11/07/14

dosa



DOSA itu anugerah. Jalan berbelok dan berkelok dalam rangka menghampiri Tuhan. Ibarat lain: dosa itu jembatan. Jembatan memisahkan sekaligus menghubungkan. Memisahkan kampung seberang sini dengan kampung seberang sana. Juga menghubungkan kedua kampung tersebut.

Begitu pula dosa. Dosa memisahkan, namun sesungguhnya juga menghubungkan, pendosa dengan kebaikan dan Kebaikan. Dengan meniti jembatan, warga kampung seberang sini dapat memijakkan kakinya di kampung seberang sana. Dengan meniti jembatan dosa, yaitu dengan bernadam dan bertaubat, pendosa bertemu dan menyatu kembali dengan Kebaikan. Tampaknya memang dosa menjauhkan pendosa dari Tuhan, tetapi dosa dapat berfungsi sebaliknya, mendekatkan pendosa dengan Tuhan.

Pengertian dosa yang tak satu dimensi ini hanya berlaku bagi hamba yang menyadari kodrat kemanusiaannya. Manusia bukan malaikat. Ia tak bisa suci dari dosa. Dosa adalah pakaian yang tak pernah dilepaskannya barang sedetik pun. Sekali bertaubat, berkali-kali maksiat. Sulit untuk sebaliknya: sekali maksiat, berkali-kali bertaubat.

Perjuangan membersihkan hati tidak lain kecuali usaha, sadar atau pun tidak sadar, untuk mengisyafi kodrat kemanusiaan yang rapuh dan ambivalen: dosa merupakan bagian integral sekaligus unsur pembentuk kemanusiaan. Jangan sebut dirimu manusia jika kau menganggap jiwamu bersih dari dosa.

Apa implikasi etis dari pemahaman akan kodrat kemanusiaan yang rapuh dan ambivalen ini? Manusia suci itu omong kosong. Setiap kita pasti berdosa. Maka, kerendahan hati merupakan imperatif moral. Kesombongan mestinya ditertawakan, apalagi kesombongan yang berakar pada perasaan suci, yang pelakunya menunggangi simbol-simbol keagamaan untuk mempertontonkan kealiman dirinya kepada khalayak. Kesombongan jenis ini biasanya bercampur dengan niat pamer.

Saya tahu tentang hal ini karena saya sering mengalaminya sendiri. Bagaimana dengan Anda? Kalau Anda tak pernah mengalami dan merasakan kesombongan suci ini, berbahagialah, sebab Anda boleh jadi bagian dari jenis manusia yang terpilih dan tertolong, yaitu para rasul, nabi, dan wali.

Kita sepakat, Adam itu nabi, nabi pertama sekaligus manusia pertama. Sebagai manusia, ia rapuh dan ambivalen. Sebagai nabi, ia ditolong dengan diselamatkan dari kesombongan suci. Bagaimana cara Tuhan menyelamatkan Adam dari kesombongan suci tersebut?

Syahdan, waktu itu Hawa sudah diciptakan. Ia dan lelakinya, Adam, hidup di surga dengan bahagia. Segala kebutuhan tercukupi. Tidak ada kesusahan. Tidak ada penderitaan. Tidak ada lapar. Tidak ada dahaga. Tidak ada ketelanjangan. Tidak ada panas matahari yang membakar badan dan dingin hujan badai yang menyayat kulit. Suatu kehidupan ideal, yang bagi kita utopis.

Pasangan manusia pertama itu hidup tenteram sampai iblis datang untuk menipu mereka dengan mengajarkan ilusi dan kebenaran palsu. Iblis mengerti kelemahan manusia: nalar, perangkat mental yang, celaka betul, dibanggakan manusia modern.

Sebelum kedatangan iblis, Tuhan mempersilakan Adam Hawa untuk menikmati apa saja yang ada di surga, kecuali buah pohon terlarang. Tuhan melarang mereka mendekati pohon haram itu. Tapi iblis menghasut mereka dengan pertanyaan yang tampak kritis.

Mengapa, bisik iblis, Tuhan melarang kalian menikmati buah pohon haram itu? Larangan Tuhan itu, dari sudut pandang kalian, tidak rasional. Tahukah kalian, jika memakannya, kalian akan hidup abadi? Kalian akan memiliki kerajaan yang waktu tidak dapat menghancurkannya. Bukankah yang kalian cari-cari itu adalah keabadian? Bukankah kalian was-was, nikmat hidup di surga ini jangan-jangan suatu saat akan berakhir? Dekatilah pohon itu. Makanlah buah itu. Agar kalian memperoleh keabadian. Agar kalian menjadi penduduk surga selamanya.

Begitulah, iblis menggunakan nalar manusia untuk membuat benar apa yang salah, untuk membikin halal apa yang sebenarnya haram, dan untuk melegitimasi kedurhakaan kepada Tuhan. Sampai sekarang, iblis masih menggunakan strategi nalar ini untuk merekrut pengikut.

Bagai seorang awam yang termakan tipuan rasional seorang cendekiawan, Adam Hawa termakan oleh tipuan rasional yang diajarkan iblis. Mereka memetik buah pohon terlarang itu. Memakannya. Demi keabadian.

Meskipun telah melanggar larangan Tuhan, mereka mulanya merasa tak berdosa. Toh, tindakan mereka rasional belaka. Secara nalar, tidak salah. Tapi bagi Tuhan, pelanggaran adalah pelanggaran. Kedurhakaan tetaplah kedurhakaan. Nalar tidak identik dengan kebenaran. Bahkan, boleh jadi, nalar malah bertentangan dengan kebenaran.

Manakala Adam Hawa memakan buah terlarang, jatuhlah titah Tuhan. Mereka harus keluar dari surga. Pindah ke bumi. Pendurhaka tak pantas tinggal di surga. Pendosa harus hidup di bumi, tempat segala ketaksempurnaan dan kesemantaraan, tanah ketaksucian, medan permusuhan dan pertumpahan darah.

Fasilitas surgawi yang dulu dinikmati Adam Hawa dicabut. Kini mereka mengalami kesusahan. Penderitaan. Kelaparan. Dahaga. Ketelanjangan, yang memunculkan rasa malu, sehingga mereka lekas-lekas menutupi tubuhnya dengan dedaunan. Juga merasakan panas matahari yang membakar badan, dingin hujan badai yang menyayat kulit. Segala kenikmatan tinggal kenangan. Bisakah masa lalu kembali?

Adam mungkin mempertanyakan hal itu. Mungkin juga tidak. Kita tak pernah dengan detail tahu apa yang berkecamuk dalam dada Adam setelah ia dikeluarkan dari surga. Kita hanya mendengar berita dari langit yang disampaikan nabi bahwa Adam merasa begitu berdosa dan begitu menyesali kedurhakaannya, bahwa Tuhan mengajarkannya kalimat taubat, dan bahwa Tuhan menerima taubatnya. Demikianlah cara Tuhan mengajarkan taubat kepada Adam. Demikianlah cara Tuhan mensucikannya. Demikianlah cara Tuhan menyelamatkannya dari kesombongan suci.

Sekiranya Tuhan tak membiarkan Adam berlaku dosa, Beliau tak punya alasan—jika kita mengira bahwa Tuhan bertindak harus berdasarkan alasan—untuk memindahkan Adam dari surga ke bumi. Dan sekiranya Tuhan tak menulis skenario pemindahan tersebut, Adam barangkali terperosok dalam jurang kesombongan suci.

Semasa masih tinggal di surga, barangkali Adam menyangka bahwa manusia itu suci. Tak tersentuh dosa sama sekali. Kesucian ini merupakan keunggulan manusia atas makhluk yang lain. Malaikat memang suci, tapi Tuhan telah memerintahkan malaikat untuk memuliakan Adam, meninggikan manusia. Artinya, derajat manusia lebih tinggi daripada malaikat. Artinya lagi, nilai kesucian manusia lebih tinggi daripada nilai kesucian malaikat. Manusia, yang diwakili Adam, lebih unggul daripada malaikat.

Kesucian dari dosa dan penghormatan oleh malaikat adalah dua pemantik yang berpotensi menyalakan api kesombongan suci Adam. Tapi Tuhan menyelamatkan Adam. Pemantik pertama, kesucian dari dosa, dihancurkan dengan membiarkan Adam berlaku dosa memakan buah pohon terlarang. Adam kemudian insyaf, dosa merupakan kodrat manusia. Ia juga insyaf, justru karena kodrat keberdosaannyalah manusia berpeluang untuk menempati kedudukan yang lebih tinggi daripada malaikat.

Malaikat itu suci dan tak perlu mensucikan diri. Kesucian manusia beda dengan kesucian malaikat. Tidak ada manusia suci, yang nilai dan bentuk kesuciannya serupa dengan nilai dan bentuk kesucian malaikat. Kalau pun kerusakan tatanan budaya dan sosial mengharuskan kita bicara tentang manusia suci, predikat kesucian yang disandangnya sudah harus dipahami secara lain, yaitu secara tidak final dan statis.

Bagi manusia, kesucian adalah proses. Proses panjang, berat, dan melelahkan dalam rangka membersihkan hati. Jihad akbar yang hampir-hampir mustahil dikerjakan. Harapan setinggi langit yang hampir-hampir tak mungkin dibumikan.

Kendati demikian, pendosa yang bertekad dan berjuang membersihkan hati, dilarang berputus asa. Sebab, pada hakikatnya manusia tidak kuasa mensucikan dirinya sendiri. Pada akhirnya Tuhanlah yang mensucikannya. Seperti Tuhan mensucikan Adam. Sebab lain: membersihkan hati adalah kewajiban yang jauh lebih wajib daripada kewajiban salat, puasa, zakat, haji.

Apalah artinya ibadah ritual jika tak disertai kemauan keras membersihkan hati. Ia hanya akan menjadi ibadah yang hampa makna. Tak berbekas di jiwa. Tak melahirkan transformasi etika yang otentik. Tak menciptakan perbaikan karakter. Akhirnya, tak mendukung dan mendorong kemajuan sosial dan budaya, malah mendegradasikan budaya dan memporak-porandakan harmoni sosial. Ibadah menjadi kontraproduktif, menyimpang dari orientasi spiritual yang digariskan.

Untuk mengorientasikan ibadah, baik ibadah berbentuk vertikal maupun horizontal, kita memerlukan dosa, perasaan selalu berdosa, yang berfungsi sebagai titik tolak pembersihan hati. Kita memerlukan kesadaran akan ketaksucian pribadi yang melahirkan kerendahan hati, sebuah sikap mental yang membuat kita mau dan mampu menghormati, menghargai, dan meninggikan manusia lain. Mau dan mampu memanusiakan manusia, ngewongke wong. Apapun latar belakang agama, kebudayaan, kebangsaan, dan politiknya. Bagaimana pun tingkat ekonomi, sosial, dan pengetahuannya. Kita membutuhkan dosa, perasaan selalu berdosa, agar kembali terhubung dengan kebaikan dan Kebaikan.

Jadi, para pendosa boleh tersenyum. Tak perlu tenggelam dalam kedukaan berlarut-larut. Jangan terus-menerus berputus asa. Sebab, dosa adalah undangan dari Tuhan untuk memasuki rumah-Nya dan bertatap wajah dengan-Nya. Pada rumah Tuhan, ada banyak pintu. Salah satunya pintu taubat. Dosa adalah kunci untuk membuka pintu taubat tersebut. Dalam urusan ini, Adam, bapak kita itu, ialah teladan yang baik.

Yogyakarta, Juli 2014