20/06/11

puisi, keinginan, sebab

Sebenarnya saya ingin sekali menulis sesuatu yang lebih bermakna daripada sekadar puisi. Misalnya, esai panjang yang ditopang dengan teori matang, argumentasi terang, dan observasi yang sabar dan tenang, serta menawarkan tesis yang solutif dan siap-terap. Misal lain, cerita endapan dari intipati realita yang disusun dengan perangkat bahasa yang simbolistis, indah, multimakna, tak membosankan, tak membingungkan, beralur investigatif, menyuguhkan pertanyaan bukan jawaban, serta dapat dicerna hanya dengan sekali baca. Misal lain lagi, ulasan buku yang tidak cuma mengulang apa yang ditulis pengarang, namun menunjukkan berbagai kekurangan dan kemungkinan jelajah wacana baru bagi buku tersebut. Dan seterusnya, dan sebagainya.

Tetapi puisi tidak pernah bisa disamakan atau dipaksa sama dengan jenis tulisan lain. Puisi memiliki kekuatan dan rahasianya sendiri. Puisi membuka, mengungkap, dan menyingkap potensi tersembunyi dari kata-kata. Puisi, oleh karena itu, juga ikut serta membocorkan rahasia alam, manusia, dan tuhan. Puisi membantu, sangat-sangat membantu saya belajar.

Hanya melalui puisi, hasil renungan dapat dibahasakan dan dikomunikasikan. Tata bahasa dan tata makna, yang wajib dipakai ketika menulis esai dan cerita, tidak memberi ruang dan peluang bagi hasil renungan untuk tampil di atas kertas. Jadi wajar bila kebanyakan para mistikus lebih suka menuangkan pengalaman esoteriknya dalam bentuk puisi atau semacamnya. Dan kita tahu, rata-rata penyair memang adalah mistikus yang menempuh individuitasnya sendiri-sendiri.

Maka keinginan yang saya tulis dalam kalimat pembuka tulisan ini tidak mungkin tergapai. Sebab puisi adalah tulisan yang paling bermakna.

Baidewai, kenapa saya kok ndadak menuliskan hal ini?

16/06/11

anak-anak dan awan-awan

KETIKA berumur lima atau enam tahun, setelah letih berladang atau sekadar bermain layangan, saya suka sekali memandangi arak-arakan gumpalan awan sembari baring-baring di saung. Semilir angin, kerisik daun, dan cericit burung dusun sering membuai mata saya.

Saya tak mau terbuai. Saya berikhtiar melawan kantuk. Saya masih ingin memandang awan-awan yang berkeliaran bebas di langit itu. Mereka merdeka merangkai rupa dirinya masing-masing, tanpa intervensi dan rekayasa manusia manapun. Langit biru adalah panggung teater yang luasnya tak berbatas, tempat mereka mempelajari dan memerankan riwayat sepanjang hayatnya.

Awan-awan itu seperti sekawanan hewan dari luar angkasa yang tengah berlomba lari mencapai garis finish yang jauh, teramat jauh hingga mata manusia tak dapat menatapnya. Lain waktu, awan-awan itu menyerupai pesawat canggih yang ada dalam film starwars, lengkap dengan beberapa pesawat siluman yang mengintai bumi. Mereka seperti sedang menjalankan misi rahasia untuk menaklukan dan menguasai bumi, serta menjadikan manusia sebagai budak-budak galaksi. Kala lain, ada awan yang begitu mirip bidadari dengan rambut dan gaun tergerai, ada juga awan yang bagai malaikat dengan sayap-sayapnya yang mengembang, dan ada pula awan yang sedang mengamuk serupa godzila atau t-rex atau naga, menghancurkan apa saja yang melintas di sekililingnya, termasuk awan-awan yang berbentuk kupu-kupu dan capung.

Awan-awan putih itu seperti sedang mengejek dan menertawai tingkah-polah manusia, atau mereka sebenarnya sedang memperingatkan pada manusia bahwa lalim dan zalim akan membawa pada jurang kenistahinaan, atau mereka hanya berupaya menghibur anak-anak yang jiwanya remuk  karena keamburadulan pendidikan keluarga, atau awan-awan itu sejatinya adalah anak-anak: apa adanya bermain bersama biru, putih, angin, dan tinggi dengan tidak berpamrih terlampau muluk, kecuali memperoleh keriangan dan keceriaan dengan menikmati permainan tersebut.

Tetapi saya sedih dan menyesal ketika senja yang kadang kuning kunyit kadang merah jambu datang dari barat, merampas matahari hangat, menelan awan-awan yang gembira itu, dan membentangkan tirai malam yang hitam-kelam. Saya bangkit dari saung dan berjalan gontai pulang ke rumah. Sampai di rumah, saya menemukan wajah ibu yang sumringah, menyambut saya dan ayah saya dengan kudapan pecel pedas dan sekaleng kerupuk ubi yang gurih.

Kesedihan saya hilang. Penyesalan saya lepas. Sebab saya yakin, dengan wajahnya yang sederhana, sabar, dan gigih itu, ibu adalah hari esok ketika saya akan berjumpa kembali dengan: awan-awan yang menyiapkan beragam kejutan bereneka cerita, langit biru yang mengajarkan kepercayaan dan cinta, serta matahari yang penuh kasih sayang.

seloko jambi

1.    Adat bumbun menyelaro, adat padang kepanasan

2.    Adat nan dak lekang dek panas dak lapuk dek ujan titian teras betanggo batu, jalan berambah nan diturut, baju bejait nan dipakai, sumur tegenang nan disauk

3.    Kalah ikat kerno buatan, kalah pusako kerno mupakat

4.    Ado sirih nak makan sepah

5.    Ambil benih campakkan sarap

6.    Apo digaduh pengayuh samo di tangan biduk samo diaek

7.    Aral petako karamo makalmaut

8.    Bak membelah betung, sebelah diinjak, sebelah gi diangkat tinggi

9.    Berjalan kincir kerno aek, begoyang dahan kerno anginnyo

10.    Betelur nyamuk di punggung

11.    Beujo bepegang eko, beambur bepegang tali

12.    Buluh tuo menyesak kalu ditebang dak beguno

13.    Bungkal nan bepiawai arus nan bedengung

14.    Burung kecik ciling mato, burung gedang duo suaro; titian galing dalam negeri, pagar nan rapat makan tanaman

15.    Dak telak nggigit tanduk, nggigit telingo

16.    Dikit menjadi pembasuh, banyak menjadi musuh

17.    Di mano titik di sano ditampung, di mano patah di sano disisip, di mano terbit di sano dituai

18.    Elok cakap tengah berembug, buruk cakap serambi berembug

19.    Jangan bepikir sekali sudah behemat sekali habis

20.    Jatuh di tempat nan rato, anyut di arus nan tenang

21.    Kalu dak tembilang patah tanaman tekalik

22.    Keruh aek di ilir, perikso di ulunyo; senak aek di ulu, perikso di muaronyo

23.    Laksano kayu di dalam utan patah tumbuh ilang beganti

24.    Lain biduk nan dikayuh, asing sampan nan ditambat

25.    Macam narik benang dalam tepung; benang dak putus, tepung dak beserak

26.    Menurut runut nan terentang sejak bari, menempuh jalan nan berambah sejak dulu

27.    Merantau baolah ayam betino jangan dibao ayam jantan

28.    Naik lah dikungkung dahan turun lah dipasung banir

29.    Padi ditanam tumbuh lalang, ayam di pautan ditangkap elang, ikan di pemanggangan tinggal tulang, di semak rimau mengadang, di aek pun buayo mengarang

30.    Pandang aek pandanglah tubo, pandang ikan nan kan binaso

31.    Patah lidah utang tumbuh, patah keris badan binaso

32.    Salah langkah kaki patah, salah jangkau tangan putus

33.    Tebing runtuh tepian beranjak, tanjung putus teluk beralih

34.    Tonggak nan idak dapat digoyangkan, cermin gedang nan idak kabur

35.    Ukur mato jangan diliat sajo, ukur telingo jangan didengar sajo; kurang sisik tunas menjadi, kurang siang rumput tumbuh

36.    Urang kayo betabur urai, urang mulio betabur budi

37.    Ganggang belut belengan panjang, jangan nak meluncur aek di papan

38.    Kelaso besak tanduk tajam

39.    Hendak balam padi rebah

40.    Mudik keno lukah, ilir keno tekalak; nak maju bedil betenok, nak mundur ranjau tepasang

41.    Mudik setanjung, ilir serantau

42.    Tanggo batu nan betingkat, titian teras nan betiti

43.    Rantau jauh diulangi, rantau dekat dikenonoh