23/11/12

Mereka Tak Pernah Mati



I
Judul tulisan ini merupakan modifikasi saya atas judul sebuah buku yang diterbitkan dalam rangka memperingati Rendra: Rendra, Ia Tak Pernah Pergi. Seingat saya, buku itu adalah kumpulan esai yang ditulis oleh berbagai tokoh dari beragam latar belakang untuk mengenang dan membaca sosok Rendra dari beraneka sudut pandang, ditambah dengan beberapa berita dari surat kabar tentang Rendra, karya, dan kegiatannya. Dulu, sehabis membaca buku itu sekilas, saya berkesimpulan: Rendra memang telah mati, tetapi gagasannya, cita-citanya, puisi-puisinya, dan segala warisan yang ditinggalkannya tak pernah mati. Rendra masih dan akan terus hidup di dalam karyanya. Rendra sesungguhnya tak pernah mati.

Sekarang saya cenderung merombak kesimpulan yang dangkal itu. Rendra disebut tak pernah mati bukan karena gagasannya, cita-citanya, atau pun karya-karyanya, melainkan karena ia mempunyai etos hidup, etos bekerja, dan etos berkarya yang sangat tinggi. Hingga menjelang ajalnya, ketika sakit parah, ia masih berkarya. Ia tak hendak kalah, tak rela menyerah betapa pun payah kondisi yang dialaminya. Bermodal kegigihan yang mengagumkan itu, berjumpalitanlah Rendra memajukan teater modern Indonesia, dan berjungkirbaliklah ia menggubah puisi-puisi yang monumental dan yang secara kualitas sukar dicari tandingannya.

II
Pernah saya menonton film yang menggugah2, menceritakan beberapa fragmen kehidupan Gandhi. Dalam film yang saya lupa judulnya itu, ada satu adegan, yang tak lagi saya ingat betul, yang membuat saya terhenyak dan terdiam.

Di tengah-tengah kerumunan orang, Gandhi berkeras mengambil dan membacakan entah dokumen apa—film yang menggunakan bahasa Inggris itu tidak dilengkapi teks terjemahan, sedangkan saya tidak mahir berbahasa Inggris, jadi saya tidak paham dengan cerita film itu secara keseluruhan, juga tidak tahu dokumen apakah itu. Tentara yang tak setuju dan tak suka dengan tindakan Gandhi, lantas dengan senapan memukul pundak dan betis Gandhi. Gandhi terjatuh. Dokumen yang ia pegang pun terjatuh, buyar. Gandhi mengumpulkan dokumen yang berserak tersebut, lalu ia berdiri kembali, membacakan isi dokumen itu dengan setengah merintih karena kesakitan, tetapi dengan badan yang tegak kokoh dan tegap. Tentara lalu memukul Gandhi sekali lagi, dan Gandhi terjatuh sekali lagi, dan dokumen yang ia pegang buyar dan berserak sekali lagi. Tetapi sekali lagi Gandhi mengumpulkan dokumen itu, bangkit, dan membacakan isinya. Adegan yang sama berulang beberapa kali sampai Gandhi pingsan karena bertubi-tubi dipukul tentara.

Etos hidup atau kegigihan Gandhi sebagaimana digambarkan dalam adegan itu membuat saya merinding. Akan tetapi, pada mulanya adegan itu tidak memotivasi saya untuk meneladani kegigihan Gandhi, melainkan mengejek pribadi saya yang bermental lembek: baru mendapat sangat sedikit ujian dan rintangan sudah memutuskan untuk mengubur cita-cita selamanya. Saya malu dengan Gandhi.

III
Malu yang kurang lebih sama besarnya saya rasakan kembali ketika membaca otobiografi Ajip Rosidi, Hidup Tanpa Ijazah: Yang Terekam dalam Kenangan. Memang, tentu saja, di dalam buku itu Ajip tidak terang-terangan menyatakan bahwa ia adalah orang yang gigih, tangguh, dan beretos hidup tinggi, tetapi dengan mengamati rekam jejaknya sejak kecil sampai berusia 70, saya yakin menyimpulkan: Ajip adalah manusia sejenis Rendra dan Gandhi. Mereka tak pernah mati. Tepatnya, tak mau mati.

Tamat SMP, Ajip hijrah ke Jakarta. Di sana ia mendaftar dan belajar di beberapa SMA sekaligus. Tetapi kemudian ia menolak mengikuti ujian kelulusan yang menurutnya tidak rasional. Akibatnya, ia tak pernah memperoleh ijazah SMA, dan hanya mempunyai ijazah SMP. Beberapa tahun sebelumnya, ketika usianya masih 17, ia menikah dengan gadis anak tetangganya.

Ijazah SMP dan kesulitan hidup berumah tangga tidak pernah menghalangi Ajip untuk merebut kesuksesan dan mewujudkan cita-cita. Tidak pula ia minder. Ia memandang dunia secara positif dengan sikap optimistis. Ajip terus bekerja dan berkarya. Karirnya terus melejit naik. Bahkan A. Teeuw, kritikus sastra Indonesia yang mungkin paling otoritatif, menilainya sebagai salah satu sastrawan modern Indonesia yang terbaik. Oleh gubernur Jakarta saat itu, Ali Sadikin, dan tokoh-tokoh lain, Ajip ditunjuk sebagai ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) yang pertama. Selain itu, ia dipercaya memimpin sejumlah media cetak, baik berskala nasional maupun lokal (Sunda), terpilih menjadi ketua Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI), dan mendirikan beberapa lembaga yang berkonsentrasi memperjuangkan eksistensi kebudayaan Sunda.

Kesuksesan Ajip rupanya membuat kawan dan lawannya cemburu. Mereka berupaya menjatuhkan dan menyingkirkan Ajip dengan menuduhnya sebagai koruptor. Merasa tak bersalah, Ajip membela diri. Namun, mereka terus saja menyerang Ajip dengan gencar.

Bagai rotan, Ajip tidak patah, hanya melengkung. Barangkali ia berpikir, daripada sibuk melayani “orang-orang gila”, lebih baik mengalah, tentu tanpa membenarkan tuduhan mereka. Kebetulan, saat itu Ajip mendapat tawaran mengajar bahasa Indonesia di Osaka Gaikokugo Daigaku, sebuah lembaga pendidikan tinggi yang terletak di Osaka, Jepang. Ajip pun hijrah ke Jepang, di mana ia terus bekerja dan berkarya demi mewujudkan cita-citanya.

Sekarang Ajip telah pensiun dari pekerjaannya sebagai dosen, pulang ke tanah air, dan bermukim di Pabelan, Jawa Timur. Pada usia senjanya, ia masih aktif membina Yayasan Rancage yang secara berkala memberi penghargaan kepada para penggiat budaya daerah. Ajip juga masih menulis. Hingga kini, ia telah menulis lebih dari 100 karya, dan jumlah itu masih mungkin akan bertambah. Etos hidup, etos bekerja, dan etos berkarya Ajip benar-benar tinggi.

Tidak penting apakah dalam otobiografinya Ajip menceritakan riwayat hidupnya secara jujur atau tidak. Sebab meskipun misalnya Hidup Tanpa Ijazah terbukti banyak mengandung fiksi, atau lebih banyak mengandung fiksi daripada fakta, otobiografi itu tetap mengesankan bagi saya karena menceritakan figur yang tangguh dan gigih, yang konsisten mengamalkan semboyan yang dipopulerkan oleh Ki Hadjar: rawe-rawe rantas, malang-malang putung, yang memaksa saya untuk menertawakan diri sendiri, dan yang melecut semangat saya.

IV
Namun, saya akui, saya tidak segigih dan setangguh Ajip, Rendra, apalagi Gandhi. Berkali-kali saya mencoba meniru kegigihan dan ketangguhan mereka, tetapi berkali-kali pula saya gagal. Semangat saya tidak pernah awet. Dan apabila jatuh, saya tidak selalu segera bangkit sendiri. Kadang saya mengharapkan uluran tangan orang lain untuk membantu saya berdiri dan berjalan lagi. Saya pun lemah dalam kedisiplinan dan pengendalian diri. Kendati demikian, jauh di lubuk hati yang paling dalam, saya masih ingin walaupun tidak menjadi seperti Ajip, Rendra, atau Gandhi, tetapi setidaknya mewarisi sedikit kegigihan dan ketangguhan mereka. Mudah-mudahan.

sembahyang batang hari I



dalam pejammu pejamku
beterbangan puisi. kerlap kerlipnya
menyalakan malam kita

bersama kita gambar
ibrahim memadamkan damar
memancar zamzam tiba tiba
pada ujung senjakala kelima

sayup sayup mimpi pun dipersembahkan:
hujani kami segenggam benih padi
sawah ladang hijau dan sendang abadi
serta cerita manyar dan betari sri
juga kalijaga mengajar ilir-ilir
kepada sangkuriang dari rumahnya terusir

yogyakarta, 2012

antara dentang-denting pedang keris


antara dentang-denting pedang keris menyanyi ia
seperti semerbak cempaka meruap dari tumpukan bangkai
       tapi waktu tak menghentikan detaknya
       deras mengalir membabat ayat-ayat hayat
       dengar, o dengarlah, ada anak megap-megap
       mengharap napas yang sudah dibayarkan
       bagi ibunya. ada lidah melepas doa sesudah sedih sesal
       setelah pemakaman pahlawan pecundang
“tak sekali pun kita menang,” keluh hening, kala amukan bah reda
kala nuh meninggalkan bahteranya jauh-jauh, dengan kepala layu.

yogyakarta, 2012

sembahyang batang hari II


: mengenang linus

la iya la iya
jika dipikir jika dirasa
hidup ya absurd hidup ya gabug

nanam padi tumbuh rumput teki
nanam budi tumbuh tusuk dengki

tidak nanam tapi nuai
yang nanam nuai angan
tidak kerja tapi kaya
yang kerja makan angin

tidak masuk akal bila itu dibilang masuk akal

jangan dipikir jangan dirasa
air mengalir bersama masa
di sini tergelincir kini binasa
di sana lahir nanti perkasa
sama saja atas apa bawah
madu empedu sama saja

saya musafir hanya berjalan
singgah di gurun singgah di sumur
mampir di pasar mampir di langgar

sebentar balak sebentar nikmat
sekejap sehat sekedip sakit
siang usai bangunlah malam
tertutup malam disaput siang

hendak kekal setelah ajal
berjumpa awal berjalin akhir
tanpa kala tanpa nama
padang hening batang bening
gemericik rancak kali hari

yogyakarta, 2012

Ibu, Ibu


Ibu, Ibu
ajariku sederhana

perempuan menari
di malam bungkam
tanpa gemericik tanpa gemerisik

langkahnya laras liris lurus
tata masa pun sambung tak sumbang
tubuhnya bertutur lentur tabah seimbang
tentang tulus terima kasih segala nyata

malu bila telanjang. kelopak terkatup rapat.
kepala tunduk merunduk tidak mendongak
dipelihara rahasia suara rasa
bersimpuh sembah sebelum sesudah
upacara bersih-bersih rumah

Ibu, Ibu
Kau kurindu
Kau di manakah.

Yogyakarta, November 2012