27/02/12

alamat


/1/

gadis itu begitu membenci langit
tetapi dia menanti-nanti
yang di atas mengiriminya gerimis
disertai selembar surat
yang harus tanpa alamat


/2/

tatkala sedang enak menyimak
bayang-bayang burung yang tak tertangkap
kutuliskan alamat lengkap
pada surat yang akan kukirim
sebelum malam bunuh diri


/3/

entah apa yang akan terjadi
hari ini. atas nama kasih sayangnya
yang maha, hujan memang sewenang-wenang

air mengalir, mengeluarkan ricik saja
tanpa bertanya dan berkata-kata


jogjakarta, februari 2012

nun



puisi adalah

jogjakarta, februari 2012

korupsi


Di depan mata Anda, teman Anda menyogok atasannya. Tujuannya: meminta supaya atasannya memberinya proyek gede yang super basah. Apa sikap Anda?

Jika Anda seorang apatis, Anda akan cuek saja dengan peristiwa itu, dan menganggapnya tidak pernah terjadi, untuk kemudian melupakannya selamanya. Jika Anda seorang pengecut, Anda akan merahasiakan peristiwa itu dari publik, tidak menegur teman Anda dan atasannya, menampik suara nurani, berapologi ini itu, dan mencomot teori tertentu untuk membenarkan sikap Anda. Jika Anda seorang opurtunis yang punya bakat dagang + ngakali, Anda akan cepat-cepat memancing di air keruh, meminta uang tutup mulut kepada teman Anda. Jika Anda adalah seorang pembelajar yang sesat, Anda akan meneladani sikap teman Anda, dan memodifikasi metode menyogoknya. Bila ini semua, atau salah satu di antaranya, sudah atau akan Anda lakukan, maka ditinjau dari perspektif moral, Anda tergolong orang yang tidak baik, dan Anda sah menerima hukuman.

Jika Anda orang Jawa dan sejak kecil hidup dalam lingkungan Jawa, maka ketika melihat peristiwa penyogokan tadi di depan mata sendiri, biasanya, entah dengan sadar atau tidak sadar, Anda akan otomatis bersikap: ngalah, ngalih, ngamuk. Ngalah dan ngalih, dalam konteks ini, bisa diartikan sebagai pendiaman. Biar aman, dan biar pergaulan dengan teman Anda tetap harmonis, lebih baik Anda tutup mulut. Pura-pura tak tahu saja, wong sudah sama-sama tahu juga. Hidup rukun—meskipun saling memendam dendam, curiga, dan benci—selalu lebih baik daripada hidup bermusuh-musuhan. Konflik harus dihindari. Stabilitas harus diutamakan. Tetapi kalau penyogokan itu sudah merongrong eksistensi Anda di hadapan masyarakat, maka Anda akan ngamuk, baik kepada teman Anda tadi maupun kepada atasannya, baik dengan jalan hukum manusia maupun dengan jalan hukum rimba, dalam rangka memulihkan citra Anda. Singkatnya, bagi Anda korupsi boleh, asal tak melibatkan Anda, asal tak melecehkan kehormatan Anda, asal tak merusak citra Anda di mata publik, asal tidak menggoyang kedudukan Anda, dan asal tidak mengusik ketenteraman Anda.

Secara kultural, penegakan hukum dan demokrasi pada dasarnya tidak sejalan dengan “sisi buruk” tradisi Jawa ini, yang oleh Pramoedya dinamai Jawanisme. Ini juga menjelaskan mengapa Islam yang berkembang di Jawa, terutama di wilayah yang terkena pengaruh kerajaan Mataram Baru, adalah Islam yang coraknya mistik-sinkretik, dan bukan rasional-legal.

Jika Anda seorang muslim yang teguh dan tegas, yang sedari anak-anak hidup dalam lingkungan muslim yang taat, maka ketika Anda menyaksikan peristiwa penyogokan tersebut, Anda akan ber-nahi ‘anil mungkar. Caranya tiga macam: melarang dengan pukulan, mencegah dengan lidah, mengharamkan dengan hati. Cara terakhir, kata para kyai, adalah cara yang digunakan oleh muslim yang sangat-sangat lemah imannya.

Kesimpulan: seorang muslim hendaknya berpikir secara rasional, dalam koridor hukum, dengan pendekatan sosiologis. Nahi ‘anil mungkar adalah strategi kebudayaan untuk menciptakan apa yang dalam al-Qur’an disebut sebagai khoiru ummah (masyarakat ideal). Pribadi-pribadi yang hidup dalam masyarakat seperti itu adalah pribadi yang bebas, rasional, dan bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri, kemanusiaan secara umum, dan sang hakim maha agung: tuhan; peran kongkretnya tidak beda dengan citizen (warga negara) atau civilian (orang sipil) dalam sistem sosial sekuler.

jogjakarta, februari 2012

21/02/12

dengan nama ada


ada dewata
yang menyebabkan petaka
kelak dia
dinamai:
kesombongan

ada sanghyang
yang menghalangi cinta
kelak dia
dinamai:
kesombongan

ada berhala
yang mengajarkan kebodohan
kelak dia
dinamai:
kesombongan

ada tuhan
yang mewahyukan ketakutan
kelak dia
dinamai:
kesombongan

ada panembahan
yang menyebarkan kesedihan
kelak dia
dinamai:
kesombongan

ada setan
yang mengaku tuhan
kelak dia
adalah aku
yang dinamai:
kesombongan

yogyakarta, februari 2012

08/02/12

apuisi

saat inilah masa laluku
inilah saatnya masa depanku

di sinilah di sana

akulahmu

jogjakarta, februari 2012

07/02/12

Quantum


Baik Quantum Learning (QL) maupun Quantum Teaching (QT) dibangun dari tiga komponen pokok: suggestology, accelerated learning, dan neuro linguistic program (NLP), dan dirancang berdasar cara kerja otak (whole brain). Bobbi DePorter awalnya menciptakan metode belajar-mengajar ini untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia di lingkungan perusahaan (Quantum Business). Tujuan kongkretnya, mengubah para staf yang sebelumnya bekerja bak robot atau kuli menjadi manajer yang berjiwa wirausaha. Metode ini meniupkan ruh ke dalam perusahaan yang sebelumnya tampak mati suri.

Ada kesamaan filosofis antara metode quantum dengan paradigma pendidikan Romo Mangun. Bedanya, DePorter menyusun metode belajar yang praktis dan ready-for-use bagi siapapun, kapanpun, dimanapun. Romo Mangun tidak. Ki Hajar juga tidak.

Jika QL memaparkan cara mendesain lingkungan belajar yang positif dan cara belajar yang tepat-cepat, maka QT lebih membabarkan pentingnya komunikasi yang positif dan terjalinnya interaksi yang sehat-intim antara guru dan siswa. Keduanya bertumpu pada tesis: emosi positif membuat belajar menjadi menyenangkan, mudah, dan cepat. Asas utama QT: bawalah dunia mereka (siswa) ke dunia kita (guru) dan antarkan dunia kita (guru) ke dunia mereka (siswa). Apa yang hendak dicapai adalah proses manunggalnya dunia guru dan dunia siswa. Dalam konteks belajar, jarak umur, status sosial, pilihan politik, perbedaan agama, dan segala sekat-prasangka lebih baik direlativisir dan dikesampingkan terlebih dahulu. Konflik yang berlangsung di dalam kelas adalah konflik yang positif, ilmiah, produktif.

Oleh karena itu, guru tidak saja harus menguasai ilmu yang akan dia ajarkan kepada siswanya, namun lebih daripada itu, dia mutlak memahami “intisari” ilmu komunikasi, psikologi, dan sosiologi. Tugas guru pun tidak semata-mata mentransfer pengetahuan kepada siswa. Guru adalah, meminjam istilah DePorter, seorang maestro yang mengorkestrasi suasana belajar sedemikian rupa sehingga bakat dan kreativitas siswa teraktualisasikan secara maksimal. Guru adalah pemimpin; pemimpin yang memberdayakan dan memandirikan siswa baik dalam belajar maupun dalam hidup. Inilah yang disebut sebagai quantum: bermutasinya energi (terpendam) menjadi cahaya.

Fokus metode quantum adalah perkembangan ideal siswa. Untuk sampai ke sana, guru mesti banyak belajar, artinya guru juga harus terus memperkembangkan dirinya. Dalam metode quantum, guru dan siswa sama-sama belajar. Siswa belajar cara belajar dan keterampilan hidup. Guru belajar cara mengajar dan pengendalian diri. Selain itu, sekolah, ruang di mana siswa tumbuh, mau tak mau harus mereformasi dirinya. Manajemen dan citra sekolah diperbaiki. Keterampilan, pengetahuan, dan moral (!) guru dibenahi. Hubungan antara sekolah dan elemen pendidikan lainnya juga perlu diharmoniskan dan diproduktifkan. Sampah-sampah yang menghambat komunikasi antarperson maupun antarlembaga dibersihkan.

Kunci kesuksesan penerapan metode quantum dalam sebuah sekolah lebih dipegang oleh pemimpin sekolah bersangkutan daripada oleh guru. Bila kepemimpinan sekolah lembek dan jumud, jangan harap semua guru akan betah mempraktekkan metode quantum. Satu-dua guru quantum hanya akan menelurkan satu-dua siswa quantum, itu pun dengan proses yang melalahkan. Sementara itu, sekolah tadi tetap menjadi sekolah yang berpihak kepada orang dewasa dan tidak berpihak kepada siswa, anak-anak.

Saya ingat salah satu prinsip pedagogi Ki Hajar: guru menghamba pada anak. Sekolah mengabdi kepada siswa. Drost, reformis sekolah katholik di Indonesia, juga bersandar pada prinsip tersebut. Dan pemimpin harus mengabdi pada rakyatnya (servant leader), bukan?

Jadi, apa yang membuat pemimpin bisa tulus mengabdi kepada rakyatnya, guru bisa tulus melayani siswanya? DePorter tak menjawab pertanyaan ini. Tapi tampaknya Rendra diam-diam sudah kasih jawaban.

Yogyakarta, 5 Februari 2011