30/08/13

tazkiyah


BIASANYA, kata Fazlur Rahman, al-nafs al-lawwamah diterjemahkan menjadi the blaming soul, tukang kritik, tukang protes, tukang tuduh, yang sering berkeluh kesah dan yang suka mengambinghitamkan pihak lain. Dia mempersepsi dirinya sebagai korban. Sebab itu, dia tidak mau menerima fakta keterlemparan atau keterjatuhan yang dialaminya. Kesalahan selalu ada pada orang lain, sementara kebenaran semata-mata miliknya. Dia tidak kerasan tinggal di dunianya saat ini, selalu ingin dan ingin mencari dunia lain yang menurutnya lebih baik dan sempurna, yang disangkanya akan menjadi dunia yang paling sesuai untuknya.

The blaming soul adalah tipe manusia pembangkang dan pemberontak. Kritisisme dan aktivisme memang merupakan karakternya yang dominan, tetapi justru dua sifat itu membentuknya menjadi diktator yang zalim, menjadi seorang “mufsid”, karena apa yang baik dalam pandangannya belum tentu baik dalam pandangan yang lain, lagipula belum tentu sejalan dengan kemaslahatan bersama. Dunia baru yang direkonstruksinya ternyata tidak lebih baik daripada dunianya yang lama. Setelah menumbangkan sang tiran, dia malah menjadi tiran berikutnya yang lebih tiranik daripada tiran sebelumnya.

Kebalikan dari the blaming soul adalah the satisfied soul atau al-nafs al-muthmainnah, jiwa yang sudah menemukan rumahnya, tempat peristirahatannya. Rumah itu ditemukan tidak dengan mencarinya ke mana pun, tetapi dengan bersukur, berhenti, berdiam (wuquf), menerima secara kreatif dunia tempat hidupnya sekarang, bagaimana pun keadaan dunia tersebut.

Namun demikian, the satisfied soul bukanlah fatalis yang pasif karena satisfaction itu adalah kualitas mental yang dibutuhkan agar dia dapat mereformasi dunia yang didiaminya sesuai dengan maksud penciptaan, dengan jalan tanpa kekerasan, dengan berkat dan rahmat Tuhan. Di lingkungan pelaku spiritual, ada keyakinan bahwa ketika kita memperbaiki diri, yakni dengan melatih mental untuk mencapai kualitas the satisfied soul, pada saat yang sama kita sedang memperbaiki lingkungan di sekitar kita, memperbaiki dunia tempat kita hidup. Reformasi dunia menjadi konsekuensi logis dari reformasi diri.

Makna Ikhlas
Tazkiyah al-nafs adalah istilah teknis yang digunakan umat Islam untuk menggambarkan latihan mental tersebut. “Tazkiyah” merupakan konsep klasik yang maknanya sudah dikenal sejak zaman Ibrahim. Waktu merenovasi “rumah Tuhan”, Ibrahim bersama anaknya Islamil berdoa supaya Tuhan kelak mengutus seorang rasul kepada anak cucunya yang hidup di tanah Arab. Salah satu misi yang diemban rasul yang nanti diketahui bernama Muhammad itu adalah misi purifikasi atau tazkiyah.

Tazkiyah dapat ditafsirkan sebagai pembersihan hati dari unsur-unsur selain Tuhan yang Esa. Ketika menempuh laku tazkiyah, kita menjalankan takhlishh, upaya melepaskan atau membebaskan diri dari penyembahan kepada banyak Tuhan atau kepada Tuhan yang salah.

Inilah kiranya makna pokok dari “ikhlas”, nilai yang posisinya termasuk sentral dalam sistem etika Islam. Ini juga menjelaskan mengapa surat terakhir al-Qur’an, yaitu surat Qul Hu, yang berisi doktrin pengesaan Tuhan, juga dinamai surat al-Ikhlas. Akan tetapi, makna “ikhlas” kemudian menyempit. “Ikhlas” sekadar menjadi antonim riya’, perilaku memamerkan kebaikan, keutamaan, kemampuan, prestasi, pencapaian, dan sebagainya, gejala etis yang erat kaitannya dengan kesombongan (takabur).

Riya’ memang tidak menunjukkan keikhlasan karena pelaku riya’ mengerjakan sesuatu tidak untuk, demi, dan karena Tuhan, melainkan untuk memperoleh apresiasi dari manusia atau untuk mendapatkan sesuatu selain ridha Tuhan. Jadi, di dalam hatinya masih bersemayam tuhan-tuhan lain selain Tuhan yang Esa. Tuhan lain itu misalnya pengakuan, pujian, atau keuntungan material, yang jika dirunut lebih cermat semua itu ternyata menandakan adanya egosentrisme, sikap menjadikan diri sendiri sebagai penentu kebenaran mutlak bahkan sebagai kebenaran itu sendiri, sebagai Tuhan.

Karena itu, takhlish juga dapat didefinisikan sebagai upaya untuk mengikis habis egosentrisme dan menjaga jarak dari hal-hal duniawi tanpa menolak dunia itu sendiri. Hasil dari laku takhlish adalah akhlak ikhlas—ini jika ikhlas tidak dimengerti sebagai proses karena pada hakikatnya ikhlas itu adalah suatu proses yang tidak kunjung rampung sehingga “ikhlas” menjadi identik dengan “takhlish”. Orang yang ikhlas memiliki the satisfied soul karena dia tidak pernah resah oleh “pandangan manusia” terhadapnya yang terus-menerus berubah; tidak dikendalikan oleh penilaian publik yang arbitrer, cenderung tidak adil, dan labelling.

Tazkiyah Struktural
Takhlish, sebagai metode tazkiyah yang paling asasi, di samping mengandung aspek individual, juga mengandung aspek sosial. Teologi Islam tidak menerima sekulerisme dan individualisme. Doktrin Islam menuntun umat Islam untuk berpikir global, universal, holistik, integral, dan struktural. Sebagai bukti, berbeda dengan tempat ibadah agama lain, fungsi masjid meliputi urusan dunia dan akhirat, privat dan publik, agama dan non-agama. Pada masa Muhammad, masjid menjadi rumah tempat penampungan yatim-piatu, fakir-miskin, dan gelandangan, sekaligus kantor legislatif, eksekutif, dan yudikatif, markas tentara, lembaga pengajaran, dan lain-lain. Segala aktivitas kehidupan di Madinah agaknya berpusat di masjid. Masjid adalah pusat kebudayaan dalam maknanya yang luas. Karena itu, tazkiyah yang umumnya dipahami sebagai laku personal—jadi disamakan dengan laku mistik dalam spiritualisme Jawa atau kaum teosofi—sebenarnya merupakan gerakan sosial yang memicu terjadinya, atau malah menciptakan, perubahan-perubahan struktural.

Barangkali, kelompok sosial yang melancarkan perlawanan yang paling radikal dan paling masif terhadap kolonialisme Belanda di Indonesia, sebelum bangkitnya perlawanan modern yang dipimpin oleh para intelektual yang memperoleh pendidikan Eropa, adalah komunitas-komunitas tarekat yang dengan intensif mengajarkan laku tazkiyah dalam teori dan praktik. Perang Jawa atau Perang Diponegoro, misalnya, tampaknya merupakan perang yang mengandung maksud tazkiyah, meskipun tujuan itu tidak dieksplisitkan. Sebagian dari para komandan perang yang kelak mengubah wajah Hindia-Belanda ini adalah pemimpin komunitas tarekat, Diponegoro sendiri kabarnya ialah tokoh tarekat yang terkenal dan kharismatis. “Perang tazkiyah” melawan penjajah yang berpola sporadis ini masih berlangsung hingga paruh pertama abad ke-20. Pada saat itu, Jawa menyaksikan kelahiran organisasi-organisasi politik modern, sementara Tungkal, yang mungkin dapat dikatakan sebagai pusat penyebaran tarekat qodariyah-naqsyabandiyah di provinsi Jambi, menyaksikan munculnya Barisan Selempang Merah, sebuah gerakan anti-kolonial berbasis tarekat yang mengadakan perlawanan terorganisir terhadap Belanda.

Demikian pula, rangkaian perang yang dilancarkan oleh umat Islam generasi pertama tentu saja mesti dikategorikan sebagai “perang tazkiyah” melawan kekafiran—bukan melawan orang-orang kafir (!)—dan untuk menumpas kemusyrikan—bukan untuk menumpas orang-orang musyrik (!). Beberapa saat setelah perang Badar, perang terbesar yang mereka hadapi, Muhammad mengingatkan bahwa kita memang baru menyelesaikan sebuah perang besar, tetapi kita sedang akan memasuki perang yang lebih besar (al-jihad al-akbar), yaitu perang melawan diri sendiri, melawan hawa nafsu yang bersarang dalam diri sendiri, perang dalam rangka membersihkan hati, melepaskan tuhan-tuhan lain selain Tuhan yang Esa yang terdapat di dalam hati. Meskipun banyak orang kafir telah tewas dalam peperangan, tetapi kekafiran belum lagi sirna, bahkan diakui atau tidak, virus kekafiran justru terdapat dalam jiwa umat Islam.

Perang bukan satu-satunya jalan untuk melaksanakan tazkiyah struktural, malah perang merupakan jalan terakhir yang baru boleh ditempuh jika jalan-jalan damai dan formatif sudah buntu. Program tazkiyah struktural adalah apa yang disebut Kuntowijoyo sebagai objektivikasi: pelembagaan nilai-nilai universal Islam dalam wujudnya yang objektif yang diterima oleh semua kalangan keagamaan. Amar ma’ruf nahi mungkar adalah ungkapan al-Qur’an yang digunakan untuk menunjukkan upaya pelembagaan nilai-nilai itu.

Dengan demikian, apabila Muhammad mendirikan struktur politik semacam negara di Madinah, maka apa yang dilakukan Muhammad itu jelas merupakan laku tazkiyah dalam arti sosialnya. Negara tersebut memungkinkan umat Islam beribadah kepada Tuhannya yang Esa tanpa diteror oleh pihak mana pun. Negara Madinah-nya Muhammad menjamin kebebasan beribadah. Negara tersebut juga memungkinkan umat Islam menegakkan agamanya yang rahmatan lil alamin, yang memayu hayuning manungsa lan buwana, yang mengayomi umat-umat agama lain, dan yang, karena itu, menjamin pula kebebasan beribadah umat agama lain. Negara tersebut, pendek kata, memungkinkan setiap muslim memiliki akhlak ikhlas karena memang didirikan dan dijalankan untuk tujuan itu.