28/02/15

Estetika Ketegangan

Bagi pembaca yang, katakanlah, serius, membaca esai seorang pengarang tentang proses kreatifnya, merupakan hal yang riskan. Kalau tak hati-hati, dia bisa terjebak pada intentional fallacy, kekeliruan pemaknaan yang disebabkan oleh asumsi bahwa pengarang berhasil menyampaikan pesan yang hendak disampaikan melalui karya sastra ciptaannya. Ada garis lurus yang pasti antara pesan yang dikehendaki pengarang dengan pesan yang tertuang dalam struktur karya. Akan tetapi, tanpa membaca esai tentang proses kreatif itu, pemaknaan yang ditemukan pembaca akan berjarak dari konteks di luar karya sastra, khususnya konteks ekspresif. Pemaknaan akan berakhir pada ketak-utuhan.

Jalan tengah dari dilema ini adalah berpegang pada prinsip bahwa pesan yang terkandung dalam karya sastra tidak harus sejalan dengan pesan yang dikehendaki pengarangnya. Adakalanya karya sastra mengikuti kemauan pengarang, tetapi adakalanya pula dia mengambil jalan lain untuk menuju alamat yang lain pula. Jadi, ada ketegangan antara karya sastra dengan pengarang. Pembaca berdiri di tengah dan di atas ketegangan ini, menjadi semacam kanal atau mediator, juga menjadi pengamat. Dengan peran dan posisi tersebut, pembaca berhak memilih untuk sekadar menjadi saksi atau menjadi hakim.

Secara sadar, saya lebih memilih menjadi saksi daripada hakim. Sebab, peristiwa pembacaan di dalam mana pembaca mengambil bagian aktif, telah menjauhkan pembaca dari objektivitas. Dia adalah variabel yang bernapas dalam perjalanan kehidupan karya sastra. Tidak hanya pengarang yang memberi makna, pembaca pun turut menyumbangkan makna kepada karya sastra tersebut. Makna yang diberikan pembaca itu akan aktual ketika dia mengekpresikan tanggapannya dalam bentuk apresiasi.

Inilah ketegangan kedua dalam peristiwa pemaknaan, yaitu ketegangan antara karya sastra dengan pembaca. Boleh jadi, pembaca mengaharapkan makna tertentu dalam karya sastra yang akan dinikmatinya, tetapi ternyata karya sastra itu malah menghadirkan makna yang lain atau sama sekali lain. Boleh jadi pula, karya sastra mengandung pesan tertentu, entah pesan itu dikehendaki atau tidak oleh pengarang, tetapi pesan tersebut ternyata tidak ditangkap oleh pembaca atau ditangkapnya secara keliru. Atau, pembaca sesungguhnya menangkap pesan tersebut, tetapi dia sengaja mencari pesan yang lain, memberi makna yang lain, bahkan yang bertolak belakang dari yang dikandung karya ataupun yang dikehendaki pengarang.

Menemukan makna lain dari suatu karya sastra inilah yang ingin dicapai oleh pembaca yang membongkar. Ada semacam kepercayaan padanya bahwa karya sastra tidak mutlak padat, rapi, dan rampung. Bangunannya tidak sempurna. Sekokoh dan seanggun apa pun, bangunan itu tidak dapat mengelak dari kerumpangan. Tidak dapat tidak, dia adalah bangunan yang menyembunyikan keretakannya dari muka umum, dari telisik dan selidik mata pembaca.

Begitulah, karya sastra adalah suatu ambivalensi. Dipandang dari jauh, dia kelihatan ayu. Tapi, apabila kita mengenalnya dengan sangat dekat, keayuan itu rupanya hanya lamis. Ketika menjumpai kenyataan ini, pembaca yang membongkar tidak patah hati sebab dia telah punya asumsi, sebelum masuk ke dalam peristiwa pemaknaan, bahwa karya sastra sesungguhnya tidak punya struktur yang mantap dan kokoh, seberapa pun tingginya tingkat kejeniusan sang pengarang.

Namun demikian, tersingkapnya ambivalensi suatu karya oleh pembaca yang membongkar, tidaklah merugikan dan mencelakakan kehidupan karya tersebut, justru sebaliknya, malah meluaskan dan merentangkan jangkauan kehidupannya. Karya sastra memperoleh napas baru. Kreativitas pembaca, bahkan yang paling dekonstruktif sekalipun, merupakan hal yang menguntungkan dan berharga dalam peristiwa pemaknaan yang dinamis.


Kalau kreativitas pemaknaan ini dihukum mati karena pembacaan yang membongkar dinilai sebagai heretisme, yang bakal mati bukanlah kreativitas itu sendiri--sebab kreativitas tak bisa dipancung, tetapi yang tercabut nyawanya adalah karya sastra, kemudian pada akhirnya sang pengarang. Sikap terbaik adalah menyaksikan peristiwa pemaknaan tanpa mengeluarkan fatwa. Peristiwa pemaknaan dibiarkan mengalir apa adanya. Biarlah sejarah yang kelak menunjukkan makna mana yang aus termakan hujan dan panas dan makna mana yang tak lekang oleh waktu.