28/07/16

Kaum Apa Pendapatmu

Syaikh al-Zarnuji bertutur. Dulu, jauh sebelum dia hidup, para pencari ilmu memperoleh sebutan istimewa: ma taqul, apa pendapatmu. Mengapa pelajar zaman itu dijuluki kaum apa pendapatmu? Latar belakangnya sederhana, tapi menggetarkan, apalagi untuk kita yang hidup pada zaman pasar ini.
Pada zaman itu, ke mana-mana para pencari ilmu bertanya: apa pendapatmu? Apa pendapatmu tentang hal ini? Apa pendapatmu tentang hal itu? Mereka terbiasa bertanya. Juga terbiasa mencari jawaban. Tidak merasa puas dengan jawaban sendiri, dari orang lain mereka mencari jawaban. Jawaban pembanding, jawaban penguat, jawaban penyanggah, jawaban pembatal.
Mereka tidak merasa cukup dengan diri sendiri. Sepintar apa pun, masih merasa butuh orang lain. Dengan kata lain, mereka tidak merasa benar sendiri. Tidak merasa pintar sendiri. Tidak pula merasa tinggi sendiri.
Di kalangan pencari ilmu, tersebar luas wawasan yang mawas diri: jangan-jangan aku salah dan jangan-jangan orang lain benar. Aku mungkin benar, tapi orang lain belum tentu salah. Barangkali aku benar, tapi barangkali pula orang lain benar. Apa yang kuanggap kebenaran semakin mendekati kebenaran kalau semakin banyak orang berilmu yang membenarkannya.
Pandangan kaum-apa-pendapatmu itu menunjukkan, mereka bersedia dan siap disalahkan. Juga siap melepas pendapat yang disangka benar tetapi ternyata salah. Mereka terbuka terhadap kritik. Malah mencari dan mengejar kritik. Jadi, ada keberanian untuk ditertawakan.
Juga ada kehendak kuat untuk menemukan kebenaran, dari mana pun datangnya. Jika kebenaran itu tidak datang dari dalam diriku sendiri, tetapi dari orang lain yang lebih rendah dariku, aku tetap harus menerimanya. Apa boleh buat. Saya teringat Abu Hanifah yang belajar dari seorang anak kecil. Padahal, dia ulama besar. Ulama besar lain, Ahmad bin Hanbal, belajar dari orang awam.
Ceritanya begini. Ketika tinggal di Baghdad, Ahmad bin Hanbal tiba-tiba merasa ingin pergi ke Basrah. Seperti ada yang menyuruh. Dia pun berjalan mengikuti suara hati. Karena letih, ketika sampai di kota tujuan dia beristirahat di sebuah masjid. Duduk-duduk dan tidur-tiduran di serambi.
Tak disangka, takmir mengusirnya. Takmir itu tak tahu bahwa dia sebenarnya adalah Ahmad bin Hanbal. Zaman itu belum ada media massa. Terhadap ulama besar, umat hanya kenal nama, tidak kenal wajah.
Tanpa menunjukkan jati diri, setelah diusir takmir, Ahmad bin Hambal rela keluar masjid. Tapi di depan masjid, dia termangu-mangu sendirian. Malam itu, di mana dia bisa beristirahat?
Seorang jamaah yang baru keluar dari masjid mendekati Ahmad bin Hambal. Menepuk pundaknya. Lalu berkata, “Ada apa Saudaraku? Tampaknya sedang ada masalah. Adakah yang bisa kubantu?”
“Aku memang sedang bingung, Saudaraku,” jawab Ahmad bin Hanbal. “Aku baru sampai dari Baghdad. Letih rasanya. Aku lalu istirahat di serambi masjid. Tapi takmir mengusirku. Lantas, di mana aku bisa melepas lelah malam ini?”
“Engkau bisa menginap di rumahku.”
Ahmad bin Hanbal menerima tawaran tersebut. Sejak malam itu dia menginap di rumah jamaah yang murah hati itu. Selama tinggal di sana, Ahmad bin Hanbal mengamati tingkah laku tuan rumah. Dia memandang saudara barunya yang orang awam ini sebagai guru kehidupan. Dari kehidupan tuan rumah, Ahmad bin Hanbal ingin ambil pelajaran.
Ilmu apa yang diperolehnya? Sang ulama kagum. Tuan rumahnya berbeda dari orang kebanyakan. Salehnya plus. Kebanyakan muslim memulai pekerjaan dengan basmalah. Tapi, saudara barunya memulai pekerjaan dengan basmalah + istighfar.
“Apa semua doamu terkabul?” tanya Ahmad bin Hanbal kepada tuan rumah.
“Benar. Semua doaku terkabul. Tapi ada satu doa yang belum dikabulkan.”
“Apa itu?”
“Sudah lama aku berdoa. Aku ingin sekali berguru kepada Ahmad bin Hanbal. Sampai sekarang, keinginanku belum terwujud.”
Ahmad bin Hanbal tertunduk. Diam cukup lama. Pipinya basah oleh air mata.
“Saudaraku, Engkau menangis?”
“Allah mengabulkan doamu,” ujar Ahmad bin Hanbal. “Akulah Ahmad bin Hanbal.”
Ahmad bin Hanbal dan Abu Hanifah adalah contoh pencari ilmu yang tidak merasa benar sendiri, pintar sendiri, tinggi sendiri. Mereka termasuk kaum apa pendapatmu. Di atas orang pintar masih ada yang lebih pintar. Di atas orang pintar masih ada Yang Maha Pintar. Di atas gunung, ada gunung.
Pada kenyataanya yang terdalam, sepanjang apa pun deretan gelar kecendekiaan yang disandang, manusia bukan pemilik ilmu. Dia hanya tempat kebodohan. Dia selamanya bodoh. Selamanya salah. Selamanya rendah.
Perasaan bodoh, bersalah, dan rendah itulah barangkali rahasia di balik keberkahan dan kebermanfaatan ilmu Imam Ahmad bin Hanbal dan Imam Abu Hanifah—cinta Allah semoga senantiasa tercurah kepada kedua guru besar itu.
Mereka tak segan bertanya. Tak malu berkata: “saya tidak tahu”. Tak merasa jatuh kehormatannya bila berguru kepada orang awam. Mereka belajar kepada siapa pun, kapan pun, dan di mana pun. Dalam proses pencarian ilmu, mereka menemukan Allah. Mereka menempuh jalan ilmu untuk berjumpa dengan Allah.

itulah ilmu, berperang tanpa henti
dengan murid yang merasa tinggi
seperti air mengalir, berperang tanpa akhir
dengan tempat yang tinggi
            (Al-Ghazali)

13/07/16

Leluhur Nusantara Mencari Hikmah

PERKARA cari hikmah, leluhur kita ahlinya. Kalau tidak percaya, perhatikan saja khazanah peribahasa nusantara, gudang hikmah yang, sayang sekali, jarang dijamah sedikit dilirik.
Di mana leluhur kita mencari hikmah? Jawabannya kita temukan dalam peribahasa Minangkabau yang terkenal: alam takambang jadi guru, satitiak jadikan lawik, sakapa jadikan gunung. Alam terkembang jadi guru. Setitik air jadikan laut. Sekepal tanah jadikan gunung.
Leluhur kita mencari hikmah di alam semesta. Alam semesta adalah buku yang terkembang, kitab yang terbuka. Alam semesta adalah papan tulis mahaluas. Leluhur kita membaca ayat-ayat Ilahi yang tertulis di alam semesta, al-quran al-takwiny. Mereka membaca realitas untuk mencari hikmah, membaca kasunyatan untuk menemukan makna. Berlatar belakang agama apa pun, ternyata leluhur kita mengamalkan perintah pertama yang diterima umat Islam dari langit: bacalah.

Pendekatan “ilmiah”
Pendekatan pembacaan yang mereka gunakan adalah, setitik jadikan laut, sekepal jadikan gunung. Mereka tidak menyepelekan gejala-gejala kecil di sekitar mereka. Ada kesadaran, jangan-jangan hal kecil yang tampak tak berarti, menyembunyikan hikmah agung. Jangan-jangan setitik air melambangkan lautan, sekepal tanah menyimbolkan gunung. Karena itu, dalam rangka menemukan hikmah agung itu, leluhur kita menjadikan setitik air sebagai lautan, sekepal tanah sebagai gunung.
Apa maksudnya? Pertama, mereka meletakkan hal kecil dalam konteks struktural makro. Setitik air adalah bagian dari lautan. Sekepal tanah adalah bagian dari gunung. Kedua, pandangan mereka menembus apa yang kasat mata, yang lahiriah, yang fenomenal. Di balik bentuk (shurah), ada makna (ma’na). Di balik fenomena, ada noumena. Di balik penanda (signifiant), ada petanda (signifie). Di balik setitik air, ada lautan. Di balik sekepal tanah, ada gunung. Ternyata, dalam membaca kasunyatan, leluhur kita menggunakan semacam kombinasi pendekatan semiotik-struktural dan fenomenologi.
Hasilnya, ditemukanlah segudang teori, ilmu, makna, hikmah yang diungkapkan dengan bahasa yang tidak formal dan kaku. Alat ungkapnya adalah sastra: peribahasa. Dan sastra sama sekali bukan hal besar. Ia hanyalah hal kecil yang sehari-hari.
Jadi, leluhur kita memandang besar hal kecil untuk menemukan hal besar yang diungkapkan sebagai hal kecil. Proses ilmiahnya melingkar, dari hal kecil kembali ke hal kecil, dari yang sehari-hari kembali ke yang sehari-hari, dari yang konkret menuju yang abstrak untuk kembali pada yang konkret, dari bumi naik ke langit untuk turun kembali ke bumi.
Dengan proses ilmiah melingkar itu, ilmu yang mereka peroleh jadi bermanfaat. Sedemikian bermanfaatnya hingga secara sinambung diwariskan dari generasi ke generasi. Memang, ciri ilmu yang bermanfaat adalah ketahanannya dalam ujian sejarah. Ilmu yang bermanfaat tak aus dimakan waktu. Tak lekang oleh panas. Tak lapuk oleh hujan.
Ilmu yang bermanfaat tidak hanya tertulis pada kertas, tetapi juga bersemayam dalam dada, mengalir dalam darah, merasuk dalam tulang, menyatu dengan daging. Walaupun naskah yang merekam peribahasa hancur, hilang, terbakar, kandungan hikmah peribahasa tersebut tetap hidup sebagai adat dalam masyarakat tradisional yang menghayatinya.
Dengan demikian, terbayang proses ilmiah melingkar pencarian hikmah oleh leluhur kita pada lapis yang lebih dalam: dari realitas kembali ke realitas, dari kasunyatan kembali ke kasunyatan. Kasunyatan kedua ini kemudian dibaca lagi untuk dicari hikmahnya yang pada akhirnya bakal mengejawantah sebagai kasunyatan selanjutnya. Maka, pada dasarnya, objek baca atau bahan renungan leluhur kita dalam usahanya mencari hikmah adalah kasunyatan. Bukan kasunyatan yang jauh di sana, tetapi yang dekat di sini. Realitas di sekitar kita.

Leluhur Minangkabau
Dan jumlah gejala yang dekat dengan kita, sangat banyak. Barangkali tak terhitung. Salah satunya, pohon. Ketika melihat pohon di tengah kota, bertanyalah leluhur kita dari Minangkabau: pohon di tengah kota, apa maknanya? Setelah bergumul dengan pertanyaan tersebut, dari pohon mereka memetik hikmah ini: nan bak umpamo kayu gadang di tangah koto, urek nan buliah tampek baselo, batang gadang tampek basanda, dahan kuat buliah bagantung, daun rimbun buliah balindung, buah labek dapek dimakan.
Pohon di tengah kota adalah penanda. Petandanya, pemimpin yang ideal. Pohon melambangkan pemimpin. Seharusnya pemimpin itu seperti pohon. Seluruh bagian pohon berguna bagi makhluk lain. Akarnya untuk duduk. Batangnya untuk bersandar. Dahannya untuk bergantung. Daunnya untuk berlindung dari panas dan hujan. Buahnya untuk dimakan.
Artinya, pemimpin adalah pelayan bagi rakyatnya. Dia memberikan sebesar-besarnya manfaat bagi rakyat. Sebaliknya, rakyat mengambil sebesar-besarnya manfaat dari pemimpin. Pemimpin menjadi pemangku rakyat. Kepadanya, rakyat bersandar, bergantung, dan berlindung. Kebijakan dan kebijaksanaannya adalah buah yang dapat dimakan rakyat, yang lezat bagi rakyat dan mengenyangkan mereka.
Pemimpin harus memperhatikan rakyatnya. Sewenang-sewenang terhadap rakyat adalah pantangan. Dia memandang rakyat dengan mata kasih sayang. Sebab, dia adalah pam(om)ong rakyat.
Di Jawa zaman Mataram Islam, sebagaimana di Minangkabau, fungsi pemimpin sebagai pamomong rakyat juga dilambangkan dengan pohon, khususnya pohon beringin. Akar pohon beringin untuk duduk. Batangnya yang besar untuk bersandar. Dahannya yang kuat untuk bergantung. Daunnya yang rimbun untuk berlindung dari hujan dan panas.
Di zaman Majapahit, tampaknya fungsi pemimpin sebagai pamomong rakyat dilambangkan dengan pohon kamal, asam Jawa, yang buahnya tentu dapat dimakan. Kalau kita menyaksikan wayang kulit, pada gunungan atau kayon terdapat gambar stilistik pohon kehidupan. Rupanya, sejauh menyangkut simbol pohon, budaya Minangkabau dan Jawa berbagi makna yang pada pokoknya sama. Pohon melambangkan pemimpin ideal.

Leluhur Bugis
Kalau leluhur kita dari Minangkabau dan Jawa menemukan hikmah setelah membaca pohon, leluhur kita dari Bugis menemukan hikmah setelah membaca olahan pohon: kayu. Aju maruluemi riala palewa bala. Terjemahnya, hanya kayu yang lurus yang dijadikan ramuan rumah.
Material utama rumah tradisional Bugis adalah kayu. Itu artinya, rumah adalah himpunan kayu yang disusun sedemikian rupa sehingga dapat difungsikan sebagai tempat bernaung, juga tempat berlindung dari panas dan hujan. Begitulah pemimpin dalam cakrawala harapan orang Bugis. Pemimpin adalah tempat bernaung dan berlindung rakyat. Pemimpin adalah pamomong rakyat.
Untuk membangun rumah, kita perlu menyeleksi kayu. Tidak semua kayu yang ada digunakan. Hanya kayu yang memenuhi kriteria saja yang dipakai untuk membangun rumah. Kriterianya, kelurusan kayu. Jika lurus, diambil. Jika tak lurus, tak dipakai.
Untuk mengangkat pemimpin, diperlukan seleksi. Tidak sembarang orang diangkat. Hanya calon yang memenuhi kriteria saja yang diangkat sebagai pemimpin. Kriterianya, kelurusan. Kejujuran. Kebersihan hati. Keselarasan kepribadian. Hati, otak, lidah, dan seluruh anggota tubuhnya bergerak selaras. Perasaan, pikiran, perkataan, dan perbuatannya tidak saling bertentangan. Iman, ilmu, dan amal berjalan beriringan. Rasa, cipta, dan karsanya seirama. Calon pemimpin haruslah orang yang berbudaya, berkepribadian luhur, arif.
Jadi, jika direnungkan lebih dalam, kriteria dasar untuk memilih pemimpin adalah religiositas. Betapa beruntungnya masyarakat yang memiliki pemimpin dengan religiositas mendalam. Sebab, rumah, yang bakal digunakan sebagai tempat bernaung dan berlindung, jadi tegak jika dibangun dengan kayu-kayu yang lurus. Kepemimpinan pun jadi efektif jika dijalankan oleh pemimpin religius.
Begitulah, leluhur kita dari Bugis membaca kayu sehingga menemukan hikmah kepemimpinan. Kasunyatan alam semesta, dalam hal ini berupa pepohonan dan olahannya, direnungkan maknanya. Leluhur kita dari Aceh juga membaca pepohonan. Tapi, pohon yang dibaca bukan pohon pada umumnya, melainkan bambu dan pohon kelapa yang berbuah.
Buah kelapa terdiri dari banyak bagian. Setiap bagian bermanfaat. Salah satu bagian buah kelapa adalah tempurung atau batoknya. Setelah merenungi makna batok kelapa itu, dalam kaitannya dengan bambu, mereka merumuskan peribahasa ini, bek peusaban kai ngon aree, jangan disamakan batok dengan bambu.

Leluhur Aceh
Leluhur kita dari Aceh pernah menggunakan dua jenis takaran: takaran batok dan takaran ruas bambu. Volume sebuah batok lebih kecil daripada volume sebuah bambu yang biasa digunakan sebagai standar takaran. Janganlah disamakan ukuran takaran batok dan takaran bambu. Kalau disamakan, kita bakal mengalamai salah satu dari dua hal, berlaku bodoh sehingga merugi atau berlaku sewenang-wenang yang juga mencerminkan kebodohan. Hanya orang bodoh yang menyamakan ukuran takaran batok dan takaran bambu.
Jadi, peribahasa bek peusaban kai ngon aree sebenarnya berbicara tentang relativitas nilai, yang secara ekstrem bisa pula dipahami sebagai relativitas kebenaran. Manusia bukan eksistensi yang bisa dinilai secara pukul rata. Setiap manusia unik dan subjektif. Apa yang menurut saya baik belum tentu baik bagi orang lain. Apa yang Anda nilai indah boleh jadi saya nilai jelek. Menurut Anda suatu tindakan tepat dilakukan tapi hal itu keliru dalam pandangan saya.
Ukuran saya dengan ukuran Anda berbeda, setidaknya tidak persis sama. Karena itu, marilah bertenggang rasa. Jangan memaksakan kehendak, apalagi dengan kekerasan. Nilai toleransi ini juga dihayati leluhur kita dari Jawa, Bugis, dan Mandar. Dalam budaya Jawa, ada peribahasa tepa selira. Dalam budaya Bugis, ada peribahasa otakku kuassukeki, otakmu muassukeki, takaranku kujadikan ukuran, takaranmu kamu jadikan ukuran. Dalam budaya Mandar, ada peribahasa da bajumu mupaqukkurangi tau, jangan bajumu dijadikan ukuran untuk orang lain.
Dengan adanya peribahasa-peribahasa ini, kita jadi bangga. Bangsa kita ternyata memang pada dasarnya toleran. Sejarah toleransi kita telah panjang usianya, juga telah sedemikian mengakar. Siapa-siapa yang tidak bersikap toleran, merasa benar sendiri, dan memaksakan kehendak kepada orang lain apalagi dengan kekerasan, adalah orang-orang yang tidak berbudaya. Mereka tidak kenal jati diri kebangsaannya. Walaupun tinggal, bahkan lahir, di nusantara, sesungguhnya mereka adalah orang asing yang tidak mau dengar nasihat leluhur, malin kundang yang sudah sepantasnya mendapat kutukan.
Sebab itu, agar tidak jadi Malin Kundang, juga agar tidak mendapat kutukan atau bebendu, adalah baik jika kita menghayati pesan leluhur dari Aceh, bek peusaban kai ngon aree, jangan disamakan batok dengan bambu. Kalau ada orang yang menyamakan batok dengan bambu, dia pantas disebut bodoh. Dia punya mata tapi tidak untuk melihat, punya otak tapi tidak untuk berpikir, punya hati tapi tidak untuk berempati. Nggugu karsane priyangga, tulis Mangkunegara IV dalam Serat Wedhatama.
Dia, kata al-Quran, seperti binatang ternak, atau lebih bodoh lagi. Hikmah yang diperoleh leluhur kita dari Aceh setelah merenungi makna bambu dalam kaitannya dengan pohon kelapa rupanya sejalan dengan falsafah al-Quran. Ini mengindikasikan, adat Aceh tidak bertentangan dengan al-Quran. Budaya Aceh selaras dengan ajaran Islam.
Al-Quran adalah hikmah. Peribahasa bek peusaban kai ngon aree juga hikmah. Dan hikmah bersifat perenial dan universal. Hanya saja, media dan bentuk pengungkapannya baragam. Universalitas hikmah mengejawantah dalam partikularitas tradisi, sesuai dengan dan bergantung pada konteks sosial dan lingkungan alam setempat.
Di Aceh misalnya, terdapat banyak bambu dan kelapa. Sehari-hari leluhur kita dari Aceh berinteraksi dengan bambu dan batok kelapa, hal-hal kecil yang tampak sepele. Tapi, mereka meletakkan hal kecil itu dalam konteks kehidupan makro. Pandangan mereka menembus apa yang kasat mata, yang lahiriah, yang fenomenal.
Akhirnya, berangkat dari permenungan akan bambu dan batok kelapa, mereka pun menemukan makna relativitas nilai sekaligus nilai toleransi. Setitik air mereka jadikan lautan. Sekepal tanah mereka jadikan gunung. Alam terkembang jadi guru.

Leluhur Ternate
Leluhur kita dari Ternate juga berguru pada alam terkembang. Mereka membaca kasunyatan dengan pendekatan yang sama. Salah satu kasunyatan yang dibaca adalah tembakau atau rokok, lagi-lagi hal kecil sehari-hari yang tampak sepele dan tak berarti. Mereka bertanya, apa makna rokok? Hikmah apa yang terkandung dalam sebatang rokok? Jawabannya, tobako dudumoi to-sirai jole ma-jiko, rokok sebatang dapat membakar tumpukan jerami.
Sekilas, hikmah peribahasa Ternate ini tampak serupa dengan peribahasa Melayu yang telah diangkat sebagai peribahasa Indonesia: karena nila setitik, rusak susu sebelanga. Tapi, bagi leluhur dari Ternate sendiri, peribahasa ini lebih sebanding dengan peribahasa Melayu lain yang juga telah diangkat sebagai peribahasa Indonesia: besar pasak daripada tiang.
Dalam hal keuangan, kita harus berhati-hati. Tidak ceroboh. Harus berhemat. Tidak boros. Keinginan tidak diumbar. Kebutuhan diperhitungkan dengan cermat. Tali kekang nafsu tidak dilepas. Jika tidak mendayagunakan akal untuk mengendalikan nafsu, bisa-bisa kita berlaku ceroboh. Puntung rokok yang masih menyala kita lemparkan saja ke tumpukan jerami kering. Terjadilah kebakaran.
Jika tidak memfungsikan akal untuk menilai keinginan dan kebutuhan, bisa-bisa kita berlaku boros, bertindak konsumtif. Apa saja yang diinginkan dibeli, tak pikir berapa tebal dompet yang dimiliki. Bila uang sendiri habis, kita bahkan menghutang ke sana ke mari sekadar untuk menuruti nafsu, ngumbar kanepson. Akibatnya, bangkrutlah kita. Sudah jatuh, tertimpa tangga. Sudah jatuh miskin, hutang menggunung pula.
Supaya tidak mengalami musibah itu, leluhur kita dari Ternate memberikan piwulang: tobako dudumoi to-sirai jole ma-jiko, rokok sebatang dapat membakar tumpukan jerami. Dalam pandangan mereka, dalam sebatang rokok, terkandung hikmah luhur: fungsi akal sebagai pengendali nafsu. Inilah fungsi tadbir akal, hikmah yang juga diajarkan dalam tradisi filsafat Platonik, Aristotelian, Paripatetik Islam, dan Ghazalian.
Hikmah memang universal dan perenial. Orang Ternate berbagi hikmah yang sama dengan orang Yunani Kuno, Spanyol Islam, dan Persia Islam. Dan leluhur kita dari Tarnate menemukan hikmah itu tidak dengan jauh-jauh dan ndakik-ndakik berguru pada Plato, Aristoteles, Ibnu Miskawaih, atau al-Ghazali, tetapi cukup dengan berguru pada alam terkembang, kasunyatan yang dekat dengan mereka, yang ada di sekitar mereka, yaitu tembakau atau rokok.
Di Ternate, sebagaimana di banyak daerah lain di nusantara, merokok telah menjadi kebiasaan sehari-hari. Merokok telah jadi budaya. Selain budaya merokok, dulu orang nusantara juga terkenal dengan budaya menginangnya. Pertemuan dan percakapan tidak sempurna tanpa kapur dan sirih, sebagaimana saat ini pergaulan terasa tidak lengkap tanpa rokok.
Dengan menginang, seperti halnya dengan merokok, percakapan jadi lebih lancar, luwes, dan terbuka. Suasana jadi lebih ringan dan santai. Karena itu, setiap silaturahmi, apalagi lobi dan negosiasi, perlu kapur dan sirih.
Mempertimbangkan hal ini, dalam tata krama silaturahmi, leluhur kita dari Jambi tidak hanya menyuguhkan kapur dan sirih kepada tamunya. Mereka bahkan menciptakan tarian untuk menyambut tamu dengan suguhan kapur dan sirih. Namanya, tari Sekapur Sirih. Duta penyuguhnya atau penarinya adalah gadis-gadis belia berparas rupawan.
Ini menunjukkan, budaya menginang dulu pernah amat mengakar di Jambi. Demikian pula di nusantara pada umumnya. Kapur dan sirih pun jadi kasunyatan sehari-hari yang berpotensi dibaca untuk ditemukan kandungan hikmahnya.

Leluhur Jawa
Dan leluhur kita dari Jawa, membaca kasunyatan tersebut. Mereka bertanya, apa makna sirih? Kaya sirih, lumah kurebe beda, nanging yen gineget padha rasane. Seperti sirih, warna atas dan bawahnya berbeda, tapi kalau digigit sama rasanya. Sirih menandakan adanya kesamaan dari dua hal yang tampak berbeda. Dua hal berbeda yang beresensi sama itu bisa bermacam-macam.
Pada mulanya, peribahasa ini mengemuka sebagai respons sastrawi atas penjajahan oleh orang asing di tanah Jawa. Setelah dijajah Belanda, orang Jawa dijajah lagi oleh Jepang. Yang pertama berkulit putih dan berasal dari Eropa. Yang kedua berkulit kuning dan berasal dari Asia Timur.
Dalam banyak hal, kedua penjajah tersebut berbeda. Tapi, di balik perpedaan itu, ternyata ada kesamaan: sama-sama zalim, sama-sama menindas, sama-sama eksploitatif, sama-sama menyengsarakan, sama-sama memperhinakan. Belanda dan Jepang sama-sama menjajah orang Jawa. Keduanya kaya sirih, lemah kurebe beda, nanging yen gineget padha rasane.
Peribahasa ini akan memberikan banyak manfaat jika diterapkan sebagai pendekatan dalam studi perbandingan agama. Dalam studi perbandingan agama gaya klasik, dua atau lebih agama dipelajari lebih untuk mencari perbedaan dan pengaruh daripada persamaan.
Akibatnya, berkembang paradigma aku berbeda dari kamu, kami berbeda dari mereka, agamaku sama sekali berlawanan dengan agamamu. Agamaku dan agamamu sudah berpisah jalan, tidak akan pernah bertemu. Paradigma eksklusif begini jelas mendorong muncul dan meningkatnya konflik lintas agama. Dialog antar-iman jadi sulit dijalankan. Toleransi bersendikan kemanusiaan, al-ukhuwah al-basyariyah, jadi sukar diwujudkan.
Saat ini, studi perbandingan agama klasik dengan pendekatan, paradigm, dan akibat seperti itu, sudah out of date, ketinggalan zaman dalam arti harfiahnya. Kita sudah jenuh dengan perang yang menyeret-nyeret agama. Zaman menghendaki studi perbandingan agama gaya baru, dengan pendekatan baru, yang membuahkan paradigma dan efek sosial bermanfaat, yang merupakan aktualisasi dari spiritualitas dan prinsip etik agama-agama itu sendiri.
Mengapa studi perbandingan agama jadi perlu? Untuk mengurangi konflik antaragama. Untuk memupuk sikap toleransi. Untuk mendewasakan umat beragama dalam interaksi sosial lintas iman. Untuk mencari titik temu, kalimatun sawa’, lokus perjumpaan agama-agama yang diperbandingkan. Untuk pertama-tama mencari persamaan, bukan perbedaan dan pengaruh, antar-agama. Untuk mencari “rasa” yang sama dalam setiap agama. Untuk menemukan hikmah bahwa agama-agama itu seperti kayu sirih, lumah kurebe beda, nanging yen gineget padha rasane.
Selain dapat diterapkan dalam studi perbandingan agama, peribahasa ini juga dapat digunakan sebagai pelita yang menerangi pergaulan sosial kita. Selama terus-menerus mencari perbedaan, kita akan terus-menerus pula dirundung konflik. Jika tak konflik sosial, ya konflik batin.
Tapi, jika kita terbiasa mencari persamaan yang mempertemukan satu individu dengan individu lain, satu golongan dengan golongan lain, aku dengan kau, kami dengan mereka, kondisi sosial akan lebih tertib, tenteram, dan damai. Paling tidak, hati kita jadi lebih damai, tidak dipenuhi prasangka dan kebencian dan amarah. Tidak dikendalikan daya diyu yang jahat dengan watak sura dira jayaningrat-nya.
Dengan demikian, kehadiran kita dalam pergaulan sosial jadi rahmat, bukan fitnah, bagi yang lain. Bagi kita, terbuka lebarlah peluang untuk tampil sebagai manusia yang memberikan sebanyak-banyaknya manfaat bagi manusia lain. Kita berkesempatan untuk meneladani Nabi, manusia yang memanusiakan manusia lain. Kita pun berpeluang untuk mengikuti jejak Panembahan Senopati, pemimpin Jawa yang menjalani lelaku karyenak tyasing sesama.
Berbagai kemungkinan penerapan peribahasa kaya sirih, lumah kurebe beda, nanging yen gineget padha rasane tersebut menunjukkan bahwa peribahasa ini adalah ilmu yang membumi, yang tidak mengawang-awang di langit. Ia bermula dari kasunyatan yang direnungi dan kembali pada kasunyatan. Sirih adalah kasunyatan sehari-hari. Salah satu, di antara sekian banyak, hikmah yang terkandung dalam sehelai sirih, dapat diamalkan dalam kasunyatan sehari-hari, dihayati dalam kehidupan real.

Leluhur Sunda
Apakah dalam budaya Sunda proses pencarian hikmah dengan membaca kasunyatan sehari-hari juga ada? Tentu saja. Leluhur kita dari Sunda pun berguru pada alam terkembang. Alam Sunda menyediakan banyak sungai.
Dalam budaya Sunda, sebagaimana dalam budaya Melayu, tampaknya sungai adalah unsur yang penting dan mendasar. Di ranah Melayu, banyak wilayah dinamai dengan nama sungai atau yang berkaitan dengan sungai, misalnya Sungai Tanang, Batang Hari, Way Kambas, dan Ogan Komering Ulu. Di tatar Sunda juga begitu, misalnya ada wilayah bernama Cimahi dan Cileunyi. Kata ci berpadanan dengan kata way, batang, dan sungai.
Sehari-hari leluhur Sunda hidup begitu dekat, bahkan manunggal, dengan sungai. Mereka kemudian membaca kasunyatan sungai untuk menggali hikmah yang dikandungnya. Buahnya, lahirlah peribahasa mun kiruh ti girang, komo ka hilirna, kalau sudah keruh di hulu, lebih keruh lagi di hilirnya. Peribahasa Sunda ini mengingatkan kita pada sebuah peribahasa Melayu Jambi: keruh aek di ilir prikso di ulunyo, senak aek di ulu prikso di muaronyo. Kalau keruh air di hilir, periksalah di hulunya. Kalau dalam air di hulu, periksalah di muaranya.
Redaksi kedua peribahasa tersebut hampir mirip, tapi maksudnya berbeda. Walaupun berbeda maksud, keduanya membayangkan teori ilmiah yang sama: logika kausal. Akibat tentu ada sebabnya. Sebab tentu berpengaruh terhadap akibatnya. Ada hubungan kausal antara dua variabel tertentu. Kedua peribahasa tersebut menyatakan, ada hubungan kausal antara variabel air di hulu sungai dan variabel air di hilirnya. Teorinya: kalau air di hulu sungai keruh, air di hilirnya tentu lebih keruh.
Hulu sungai adalah mata air yang biasanya terletak di dataran tinggi. Air dari hulu tersebut mengalir melewati induk dan anak sungai hingga ke tepi laut. Bagian ujung dari sungai yang berbatasan dengan laut inilah yang kita sebut hilir atau muara sungai.
Ibarat tubuh, hulu sungai seperti kepala sungai yang jumlahnya tunggal, sedangkan hilir adalah kaki sungai yang jumlahnya jamak. Kentaralah sudah, hulu sungai dalam peribahasa mun kiruh ti girang, komo ka hilirna melambangkan pemimpin, sedangkan hilirnya melambangkan para pembantu pemimpin dalam menjalankan roda pemerintahan, misalnya menteri dan gubernur.
Hulu sungai sebagai lambang pemimpin, bukan hal yang hanya dimiliki budaya Sunda. Budaya Melayu pun memilikinya. Orang Melayu menyebut pemimpin, dalam lingkup administratif kecil tertentu, sebagai peng-hulu, kepala masyarakat. Dalam kesultanan Jawa, peng-hulu adalah jabatan struktural yang diduduki pemimpin keagamaan. KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah itu, pada zamannya pernah menjabat sebagai peng-hulu dalem Kesultanan Yogyakarta.
Semasa pemerintahan kolonial Hindia-Belanda, peng-hulu adalah pemimpin keagamaan dalam sebuah residen yang tugasnya mirip seperti qadhi di Kesultanan Aceh. Setelah Indonesia merdeka, wilayah kerja dan tugas peng-hulu menciut. Kini peng-hulu hanya staf Kantor Urusan Agama (KUA). Tugasnya yang paling dikenal adalah menikahkan calon pasangan suami istri secara resmi. Dia memimpin jalannya upacara pernikahan.
Meski makna peng-hulu kian lama kian menciut, pada prinsipnya peng-hulu tetaplah pemimpin, entah pemimpin masyarakat secara umum, entah sekadar pemimpin agama. Sebagai pemimpin, dia punya bawahan atau pembantu. Kalau pemimpin sudah tak becus bekerja, bawahannya tentu lebih tak becus lagi. Manajemen pemerintahan jadi tak tertata. Program dan kebijakannya jadi tak efektif. Kalau air di hulu sudah keruh, air di hilir lebih keruh lagi. Mun kiruh ti girang, komo ka hilirna.
Hikmah peribahasa Sunda itu juga dikandung sebuah peribahasa Melayu Jambi yang lain: bejalan kincir kerno aek, begoyang dahan kerno angin. Maknanya sebangun, tapi simbolismenya berbeda. Pemimpin seperti air yang membuat kincir berputar, seperti angin yang membuat dahan bergoyang.
Jika pemimpin bersemangat, bawahannya pun bersemangat. Rakyat pun tergerak untuk maju. Kalau pemimpin tangkas bekerja, bawahannya pun lamban bekerja. Kepercayaan rakyat meningkat. Bila pemimpin bekerja profesional, bawahannya demikian pula. Rakyat pun merasa beruntung karena punya pemimpin hebat.
Sebaliknya, jika pemimpin tak bersemangat, bawahannya juga. Rakyat tak tergerak untuk maju. Kalau pemimpin lamban bekerja, bawahannya juga. Kepercayaan rakyat susut. Bila pemimpin tak becus bekerja, bawahannya demikian pula. Pihak yang paling dirugikan karena hal ini adalah rakyat. Mun kiruh ti girang, komo ka hilirna.

Leluhur Dayak Ngaju
Bukan hanya leluhur kita dari Sunda dan Melayu Jambi yang membaca kasunyatan air keruh untuk menemukan hikmah, leluhur kita dari Dayak Ngaju juga melakukan hal serupa. Apa makna air keruh? Mereka menjawab, jantun puji telaga je keruh mampalua janum je katining. Tak pernah telaga yang keruh mengalirkan air yang jernih. Telaga adalah sumber air, kasunyatan sehari-hari dalam kehidupan leluhur Dayak Ngaju.
Telaga mengalirkan air melintasi sungai-sungai kecil atau parit-parit. Jika sumber air jernih, air di parit-parit yang berasal darinya pun jernih. Jika air parit tampak jernih dari kejauhan, padahal telaga yang jadi sumber mata airnya keruh, sebaiknya air parit itu diperiksa lebih dekat dan cermat. Sebab, telaga keruh tak pernah mengalirkan air jernih. Telaga keruh pasti mengalirkan air keruh pula.
Apa makna peribahasa ini? Telaga menandakan sumber, latar belakang, asal-usul, atau golongan sosial seseorang, air yang mengalir dari telaga tersebut. Kalau kita bertemu dengan orang yang tampak baik, padahal keluarga, teman-teman, komunitas, atau tempat belajarnya buruk, sebaiknya kita berhati-hati dengan orang tersebut.
Kalau kita diberi tawaran menggiurkan yang seolah-olah tanpa pamrih oleh kader partai politik tertentu, padahal rekam jejak partai tersebut kelam, sebaiknya kita bersikap kritis terhadap kader tersebut. Jantun puji telaga je keruh mampalua janum je katining. Dengan sikap kritis tersebut, kita tidak gampang tertipu.
Kritisisme adalah jantung filsafat Barat sejak Yunani Kuno hingga pascamodern. Lebih dari itu, kritisisme bahkan barangkali jantung seluruh tradisi filsafat. Untuk mencari kebanaran atau hikmah, filsafat bertumpu pada akal sehat, penalaran yang sahih. Dalam filsafat Barat, filsafat India, dan filsafat Islam logika menempati kedudukan elementer.
Tapi memang, dalam perjalanan mencari hikmah, ada saatnya kedudukan elementer akal digantikan oleh rasa. Akal bukan instrumen “ilmiah” yang sesuai untuk mengalami hakikat kasunyatan yang terdalam. Akal punya batas capaiannya.
Meski begitu, sebelum pencari hikmah mencapai maqam puncak dalam pendakian ilmiahnya itu, dia tetap perlu bersahabat dengan logika. Kritisisme adalah pedang, tombak, perisai, sekaligus baju zirah baginya dalam medan peperangan filsafat untuk memperebutkan kebenaran. Karena pentingnya logika dalam mencari hikmah, tampaknya hampir seluruh tradisi filsafat mengajarkan kritisisme.
Kritisisme, dengan demikian, adalah ajaran kemanusiaan pada umumnya. Ia hikmah universal yang ditemukan leluhur kita dari Dayak Ngaju setelah membaca kasunyatan air parit keruh yang bersumber dari telaga keruh. Dengan berguru pada alam terkembang, berbekal semacam kombinasi pendekatan semiotik-struktural dan fenomenologi, mereka memperoleh hikmah yang luhur, agung, dan universal.

Pendekatan Kita?
Begitulah kiranya cara leluhur nusantara mencari hikmah. Alam terkembang jadi guru. Setitik jadikan laut. Sekepal jadikan gunung. Bagaimana dengan kita? Sudahkah kita mulai mencari hikmah? Pendekatan apa yang kita gunakan?
Jangan-jangan hikmah yang kita jual dan bualkan hanya ada di atas kertas dan menempel di ujung lidah, belum bersemayam dalam dada, mengalir dalam darah, merasuk dalam tulang, menyatu dengan daging. Jangan-jangan kita masih memberhalakan buku dan kitab dan tokoh. Masih terpukau dengan hal-hal besar di atas langit sana.
Jangan-jangan kita mengikuti jejak Diogenes, filsuf Yunani Kuno yang suka tertawa dan suka menertawakan kehidupan itu. Suatu malam, Diogenes berjalan sambil memandang bintang di langit. Dia suntuk dalam kontemplasinya tentang bintang-bintang, hal-hal yang sesungguhnya besar sekali dan berada di atas langit sana. Diogenes terus berjalan tanpa melihat ke depan, apalagi ke bawah. Padahal, di depannya ada lubang. Karena tak melihatnya, dia jatuh ke lubang tersebut.
Nenek yang saat itu berpapasan dengannya pun tertawa. Diogenes, yang biasanya menertawakan, kini ganti ditertawakan. Tak tanggung-tanggung, dia ditertawakan oleh seorang nenek. Perempuan uzur itu barangkali berpikir, “betapa bodohnya filsuf satu ini. Diogenes mengaku sebagai pencari hikmah, bahkan ahli hikmah. Tapi, perilakunya tak filosofis. Amalnya tak dipandu hikmah. Hikmah tak jadi cahaya penerang jalan hidupnya. Betapa tak bermanfaatnya ilmu Diogenes”.
Ya, betapa tak bermanfaatnya. Jadi, untuk apa Diogenes mencari hikmah, menuntut ilmu? Untuk apa selama ini aku menuntut ilmu?

Bumi Mataram, Rabu, 23 Ramadan 1437 H



NB: Artikel ini adalah sambungan dari artikel saya sebelumnya, Filsafat dan Hal-Hal Kecil Lainnya. Dipublikasikan di halaman facebook pribadi.

Menjemput Fajar Kalasuba

KALABENDU. Istilah ini pertama kali diperkenalkan Ronggawarsita III. Sebagai mata rantai terakhir pujangga Jawa, santri Kiai Imam Besari Ponorogo ini kawentar dengan ramalannya. Dalam Serat Sabda Jati, dia menulis,

Waluyaning benjang yen wus ana wiku
memuji ngesthi sawiji
sabuk lebu lir majenun
galibetan tudang-tuding
anacahken sakehing wong.

Iku lagi sirep jaman kalabendu
kalasuba kang gumanti
wong cilik bisa gumuyu
nora kurang sandhang bukti
sedyane kabeh kalakon.

Zaman edan berakhir bila sudah ada pendeta
ikhlas menyembah Tuhan yang Esa
berikat pinggang tanah, laksana orang gila
kian kemari berjalan, menuding-nuding telunjuknya
menghitung jumlah semua orang.

Pada masa itu, zaman kalabendu berakhirlah
berganti dengan zaman kalasuba.
Rakyat jelata dapat tertawa.
Tiada kurang sandang pangan.
Terwujud semua cita-cita.

Dalam serat tersebut, kalabendu adalah nama bagi sebuah zaman. Ronggawarsita juga menyebut zaman itu sebagai zaman edan. Berbeda nama, berbeda penekanan, tapi intinya sama: zaman kalabendu atau zaman edan adalah zaman yang tak diharapkan, tapi pasti menghampiri. Kita mesti menerima dan menjalaninya dengan tabah.
Terlempar ke dalam zaman seperti itu, tugas kita yang primer adalah menjaga kewarasan, kesehatan akal (dan) budi. Tidak ikut edan. Tidak hanyut terseret arus kejahiliahan massal. Anglaras ilining banyu, pesan Sunan Kalijaga, ngeli ning ora keli. Menjalani kehidupan selaras aliran air sungai, mengalir tapi tak hanyut.

Hakikat Kalabendu
Untuk menjalankan pesan tersebut, kita mesti paham dulu karakter dan hakikat zaman kalabendu. Kala adalah waktu adalah masa adalah zaman. Bendu banyak maknanya. Kata ini bisa bermakna amarah atau murka atau kutukan. Tapi juga bisa dimaknai bencana. Kedua dimensi makna ini tidak kontradiktif. Ada yang memandang bencana sebagai kasih sayang Ilahi. Tapi, ada pula yang memahaminya sebagai amarah, murka, atau kutukan langit.
Jadi, kalabendu adalah zaman bencana. Bencana itu sendiri menandakan amarah, murka, dan kutukan. Akarnya, atmosfer amarah yang menyelimuti bumi, sifat dur angkara yang menghuni dada kebanyakan orang.
Pada zaman kalabendu, ya zaman kita ini, di mana pun orang-orang diliputi aura raksasa. Sedikit-sedikit marah. Sebentar-sebentar ngamuk. Agama yang bersendikan kasih sayang pun bisa menyulut api amarah. Atas nama agama, kita ngamuk menyerang saudara sendiri yang seiman.
Seiring dengan itu, bencana alam datang silih berganti. Bencana yang satu belum tuntas tertangani, sudah muncul bencana lain. Terlalu seringnya terjadi bencana, kita jadi terbiasa dengan bencana. Bencana jadi hal yang sehari-hari, lumrah, lazim. Bencana jadi sesuatu yang banal, yang tak menggetarkan hati, menggugah jiwa, dan menunjukkan jalan pencerahan. Bagi sebagian kalangan yang berada jauh dari lokasi bencana, ada bencana atau tidak, sama saja.
Tapi, tidak demikian bagi kalangan lain, para pemancing di air keruh. Bagi mereka, bencana adalah uang. Mereka menjalankan bisnis bencana. Atas nama kemanusiaan, mengemis sumbangan ke setiap penjuru bumi. Sebagian sangat kecil dari sumbangan itu memang menetes kepada korban bencana. Tapi sebagian sangat besarnya, mengalir ke rekening pribadi para pengemis itu.
Kita tak perlu kaget dengan gejala amoral tersebut. Aja gumunan, aja kagetan. Bisnis bencana barangkali umurnya sudah setua sejarah umat manusia. Kita tentu sepakat, kemiskinan adalah bencana. Bencana yang hingga kini belum rampung-rampung ditangani. Bencana yang menunjukkan betapa bodohnya kita, betapa jahatnya kita, juga betapa edannya kita.
Demi menyauk simpati rakyat, pemimpin mana yang tak berjanji bakal membasmi kemiskinan? Tapi, pemimpin mana pula yang tak mengingkari janjinya itu? Mereka yang sinis akan mendefinisikan pemimpin sebagai pendusta. Politik adalah dusta yang dilembagakan, kemunafikan yang dibenarkan.
Agama apa yang tak berpihak pada kaum miskin? Tapi, agamawan mana yang tulus bersahabat dengan dan membela kaum miskin? Kebanyakan agamawan justru memuja harta dan hartawan, merasa jijik dengan kemiskinan dan kaum miskin. Bahkan, mereka tega menjual agama untuk memperoleh sebanyak-banyaknya pundi rupiah.
Itulah ciri ulama Bani Israel pada zaman Nabi sebagaimana digambarkan al-Quran. Bukan Tuhan, tapi dunialah kiblat hati mereka. Ke mana pun wajah menghadap, yang mereka lihat hanya uang. Jangankan kemiskinan dan kaum miskin, ayat-ayat suci pun bagi mereka sangat bernilai dan bermanfaat. Maksudnya, bernilai tukar, sehingga jadi komoditas yang diperjualbelikan. Bermanfaat untuk mengumpulkan harta dan kehormatan dan nama besar.
Bagi mereka, ilmu mereka pun bermanafaat. Maksudnya, bermanfaat untuk memperoleh pekerjaan, pangkat, kedudukan, gelar, status, gengsi. Perjalanan hidup mereka melingkar-lingkar dari hal duniawi ke hal duniawi lainnya. Ibaratnya, keledai yang berjalan melingkar untuk menggerakkan alat pengolah gandum.
Memang, berkenaan dengan ilmu yang mereka miliki, al-Quran mengumpamakan ulama Bani Israel sebagai keledai. Keledai itu memanggul setumpuk buku di punggungnya. Ini mengisyaratkan, ilmu mereka hanya tertulis pada lembaran buku. Mereka diberi al-Kitab, tapi tidak mengamalkannya. Ilmu justru menjauhkan mereka dari cahaya.
Ilmunya menutup mata hati. Akibatnya, mereka tidak bisa melihat kebenaran. Ketertutupan mata hati itulah arti dasar dari kufur. Orang kafir adalah orang yang mata hatinya tertutup sehingga dia tidak tahu, tidak pula bisa membedakan, mana yang benar dan mana yang salah. Semua itu menunjukkan, mereka dikutuk oleh ilmunya sendiri. Karena ilmu itu, mereka mendapat kutukan, amarah, murka, bendu.
Kalangan Bani Israel seperti inilah yang dalam Surat al-Fatihah disebut sebagai orang-orang yang dimurkai, al-maghdhub ‘alaihim. Hati mereka membantu dan terkunci mati. Bagi mereka, agama bukan soal rasa. Agama semata-mata akal. Bukan akal (yang) sehat, tapi akal (yang) sakit. Akal paling rendah. Akal pragmatis.
Prinsip keberagamaan akal pragmatis adalah, kalau menguntungkan bagiku, itulah agama. Kalau merugikan bagiku, bukan agama. Kehendak Tuhan adalah kehendak perutku. Maka, dengan sekehendak perut, ulama Bani Israel menjungkir-balikkan tata syariat: menghalalkan yang haram, mengharamkan yang halal. Mereka pun jadi berparadigma syariat sentris. Syariat atau hukum kudus ditunggangi untuk merebut sebanyak mungkin keuntungan pribadi.
Dengan perilaku sebejat itu, adakah hal yang bisa menghindarkan mereka dari bendu? Mungkin, ada jawaban positif untuk pertanyaan ini. Tapi yang lebih mungkin, adalah jawaban negatif. Mereka berhak menerima bendu.
Ada lagi karakter lain masyarakat Bani Israel. Ini diterangkan dalam Surat Yasin. Mereka tidak bermawas diri. Tidak berkaca pada cermin yang sudah disediakan. Semut di ujung lautan kelihatan. Tapi, gajah di pelupuk mata tak tampak. Bagaikan orang menuding, jari telunjuk mereka mengarah pada orang lain. Tapi, tiga jari menekuk ke belakang, mengarah pada diri sendiri.
Ketika ditimpa bencana dirundung bendu, mereka mencari kambing hitam. Mereka tidak merasa salah dan tidak mau disalahkan. Mereka merasa benar sendiri, pertanda bahwa hati telah membatu dan terkunci mati. Mereka tak kenal lagi hikmah ngundhuh wohing pakarti.
Sebab, bagi mereka, bencana bukan akibat perbuatan tangan sendiri. Bencana melekat pada sang kambing hitam, sang juru eling utusan langit. Sang juru eling sudah mengkritik tradisi yang diwariskan leluhur. Karena itu, bendu pun datang.
Siapakah Bani Israel saat ini? Al-Quran adalah petunjuk (al-huda) dan obat hati (al-syifa’). Dia baru jadi petunjuk, baru jadi obat hati, jika kita menggunakannya sebagai cermin. Kalau mau berkaca pada cermin yang tersedia, kita pun menyaksikan betapa bopengnya wajah sendiri.
Apakah kita mau menerima kebenaran atau tidak, itulah persoalannya. Kalau hati kita membatu dan terkunci mati, mata hati kita pun tertutup. Tidak bisa melihat kebenaran. Bahkan, kebenaran itu kita tampik, sebagaimana Bani Israel pernah menampik kebenaran karasulan Muhammad yang ummy dan orang Arab.

Tanda Kalabendu
Tapi, sungguhkah kita sekarang sedang tertimpa bendu? Apa saat ini kita benar-benar sedang mengalami kalabendu? Ronggawarsita memang memaparkan tanda-tanda zaman kalabendu. Namun, leluhur Jawa lain juga menjelaskannya: yen pasar ilang kumandange, yen kali ilang kedunge; wong lanang ilang perbawane, wong wadhon ilang wirange.
Kita mulai urai maknanya dari kalimat terakhir: wong wadhon ilang wirange. Ada kemungkinan, kata wirang diserap dari bahasa Arab, wira’ atau wara’. Lebih kurang, artinya harga diri, kehormatan, kemuliaan, martabat. Karena itu, wirang juga bermakna malu, identitas perempuan yang seharusnya paling menonjol. Perempuan adalah rasa malu, martabat, kemuliaan, kehormatan, harga diri. Perempuan adalah aurat.
Barangkali karena hal ini, syariat Islam mengharuskan perempuan mengenakan hijab khususnya ketika salat. Hijab itu menutupi seluruh anggota tubuh kecuali wajah dan telapak tangan. Sebabnya, perempuan adalah rasa malu. Wong wadhon menandakan ke-wirang-an.
Dengan kata lain, hakikat wong wadhon adalah wirang. Untuk menjaga wirang itulah, pakaian dikenakan. Khususnya bagi perempuan, fungsi busana adalah sebagai penutup aurat, penanda identitas keperempuanan.
Tapi, nyatanya saat ini fungsi busana telah bergeser. Pakaian dikenakan tidak semata-mata untuk menutup aurat, menjaga ke-wirang-an, atau hifdhzul farji dalam istilah al-Quran. Pakaian adalah life style. Masalahnya, dalam dinamika pasar, life style itu berlari tunggang langgang tiada hentinya. Mode fashion berganti begitu cepat mengejar kecepatan pergerakan moneter. Kini, pakaian tak bisa dipisahkan dari pasar, tak dapat dilepaskan dari uang.
Maka, pakaian pun jadi tanda keduniawian. Seberapa terikatnya seorang perempuan, juga laki-laki, dengan hal duniawi, terbaca pada pakaian yang dikenakan. Pakaian telah jadi tanda ketidak-eling-an kita. Padahal, semestinya pakaian melambangkan ke-eling-an. Kita tentu ingat frasa Quranik libas al-taqwa, pakaian takwa, yang diambil Hamengkubawana I untuk menamai baju tradisional Jawa yang dia desain: baju takwa.
Pada umumnya, sekarang pakaian tak lagi menandakan ketakwaan, ke-eling-an, dan kemuliaan. Pada kebanyakan perempuan, pakaian tak lagi menandakan ke-wirang-an. Justru sebaliknya, pekaian melambangkan ketidak-wirang-an. Itu artinya, pada saat ini, pada zaman pascamodern, kebanyakan perempuan sebenarnya kehilangan rasa malu, entah sedikit entah banyak.
Bagi Anda, lebih-lebih bagi golongan feminis, hasil pembacaan kasunyatan ini barangkali salah. Namun sebaiknya, kita mengembalikan benar salah pada kenyataan, pada fakta. Kalau kenyataan berkata demikian, apa kita bisa menafikannya? Kalau kasunyatan berkata, wong wadhon ilang wirange, apa kita bisa menyangkalnya?
Tanda zaman kalabendu berikutnya adalah, wong lanang ilang perbhawane. Perbhawa atau kewibawaan batin adalah apa yang membuat kepemimpinan jadi efektif. Karena seorang pemimpin lelaki berwibawa, yang dipimpin pun patuh.
Bawahan menghormati pemimpinnya dengan tulus. Dia menjalankan perintah dengan segenap semangat pengabdian. Dia tidak membangkang. Sebab, dia tahu bahwa sang pemimpin senantiasa berada di pihaknya. Sang pemimpin tidak berlaku zalim kepadanya.
Dalam konteks negara, pemimpin itu adalah presiden sedangkan yang dipimpin adalah rakyat. Dalam konteks keluarga, normalnya pemimpin itu adalah suami, yang tentu saja laki-laki. Yang dipimpin pertama-tama adalah istrinya, yang tentu saja perempuan, kemudian anak-anaknya. Kalau tidak punya wibawa di hadapan istri, suami tidak dipatuhi istrinya. Kepemimpin keluarga pun tidak efektif. Bahtera rumah tangga pada akhirnya karam.
Saat ini, betapa banyak jumlah keluarga broken home. Angka pernikahan dini tinggi. Angka perceraian cenderung meningkat. Kriminalitas remaja, bahkan anak-anak, meruyak. Sedihnya, gejala ini tidak hanya terjadi di kota-kota tapi juga di desa-desa.
Masyarakat kita jadi haus kasih sayang, lapar perhatian. Apa ini yang menyebabkan kita gemar ber-selfie, saya tak tahu. Apa karena ini komunikasi media sosial bagi kita lebih penting daripada interaksi nyata, saya juga tak tahu. Tapi saya yakin, rasa haus akan kasih sayang dan rasa lapar akan perhatian berkaitan dengan masyarakat kita yang sekarang suka ngamuk. Sedikit-sedikit marah.
Kita memandang orang lain dengan mata kebencian dan kecurigaan. Kita cenderung tidak percaya pada orang lain. Lihat saja, di kota Yogyakarta, betapa banyak tukang parkir. Di kota Jambi, betapa tertutupnya masjid. Bahkan, masjid pun berpagar. Pagar besi lagi. Setelah isya, pintu dikunci. Sekolah merasa perlu pasang kamera pantau, CCTV. Kita merasa tidak aman. Kita curiga kepada orang lain, bahkan kepada jamaah masjid dan siswa sekolah yang kita didik. Kita memperlakukan orang lain sebagai ancaman.
Dan psikologi kolektif yang negatif itu boleh jadi bermula pada situasi keluarga. Akarnya, suami yang kehilangan wibawa batin. Wong lanang ilang perbhawane. Ternyata, leluhur Jawa begitu canggih berpikir. Mereka meneliti rantai sebab akibat suatu gejala sosial hingga ke akarnya yang terpangkal, tidak berhenti pada analisis lapis permukaan.
Kecanggihan berpikir leluhur Jawa juga tampak pada penjelasan mereka tentang tanda zaman kalabendu lain: kali ilang kedunge, sungai hilang sumber mata airnya. Dalam budaya Sunda, ada peribahasa mun kiruh tigiring, komo ka halirna. Kalau keruh air di hilir sungai, lebih keruh lagi di hilirnya. Hulu, sumber mata air, melambangkan pemimpin. Hilir menyimbolkan rakyat. Jika pemimpin tak beres, rakyatnya lebih tak beres lagi. Krisis sosial mencerminkan krisis kepemimpinan.
Kali, dalam kalimat kali ilang kedunge, dapat disamakan dengan hilir. Kedung adalah hulu. Kali adalah rakyat. Kedung adalah pemimpin. Kali ilang kedunge menggambarkan situasi ketika masyarakat kehilangan kepemimpinan, ketika rakyat tidak punya pemimpin sejati.
Yang tampil di panggung politik adalah para pemimpin yang mahir main akrobat pencitraan. Tebar pesona untuk menangguk trust dan popularitas. Janjinya diingkari sendiri. Kebijakannya zalim. Politik hanya dimengerti sebagai jurus untuk merebut dan mengelola kekuasaan. Juga untuk mengumpulkan kekayaan. Politik jadi semata-mata bernilai duniawi. Tidak diterangi cahaya hikmah, pelita hikmat kebijaksanaan. Kali ilang kedunge.
Tanda zaman kalabendu keempat: pasar ilang kumandange. Mengapa pasar ilang kumandange? Bukankah hal itu tidak mungkin terjadi? Pasar senantiasa ramai. Hiruk-pikuk. Kumandangnya terdengar hingga jauh. Bila pasar ilang kumandange, tentu bukan pasar lagi. Tidak mungkin pasar sepi seperti kuburan.
Pasemon ini tidak hanya mengisyaratkan kematian pasar tradisional karena kalah bersaing dengan pasar modern dan pasar moneter. Pada era kapitalisme lanjut, pasar mengalami ekstensifikasi seluas-luasnya. Pasar berekspansi sejauh-jauhnya bahkan hingga ke ranah paling privat dan paling personal. Pada Hari Valentin, biasanya mal dan media massa berdagang komoditas cinta.
Selain cinta, religiositas pun telah dikuasai dan dijajah pasar. Secara terang-terangan, agama diperdagangkan. Muncul generasi ulama, yang kini lazim kita sebut ustadz, yang mematok harga tinggi sekali untuk ceramahnya.
Bahkan, ada ustadz yang hilir mudik mengemis sedekah. Bermunculan pula lembaga zakat non-pemerintah. Sebagian amil zakat privat bertampang profesional ini memanfaatkan kemiskinan dan syariat untuk cari uang. Cerita tentang takmir masjid yang sibuk sebar proposal, sudah klise.
Sekarang, tidak ada satu ranah kehidupan pun yang terbebas dari logika pasar. Sekolah dan madrasah adalah pasar. Rumah sakit adalah pasar. Panti asuhan adalah pasar. Masjid adalah pasar. Semuanya jadi pasar, tempat jual beli. Ketika semua ranah kehidupan jadi pasar, apa kita mendengar kumandang pasar? Jangankan kumandangnya, seringkali bahkan kita tak sadar sedang berada di pasar, sedang berpikir untung rugi, sedang bertindak dengan paradigma ekonomistik.
Bandingkan saja, apa kita mendengar suara ultrasonik yang amat sangat keras itu? Saking kerasnya suara, sampai-sampai kita tak mendengarnya. Bandingkan lagi, apa kita dapat melihat sinar matari tengah hari? Saking terangnya sinar, sampai-sampai mata kita tak dapat menangkapnya. Saking luasnya pasar, saking kerasnya hiruk-pikuk pasar, sampai-sampai kita tak mendengar kumandangnya. Pasar ilang kumandange. Sebab, semua telah jadi pasar. Segala hal adalah pasar.

Menuju Kalasuba
Jadi, apa kita sedang mengalami zaman kalabendu? Anda sudah tahu jawabannya. Masalahnya sekarang, bagaimana seharusnya kita menyikapi zaman kalabendu? Bagaimana agar kewarasan kita tetap terpelihara pada zaman edan ini?
Leluhur Jawa menyambung penjelasannya tentang zaman kalabendu: enggal-enggal tapa lelana, njajah desa milang kori. Jika datang kalabendu, segeralah bertapa kelana. Menjelajahi desa dan menghitung pintu rumah.
Apakah tujuan tapa kelana? Imam al-Ghazali ternyata memberikan jawaban. Tujuan tapa kelana, yang dalam literatur sufisme disebut safar, adalah untuk mencari hikmah yang hilang tergerus zaman, menemukan hakikat yang rucat dari syariat, mengejar makna yang meninggalkan wadah simbolisnya.
Sederhananya, tujuan tapa kelana adalah untuk mengobati hati, meruwat diri sendiri. Hati jadi sakit karena terinveksi virus zaman kalabendu, pascamodern, kapitalisme lanjut. Karena itu, hati perlu segera diobati, perlu secepatnya diruwat, supaya segera sembuh dan tak mengeras, membantu, akhirnya terkunci mati. Obat hati banyak. Salah satunya tapa kelana.
Saat bertapa kelana, kita menjelajahi desa, menghitung pintu rumah. Pasemon ini bisa dimaknai sebagai silaturahmi dari rumah ke rumah, dari desa ke desa. Tapi, saya kira maknanya lebih dalam dari itu.
Desa mawa cara, negara mawa tata. Begitu petuah para sesepuh Jawa. Di luar sana, ada banyak kebudayaan, aneka hikmah. Cara satu desa dengan desa lain berbeda. Tatanan satu kota dengan kota lain tidak sama. Tradisi kampung ini dan kampung itu lain. Adat masyarakat ini dan masyarakat itu pun lain.
Berapa banyak desa, sebanyak itulah cara. Berapa banyak kota, sebanyak itulah tatanan. Masing-masing desa, setiap kota, punya rahasia hikmahnya sendiri. Rahasia hikmah itulah yang dicari saat bertapa kelana.
Sebab, apa yang hilang pada zaman kalabendu pada dasarnya adalah hikmah, yang dilambangkan dengan kumandang pasar, kedung kali, perbhawa wong lanang, dan wirang wong wadhon. Jika dalam tapa kelana, yang tidak harus dilakukan secara fisik tapi bisa juga dijalankan secara intelektual, kita bersabar memungut percik demi percik hikmah, dada kita kelak bakal penuh hikmah.
Al-Quran menyebut orang-orang yang dadanya penuh hikmah, yang senantiasa eling, sebagai ulul albab, penjaga rahasia hati. Rahasia hati itu antara lain hikmah, makna, ilmu. Kearifan hidup, kata Gus Dur. Ronggawarsita, dalam penggalan Serat Sabda Jati yang dikutip pada mukadimah tulisan ini, menyebut ulul albab sebagai wiku. Ibnu ‘Arabi, kemudian al-Jilli, menamainya al-insan al-kamil.
Ahli hikmah secara teguh dan istikamah menggenggam bara api kebenaran. Meski kulit telapak tangan leleh oleh bara, dia tidak mengendurkan genggaman itu, apalagi membukanya. Dia memuji ngesthi sawiji, senantiasa beribadah kepada Yang Maha Esa dengan menghayati makna terdalam tauhid: manunggaling kawula-Gusti. Al-‘abuudah.
Tak putus-putus memandang Ilahi, dia senantiasa eling dalam segala keadaan: berdiri, duduk, berbaring. Segala tindak-tanduknya adalah ibadah. Dia ahli tawakal. Dia tak kenal sedih, tak kenal takut.
Karena itu, dengan sepenuhnya bertumpu pada kebenaran, dia berani galibetan tudang-tuding/anacahken sakehing wong, berjalan kian kemari menuding orang lain, menghitung jumlah orang banyak. Dia berani membuka kedok pencitraan penguasa. Menyingkap dusta para pemimpin. Terhadap kasunyataan, dia berkata apa adanya. Tidak ada yang ditambah atau dikurangi. Tidak ada yang ditutup-tutupi. Cablaka.
Dari mana keberanian itu datang? Dia telah mengalami puncak pencarian hikmah. Telah sungguh-sungguh menghayati bahwa pada asal kejadiannya manusia adalah tanah yang ditiupkan ke dalamnya ruh Ilahi. Mengapa mesti takut jika ternyata Allah, Tuhan Semesta Raya, lebih dekat daripada urat leher sendiri? Adakah yang mampu mengalahkan-Nya? Manusia memang hanya tanah, tapi tanah yang dilimpahi cahaya Ilahi.
Itulah sebabnya, Ronggawarsita menulis, sang wiku, yang kehadirannya menandai berakhirnya zaman kalabendu, mengenakan sabuk tanah. Pada saatnya, manusia yang semula tanah, bakal jadi tanah lagi. Setiap manusia bakal mati. Dalam perjalan hidup yang sekejap, dunia hanya persinggahan sementara. Dunia tak perlu dikejar mati-matian. Orang yang tak takut mati, apa takut menyatakan kebenaran, takut kepada penguasa zalim?
Karena ketidak-takutannya dalam menyatakan kebenaran dan mengkritik kekuasaan itu, sang penguasa, juga mayoritas orang yang telah tenggelam dalam pesona dan nikmat pasar, menganggap sang wiku sebagai orang gila, majnun. Dia gila dalam pandangan manusia. Tapi di langit, namanya harum. Seungguhnya sang wiku berjiwa sehat.
Apakah sang wiku, yang hanya seorang diri ini, benar-benar dapat mengantar kita dari zaman kalabendu menuju zaman kalasuba? Betapa pun juga, sastra adalah pasemon atau simbol, termasuk sastra Jawa. Sastra mengandung berlapis-lapis makna. Sang wiku barangkali simbol pencerahan kolektif.
Bahwa pencerahan kolektif itulah yang menandai peralihan zaman kalabendu ke kalasuba, secara tersirat dinyatakan Ronggawarsita dalam candrasengkala Serat Jaka Lodhang: wiku sapta ngesthi ratu. Tafsirnya, 1877 Saka. Angka tahun ini biasanya di-gathuk-kan dengan 1946 Masehi, satu tahun setelah kemerdekaan Indonesia.
Terjemahan candrasengkala itu lebih kurang adalah, tujuh pendeta jadi pemimpin. Ternyata, tidak hanya satu, tapi ada tujuh wiku yang akan menahkodai bahtera peralihan zaman. Apa makna tujuh di situ? Apakah mengisyaratkan jumlah tujuh orang?
Tampaknya, makna tujuh tidak sesederhana itu. Tujuh, dalam budaya Jawa, juga dalam tradisi Islam, adalah bilangan istimewa. Lebih dari sekadar menunjuk pada jumlah tujuh, kata tujuh melambangkan kejamakan.
Wiku sapta ngesthi ratu kiranya bermakna pencerahan kolektif, katakanlah semacam renaissance spiritual dan budaya. Terang saja, ketika renaissance seperti ini terjadi, kalabendu tentu bakal segera jadi masa lampau.
Waktu bakal segera bergulir menuju kalasuba, zaman ketika orang kecil tak lagi sengsara. Mereka tertawa gembira. Sebab, sandang pangan tercukupi. Segala harapan politik dan ekonomi pun terwujud. Krisis ekonomi, politik, sosial, dan budaya, berakhir. Tentang zaman kalasuba ini, Ronggawarsita menambah keterangan lain.

Sengkalane maksih nunggal jamanipun
neng sakjroning madya akhir
wiku sapta ngesthi ratu
ngadil parimarmeng dasih
ing kono karsaning manon.

Tinemune wong ngantuk anemu kethuk
malenuk samargi-margi
marmane bungah kang nemu
marga jroning kethuk isi
kencana sasotya abyor.

Terjemahan Simuh (1988), dengan beberapa penyesuaian, atas penggalan Serat Jaka Lodhang itu adalah sebagai berikut. Ciri waktu pada zaman itu, yakni pada zaman pertengahan akhir, muncul wiku sapta ngesthi ratu. Itulah masa keadilan dan kemakmuran yang merata. Demikian kehendak Tuhan. Waktu itu, orang yang sedang mengantuk pun, sambil duduk-duduk saja menemukan kethuk (benda). Kethuk itu terdapat di sepanjang jalan. Orang yang mendapatkannya, bersuka cita. Sebab, di dalamnya ada permata gemerlapan.
Pendek kata, kalasuba adalah antitesis kalabendu. Kesengsaraan kalabendu berganti jadi kesejahteraan kalasuba. Dulu serasa dikutuk. Kini dianugerahi rahmat dan nikmat berlimpah. Zaman kalabendu diselimuti atmosfer amarah. Pada zaman kalasuba, menyebar wangi kasih sayang.
Rantai bencana alam terputus. Politik dan hukum kembali manunggal dengan etika. Ulama jadi pewaris para nabi. Ilmunya bermanfaat. Pasar kembali terdengar kumandangnya. Kali menemukan kedung-nya yang pernah hilang. Lelaki punya kewibawaan batin. Perempuan teguh menjaga wiring-nya.

Kalasuba Pribadi
Kita tak tahu kapan pastinya zaman emas itu tiba. Kita juga tak bisa menerka-nerka kapan ajal kalabendu datang. Sebelum kemerdekaan, kita pernah merasa sedang mengalami kalabendu. Manakala kemerdekaan diproklamasikan, kita pernah merasa yakin bahwa kalabendu telah usai, kalasuba telah menghampiri. Tapi, kemudian kita kecewa. Terbenam kembali dalam liang gelap pesimisme. Rupanya, kalabendu belum berakhir. Begitu kita menyimpulkan.
Sebelum reformasi, kita pun pernah merasa hidup pada zaman kalabendu. Manakala Orde Baru tumbang, kita merasa yakin sedang berdiri di depan gerbang kalasuba. Nyatanya, justru setelah reformasi, berbagai macam bendu berdatangan, seakan menyerbu dari seluruh penjuru.
Kini, kita merasa perlu membaca kembali karya Ronggawarsita. Untuk sekadar membaca tanda-tanda zaman. Untuk merumuskan sikap terbaik merespons kalabendu. Untuk menjaga nyala api optimisme dan harapan yang hampir padam. Atau, untuk mencari jalan keluar dari labirin kalabendu.
Meski pernah berkali-kali, pada berbagai kurun berbeda, membaca tanda-tanda zaman dengan hasil yang meleset, tampaknya kita tak bisa mengelak dari kepastian tanda-tanda zaman saat ini. Kenyataan menunjukkan, kita sedang mengalami kalabendu. Kalasuba terasa bagai mimpi yang jauh.
Sang wiku majnun yang bersabuk tanah, belum tampil. Tujuh wiku yang memimpin masyarakat pun, belum terlihat. Maka, kita butuh renaissance. Kita perlu bertapa kelana. Menjelajahi desa demi desa. Menghitung pintu rumah satu demi satu. Bersegara, tapi dengan sabar dan istikamah, memungut puing-puing hikmah yang berserakan di mana-mana. Lalu, hikmah-hikmah itu diramu sebagai obat hati.
Kita harus bertapa kelana untuk mengumpulkan air hikmah dari tujuh sumur. Air suci itu, tirta itu, lalu kita gunakan untuk membersihkan diri dari najis dan hadats dan janabah kalabendu. Untuk meruwat raksasa yang mendekam dalam dada. Untuk mengikis sifat dur angkara pribadi.
Jika sepanjang hayat tak berjumpa zaman kalasuba, minimal kita mengalami kalasuba pribadi. Saya pikir, itulah yang pertama-tama dikehendaki Ronggawarsita, jawaban mengapa dia menulis Suluk Saloka Jiwa, Suluk Suksma Lelana, Serat Pamoring Kawula-Gusti, dan Wirid Hidayat Jati.
Ronggawarsita ingin kalasuba terbit dan kalabendu terbenam. Tapi dia lebih ingin, kita secara pribadi mengalami kematian dalam kehidupan dan kehidupan dalam kematian, mati sakjroning urip dan urip sakjroning mati. Dia bermaksud menuntun kita menuju jalan lurus, membimbing kita menemukan hidayah. Kepada kita, Ronggawarsita membentangkan rute yang mesti ditempuh untuk menjemput fajar kalasuba pribadi.
Setelah mengalami kalasuba pribadi, ketika mencapai martabat ulul albab, kita tak (lagi) jadi sumber bendu. Setelah menjalani ruwatan, kita tak (lagi) jadi raksasa bagi yang lain. Sebagai penyalur rahmat dan penyebar salam, kita pun bisa dengan jujur berujar: rahayu, rahayu, rahayu….


Bumi Mataram, 27 Ramadan 1437 H