30/01/11

lupa aku, hilang aku

:spesial untuk Edi Korea, Azkan Proyektor, Okta Byson, Iwan Sepeda

"Saya (tidak bisa untuk tidak ingat) nama," kata Adam
"Saya (tidak bisa untuk tidak ingat) gagak," kata Kabil
"Saya (tidak bisa untuk tidak ingat) perahu," kata Nuh
"Saya (tidak bisa untuk tidak ingat) laut," kata Musa
"Saya (tidak bisa untuk tidak ingat) sampar," kata Ayub
"Saya (tidak bisa untuk tidak ingat) kapak," kata Ibrahim
"Saya (tidak bisa untuk tidak ingat) bapak," kata Ismail
"Saya (tidak bisa untuk tidak ingat) ibu," kata Isa
"Saya (tidak bisa untuk tidak ingat) semut," kata Sulaiman
"Saya (tidak bisa untuk tidak ingat) suling," kata Daud
"Saya (tidak bisa untuk tidak ingat) anak," kata Lukman
"Saya (tidak bisa untuk tidak ingat) ilmu," kata Khidir

"Dan aku tinja yang tidak ingat apa-apa lagi,"
kata Widodo. Lupa aku.
"Dan aku nanah yang menjarum bokong manusia. Dibuang manusia. Diusir manusia,"
kata Widodo. Hilang aku.

asrama batanghari-wisma tan panama, 23-31 Januari 2011

dua sajak ecek-ecek

saling pandang saja

sudah lama kita sembah kata:
saling dusta
bersijauh

di usia renta ini
saat mata rabun
telinga soak
lidah cedal—
akan kita sama-sama diam
saling pandang saja?



para peraba, ah

bila angin jijik pada pepohonan, dan enggan menyentuh daun-daunnya, ah, bunyi kerisik yang madu dan merdu itu tak akan kita dengar di malam-malam yang lapar, ah, goyang tangkai dan ranting yang gemulai itu hanya akan kita tonton pada pagelaran surga ketika entah, ah


wisma tan panama, 31 januari 2011

dan kita?

dan kita masih perlu bertanya
tentang salju kenapa jatuh di gobi, di bulan juni
atau
tentang kucing kenapa ia memeong dan
tidak menggukguk

dan kita masih boleh bertanya
tentang mangga kenapa berbuah macang, berduri kulitnya
atau
tentang gigi bayi kenapa ia putih dan
tidak jingga kehijauan

dan kita masih mungkin bertanya
tentang politisi kenapa korupsi, tidak dihukum mati
atau
tentang polisi kenapa ia santun dan
tidak suka memeras apalagi membentak apalagi menggebuk

dan kita masih bisa bertanya
tentang korban lumpur lapindo kenapa tak diperhatikan lagi, dilupakan begitu saja
tentang orang rimba kenapa di sana-sini diusir, dibinatangkan
atau
tentang amerika kenapa ia ngemis pada cina
tentang warga tunisia kenapa mereka marah pada ben ali
warga mesir pada hosni mubarak
warga yaman pada ali abdullah saleh
warga jordania pada samir rifai

dan kita masih akan bertanya
tentang sajak kenapa jadi mata duitan, rakus
atau
tentang puisi kenapa ia menyaksi sendiri di tepi sepi

dan kita?

Wisma tan panama, 31 januari 2011

28/01/11

ke 19, dari 18

Cemeti-cemeti Cacing



Cacing, yang baru berumur sehari

berbadan api,

Menghampiriku di mimpi



Katanya:

sudah berdiri arcamu sendiri

di atas candi tinggi?

sudah buddha yang tidur di gumpung

bangun pagi ini?

mana menara di dada kedaton

yang menjilat langit?



Katanya:

atau kau masih merendam siginjai

di dasar batanghari?

atau dalam menapo, kau peram tan telanai,

sampai basi, sampai kurcaci?

atau kau gunting taring si kelingking?

atau kau pingit datuk darah putih

di kawah kerinci?



Katanya:

Naga akan berdiri tegak

Bila gagak berkoak

Bila cacing mencemeti



Wisma tan panama, 19 Januari 2011





Bukan mau menambal jaman



Aku di tepi jamban

membasah dan menyabun tangan

melepas pakaian, telanjang

Bukan mau menambal jaman

Cuma membasuh badan

Dari intan dan kuman

Menggayung air secawan

Buat menyiram tanaman di taman

Sebab hujan lama tak datang



Wisma tan panama, 19 januari 2011





Makzul



Prak. Prok. Prek!



Wisma tan panama, 19 januari 2011





Wakakakak Indonesia



Indonesia bangun?

Indonesia bangsa ngungun

Indonesia bangkit?

Indonesia bangsa sakit

Indonesia sadar?

Indonesia sekarat dan terkapar

Indonesia raya?

Indonesia meratap tanpa daya

Indonesia merdeka?

Wakakakak. Mimpi kali ya...



Wisma tan panama, 19 Januari 2011, setelah gayus divonis tujuh tahun.

tugas puisi

I

apa tugas puisi?



memakzul-makzulkan sultan?

menggoyah-goyangkan batang tenang?

meletup-letuskan batu gunung?

menghujan-hujani ladang gersang?

menjawab-jawabkan pertanyaan?

membikin-bikin pertanyaan?

mengutuk-sumpahi jaman?

memain-mainkan tuhan dan kemaluan?

membujuk-rayu ratu adil?

menyuap-minumi pengemis?

menggurau-candai nasib?

menyebar-tebarkan melati putih dan anggrek bulan?





II

apa tugas puisi?



oi, malam nian hikayat rama-rama:

cantik sedetik

sehabis berbilang hilang

berkali mati


jogja, 25 januari 2011

lupa nanah, alpa tanah

ia menyigi jejak, mencari plang jalan, dan merumuskan alamat. tetapi ia lupa, kembang sepatu sudah lama memeluknya, bianglala bagai halo mengelilinginya, dan dara dan merak bertengger pada dua pundaknya. matanya melayat ke atas, tinggi, tinggi sekali, entah menyentuh entah, padahal ia sedang duduk telimpuh di kebun pohon bodi. di sampingnya: seember jenewer siap ditengguk. ia lupa pada nanah dan tanah.

jogja, 28 januari 2011

gembira loka.

Dan balam terendam dalam malam. Kancil-kancil membutacakil. Kepodang memperdagangkan cinta dan kasih sayang. Tikus-tikus berkeliaran, menyebar tipes. Srigunting menggunting dalam lipatan, tak kentara, rahasia, diam-diam. Anak-anak sarapan otak udang dan mata ayam. Ibu-ibu ngemil intil kambing, telepong sapi, dan tahi kerbau. Telegu kentut, seakan lagu butut Sang Mozart. Bapak-bapak memuja-muji anjing, membebek pada babi, menyisir rambutnya dengan tulang ikan asin. Dan aku cuma menjumpa musang yang berpuisi, ular yang mengulir dan memelintir kata-kata, dan gagak yang gagah bersajak. Dan aku: musang, ular, gagak.

Wisma tanpanama, 27 Januari 2011

saintisme, masjid, esbeye

Tetapi agama dan negara pernah berjalan beriring di Indonesia. Tidak seperti di Eropa. Juga tidak macam di Jerman. Di sini akal budi tidak selalu menjadi musuh bagi gereja. Raden Patah, Pati Unus, dan Iskandar Muda bukan murid-murid Bismarck. Mereka adalah raja yang taat dalam beragama sekaligus patuh terhadap hukum. Rakyat, dan juga raja, melihat agama dan negara sebagai kesatuan. Bagi mereka, absurd membayangkan negara tanpa agama, atau agama tanpa negara.

Penjajahan Belanda merubah segalanya. Belanda, terutama ketika etische politiek direalisir, mengajarkan kepada para anak ningrat bahwa agama dan negara harus dipisah, dibelah, dipecah, diberi batas yang jelas dan tegas, claire et distincte.

Lalu agama dipermiskin dan dibuang di tempat terpencil. Agama menyepi dalam gua-gua batin tiap pribadi. Pembunuhan sistematik dan penghapusan berencana atas kesalahen sosial terjadi dari hari ke hari.

Kemudian, agama hanya hadir pada khutbah jum’at dan takbir idain. Masjid secara berangsur-angsur menjauh dari istana negara, gedung DPR, pasar, markas tentara, sekolah, dan alun-alun, dan panti asuhan, dan panti jompo, dan kolong jembatan.


Bila seorang telah memakai peci yang rapi, baju koko yang putih, sarung yang bersih, telah berjenggot, menggenggam tasbih, memakai sorban, menyelempangkan sajadah, dan mengerik-ngerik kotoran gigi dengan siwak, secara otomatis dan instan ia memperoleh gelar beriman. Dan masyarakat tak lagi ambil peduli terhadap tingkah sosial si alim tadi. Masyarakat menutup mata atas korupsinya, kediktatorannya, dan kecabulannya.

Belanda, yang berabad-abad telah membudakkan orang Indonesia, toh tak mungkin disalahkan. Sebab jauh sebelum etische politik berlangsung, pada abad ke-18, seorang kristen taat, Immanuel Kant, mencoba menarik garis potong antara negara dan agama. Kant mencuri akal budi dari pangkuan agama, dan memancangkannya sebagai tiang negara. Sekularisasi ini kemudian diberinama transendentalisme. Transendentalisme kini disebut juga saintisme.

Orang-orang menyambut hangat kerja intelektual Kant. Sebab mereka sudah tak tahan lagi hidup di bawah kekejaman raja, yang kongkalikong dengan pendeta, memeras dan menghabisi rakyatnya sendiri. Sejak itu transendatalisme Kant menjadi epistemologi resmi Eropa. Belanda pun tak ketinggalan mempelajari dan menganut epistemologi ini. Dan pada masa etische politiek, yang bermula pada 1901, Belanda mengekspor epistemologi ini ke hindia-belanda.

Hindia-Belanda rupanya adalah lahan subur bagi saintisme. Memang pada awal abad ke-20, demam modernitas tengah melanda tanah surga itu. Di sana-sini terdengar teriakan komunis, progresif, modern, organisasi, drama, roman, koran, propaganda, agitasi, koperasi, demokrasi, revolusi, dan tak lupa: negara-bangsa.

Para muda-mudi, yang mengenyam pendidikan liberal, merasa amat malu jika masih berungguh-inggih atau beralif-ba-ta. Agar percaya diri, mereka perlu meniru Belanda dalam gaya berbicara, gaya pakaian, gaya kerja, gaya makan, gaya tidur, sampai gaya kencing, berak, dan bercinta. Mengikuti organisasi pergerakan yang modern adalah kebanggaan tersendiri bagi mereka, apalagi bila dapat menduduki jabatan penting, semacam ketua atau propagandis atau redaktur koran terbitan organisasi.

Perjuangan kemerdekaan pun terpisah dari perjuangan keagamaan. Pertengkaran antara Semaoen dan Tjokroaminoto, dalam kongres-kongres Sarekat Islam sejak 1917, menandai keterpisahan itu. perceraian agama dan negara semakin tajam ketika Sultan Takdir Alisjahbana, Sang Pujangga itu, mencuatkan polemik kebudayaan. Ia mati-matian mendukung modernitas, artinya ia habis-habisan mendukung saintisme. Saking hebatnya perceraian agama dan negara ketika itu, sampai-sampai Tan Malaka, penghafal Qur’an yang kagum pada Engels, kesulitan menemukan koneksi epistemik yang dapat menghubungkan keduanya.

Dengan terbukanya alam kemerdekaan, dan berdirinya republik Indonesia, hubungan antara agama dan negara kian pudar. Dalam berpolitik, orang harus memilih antara agama atau negara, antara islamisme atau nasionalisme, seolah-olah yang muslim sudah pasti bukan nasionalis, dan yang nasionalis mana mungkin muslim. Dan saintisme dikotomik ini, bisa jadi adalah akar bagi perbenturan dan pertikaian politik antara PNI dan Masyumi pada era demokrasi parlementer.

Demikianlah, saintisme telah menetak tali sambung antara agama dan negara. Kepala negara pun tak wajib alim, bermoral, dan relijius. Saintisme telah mengajarkan pada kita, bahwa seorang kepala negara boleh korupsi, maling, membunuh, mengutil, mencoleng, dan cabul dan dusta; ia boleh meninggalkan moral di sudut-sudut masjid. Dan olehnya, setelah beribadah, tuhan dititip di masjid. Sang kepala negara memenjarakan tuhan di masjid.

Tetapi, bukankah agama dan negara pernah berjalan beriring di Indonesia? Tampaknya, kepala negara kita (aduh siapa namanya? aku lupa!) perlu belajar pada raden patah, pati unus, atau iskandar muda, tidak untuk memakaikan jilbab Islam pada politik Indonesia, tetapi untuk sedikit lebih bermoral. Cukup sedikit saja (jika kelebihan dosis malah jadi modal budaya mencitrakan diri lagi!).



Dan kita terjebak dalam dilema. Represi dan resistensi yang melintas-lintas hampir di tiap periode sejarah Indonesia akan dapat diminimalisir melalui demokrasi, dalam maknanya yang paling esensial dan paling luas. Dengan lain perkataan, demokrasi adalah satu-satunya instrumen resolusi konflik yang masih mungkin manjur. Sebab, agama, karena tersebar suburnya epistemologi saintisme di Indonesia, telah terpenjara dalam gereja, sinagog, klenteng, vihara, kuil, candi, masjid. Agama sudah sulit memediasi pihak represor dan resistentor.

Tetapi represi dan resistensi tersebut justru menyulitkan demokrasi bernafas. Lebih-lebih, ada beberapa orang, yang mengklaim dirinya demokratis, namun alergi terhadap demokrasi. Klaim mereka mengakibatkan deformasi makna demokrasi. Demokrasi berhenti sebagai pemilu belaka, demokrasi selesai di konstitusi.

Dan kita terjebak dalam dilema. Apalagi ketika nanti, entah kapan, karena frustasi ekonomi, muncul sekelompok pemuda yang tak lagi yakin pada demokrasi, dan mereka membuat gerakan anarkis. Pada saat itu, nasib demokrasi tidak akan lebih baik daripada agama. Demokrasi terpasung dalam patung garuda, terserap tinta UUD 1945, terantai jakarta charter.

Dan kita terjebak dalam malam. Semoga tidak. Namun apa lagi selain agama dan demokrasi yang kompeten memimpin gerak politik indonesia? Mungkin demokrasi atau agama yang lahir dengan nama lain.

Sosiologi, Demokrasi, Puisi

Demokrasi juga melekat pada darah dan daging orang per orang, bukan semata-mata menempel pada dan diproduksi oleh sistem atau struktur. Sosiologi struktural, dengan berbagai alirannya, termasuk fungsionalisme yang diajarkan di kampus-kampus dan kerap dipakai untuk merekayasa masyarakat Indonesia, sering tidak mengakui faktisitas ini.

Sebab itu, kita melihat demokrasi sebagai melulu sistem, dan bukan terutama sebagai perilaku atau sikap mental. Jadi lahir pandangan: Indonesia sudah demokratis, karena sudah menerapkan sistem demokrasi; individu baik yang berperan sebagai aktor maupun spektator dalam kancah politik, tak perlu lagi mengenakan demokrasi; toh yang feudal jika hidup dalam sistem yang demokratis akan belajar berdemokrasi juga, akan sedikit demi sedikit dapat bersikap nuchter. (nyatanya kan tidak!)

Memang dirasakan bahwa subjektivisme sosiologi juga tidak mampu melihat secara utuh dan makroskopik apa yang sedang bergerak, apa yang akan terjadi, dan kenapa suatu fenomena muncul (bukankah saat ini ‘yang utuh’ sudah ketinggalan jaman?). Tetapi subjektivisme sosiologi bisa jadi merupakan obat mujarab menyembuhkan patos yang sedang menggerogoti kesehatan politik dan budaya kita, atau setidaknya dapat mendiagnosa virus politik apa yang sedang memarasit di tubuh kita. Setidaknya subjektivisme sosiologi berkompeten membedah aksi simsalabim dan kucing-kucingan dewa-dewa politik Indonesia. Setidaknya subjektivisme sosiologi bisa menambal celah bolong pendidikan politik yang belum dijamah sosiologi berhaluan sistem. Setidaknya subjektivisme sosiologi melebihjujurkan kita, menyuburkan kelahiran sikap puitik. Setidaknya, ... setidaknya, ... setidaknya, ... seandainya! (???)

“Suatu bangsa yang sudah berabad-abad hanya membongkok dan minder harus dididik dahulu menjadi kepribadian. Barulah kemerdekaan datang seperti buah durian yang jatuh karena sudah matang.” (Romo Mangun, dalam Burung-burung Manyar, hal. 89). Tentu, untuk ukuran Indonesia, sosiologi berhaluan sistem bukan alat pendidikan politik yang cukup kuat dan sakti melaksanakan tugas ini. Romo Mangun sendiri sampai pada kesimpulan demikian, selain karena pembacaan yang dalam atas teks-teks Sutan Syahrir, juga karena kepakaran fenomenologisnya yang tak terbantah. Dan kita tahu, fenomenologi menghargai, mengakui, dan merasai nasib dan perilaku orang per orang.

Negeriku

~Iwan Fals~

Bersih-bersih-bersih
Bersihlah negeriku
Malu-malu-malu
Malulah hati

Kotornya teramat, kawan
Ya kotornya sangat
Inilah amanah
Yang menjadi keramat

Bersih-bersih-bersih
Bersihlah diri
Sebelum menyapu
sampah dan debu-debu

nyanyian berkarat
sampai ke liang lahat
atas nama rakyat
yang berwajah pucat

reff:
negeriku, negeri para penipu
terkenal ke segala penjuru
tentu saja bagi yang tak tahu malu
inilah sorga, sorganya sorga

negeriku... ngeriku...


busuk-busuk-busuk
busuk bangkai tikus
yang mati karena
dihakimi rakyat

adakah akhirat
menerima dirinya
adakah di sana
ia masih bisa bercanda dengan rakus

wisma tan panama, 24 Januari 2011

15/01/11

Kejatuhan Kedua

Bumi pernah terperosok pada kemerosotan total, suatu era yang gelap dan pengap. Orang-orang pesimistis. Wajah-wajah membisu, suram, pucat, pias. Itulah era ketika dua perang dunia meminta tumbal. Tak ada tempat persembunyian yang cukup aman, tak mungkin melarikan diri, sukar menghirup udara segar dengan bebas. Era yang mempatahasakan Spengler ini, hanya melahirkan: si gila atau si pahlawan, si lapar atau si predator, si robot atau si srigala.

Lalu Camus menganggap era itu sebagai zaman yang absurd. Penderitaan mengepung manusia. Derajat manusia turun tinggal sebatas animal, angka, atau benda. Manusia, simpul Adorno dan Horkheimer dalam Dialektik der Aufklarung, tersesat dalam labirin yang ia cipta sendiri, dan tak bisa keluar dari sana.

Pemusnahan jutaan manusia begitu gampang dilakukan. Seoalah tak ada bedanya antara membunuh manusia dengan membunuh nyamuk. Seakan tiada berbeda antara menghapus nyawa manusia dengan menghapus angka yang tertulis di atas kertas. Menarik pelatuk sama rasanya dengan menarik layangan.

Di tiap peperangan, perlawanan, dan pemberontakan, ratusan, ribuan, puluhan ribu manusia tewas, dengan berbagai alasan; sebagian besar alasan itu tentu konyol belaka. Di setiap kemp konsentrasi, ghetto, dan kamar gas, baik yang dimiliki Uni Soviet ataupun Nazi, saban hari terjadi secara rutin dan regulatif pembakaran dan peracunan puluhan ribu manusia. Program romusha Dai Nippon menggiring lebih dari 700 ribu penduduk Indonesia menuju kematiannya, setelah mengalami penyiksaan dan kelaparan dahsyat. Dan Amerika membomatom Hiroshima-Nagasaki. Puluhan ribu, bahkan mungkin ratusan ribu manusia, menutup hayat.

Dua perang dunia benar-benar tak masuk akal bagi kita. Pada saat itu, kejahatan, kata Arendt dalam The Banality of Evil, telah sedemikian banal, sehari-hari, biasa saja. Justru ketika orang tak bertindak jahat, ia merasa telah melanggar hukum, dan makar serta mungkir dari negara.

Untung saja era itu tak berlangsung terlalu lama. Kemerdekaan negara-negara selatan menjadi batas berakhirnya perang dunia. Meski demikian, luka sejarah yang tumbuh sejak era itu tidak dengan mudah sembuh. Dendam tersimpan, berbiak, dan suatu saat akan meledak, entah siapa bakal jadi korban, entah siapa lagi akan menjadi kambing hitam. Namun, pasti orang sama berharap: semoga era itu tidak akan terulang lagi.

Boleh jadi perang dunia tidak terulang kembali. Tetapi peristiwa yang lebih gawat dan pekat sangat mungkin terjadi. Ambruknya kapitalisme, sistem penopang bangunan ekonomi amerika, menyebabkan inflasi meroket, kemiskinan menjalar cepat, pengangguran membanjir. Revolusi industri, yang telah jalan lebih dari tiga abad, kini mengancam peradaban. Iklim tak lagi bisa diprediksi. Bencana alam datang silih-berganti, tak kenal tempat, tak kenal waktu. Singkat cerita, kita sedang mengalami krisis total, unversal, global.

Amerika sempoyongan, Eropa sekarat. Yang tersisa kini hanya Cina, India, dan Asia Tenggara. Indonesia sebagai pimpinan Asia Tenggara memikul beban berat. Sebagaimana Cina dan India, ia harus secepatnya mengambil alih kemudi peradaban. Sementara itu, Indonesia sendiri tidak sedang berdiri tegak, bahkan memerlukan bantuan negara lain untuk sekedar mengangkat badan, atau mentas dari kubangan bencana alam dan bencana politik.

Apa artinya? Mungkin ini awal bagi kejatuhan peradaban, setelah dua perang dunia. Dalam kondisi mahasuram-mahaseram ini, apa tugas penyair, apa tugas mahasiswa, apa tugas intelektual, apa tugas rohaniawan? Adakah diksi, diktat, dan kabar dari juru selamat, bakal menunda kiamat? Muhammad, aku, si pendosa ini, si munafik ini, si kafir ini, merindukanmu, merindukanmu, merindukanmu.


Wisma tan panama, 13 Januari 2011

Oleh Karena Cinta

I
Oleh karena cinta, terjadi manusia. Oleh karena cinta, ia jatuh. Oleh karena cinta, ia bersalah. Oleh karena cinta, ia menderita. Oleh karena cinta, ia terpenjara. Oleh karena cinta, ia tersedu-sedan. Oleh karena cinta, ia berontak. Oleh karena cinta, ia mensinga. Oleh karena cinta, ia melawan, hanya melawan saja.

Cinta? Pangkal tragedi.


II
Namun oleh karena cinta, terjadi manusia. Oleh karena cinta, ia bangkit. Oleh karena cinta, ia bertanggung-jawab. Oleh karena cinta, ia tahu. Oleh karena cinta, ia sadar. Oleh karena cinta, ia bahagia. Oleh karena cinta, ia merdeka. Oleh karena cinta, ia tertawa. Oleh karena cinta, ia taat. Oleh karena cinta, ia mengunta. Oleh karena cinta, ia pasrah, hanya pasrah saja.

Cinta? Asal komedi.

III
Adam dan hawa, cinta asali.
Ibrahim dan hajar, cinta murni.
Majnun dan laila, cinta alami.

IV
Cinta? Mahahampa.

V
Bisa kita pisah cinta dan manusia?
Bisa kita beslah darah dan merah?

Bisa kita cerai air dan cair?
Bisa kita lerai madu dan manis?
Bisa kita berai lingga dan yoni?


VI
Cinta? Bhineka tunggal ika.

Wisma tan panama, 14 Januari 2011

aku puisi

untuk Iqbal dan Havel

Di pangkuan nuranimu, kawan

duri mandi kembang setaman

racun minum susu di cawan

parang merobek awan

O, Betapa taring macan begitu menawan



Kau lilinkan malam

Kau cerminkan batu

Kau obatkan tuba

Kau gerabahkan lempung

Kau airkan gersang*



Memang

tanah sempat marah

api sempat benci

laut sempat merengut

namun

dedebu membumbung

embun belum bangun



Ya, ya, putra sang fajar suka merindu, bukan?

Dan biji-biji tasbihmu diam-diam buyar

Ketika geraja enggan tegak



Ada puisi cium pipimu?

Aku puisi:

Minta izin meludahimu

dan mengencingimu

supaya tubuhmu tabah di bibir mimpi



28/12/10

sunyi kunci

:: untuk Rumy



Dan nun: tinta akan menemu kertasnya. meja bakal memeluk kursinya. dan sungai ini menuju lautnya: seperti kembang lapuk tanpa kumbangnya #~# sang nun: pupuk dan mekarkan kembang bila kuhilang. restui peluru meluncur ke jantungmu. senyumkan anggur di tidurmu. dan petik putik sunyi ini: di sini, di sini, di sini.



usaisua, 29/12/10

tari api

: untuk dia, di sana



I

datang 2011

aku ingin segelas

sajak-sajak daras

yang menari laras



II

2011 tiba

pasar menjelma gua

dengan puasa: terang dan karang

aku haus puisi, violeta



01/01/11

hujan januari

: untuk dia,

agar bisa rela




hujan

aku di tepian hutan

tak sabar menanti antrian

tak tahan lagi bungkam



air memanjat batang

angin menjerat intan



kita tidak sedang

menanam sendirian

cendawan membiak kuman-kuman

akan rimbun rumput dan lalang



masih nyala nyalang harapan?

Ya. Pasti demikian.



kampusuin, 05/01/10

tanpa santa di atas bukit

: untuknya yang ayu

dengan serumpun rayu




kata santa: bila

hari-hari banjir puisi

anyir kikis

satir kalis

lamis habis

anjing bengis lari meringis-ringis



tapi apa puisi

hanya punya nabi dan resi?



kata cinta: dalam bar-bar malam

maling pun minum puisi

bersloki-sloki

puisi menghuni lokalisasi

baring di bui-bui

happy-happy di diskotik

dan di rumah sakit jiwa, puisi laris-manis



puisi tak bisa pelit

jauh dari sembunyi di perigi sempit

atau orasi di atas bukit

atau ngaji di bilik masjid



puisi hilir-mudik

di sana, di sini, saban detik



timoho, 07/01/10

eulogia: ada saja, ada saja

: buat siapa saja

yang tetap tegak mantap




Apa

Tolstoy

Gandhi

Iqbal

Hatta

Theresa

tinggal sisa ingatan

yang

mengendap(-endap) dalam lipatan

album usang lagu cinta kita?



malam kian jalang

suluh kian lusuh

nyanyi kian sunyi

dingin mengiris daging



ada pada rupa bulan kusammu wajah Pandawa

atau Bisma, atau Krisna?

lai-lai ... duh yung-yung

umur Semar samar-samar sedang menyumir?



ada saja agas yang bakar diri di api

ada saja macan yang mengembarai rimba Sumatera

ada saja Ikan Tapa yang semedi di Sungai Batanghari

ada saja, kawan, ada saja...



wisma tan panama, sabtu pagi, 8 Januari 2011

ups puisi, ups adil

Di antara sederet paham keadilan yang pernah dikenal manusia, pada yang mana puisi harus memihak? Ini pertanyaan keliru.



Yang tepat: di antara sederet paham keadilan yang pernah dikenal manusia, yang mana yang memihak puisi?



Puisi adalah harta karun kehidupan yang harus diamankan oleh dan mengamankan manusia. Letaknya dalam dunia-kehidupan. Ia menjadi sumber inspirasi bagi tindakan dan paham keadilan.



Dan pertanyaan-pertanyaan di atas, baiknya tak dijawab melalui kata-kata, namun lebih dengan tindakan sehari-hari.



Ups, saya sudah menjawabnya dengan kata-kata! Ketidakselarasan adalah ketidakadilan dan ketidakpuitikan, bukan?

wisma tan panama, 9 januari 2011

Mekar Sekar di Daihar

Tiap genarasi melahirkan ibrahimnya masing-masing. Pertama ia dihina, selanjutnya ia dipuja. Pertama ia dihadang, selanjutnya ia digadang. Pertama potretnya dipasang sebagai pembangkang, selanjutnya gambarnya dipajang sebagai pahlawan.



Dan sejarah puisi adalah tarikh ibrahim yang membangkang, namun juga jejak panjang kemenangan, setelah mengapak kalah dan patah berulang-ulang. Sayang, kemenangan itu sering tinggal kenangan yang hanya dibuang-buang.



Boleh orang hilang ingatan, tapi di sini, sisiphus harus mandi dan main api, dan siti jenar masih terbakar, tapi di sana, lukman tabah membegawan, dan homerus belum hangus, dan yudhistira setia dalam lara. Maria di darah mereka, Kunti di hati mereka, aminah di panah mereka.



Dalam daihar, zamzam zaman terpancar, akan mekar sekar segar di seluk belukar. Di tiap rawa tetap ada buaya dan ular. Di pahit obat, tersisip ramuan sehat.



Puisi benar menyepi dalam sunyi, tapi baru dalam kelahiran dan kematian ia benar-benar sendirian. Puisi, tutur majnun, adalah biji kematian dan benih kelahiran. Dan karena puisi, terjadi janin-janin, lahir bayi-bayi, bayi-bayi ibrahim yang hakim.



Serenada



~Steven & Coconut Treez~



Aku ingin nyanyikan lagu

Buat orang-orang yang tertindas

Hidup di alam bebas

Dengan jiwa yang terpapas



Kenapa harus takut pada matahari

Kepalkan tangan

Dan halau setiap panasnya



Kenapa harus takut pada malam hari

Nyalakan api dalam hati

Usiri segala kelamnya



Aku ingin nyanyikan lagu

Bagi kaum-kaum yang terbuang

Kehilangan semangat juang

Terlena dalam mimpi panjang

Di tengah hidup yang bimbang



Di lorong-lorong jalan

Di kolong-kolong jembatan

Di kaki-kaki lima

Di bawah menara

Kau masih mendekam derita



Aku ingin nyanyikan lagu

Tanpa kemiskinan dan kemunafikan

Tanpa airmata dan kesengsaraan

Agar dapat melihat surga


wisma tan panama, 10 januari 2011

ilmu guru latip

Pernah di Tebo hidup ulama' kesohor. Orang memanggilnya Guru Latip. Konon, saking saktinya, ia bisa jalan di atas air. Dullah, bujang sebrang yang berambisi memiliki macam-macam kesaktian--termasuk jalan di atas air, memutuskan berkelana ke Tebo untuk berguru pada Guru Latip. Sesampainya di rumah Guru, setelah berbasa-basi cas-cis-cus, Dullah mengutarakan maksudnya.



"Sebenarnya, saya ingin jadi murid Guru."



"Ou. Bisa-bisa."



"Saya dengar Guru orang sakti. Bisa jalan di atas air. Saya hendak bertanya: 'Bagaimana sehingga Guru bisa jalan di atas air?' Mohon wariskan ilmu itu pada saya."



"Ou. Bisa-bisa. Tapi ada syaratnya."



"Seberat apapun syaratnya, akan saya tempuh. Apa syaratnya, Guru?"



"Aku akan turunkan ilmuku padamu, tapi jawab dulu pertanyaanku: 'Bagaiamana sehingga kau bisa jalan di atas tanah?'"



Mendengar kata-kata Guru Latip tersebut, kening Dullah kontan mengkerut, wajah tertekuk, kepala tertunduk. Diam seribu huruf.



***

Jalan di atas air? OOOU, TIDAK BISAAAAAAAAAAAAAAAA

(Lafalkan dengan sengau, seperti Sule)

facebook, 11 januari 2011

temen-tinemu

ada gelombang, ada gelembung.
datang kemilau, beriring gebalau.
jauh limbung, walau balau.

Memang berkerudung mendung,
namun karang tak lah lari lintang-pukang.

facebook, 7 desember  2010/ 4 januari 2012

meta-morfosa

dada menikammu dari belakang.
nurani memelukmu penuh.
dan hati terlunta-lunta
menangkap layang yang mengimbak-imbak
tanpa pernah tersungkur ke tanah.

tapi masih saja ada lubang
di dalam sini,
dipan tempatmu berdiam.

begitu rumit,
begitu misteri.

facebook, 14 deember 2010

kepada

kudengar kerisik nafasku bersamamu.
bersamamu kuraba mesra denyut naluriku.
jujur, rindu ini terjangkar padamu.
"dikau serasa di sini".

facebook, 15 desember 2010

atau masih, atau harus

apa yang tak mau lepas menjauh?
kenangan akan masa depan dan
angan-angan akan kemarin lalu.

di sini daun-daun putih
jatuh ke langit seperti
jejarum hujan yang menujam ufuk.

dan Newton pun mencium kaki sang perawan.
dionysus, mengapa 'masih' masih kau pilih,
dan bukan 'harus' yang kau urus?

facebook, 26 desember 2010

Mantra Penjinak Buaya

apa mantra penjinak buaya?
kapas tembaga yang kau benamkan tepat di lensa mata hayatmu;
zam-zam yama yang kau kucurkan di lidah akalmu.

dan dengar,
srigala liar sebentar lagi akan mengeong-ngeong,
dan macan akar akan berhur-ketekur-kur.

bukan hanya para pahwalan babad
yang dapat manapak di air!

facebook, 26 desember 2010

27

27:
janin dan orok mengadu, mengaduh, menuduh.

28:
mereka merengek minta senapan karena kelaparan.

29:
waton gebuk dan rumah gubuk belum jadi masa silam.

30:
tubuh mana lagi gugur dan terbunuh?

1:
hantu akan masih main kartu?

facebook, 27 desember 2010

Seperti

seperti sapi betina yang membutakan matanya sendiri.
seperti keledai yang capai mengangkut buku-buku.
seperti simpai yang waswas di malam berbadai-berpetir.
seperti laron yang sekarat dalam pekat gelap.

facebook, 28 desember 2010

Mayang yang Payah

puisi adalah
getih dan benih,
tahi dan hati,
taji dan jati,
dan mayang yang payah.
mungkin begitu.

cangkir air

di sini,
di cangkir air ini:
ia fakir,
ia hadir,
ia lahir--
mencari akhir.

facebook, 4 januari 2011

Nganti Nyiji, Ning

Ning,
dirimu tak enteni
nganti tangi, nganti nyiji.

facebook, 5 januari 2011

karena puisi

karena puisi anak-anak bermain mobil-mobilan atau masak-masakan di halaman rumah.

karena puisi ikan berenang di lautan lepas dan belibis terbang bebas.

karena puisi segala yang tersentuh api jadi panas.

karena puisi, aku dan kau, bersanding di sini, saling mengisi diri.

karena puisi aku bisa makan hari ini.

mynet, 9 januari 2011

Terjala Cacar yang Menjalar

Tempayan belum penuh air. Mangga masih mengkal. Di tengah jalan ini, yang bisa kutempuh seribu hari saja, bisa pula hanya seperseribu hari, aku merasa kopong, bolong, kosong. Kutatap cacat ragaku: sayap sobek, kaki pincang, tangan buntung, dada gerowong, perut keroak, leher koyak, otak berkerak. Oleh keadaan, aku dibuat ingat, betapa masih tipisnya lidah ini, betapa masih sipitnya mata pikir ini, betapa masih hambarnya garam pengalaman ini, betapa masih pelitnya tumit ini berlari.

Tetapi segerombolan sejarah mengejarku. Mereka memburuku. Hendak menjarah darahku yang hanya dan tinggal sesendok makan ini. Hendak mengunyah dagingku yang telah diculik dingin angin malam. Hendak menguliti jangatku yang tak enak lagi disantap. Tetapi segerombolan sejarah tak ambil peduli, bahkan ketika tubuhku telah membangkai, dan siap dilahap lintah dan disergap tanah.

Ada suara datang, dari jantung karang dan parang. Menyeru lantang. Menyuruh garang. Menantang-nantang ketakutanku. Menggantang kekerdilanku. Merangsang kedaulatanku. Kutolak-tolak suara yang bagiku terdengar gertak memekak itu. Kusumbat liang telinga jiwaku. Kupecah gendang telinga nuraniku. Lebih baik aku menunarungu, daripada harus tersuruk-suruk menyusup lempitan lamun, hanya demi menyembunyikan diri.

Namun kawan, sia-sia belaka! Suara saudara udara. Tiap aku bernapas, suara itu terngiang keras. Mencemas-lemaskanku. Ganas merantas nyamanku. Mengepras-tebas mapanku. Aku terhuyung-huyung. Puyeng. Oleng. Dan berujung cengeng. Menggigil. Tersengat kilat. Nanar aku, gila sasar. Di sini mungkin Maulana benar, aku patut terbakar. Mengekor ke mana suara menjalar. Dan pasrah dimamah sejarah.

O, Panggilan, apalagi kini kumiliki? Kubiarkan jariku mencari-mencari sendiri di mana hilir. Kubebaskan tapakku menjejak tanpa peta. Kumerdekakan citaku mengelana ke segala neraka dan nirwana. O, Panggilan, sirami kami dengan api!

Wisma tan panama, 14-15 Januari 2011

08/01/11

manusia dan alam

~Muhammad Iqbal, Budayawan Pakistan~

di pagi buta bila aku berdiri mengamati matahari
kuajukan pertanyaan mengenai ini semua
tentang langit dan bumi
bahwa yang melimpahkan kurnia
adalah pancaran langit yang mahaluas
mereka jadikan sungaimu hamparan perak beriak-riak
matahari menghias jubahmu
dengan suluh cahaya zamrud
dan kandil gemerlap membuat pertemuannya benderang
taman firdaus terkandung dalam taman mawar
dalam setiap syair matahari mendapatkan perlambang
merah jubah sang bunga
hijau zamrud pepohonan
berwarna-warni hijau dan merah dalam masyarakat
menara langitmu berenda benang emas
bila diufuk awan emas berarak megah
betapa ingin mata memandangnya sampai memerah
bila buah anggurmu merambat ke dalam lengkung malam
pemukimanmu luhur dan gayamu bersinar
tabir cahaya bersinar hingga ke tempat seluruh makhluk
bagi kesyahduanmu fajar jadi nyanyian pujian
tak ada tempat yang gelap di bawah cahaya Sang Surya
dan aku pun diam di tempat sinar itu
tapi kenapa bintang-bintang yang suram itu
yang merangkai nasibku?
Apakah kau terdampar dan buruk pekerti?
Bila aku bertanya begitu, maka ada suara yang menjawab
Entah suara dari mana
Apakah datang dari lengkung langit
Atau salah satu penjuru bumi.
Sinarmulah itu di mana tergantung ada dan tiadaku
Kaulah penjaganya dan seluruh bunga di bumi ada
Karena penglihatanmu sendiri
Kau buku kecintaan, yang rahasianya kau dapat dariku
Kaulah pembna bangunan dariku
Penyusun sibuk kerjaku
Kau angkat beban berat dari pundakku
Wujudmu tak pernah berpohon pada api itu
Tapi terus saja menyala
Jika matahari padam, tamanku pun jadi gurun pasir
Senantiasa tampak oleh gairah dan gelisah...
Ah, pikiran yang melompong, mata redup
Siapakah yang bangga jadi begitu rupa? Jadi budak takluk
Tapi jika kau yakin pada Pribadimu
Maka nasibmu tak lagi buruk dan menderita seperti selama ini.

Lampu Kakus

Kalau lampu lalu lampus?
Tunas gugur
Umur putus
Harap dan huruf pupus
Mak... mampus aku, aku mampuspuspus

Namun lampu belum lampus, tuh
Kita punya kamus
Yang kaya rumus
Tubuh kurus bisa jadi jurus
Jalan berliku berubah jalan lurus
Dan malam akan indah dan bagus:
Bila penyair masih tulus, berbudi halus
Berlaku sederhana ia becus
Tidak rakus
Mau berumah di kakus
Plus tangkas melepas bungkus
Agar kita tak cepat aus
Dimakan zaman yang kian ketus
Dan penuh akal bulus

Yogya, 3/1/11

Ditanya Jalan

: untuk dia lagi, di sana lagi, (ai mis)

Aku ditanya: mana rumah petualang?
Di gua!
Bercurah tuah, tuak, bunga, gula, dan dupa.
Namun petualang lupa

Aku ditanya: mana sudung petualang?
Di pasar!
Bersangkar lapar, cakar, tampar, sampar, dan bakar.
Namun petualang kesasar.

Aku ditanya: mana gubuk petualang?
Di masjid!
Dari pasar bandit-bandit
Gusar ziarah ke masjid:
Menguntit tuhan
Mengutil iman
Menguping pengajian
Mencuci kafan
Mengunci hutan
Namun petualang kapok pulang

Aku ditanya: mana kampung petualang?
Di gua, aku tua
Di pasar, aku mekar
Di masjid, aku bangkit
Di sini, di hati air ini, aku hadir
(di bumi dan di langit)

Aku ditanya: Mana jalan petualang?

Wisma tan panama, 04/01/11

Sebuah Tengahmalam nan Resik*

Ini kalamu Oh Jiwa, terbang bebasmu ke dunia nirbatas
Jauh buku-buku, jauh seni, hari hapus, pelajaran
pun bermula,
Penuhmu lalu muncul, sunyi, merenungi, menimbang
beragam hal yang amat sangat kausuka,
Malam, tidur, mati, dan bintang-gemintang.

*diterjemahkan oleh Widodo dari syair Walt Whitman, “A Clear Midnight”. Walt Whitman adalah penyair kenamaan Amerika abad XIX. Pandangan sastrawinya merupakan perbauran antara transendentalisme dan realisme. Ia banyak memakai citraan alam dalam puisi-pusinya.

Pengingkaran Terhadap Pribadi

Muhammad Iqbal, Budayawan Pakistan

Pernahkah kau dengar kisah kehidupan dahulu kala
Di mana sekawanan kambing hidup bebas di padang terbuka
Berkembang biak dengan leluasa dan tenaga mereka luar biasa
Hingga mereka berani menghadapi hewan pemangsa
Namun, karena perkembangan zaman semakin buruk
Panah bencana menancap di dada mereka
Dan dari hutan belantara harimau datang memburu
Memangsa mereka semua.
Merebut serta menjajah adalah simbol kekuasaan
Kejayaan wujud dari kekuatan
Harimau yang dahsyat itu menabuh genderang kemenangan
Mereka rebut kemerdekaan sang kambing.
Karena harimau harus mendapatkan makanan
Maka padang luas itu banjir oleh darah kambing.
Tapi, seekor kambing tua
Licik, penuh tipu daya seperti srigala
Dia amat sedih menyaksikan nasib kawan-kawannya
Kambing tua itu marah atas kebiadaban sang harimau
Namun dia pasrahkan keluh-kesahnya di jalan takdir
Dan bertekad untuk memperbaiki nasib kaumnya.
Dan, hai, manusia yang lemah, lindungi dirimu
Gunakan akal budi
Biar terjerat penderitaan, asalkan lolos dari bencana kebiadaban
Badai pasti berlalu
Tapi apabila diperdaya dengan kesumat
Kekacauan besar yang dipikirkan.
“Sangat menderita nasib kita,” keluh kambing pada dirinya,
“Samudera penderitaan tak berpantai tak bertepi.”
Dengan kekuatan semata tak mungkin kita lepas dari bala
Itu tak mungkin, betapapun kita bersepakat
Mengubah kambing berjiwa harimau
Mengubah harimau berjiwa kambing—betapapun itu mustahil
Bagaimana membuat sesuatu lupa akan fitrahnya? Mustahil!
Maka kambing itu menjelma seperti nabi yang mendapatkan ilham
Dia berseru kepada kawanan harimau:
“Wahai kaum pendusta yang durjana
Yang tak perduli akan hari bencana
Yang berulang-ulang mendera dunia ini!
Aku memperoleh kekuatan ruhani
Akulah utusan Tuhan untuk kaum harimau
Aku datang bagai mata buta
Aku datang membawa imbauan
Bertobatlah wahai engkau dari segala laku tercela
Hai, kaum pendosa. Kembalilah kalian ke jalan yang bercahaya
Kita semua—tak terkecuali—pasti mengalami bencana:
Keteguhan hidup duniawi tergantung bagaimana kita menahan diri
Ruh orang saleh gemar akan makanan sederhana
Makan sayur-mayur membuka jalan menuju Tuhan
Gigi yang tajam mengundang bencana
Akan butalah mata hatimu.
Taman firdaus diperuntukkan bagi orang-orang yang lembut
Kekuatan tenaga akan menciptakan malapetaka
Berdoalah mereka yang mengagungkan berhala kebendaan
Kemiskinan lebih manis dari segala harta duniawi
Kilat dan petir tak membakar bibit gandum
Tapi jika bibit menjadi tumpukan gandum itu keliru.
Jika kau bijak, jadilah sebutir pasir, bukan gurun sahara
Agar kau rasakan nikmat cahaya matahari
Wahai kau yang menikmati penyembelihan kambing
Coba kau bunuh dirimu sendiri, niscaya akan kau rauh martabat tertinggi
Hidup gelisah oleh penindasan, kekerasan, dendam kesumat dan kekuasaan.
Kendati selalu terinjak, rumput tak pernah punah
Dan berkali diusapnya kantuk maut dari mata.
Jika kau bijaksana, ayo, lupakan dirimu
Kalau tak sanggup kau menahan diri, kau orang yang gila
Redam panca-indramu
Agar cintamu mencapai langit
Dunia tak abadi
Hai si bodoh, jangan siksa dirimu dengan impian kosong!”
Kawanan harimau itu telah teramat lelah dengan perjuangannya
Kini mereka puas mereguk pesta pora.
Petuah sang kambing begitu nikmat bagi mereka
Lalu mereka resapi pesona kambing dengan hikmat
Mereka ikuti ajaran agama sang kambing
Mereka pun kini gemar makan makanan sederhana
Watak keharimauan mereka hapus sudah
Makanan yang sederhana menumpulkan gigi mereka
Berangsur pupus pula kebaranian dari dada mereka
Kaum harimau jadi lemah dan apatis
Sirna sudah kedaulatan dan keteguhan tekad bangsa merdeka
Tak ada lagi kejayaan
Kaki mereka yang setegar baja kini tak berarti sama sekali
Jasad mereka tinggallah kubut kenangan bagi kematian jiwa
Tak ada lagi kekuatan jasmani, kini tinggal takut dan cemas menebal
Dalam jiwa yang goyah, keberanian pun mati
Tak kuasa lagi menyebar penyakit dan bencana—
Miskin, waswas dan rendah amal kebajikan.
Harimau perkasa puas lena akan pesona filsafat kambing
Dinamainya kemerosotan era ini dengan: Kebudayaan Peradaban.

Syair fabelis ini diambil dari “Rekonstruksi Pemikiran Agama dalam Islam”, hal. 258-261. Ali Audah, Taufiq Ismail dan Gunawan Muhammad menerjemahkannya dari “The Recognition of Thought in Islam”, kompilasi dua karyagung Muhammad Iqbal: “The Reconstruction of Religious Thought in Islam” dan” Asrar-I-Khudi”. Kita dapat membaca syair ini sebagai kritik atas imperialisme barat dan pembangkitan semangat Pan-Islamisme India. Kita pun bisa membaca syair ini sebagai kritik atas konsep fana (pengingkaran diri) dalam filsafat Hindu, dan dalam sufisme India yang berkembang sebelum dan ketika Iqbal hidup. Atau kita juga dapat membacanya secara dekonstruktif atau psikoanalitik. Pokoknya, selamat baca aja deh...

Api, api

Ada api yang disiram air
kita pakai arangnya menjerang air,
menanak nasi, merebus umbi
kita ambil abunya untuk pupuk
menyuburhidupkan sayur dan nyiur

Ada api yang disiram minyak tanah
Kita pakai panasnya menghangatkan malam
Kita manfaatkan cahayanya menerangi perjalanan
Kita gunakan kobarnya menyulut gairah

Dengan demikian,
Hutan tak terbakar,
tak ada asap yang menyesak
Tidak mengundang banjir bandang
Dan iklim berjalan seimbang,
tidak limbung, gamang, bimbang

Dengan demikian,
Kita bernafas bebas tiap senja
Rumah-rumah ramah, ramai rama-rama
Kenari bernyanyi di pagi-pagi,
kasuari menenami di hari-hari
Dan anak-anak berpetak-umpet,
berbentengan, bercak-ingkling
dan menari sebelum magrib
Purnama menyunggi senyum
menembang kemenangan
serat kenangan ibrahim dan muhammad

wisma tan panama, 8-9 januari 2011

Apel, Einstein, dan UIN

Apel tak pernah sungguh-sungguh berubah menjadi, misalnya, monyet. Bahwa apel berubah warna kulitnya, kian membesar, kian matang, dan kian manis rasanya, ini logis.

Tetapi setelah Einstein, sepertinya orang-orang mesti meralat ketakwaan ilmiah yang telah dilestarikan berabad-abad ini. Pada kenyataannya apel bisa berubah menjadi pohon apel, lalu monyet memakan buahnya, dan sari apel merasuk serta berbaur dalam tubuh monyet, dan artinya apel itu sendiri telah menjadi monyet. Fosil hewan purba sekarang telah menjadi minyak bumi. Fosil tumbuhan purba juga telah menjadi batu bara. Materi berubah menjadi energi, dan energi berubah menjadi cahaya. Apa itu cahaya? Hubungan-hubungan antarkuanta. Persis seperti teori Gerak Substansial, Holarki, dan Kompleksitas Sosiokomputasional.

Apa implikasi teori-teori ini? Evolusi peradaban manusia masih akan lama lagi bergerak, menuju kesempurnaan, menuju cahaya tertinggi, Tuhan. Proses perkembangan sejarah, di mana Islam akhir-akhir ini berkembang pesat, tampaknya kini sedang memferivikasi teori Einsten tadi. Benarkah demikian?

Nenek Obama, pada musim haji lalu, berdoa di depan Ka’bah: Tuhan, aku ingin cucuku masuk Islam. Ratu Inggris kemarin dulu melakukan turne keliling negara Timur Tengah. Indonesia didorong menjadi Ketua Komunitas ASEAN, dan salah satu pemimpin Asia. Besar kemungkinan akan ada orang Indonesia yang menduduki kursi dewan pimpinan PBB. Sri Mulyani sudah menjabat sebagai eksekutif Bank Dunia. Kalla mendapat tempat kehormatan sebagai juru damai dunia. Akan ia dapat nobel perdamian? Jika bersedia melakukan reformasi kelembagaan dan kurikulum secara lebih menyeluruh, UIN barangkali bakal menjadi pusat studi kultural par excellent di dunia, sekurang-kurangnya sejajar dengan Sorbonne, Harvard, al- Azhar, atau Leiden.

bahkan malin kundang rindu ibunya

Senetral apapun I. Kant memberi landasan rasional pada negara hukum demokrasi, atau setabah apapun J. Habermas mempertahankan dan memugar bangunan-bangunannya di tengah perubahan sejarah dan serangan relativisme faktis, nasion-state masih saja bisa dimanipulasi sedemikian rupa oleh penciptanya: manusia. Sutradra drama Gayus berhasil mengelak dan bahkan lihai mempermainkan hukum sesukanya. Ketika hukum telah demikian mudah diperjualbelikan, apalagi yang dapat menyangga tegaknya negara?

Di lain sisi, juga tak ada jaminan bahwa Uni Eropa atau komunitas ekonomi Asia yang sedang akan berdiri dapat menggantikan fungsi negara hukum demokrasi, terutama dalam penyelenggaraan keadilan menyeluruh. Padahal mereka sedang melontarkan kelaparan dan kehausan masing-masing.

Pada akhirnya kita terpaksa realistis, semua kembali kepada manusia, dan manusia bukan makhluk tanpa salah dan dosa. Selama prinsip peradaban masih dikonstitusi oleh manusia, barangkali selama itu pula kita akan tetap jauh dari “cita-cita” perdamaian universal, apalagi “utopia” demokrasi.

Lalu siapa berhak memformulasi prinsip peradaban agar manusia tak jatuh dalam kegelapan yang itu-itu melulu? Di mana dan dari mana kita peroleh intisari formulasi tersebut? manusia pasti memiliki kemampuan kodrati menjawab pertanyaan super pelik ini.

bunga matahari tumbuh mengarah ke matahari. Bahkan malin kundang rindu ibunya. Sudah waktunya bagi Dante dan Goethe duduk bersama dalam sebuah perjamuan. Dan seperti dalam salah satu sajak Iqbal, di perjamuan itu semestinya mereka berdua akan serempak berucap: “Kita adalah dua lagu dari satu melodi, kita saling memiliki, kita dilahirkan bersama; mari kita bersama lagi”.

05/01/11

Manusia, Derita, dan Harapan


It’s the heart afraid of breaking
That never learns to dance
It’s dream afraid of waking
That never takes the chance
(Westlife, The Rose)


Manusia, kata Viktor Frankl, adalah homo patient, makhluk yang (tahan) menderita. Pendaritaan, entah mengapa, bagai sahabat karib bagi manusia. Di mana manusia bernapas, di sana ada penderitaan. Namun, seberat apapun penderitaan yang dihadapi, toh manusia masih memelihara harapan, walau selubang jarum.

Karena penderitaan, banyak manusia putus-asa. Tetapi banyak pula yang sabar dan tekun merawat harapan. Mereka percaya, malam akan sirna, dan fajar akan bersinar.

Sahabat penderitaan
Mbok Tukinem contohnya. Sejak sebelas tahun, ia buta. Mulanya Mbok Tukinem menangisi kebutaanya ini. Untunglah, itu tak lama. Segera ia bangkit, memupuk harapan, dan memulihkan semangat hidupnya kembali. Bahkan kebutaan Mbok Tukinem tak mengahalanginya membantu ibunya jualan gerabah keliling Yogyakarta-Magelang-Semarang.

Walau buta, Mbok Tukinem tidak keder dan minder untuk mencari pasangan. Dengan Suwitoutomo, jejaka buta, ia menikah pada usia 20. Pasangan buta ini lalu menjalani hidupnya tidak dengan berkeluh-kesah dan berputus-asa, melainkan dengan ketabahan dan kegigihan luar biasa.

Di luar dugaan, penderitaan anyar datang menyambangi Mbok Tukinem dan Suwitoutomo. Suratinah, anak semata wayang mereka, meninggal. Berikutnya, Suwitoutomo kena tumor ganas. Tiap malam ia merintih dan mengerang. Dengan sabar Mbok Tukinem menemani dan mengurus suaminya. Dengan sabar pula, sendirian ia mengumpulkan uang untuk biaya pengobatan. Sampai suatu waktu, melalui SKH Kompas, beberapa orang menyantuni Mbok Tukinem sekeluarga. Dan R.S. Panti Rapih Yogyakarta menggratiskan biaya perawatan, pengobatan, dan operasi Suwitoutomo. (hlm. 3-15)

Sahabat para penderita
Kisah Mbok Tukinem menunjukkan, di mana ada manusia yang menderita, di sana ada pahlawan yang tulus membantu mereka. Dalam sejarah, banyak nama yang pantas kita sebut sebagai pahlawan para penderita, di antaranya Johanna Patronella Mossel, Dick Hartoko, Mother Theresa, Lady Diana, dan Federico Garcia Lorca.

Siapa sangka, wanita indo ini, Johanna Patronella Mossel adalah istri kedua Douwes Dekker, pendiri Indische Partij (IP), partai nasionalis pertama di Indonesia. Seakan tak mau kalah dengan suaminya, Johanna pun memiliki semangat nasionalisme tinggi. Riwayat hidup Johanna adalah tarikh pengabdian pada mereka yang menderita, miskin, dan terpinggirkan. Sedemikian tulus pertolongannya sampai-sampai ia tak butuh promosi diri berlebihan seperti para politisi kita saat ini. Wajar bila sedikit saja pelayat datang di upacara pemakamannya. “Kita masih harus... melanjutkan perjuangan almarhumah,” kata Dick Hartoko sesaat sebelum upacara pemakaman berakhir. (hlm. 47-54)

Dick Hartoko, budayawan-filusuf pengasuh Majalah Basis, memang kenal dekat dengan Johanna. Apa yang membuat mereka dekat? Barangkali, jati diri keindoan dan semangat pengabdian pada orang-orang yang menderita. Dick Hartoko menolong para penderita lebih melalui tulisan-tulisannya dalam Tanda-Tanda Zaman, rubrik editorial Majalah Basis. Dick menulis dengan tajam, dalam, eksistensial, dan profetis. Siapa pun yang membaca tulisan-tulisannya, hati nuraninya akan bangun, altruismenya akan meningkat. Tetapi, sebagaimana manusia umumnya, sahabat para penderita ini menjumpai puncak penderitaan: kematian, pada Sabtu, 1 September 2001, di usia ke-79. (hlm. 153-157)

Di tempat dan waktu lain, kematian juga mengunjungi Mother Theresa dan Lady Diana, dua sosok perempuan yang rela merundukkan egonya. Keduanya tercatat sebagai pelayan para penderita.

Orang-orang miskin Calcutta tentu sangat berterimakasih pada Mother Theresa. Dengan sabar, ia menghibur, meniupkan ruh kehidupan dan angin harapan pada mereka. Mother Theresa menyemai cinta di tanah Calcutta. “Saya ingin membantu siapa pun untuk menunjukkan cinta kepada sesama. Jika mereka membantu saya, mereka membantu yang miskin,” kata Mother Therasa suatu kali. (hlm. 114-120)

Dalam soal pengabdian, Lady Diana memang belum mampu menyamai Mother Theresa. Namun, meninggalkan gemerlap dan glamoritas istana bukan perkara gampang. Bahkan, sebelum meninggal, Lady Diana menghibahkan sebagian besar kekayaannya pada mereka yang membutuhkan. Dan ini membuat Lady Diana pantas disebut sebagai sahabat para penderita.

Tapi ironisnya, ia juga wanita menderita. Suaminya, James Hewitt, mengkhianatinya. Hewitt menjalin cinta-gelap bersama wanita lain. Mengetahuinya, sontak Lady Diana panik, marah, cemburu. Ia percantik dirinya dengan pakaian serbamewah agar Hewitt, sang pangeran, kembali ke palukannya.

Ah, usahanya gagal. Lady Diana merenung dalam. Ia sadar, kebahagiaan datang tidak hanya dari pakaian mewah atau bermesra bersama seorang pria. Kebahagiaan juga didapat ketika membantu orang lain yang mengalami kesusahan dan penderitaan. Kebahagiaan menghampiri orang yang dapat menundukkan egonya. (hlm. 121-126)

Demikianlah, perjalanan hidup Lady Diana layak jadi dongeng sebelum tidur bagi anak-cucu kita. Hidup sang Lady setragis dan seberisi hidup Mariana, tokoh utama Mariana Pineda (1927), sebuah drama garapan penyair-dramawan Spanyol, Federico Garcia Lorca.

Mariana Pineda adalah wanita malang yang hidup bergelimang derita. Fortuna tak berpihak padanya. Namun segala penderitaan ternyata tak dapat mengalahkan harapan dan semangat Mariana. Sampai mati, dengan sayap cinta dan kebebasan, ia kukuh terbang melewati badai kehidupan.

Karakter Mariana tentu merupakan sebagian karakter pribadi Federico Garcia Lorca. Meski dihajar derita dan diintai Franco, musuh politiknya, Lorca tetap di mana-mana menyuarakan kebebasan, cinta, keadilan, harapan, dan kehidupan melalui syair dan drama-dramanya. Dengan “Istri Tukang Sepatu”, drama populisnya, Lorca menularkan kebebasan, harapan, dan cinta pada rakyat Spanyol. Dan Lorca pun begitu disanjung sebagai sahabat para penderita. Di Spanyol, namanya jadi simbol demokrasi, keadilan, persaudaraan, dan kebebasan.

Bagi Lorca, tangis dan penderitaan mampu menyingkap eksistensi manusia. “Tangis,” tulis Lorca “adalah kesempurnaan para malaikat//irama bunyi dari musik, dari biola.” Kematian, sebagai klimaks penderitaan, juga mampu mengungkap rahasia eksistensi manusia. Kematian tak harus menjadikan manusia pesimistis dan kehilangan daya hidup. Sebaliknya, kematian mendorong pada optimisme dan semangat juang. Kematian mengkudakan manusia, memburunglayang-layangkannya, lalu melebahkannya. Ada madu di balik kematian. Ada manis di balik pahit derita. (hlm. 158-166)

Air Penghidupan
Selain kisah Mbok Tukinem, Johanna, Dick Hartoko, Mother Theresa, Lady Diana, dan Lorca, masih banyak lagi kisah inspiratif yang dihimpun dalam buku Sindhunata ini, Segelas Beras untuk Berdua.

Ada kisah Pak Gacuk, yang spiritnya tak mati meski mesti berteman dengan kemiskinan (hlm. 19-22). Ada Bruder Reso alias Bagio, yang di tengah-tengah keterbatasan ekonomi, tak kehilangan kreativitas dan kegembiraan (hlm. 55-59). Ada Pak Dadi, yang cacat badannya, namun bersemangat menggembalakan kambing-kambing gemuknya, dan tetap mampu menyekolahkan dua anaknya (hlm. 60-64). Ada Mulyo Prawiro, yang meski miskin tetapi menolak menjadi pengemis lagi (hlm. 75-80). Ada Mbah Lagiyem, yang di usia senjanya terus bekerja membuat gerabah hingga jumlah ribuan (hlm. 99-103). Juga ada Leo Kristi, penyanyi yang tak bosan-bosan menebar harapan pada khalayak lewat lagu-lagunya (hlm. 173-179). Dan lain sebagainya.

Kendati berbeda, mereka memiliki satu kesamaan: sabar dan pasrah tetapi pantang surut menapak dan melawan ganas kehidupan. Saya menangkap, melalui buku ini, Sindhunata sedang berupaya menyebarluaskan semangat, kesabaran, kepasrahan, ketangguhan, dan kepantangmenyerahan mereka pada khalayak ramai. Sindhunata tengah memberi air penghidupan pada khalayak, pada orang-orang yang terjepit derita.

Figur Humanis
Segelas Beras untuk Berdua adalah kumpulan 36 feature humanis Sindhunata yang terbit di SKH Kompas dari 1978-2005. Sepanjang perjalanan kepenulisannya, Sindhunata telah menerbitkan ratusan feature yang terutama dimuat di SKH Kompas dan Majalah Basis. Feturenya yang lain bisa dibaca di Petruk Jadi Guru, Dari Pulau Buru ke Venesia, Burung-burung di Bundaran HI, Ekonomi Kerbau Bingung, Cikar Bobrok, dan Bayang-bayang Ratu Adil.

Kiranya, isi buku-buku tersebut dapat diringkas hanya dengan satu kata: “humanis”. Ya, “humanis” adalah benang merah perangkai seluruh feature Sindhunata, sastrawan yang kini mengasuh Majalah Basis, menggantikan Dick Hartoko.

Ia seperti Dick Hartoko, lewat tulisan menyebar bibit kemanusiaan. Ia juga seperti Mother Theresa, berdekat-dekat dengan mereka yang menderita, pada mereka menghembuskan harapan dan membisikkan cinta. Ia seperti Lorca, menulis syair untuk membangkitkan kebebasan, cinta, dan harapan khalayak. Sindhunata tepat disebut sebagai figur humanis, sahabat para penderita. Dan sehabis membaca Segelas Beras untuk Berdua, oleh Sindhunata kita diberi segelas air penghidupan, pun dirayu jadi seorang humanis.



Judul: Segelas Beras Untuk Berdua
Penulis : Sindhunata
Penerbit: Penerbit Buku Kompas, 2006, cet. I
Halaman : xii + 188

Jago dan Mutiara*

Oleh: Aesop

Suatu hari, seekor jago mengigal-igal di kebun bersama para babon. Tiba-tiba dari jauh ia melihat ada benda berkilau di tengah jerami. “Ho! Ho!” ucapnya, “itu buatku, ya...”. Dan ia segera mengambil benda tadi dari tumpukan jerami.

Apa benda berkilau itu adalah mutiara? Seseorang kebetulan menjatuhkannya di kebun?

“Kau boleh menyimpannya,” ujar sepuh jago “agar manusia memahalkan hargamu. Tetapi bagi saya, lebih baik memiliki setongkol jagung daripada segepok mutiara.”

Barang berharga menjadikan seseorang berharga.

NB: Mana yang dapat menjadikan seekor jago berharga, segepok mutiara atau setongkol jagung? Segepok mutiara tak berfaedah bagi jago. Setongkol jagung akan menggemukannya, dan memahalkan harganya di pasaran.


*diterjemahkan oleh Widodo dari Aesop’s Fables, hlm. 2

Adalah Penyair, Adalah Syair

Ada penyair elit. Ada penyair populis. Ada penyair tanggung-tanggung: setengah elit, setengah populis. Ada penyair kadang-kadang: sesekali elit, sesekali populis, tergantung situasi dan kebutuhan. Ada penyair multispasial: diterima kalangan elit, disambut kalangan populis; ciri multispasialnya sering bikin ia sial, di hajar di sana, dikemplang di sini, ditimpuk di sana, digebuk di sini. Ada penyair bingung: harus mengambil posisi mana, pandangan mana, sikap mana. Ada penyair ngalir: sekadar mengikuti angin dan menuruti arus, menolak pendefinisian dan klasifikasi, dan merdeka menyajak sesuka hati, bebas menguas kertas tanpa mau batas.

Namun saya tak mau jadi penyair seperti mereka. Saya hanya ingin menjadi sahabat makna dan kawan kata, kekasih kertas dan pacar tinta. Saya tak mau jadi penyair merdeka, kerena merdeka pangkal celaka. Saya enggan jadi penyair bebas, karena bebas adalah asal cemas. Saya hanya ingin jadi penyair yang pandai mengungkap rasa, menyingkap rahasia, dan mengekspresikan isi jiwa: jiwa pribadi, jiwa masyarakat, jiwa zaman.

Orang bilang penyair mesti eksentrik. Tidak. Penyair bukan eksentrikus. Ia orang sederhana saja yang berjalan dengan kefakiran dan kekafiran. Ia melayangi dan melayani hidup secara apa adanya. Ia buang sanjungan, dan menidak kurungan.
Penyair mengurai sengkarut hidup secara jujur, tanpa gugup, dengan huruf yang selalu tersenyum tulus. Ia bisa bicara tentang sedih, tapi ia tak akan tergigit tangis dan tercabik sakit. Ia bisa berkelakar tentang bahagia, tapi ia menghindar dari mabuk kepayang dan menghayal di atas awan.

Apa penyair akan melawan? Iya, ia akan melawan, namun tidak waton nglawan. Penyair melawan siapa? ia tidak melawan siapa-siapa. Penyair melawan apa, alpa, lupa, dan papa. Sebab menyair tidak sama dengan membunuh, menusuk, menghunus. Syair adalah nafas kehidupan, air kedamaian, sinar persahabatan, cahaya cinta.

Memang kematian mengilhami banyak penyair. dan banyak pula penyair yang siap mati. Tetapi mereka bukan sekte setan pemuja kematian dan kegelapan. Mereka menghargai kehidupan. Mereka mencita dan mencipta kehidupan. Mereka mengimajikan bintang, bulan, dan matahari. Mereka menyulut lampu ketika malam. Mereka menggenggam lilin di tangan kiri dan memegang pena di tangan kanan.

Penyair:
Ada yang lebih mulia dan terhormat
selain penyair?
Selain penyair,
ada yang lebih terhina dan terinjak?

Penyair adalah empedu dan madu.
Penyair adalah air mata dan mata air.
Penyair adalah sahara dan samudera.

Syair adalah laknat dan nikmat.
Syair adalah getih dan benih.
Syair adalah taji dan jati.
Syair adalah tahi dan hati.
Syair adalah maut dan hidup.



Ditulis di wisma tan panama, 3 januari 2011, sehabis mandi sesudah tidur.