09/09/12

Surat Seruling, Kepada D


kita telah belajar
membaca jarak
antara lebah dan madu
tabah menghisap rahasia rindu

kita pun lalu tahu:
manis dan pahit adalah daun
jelita ketika muda, tapi nanti gugur juga
menyentuh tanah. menyatu dengan masa lalu

kepadamu, aku berharap sebenarnya
di samping makamku besok, kau berbisik—diiringi gerimis pagi:
aku berjanji, menyelesaikan kisah yusuf-zulaikha
dengan sebaris seloka yang liris

yogya, september 2012


nb: ada dua sebab kenapa saya menulis puisi ini. Yang pertama, kepada seseorang, saya pernah berjanji akan membuatkan untuknya puisi. Kepada dialah saya persembahkan puisi ini, sebagai permintaan maaf, tanda terima kasih, dan hadiah sederhana. Maka kepadanya, saya ucapkan “Selamat Menikmati”. Yang kedua, lagu Ada Band, “Cinta Sempurna”, lagu yang mungkin dinilai picisan, tetapi kadang-kadang sejenak menyelamatkan saya dari seretan arus waktu.

Dua sebab ini, apalagi yang terkahir, memang terdengar norak, dangkal, dan remeh. Tapi katanya, hal-hal besar hanya menghipnotis gerombolan anak-anak muda untuk menulis pamflet, slogan, atau poster protes, dan menempel foto mereka sendiri pada baliho iklan rokok. Sedangkan puisi, dipanjatkan oleh seorang pemulung lapar tepat ketika dia menemukan gelas aqua bekas yang terlantar di tepi selokan. Begitu remeh, menurut kita—termasuk saya—yang selalu kebagian jatah sarapan berlebih dari Tuhan.

Ikhtiar Percakapan


malioboromu dulu yang sekarang hilang, percayalah
tak bisa kita cari dengan pementasan puisi
orasi anak-anak menantang matahari, dan nyanyi tari tradisi

mal-mal tetap tambah gagah
menggoda gadis-gadis membuang rupiah
rimbun reklame berjejer sesak
bulan sabit dan salib pun sekedar
latar belakang yang samar
tersingkir bersama tumpukan buku yang tak terjual
nyaris putus asa menanti wali
barangkali ia tak lahir lagi

apa yang kau wasiatkan bagi tuli telinga kami?
bisu torso dewantara dan affandi
sedikit legenda umbu landu paranggi yang mengelabui akal hati
catatan harian sultan kesembilan yang dibakar keluarganya sendiri
risalah lusuh suryomentaram yang dipendam pagi hari
tasbih diponegoro yang disembunyikan dalam lukisan sepi?

sementara tabiat kami, kau pasti mengerti
memburu waktu yang bergegas lari

mari belajar pada pasir
mengembara dari rahim merapi
rela lega berenang ke hilir

aku mafhum, itulah jawaban bima yang kalah
namun, baru ratu kidul yang mampu berkunjung ke utara
nyata menikmati mimpi perawan jejaka

yogya, september 2012

02/09/12

Cin(t)a, Sekali Lagi


Ajari aku
Sekali lagi
Cara untuk mencintaimu

Saya kembali, untuk kesekian kali, menonton “Cin(t)a”, sebuah film garapan Sammaria Simanjuntak. Kesan saya, film ini filosofis, simbolis, dan puitis. Produksinya tampak tak main-main, meskipun akting dua aktor utamanya masih belum sempurna. Ada gerak mata, raut wajah, dan bahasa tubuh yang tidak sesuai dengan suasana cerita yang dikehendaki. Mereka masih sedikit kikuk dan kaku. Selain itu, terkadang logika cerita tidak dijaga dengan ketat. Ini kesan saya, bukan penilaian seorang sutradara, apalagi kritikus.

Cin(t)a bukan film arus utama. Ia membawa tema yang berat dan pesan yang beresiko: Cinta yang diharapkan dapat menyatukan perbedaan. Film ini memberontaki agama, tradisi, dan konvensi masyarakat kita. Singkat kata, ia tidak populer. Buktinya, film ini bagus—setidaknya menurut saya—dari segi tema maupun sinematografi, tetapi hingga kini, lebih dari lima tahun setelah masa produksinya, Cin(t)a masih kurang terkenal. Saya belum pernah menemukan ulasan yang meluas dan mendalam terhadap Cin(t)a. Sambutan publik terhadapnya tidak semeriah sambutan yang diberikan kepada, misalnya, “Ayat-ayat Cinta”, “Laskar Pelangi”, atau “Sang Penari”. Dapat dikatakan dengan ungkapan yang dibikin puitis, Cin(t)a adalah film yang berasal dari sunyi, dihikmati oleh sunyi, dan kembali kepada sunyi. Ya, ia memang berdakwah tentang sunyi, tentang spiritualitas, tentang tuhan, dan tentang manusia yang (tak) kapok-kapok mencari-Nya.

Apapun respon publik terhadap Cin(t)a, saya selalu hanya memujinya dengan tepuk tangan beriring decak kagum. Dalam hati saya bergumam: “ini baru film!”. Saya bersukur gembira, orang Indonesia ternyata bisa juga membuat film sebagus Cin(t)a. Walaupun telah menontonnya entah berapa kali, saya tidak merasa bosan. Pada setiap pembacaan, saya menemukan makna yang baru, atau Cin(t)a senantiasa menyingkapkan bagian dirinya yang lain, yang selama ini tersembunyi dari pengetahuan saya. Film ini memang puitis, dan relatif mendewasakan. Kapan-kapan, saya kepingin menonton Cin(t)a lagi. []

Bumi Malayu-Bumi Mataram, 27 Agustus-1 September 2012

di negeri para puisi


Di negeri para puisi
Yang kutemukan semata-mata dia
Perempuan yang menanggalkan segala pakaian dari raganya
Demi kemuliaan jabang bayinya kelak
       Kupandang-pandang wajahnya yang sunyi
       Jauh dari gua garba di mana aku hanya bisa sembunyi
       Menyalakan perapian rahasia di dalam lubuknya
       Menggambar mimpi dan harapan pada dindingnya
       Tanpa peduli lagi dengan padam dan sirna, sementara dan sia-sia

Di negeri para puisi
Yang kutemukan hanyalah dia
Bayang-bayang yang hinggap sekejap saja
Dalam genggaman mata rinduku

Di negeri para puisi
Yang kutemukan hanyalah dia
Keberadaan yang barangkali tak terketemukan
Lebih-lebih oleh aku: pelupa yang angkuh ini

Yogya-Jambi, Juli-Agustus 2012

manusia


Qiyamuhu binafsih, itulah Allah. Tetapi, kenapa ketika salat kita masih harus membesarkannya, padahal Ia adalah Yang Mahabesar? Kenapa kita masih harus mensucikannya, padahal Ia adalah Yang Mahasuci? Kenapa kita harus memujinya, padahal Ia adalah Yang Maha Terpuji? Akhirnya, kenapa dan untuk siapa kita salat, kita beribadah, kita berislam, sementara Tuhan adalah Yang Maha Sempurna dan Ia sebenarnya tidak membutuhkan sesaji dan pengorbanan dari kita? Jawabannya, karena (barangkali) kita sendirilah yang akan memanen manfaat dari segala bentuk ibadah kita. Makna Tuhan berkorelasi dengan makna manusia.

Ketika kita memahabesarkan Allah, terbit secercah kesadaran bahwa hanya Allah-lah yang pantas menyandang gelar maha besar. Selain Allah, segenap makhluk-Nya, termasuk kita, adalah kecil belaka. Kesadaran akan kekecilan manusia (di hadapan Tuhannya) ini mengantarkan kita kepada perlunya sikap rendah hati dan tidak sewenang-wenang, tak sebatas terhadap sesama manusia saja, tetapi juga terhadap makhluk-makhluk lainnya: hewan, tumbuhan, malaikat, jin, bumi, langit, dan seterusnya. Kemahabesaran, kesombongan, dan kesewang-wenangan hanya milik Allah semata. Pada saat memahabesarkan Allah, kita sedang diajari oleh-Nya bagaimana menjadi khalifah yang baik, benar, dan indah (memayu-ayu ayuning salira, memayu-ayu ayuning manungsa, memayu-ayu ayuning buwana).

Penalaran keharusan memahabesarkan Allah dan dampak positifnya bagi manusia ini analog dengan penalaran keharusan memahasucikan-Nya dan memahaterpujikan-Nya; analog pula dengan alasan humanistik mengapa dan untuk siapa kita salat, beribadah, dan berislam. Ternyata, tidak lain tidak bukan, semua itu bermanfaat untuk kebahagiaan diri kita sendiri di dunia dan di akhirat. Dan justru manfaat yang sifatnya egoistis ini dapat diraih tatkala kita dengan tulus mempersembahkan total diri kita untuk-Nya (lillah). Maka, manusia yang tulus adalah manusia yang paling egois.

Ringkasan dari catatan kecil ini adalah bahwa memahabesarkan, memahasucikan, dan memahaterpujikan Allah pada hakikatnya merupakan usaha personal untuk membesarkan, mensucikan, dan menterpujikan diri sendiri. Penegakan secara konsisten ritual salat, yang merupakan salah satu tanda manusia yang bertakwa, akan mengangkat derajat kita secara bertahap ke taraf manusia yang mulia (karim).

Saya telah membuktikan hal ini melalui penalaran. Tugas saya selanjutnya adalah membuktikannya dengan praksis nyata sehari-hari. Semoga Allah memberi saya kemauan, kekuatan, dan kemudahan untuk melaksanakannya. Semoga Allah senantiasa membimbing langkah saya. Amin.

Jogjakarta, 27 Juli 2012