atau pendapat keluarga. Minta “second opinion” atau “minta pendapat dari dokter lain” adalah hak azasi setiap pasien. Tetapi banyak dokter merasa dihina atau tidak dipercaya kalau pasiennya menghendaki pendapat dokter yang dimintai konsultasi berimplikasi bahwa ia lebih unggul dalam profesinya, maka setiap permintaan konsultasi dirasakan oleh dokter yang sedang merawat pasien sebagai penghinaan, bahwasannya dokter lain dianggap lebih pintar dari dia. Sebenarnya dokter yang sedang merawat pasien (“attending doctor”) harus memperlihatkan keterbukaannya demi kebaikan pasiennya. Semua konsult yang diusulkan pasien harus disetujui. Dalam suasana keterbukaan “attending doctor” dan dokter konsulen mencari cara penanggulangan yang paling baik bagi pasien.  Dalam segala kemungkinan “attending doctor” senantiasa mendapat keuntungan dari konsultasi. Jika terbukti bahwa diagnosis dan tata pelaksanaan mediknya tepat ia mendapat dukungan kuat dari konsulen. Bilamana diagnosis dan terapinya kurang tepat, ia memperoleh pelajaran dan pengalaman tambah.

Menuju keterbukaan intelektual

Orang-orang yang menghalang pemerataan intelektual, orang-orang pencipta kesenjangan intelektual, dan orang-orang dengan aspirasi monopoli intelektual merupakan kekuatan anti keterbukaan intelektual, yang menghalang kemajuan di segala bidang kehidupan bangsa Indonesia.

Banyak kongres ilmiah telah diselenggarakan di Jakarta, Denpasar, dan seterusnya, tetapi belum pernah diadakan dialog nasional tentang sikap intelektual yang nasional, yang sehat dan tepat.

Nepotisme dalam perguruan tinggi dan eselon tinggi segenap departemen RI sukar tumbuh bahkan tidak dapat berkembang, bila terdapat keterbukaan dalam seluruh aparatur negara.

“Brain drain” akibat dipensiunkannya profesor, yang tidak mau menghibahkan segenap pengetahuan dan pengalaman semasa dinasnya menjadi minimal sekali.

Semua sarjana yang bersikap terbuka menjamin kehidupan intelektual yang kreatif dan produktif.

Masalah kesenjangan sosial, pemerataan kemakmuran, dan masalah demokrasi ekonomi bergandengan erat dengan kesenjangan intelektual, demokrasi intelektual, yang dapat ditanggulangi melalui glasnost intelektual.

NB: dua artikel ini dimuat dalam Majalah Horizon No. 6 Thn. XXIV 1990, hlm. 615-618.

pendidikan 12


VI. Cara (Metode) Pendidikan dan Pengajaran

oleh: S. Mangunsarkoro

Soal cara (metode) pendidikan, tidak boleh kita anggap mudah, karene bergantung pada metode itulah apa anak nanti bisa mempunyai sifat kreatif atau tidak, bergantung pada metode itu pula nanti anak di kemudiannya suka pada penyeledikan ilmiah atau tidak, bergantung kepada metode itu pula apakah jiwa anak kemudian “mati” sebagai mesin ataukah hidup mampu mencari jalan baru tiap-tiap waktu dalam hidupnya.

Paham metode yang kolot yang kini diartikan sebagai cara memasukkan pengetahuan sebaik-baiknya dengan bersandar huku asosiasi dan apersepsi, karena kurangnya memperhatikan hidup kebulatan jiwa anak, ternyata mematikan jiwa anak dan membikin anak pasif. Hal itu tidak mengherankan, karena metode itu memang bersumber pada paham “ilmu jiwa tiada jiwa” (zielkunde zonder ziel) yang sudah kolot itu. Maka sudah sepantasnyalah bahwa kita mendasarkan metode kita pada aliran-aliran ilmu jiwa modern, yang memandang jiwa sebagai satu bulatan (individual dan gestalt-psychologie). Dengan pandangan itu maka metode pendidikan tidak kita pandang lagi, sebagai jalan memasukkan pengetahuan dalam angan-angan anak saja, melainkan juga jalan memimpin kemajuan pribadi anak dalam fiil hidupnya.

Bagi Indonesia baru kita menghendaki warga negara yang jangan lagi bersifat pasif dan statis serta tidak ada nafsu menghasilkan barang-barang yang baru, tetapi warga negara yang bersifat aktif, dinamis, dan kreatif. Jiwa yang dalam tumbuhnya tertekan oleh macam-macam hal tentu akhirnya tidak bertumbuh menjadi puncak sifat-sifat aktif. Karena itu maka haruslah metode pengajaran kita berdasar kemerdekaan anak untuk bertumbuh dengan bebas dan sebaik-baiknya sesuai dengan dasar kecakapannya. Kemudian dengan mengingati bahwa untuk pembentukan masyarakat kita harus mengingati tercapainya satu masyarakat yang kolektivistis, maka haruslah pula dasar-dasar kerja bersama itu masuk dalam perhatian. Maka baiklah rasanya jika metode itu memasukkan sifat-sifat dan dasar kerja bersama antara anak-anak dan selanjutnya diusahakan pula supaya hubungan sekolah dan masyarakat serapat-rapatnya. Terutama sekolah-sekolah yang berdasar perekonomian dan perusahaan hendaknya dalam organisasinya berupa “werkgemeenschappen” dan dihubungkan dengan badan-badan ekonomi dan perusahaan yang ada, sebagai yang telah kita uraikan di atas.

Mengingati itu semuanya maka metode werkschool itulah yang sebaiknya: metode werkschool yang bersifat psikologis-didaktis untuk sekolah-sekolah yang bersifat umum, dan metode werkschool yang politis-ekonomis untuk sekolah-sekolah teknik dan perusahaan. Dengan jalan demikian itu mudah-mudahan dapatlah kita mewujudkan suatu sistem perguruan yang memenuhi kepentingan bangsa kita yang sebenarnya.

NB: artikel ini diambil dari Dasar Sosiologi dan Kebudayan untuk Pendidikan Indonesia Merdeka, hal. 28-29. Buku ini ditulis oleh S. Mangunsarkoro pada 1950.