31/12/21

Politik Kebaikan: dari Krisna hingga Gus Dur

Politik diperlukan untuk memenangkan kebaikan. Jika tak dikawal politik, kebaikan niscaya dikalahkan oleh kejahatan yang cerdik. Itulah pesan tersirat yang kita temukan saat "membaca" ketokohan Krisna dalam lakon Baratayudha.


Klimaks lakon Baratayudha terjadi di medan Kurusetra. Pasukan Pandawa, yang merepresentasikan kebaikan, berhadap-hadapan dengan pasukan Kurawa yang teridentikkan dengan kejahatan. Kurawa tak hanya dibela Begawan Durna, pakar perang yang berpengalaman dan cerdas, tetapi juga disokong penuh oleh Sengkuni, patih yang terkenal cerdik, bahkan licik. 


Berkat kecerdikan Sengkuni, Pandawa sempat terusir dari istana Astinapura. Para bangsawan luhur tersebut terpaksa mengai-ngais hidup di hutan belantara, lalu mencari suaka ke kerajaan lain. Berkat kecerdikan Sengkuni pula, pasukan Pandawa terpukul mundur di medan Kurusetra. Kubu Pandawa terancam kalah. 


Untung saja, kalangan Pandawa juga punya tokoh yang tak kalah cerdik ketimbang Sengkuni. Tokoh, yang setengah dewa setengah manusia, itu adalah Prabu Krisna. Saat menyaksikan tanda-tanda kekalahan Pandawa, Krisna segera menyusun siasat cerdik. 


Panglima pasukan Kurawa saat itu adalah Durna (juga disebut: Drona). Sang begawan punya putra kesayangan yang turut bertempur di Kurusetra. Aswatama namanya. Dalam analisis Kresna, cinta Durna kepada Aswatama adalah titik kelemahan sang begawan. Musibah yang terjadi pada Aswatama bakal melumpuhkan semangat juang Durna. 


Krisna lantas merancang sandiwara. Ia berbincang dengan Yudhistira, yang juga bernama Puntadewa. Ia yang tertua dari kakak-beradik Pandawa Lima. Yudhistira ditugasi menjadi pendengung (buzzer) hoax bahwa Aswatama telah tewas. 


Yudhistira dipilih karena sulung Pandawa tersebut adalah sosok yang shiddiq dan amanah. Ia lugu dan tak pernah bedusta. Jadi, siapa pun akan langsung percaya terhadap berita apapun yang disampaikan Yudhistira. Sebab, wajahnya bukanlah wajah seorang pendusta. Rekam jejaknya bersih. Integritasnya teruji. 


Sebagaimana orang lain pada umumnya, Durna pun akan langsung mempercayai apapun informasi yang disodorkan Yudhistira. Apalagi, meski keduanya berhadap-hadapan di Kurusetra, relasi Durna dengan Yudhistira amat dekat. Yudhistira adalah muridnya sendiri. 


Perang Baratayudha memang unik. Ia tak hanya memperhadap-hadapkan ayah dengan anak, kakek dengan cucu, kakak dengan adik, serta paman dengan keponakan. Perang besar itu juga membuat guru dan murid saling beradu senjata. Dan Yudhistira adalah murid yang dipercayai Durna.


Itulah sebabnya, ketika Durna mendengar berita dari Yudhistira bahwa Aswatama telah gugur, panglima sepuh itu seolah kehilangan tenaga. Barangkali, Durna ingin tak percaya terhadap berita kematian Aswatama. Tapi, bagaimana pun juga, Yudhistira telah membenarkan berita duka tersebut. Maka, Durna pun percaya, meskipun berat untuk menerima kenyataan. Senjatanya terjatuh. Dan ia pun terduduk lunglai. 


Keruntuhan moral Durna ini diungkapkan dengan sederhana, tetapi indah dan membekas di hati, oleh--Allah yarham-- Iman Budhi Santosa dalam puisinya yang berjudul Dusta Puntadewa. Berikut kutipan lengkapnya yang bersumber dari Ziarah Tanah Jawa: Kumpulan Puisi 2006-2012 (h. 12-13), salah satu karyatama sastrawan luhur Yogyakarta yang menghayati puisi sebagai semacam laku spiritual itu.


DUSTA PUNTADEWA

: Drona gugur


Drona hari itu benar-benar tak berharga

di mata Pandawa, walau Puntadewa sejenak ragu

menjawab merah atau biru pada Sang Guru


"Siapa yang mati, Ananda?"


Drona percaya, darah putih masih setia

menjaga sulung Pandawa dari durhaka


Oleh kerdipan mata Kresna, Puntadewa mengangguk

bibir dan suaranya mengombak, menyebut gambar

sekalian menombak tikus sembunyi di celah akar


Gajah Hestitama tunggangan Prameya

senapati pengapit Hastina yang tewas

digubah jadi nama emas

merampas kesaktiab Drona tua

sebelum puput menebus dosa


"Aswatama mati? Anakku mati?" Drona memekik gila

dan Destrajumena punya kesempatan menebaskan pedangnya


Perang berhenti. Kurusetra sepi.

Mata Puntadewa basah

Pandawa-Kurawa pun merasa terjerembab ke bumi

karena menang kalah harus jadi

lidah mata juga ikut berperang

menghapus kata maaf dan berbagi

pada semua yang berbaris di sisi kiri

(tempat yang salah dan dicerca sejarah)

agar cerita wayang tak pernah mati

menebar terang, mengirim wangi

serupa kisah nabi dalam kitab suci


2006


Demoralisasi Durna mempengaruhi seluruh tentara Kurawa yang dipimpinnya. Karena kehilangan pimpinan, gelar pasukan Kurawa, yang sebelumnya telah terorganisir rapi dan rapat, menjadi kocar-kacir. Kubu Pandawa menggunakan momentum itu untuk memukul mundur kubu Kurawa. Bahkan, kelengahan Durna juga dimanfaatkan untuk menyerang sang begawan. Akhirnya, guru Yudhistira itu tewas, tragisnya justru karena termakan hoax yang disebarkan muridnya. 


Gugurnya Durna menjadi titik balik dinamika peperangan. Setelah kematian Durna, selangkah demi selangkah Pandawa berhasil mendominasi jalannya peperangan. Dan kita semua tahu ending ceritanya: Pandawa menang, Kurawa kalah. Kebaikan menang. Kejahatan kalah. Hasil yang tampak sederhana, walaupun dilatarbelakangi proses yang sedemikian kompleks dan menguras perasaan.


Jika Krisna tak menyusun siasat cerdik--yang dipersepsi sebagai konspirasi licik oleh pihak Kurawa--hasil akhir peperangan mungkin akan berbeda. Mungkin Kurawa-lah yang menang, sedangkan Pandawa kalah. Atau, mungkin hasil akhirnya imbang. Tapi, berkat "politik kebaikan" yang dijalankan Krisna, Pandawa-lah yang akhirnya tampil sebagai pemenang di gelanggang peperangan. Kebaikanlah yang akhirnya menjadi juara dan jawara.


"Politik kebaikan" Krisna sebenarnya membuat figur ini sukar dipahami. Ia bukan sosok yang lurus sebagaiamana Yudhistira, yang saking lurusnya sampai-sampai disebut-sebut bahwa darahnya berwarna putih. Yudhistira, putra Betara Darma itu, memang sosok yang karakternya serba putih. Bercak noda hitam yang mengaibi putihnya kepribadian Yudhistira adalah "kebohongan"-nya kepada Durna, selain kekhilafannya di meja judi dadu.


Di kutub yang berseberangan, ada Patih Sengkuni. Ia sosok yang karakternya ditampilkan serba hitam. Sengkuni-lah yang menjadi intellectual leader di balik kezaliman dan keculasan Kurawa. 


Krisna bukan Yudhistira, bukan pula Sengkuni. Dari segi perwatakan, Krisna ada di tengah-tengah mereka berdua. Karakter Krisna bersifat moderat. Pada dirinya, berjalin secara ajaib dan padu dua hal yang kesannya bertolak belakang: kesucian-rohani Yudhistira dan kecerdikan-politik Sengkuni. Krisna, yang maqom spiritualnya lebih tinggi daripada Yudhistira, justru berpolitik. 


Dikatakan memiliki maqom spiritual lebih tinggi karena Krisna adalah titisan Wisnu. Krisna adalah dewa yang mengejawantah menjadi manusia. Krisna diyakini sebagai guru spiritual sejati. Dialognya dengan muridnya, yaitu Arjuna, bahkan terekam menjadi kitab suci Bhagavad Gita. Kontras bahwa dewa sesuci Krisna ternyata mau berkotor-kotor dalam kubangan politik. Demi memenangkan kebaikan yang dipihakinya.


Jalan "politik kebaikan" Krisna juga ditempuh Gus Dur, santri par excellance yang pada dirinya tergabung kesucian rohani sekaligus kecerdikan politik. Ketika barisan kiai penjaga moral menjauh dari politik praktis, Gus Dur justru menceburkan diri ke dalam lumpur politik, dengan risiko kehilangan nama baik di mata orang-orang pesantren. Dengan risiko terbunuh, baik secara harfiah maupun secara citrawi. Kita tahu, berkali-kali Gus Dur diserang isu miring yang berpotensi menjatuhkan reputasinya. Tak sekali dua kali Gus Dur hendak dihabisi oleh Orde Baru.


Meskipun intens berkubang dalam lumpur politik, sejarah akhirnya mencatat bahwa level Gus Dur barangkali bisa disejajarkan dengan Sunan Gunung Jati, Raden Patah, Mangkunegara IV, dan Hamengkubawana IX, segilintir di antara sekian banyak pemimpin luhur di Nusantara yang teguh menjalani lelaku politik kebaikan. Bahkan, di kalangan akar rumput NU, muncul penilaian bahwa Gus Dur adalah waliyullah yang ke-10 dari sembilan Walisanga yang telah melegenda. Tentu saja, pendapat ini tak luput dari perdebatan.


Tapi, kendati pun bukanlah waliyullah penjaga Bumi Nusantara yang ke-10, integritas Gus Dur tak usah ditanyakan lagi, walaupun sempat diragukan. Penjungkalan Gus Dur dari kursi kepresidenan dimulai dengan tuduhan yang belakangan terbukti keliru: Gus Dur terlibat dalam skandal korupsi Bruneigate dan Buloggate. 


Alih-alih melakukan korupsi, selama menjadi presiden Gus Dur justru berupaya membersihkan pemerintahan dari anasir koruptor, juga dari polah tingkah kepolitikan gaya Sengkuni. Entah kenapa, saya merasa Gus Dur seakan tak krasan di istana negara. Justru saat menjadi presiden, Gus Dur kian kerap berziarah ke makam-makam tua. Masyhur jawaban Gus Dur ketika ditanya alasan mengapa ia kerap berziarah ke makam: Orang mati itu jujur. Tidak berdusta. Tidak munafik. 


Kiranya jawaban lugas ini merefleksikan gejolak jiwa "pandita"-nya yang ingin menciptakan jarak moral antara dirinya dan politik praktis. Dalam redaksi yang berbeda, Kiai Husein Muhammad--sahabat Gus Dur yang mendirikan Fahmina Institute dan aktor intelektual terhelatnya Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) yang pertama pada 2017--juga membeberkan jiwa pendeta Gus Dur ini. 


"Gus Dur, Maulana Rumi, dan para wali Allah," tulis Kiai Husein dalam buku Gus Dur dalam Obrolan Gus Mus (2016: 17), "adalah orang-orang yang selama hidupnya diabdikan untuk mencintai seluruh manusia. Mereka memberikan kebaikan karena semata-mata kebaikan itu sendiri, bukan karena mengharap kebaikan itu kembali kepada dirinya." 


Kiai Husein, dalam buku yang sama, bahkan menyandingkan dan membandingkan Gus Dur dengan Pangeran Siddharta: "Pecinta kemanusiaan sejati memang rela menanggung derita. Gus Dur bagai Buddha Gautama. Maulana Jalal al-Din Rumi dari Konya, Anatolia, Turki mengatakan bahwa pecinta sejati mengorbankan dirinya sendiri dan tidak mencari apa pun demi imbalan" (2016: 118).


Seandainya Gus Dur berpolitik demi memburu imbalan, tentu ia tidak akan turun secara sukarela dari singgasana kepresidenan ketika dipaksa lengser oleh musuh-musuh politiknya. Gus Dur berpolitik demi kesejahteraan rakyat, yang dalam konteks nasionalisme dijabarkan menjadi "demi kejayaan dan keutuhan bangsa dan negara". Prinsip politik-kebaikan ini dinyatakan Gus Dur dalam "Negara dan Kepemimpinan dalam Islam", sebuah artikel pendeknya yang terhimpun dalam buku Islamku, Islam Anda, Islam Kita: Agama, Masyarakat, Negara, Demokrasi (2011: 97-101). 


"Dalam Islam," tulis Gus Dur dalam artikel yang awalnya terbit di surat kabar Kedaulatan Rakyat tepat 19 tahun lalu itu (21/12/2002), "kepemimpinan haruslah berorientasi kepada pencapaian kesejahteraan orang banyak. Sebuah adagium terkenal dari hukum Islam adalah 'kebijakan dan tindakan seorang pemimpin haruslah terkait langsung kepada kesejahteraan rakyat yang dipimpin' (tasharruf al-imam 'ala al-ra'iyyah manuthun bi al-mashlahah). Jelaslah dengan demikian kepemimpinan yang tidak berorientasi kepada hal itu, melainkan hanya sibuk dengan mengurusi kelangsungan kekuasaan saja, bertentangan dengan pandangan Islam mengenai kepemimpinan." 


Prinsip adiluhung yang secara universal diamanatkan oleh semua agama tersebut enteng dikatakan. Tapi, mencari perimbangan antara tarikan duniawi di satu kutub dan standar ukhrawi di kutub lain merupakan jihad yang berat, bukan?


12/12/21

Kendala Belajar Bahasa Arab

Bagi orang Indonesia, kenapa belajar bahasa Arab susah? Sebagian ahli menjelaskan bahwa hal itu terjadi karena metode pembelajaran yang digunakan tidaklah tepat. Dalil mereka: ath-thoriqoh khoirun minal maaddah. Metode pembelajaran lebih baik ketimbang materi pembelajaran. Yang dimaksud "lebih baik" adalah "lebih penting" atau "lebih menentukan". 


Tapi, ada pendapat lain. Bahasa Arab sulit dipelajari orang Indonesia, yang sehari-hari memakai bahasa Indonesia, karena struktur bahasa Arab berbeda scr mendasar dgn struktur bahasa Indonesia. Dilihat dari perspektif morfologi, yaitu cabang ilmu bahasa yang mempelajari perubahan bentuk kata, pola perubahan bentuk kata dalam bahasa Arab berbeda dgn pola dalam bahasa Indonesia.

Bahasa Indonesia termasuk rumpun bahasa aglutinatif. Sebuah kata dasar diubah menjadi sejumlah kata turunan dgn proses pengimbuhan, pengulangan, dan pemajemukan. Contoh, kata "merah" berubah menjadi "memerahkan" dengan proses pengimbuhan, "merah-merah" dengan proses pengulangan, dan "merah padam" dengan proses pemajemukan.

Suatu kata tunggal dalam bahasa Indonesia tidak mengenal gender, jumlah, dan kala. Misalnya, kata ganti "dia" bisa digunakan untuk menunjuk baik laki-laki maupun perempuan. Bisa diacukan pada "dia" satu orang, "dia" dua orang", atau "dia" tiga orang atau lebih.

Kata "membaca" tak mengandung makna kewaktuan secara inheren. Bila saya berkata "Saya membaca", maka kalimat tersebut dapat diartikan "Saya sudah membaca", "Saya sedang membaca", atau "Saya akan membaca". Untuk mengungkapkan kala/waktu terjadinya suatu aktivitas, kata kerja harus didampingi dengan keterangan waktu: sudah, sedang, akan, dan sebagainya.

Struktur bahasa Indonesia tersebut berbeda dengan struktur bahasa Arab yang termasuk bahasa bertipe fleksi. Dalam bahasa fleksi, kata dasar tidak diubah menjadi kata-kata turunan melalui proses pengimbuhan, pengulangan, dan pemajemukan. Perubahan kata dalam bahasa Arab berpola deklinasi dan konjugasi.

Contoh deklinasi: kata dasar qiro-ah berubah menjadi kata turunan qoro-a (dia laki-laki telah membaca) dan qoro-at (dia perempuan telah membaca). Contoh konjugasi: kata dasar qiro-ah berubah menjadi kata turunan qoro-a (dia laki-laki telah membaca) dan yaqro-u (dia laki-laki sedang/akan membaca), bisa pula berubah menjadi kata turunan qoro-a (dia laki-laki satu org telah membaca), qoro-aa (dia laki-laki dua orang telah membaca), atau qoro-uu (dia laki-laki tiga orang atau lebih telah membaca).

Makna kewaktuan dan jumlah pelaku inheren di dalam suatu kata tunggal. Untuk menunjukkan kapan terjadinya sebuah aktivitas atau berapa jumlah pelaku, kata kerja tak perlu didampingi dengan keterangan waktu atau keterangan jumlah pelaku.

Perbedaan pola perubahan kata dalam bahasa Arab dan bahasa Indonesia tersebut tentulah mempersulit upaya belajar bahasa Arab bagi orang Indonesia. Biasanya, dalam pembelajaran bahasa Arab untuk penutur bahasa Indonesia, kesulitan itu diatasi dengan cara menghapalkan pola deklinasi dan konjugasi kata bahasa Arab. Metode ini dikenal dengan nama tashrifan atau tashrifiyyah.

Apakah solutif? Tidak juga. Sebab, murid yang hapal pola konjugasi dan deklinasi belum tentu bisa menerapkan pola tersebut dalam komunikasi praktis. Ia juga belum tentu mengerti makna tiap kata turunan secara tepat.

Jadi, bagaimana solusi yang lebih efektif?

21/11/21

Data Primer Ilmu Nahwu

Data-data primer linguistik untuk menyusun ilmu nahwu diambil dari dialek lisan bahasa Arab, bukan dari khazanah tulisan Arab yang diposisikan sebagai data sekunder dan komplementer. Mengapa yang digunakan sebagai data primer adalah dialek lisan, bukan tulisan?


Bahasa, apapun bahasa itu, hakikatnya adalah fenomena kelisanan. Bahasa lisan lebih dulu ada daripada bahasa tulisan. Bahasa lisan lebih asli, murni, dan natural ketimbang bahasa tulisan. Setelah lahir, manusia belajar bahasa lisan terlebih dahulu, kemudian baru belajar bahasa tulisan di bangku sekolah.

Penjelasan kedua, bahasa adalah hasil konsensus. Bahasa merupakan konvensi sosial yang pada mulanya dibuat tanpa aturan baku, mengalir begitu saja secara alamiah dan manasuka (arbitrer). Dan konvensi sosial dari bahasa ini terepresentasikan secara sempurna dalam bahasa lisan.

Tatkala menuturkan bahasa lisan, seseorg pastilah bercakap-cakap dan berinteraksi minimal dengan satu orang lain, kecuali jika ia gila atau sedang berlatih drama. Jadi, bahasa lisan berwatak sosial. Tak mungkin bersifat individual. Interaksi sosial, yang menjadi keniscayaan dalam fenomena bahasa lisan, merupakan prasyarat mutlak terjadinya konvensi kebahasaan.

Sementara itu, bahasa tulisan cenderung bersifat individual, walaupun dalam konteks tertentu juga berwatak sosial (misalnya dalam fenomena berkirim sms atau chat WA). Seseorg biasanya menulis buku dalam kesendirian dan kesunyian. Bahkan, supaya bisa berfokus dengan proses menulis yang tengah dikerjakannya, ia tak mau diganggu oleh org lain. Dialek tulisan membatasi dirinya dari interaksi sosial. Karena itu, dialek tulisan lebih bersifat idiosinkretis sehingga kurang merepresentasikan konvensi kebahasaan.

Sebab itulah, kahazanah tulisan tak dipakai sebagai data primer untuk merumuskan teori-teori dalam ilmu nahwu yang berkarakter generalisatif (istiqra-iy) dan debatable (mukhtalaf fih). Bahasa lisan lebih dapat diandalkan dan dipedomani untuk merumuskan kaidah-kaidah nahwu.

Kalau ada pertanyaan, bukankah kaidah-kaidah ilmu nahwu juga dirumuskan berdasarkan penelitian terhadap penggunaaan bahasa Arab dalam al-Quran dan kitab-kitab hadis?, maka jawabannya: meskipun telah dibukukan, ayat-ayat al-Quran dan "teks-teks" hadis pada awalnya merupakan dialek lisan. Kedua sumber data ilmu nahwu tersebut mulanya adalah bagian dari bahasa lisan.

Al-Quran, kendati menyebut dirinya sendiri sebagai al-kitab (kitab suci/the holy scripture), tak diturunkan srcara sekaligus dalam bentuk kitab yang sudah jadi dan rampung. Al-Quran diturunkan secara bertahap selama lebih dari 20 tahun. Ketika Rasulullah menerima wahyu dari malaikat Jibril, ia menyampaikan wahyu tersebut secara lisan kepada umatnya. Adanya lompatan logika dalam rangkaian ayat al-Quran dan pelesapan (hadzf) kata/frasa/klausa dalam suatu ayat, sebagaimana kita temukan dalam "kitab" al-Quran yg sudah dijilid dan tercetak, menunjukkan bahwa al-Quran pada dasarnya merupakan bagian dari khazanah bahasa lisan.

Hadis pun pada dasarnya dan pada mulanya merupakan bahasa lisan. Khazanah hadis baru dikumpulkan, diseleksi ketat, dan dibukukan ratusan tahun setelah Rasulullah meninggal. Hadis-hadis yang tertulis dalam kitab-kitab hadis adalah ucapan-ucapan Rasulullah yang diingat para sahabat, atau perbuatan dan persetujuannya yang disampaikan secara lisan oleh para sahabat kepada kalangan tabi'in yang menjadi murid mereka. Kesimpulannya jelas: al-Quran dan hadis adalah khazanah bahasa lisan yang kemudian ditulis.

19/10/21

Ketika Langit Berwarna Darah

SITUASI tidak baik-baik saja ketika Harun mendengar kabar kematian putrinya. Balita malang itu meninggal setelah paru-parunya dirusak asap yang dia hirup berhari-hari. Asap yang tebal dan pekat. Asap yang membuat langit berwarna darah. Asap yang membubung ke angkasa dari ribuan hektar hutan yang dimangsa api. Asap yang menuding-nuding kesadaran Harun. Asap yang akhirnya mengurungnya dalam penjara. Dibantai iblis penyesalan. Dirajam setan putus asa.


Kau tahu, kondisi Harun begitu kacau saat aku pertama kali bertemu dengannya. Kami berbincang di sebuah ruang di kantor polisi. Ah, peristiwa itu tak dapat disebut perbincangan. Peristiwa itu adalah monolog yang bagiku mencemaskan, tetapi juga mengundang penasaran.

Aku terus-menerus mengajaknya berbicara. Tapi, Harun terlalu teguh dalam diamnya, bersama rambut sebahunya yang tak tersisir, wajahnya yang berminyak, matanya yang memerah kuyu, kemejanya yang kusut kumal, dan celana panjang abu-abunya yang kusam. Aku tak menemukan cahaya pada sorot matanya. Tampaknya, klienku ini sedang bergumul dengan dirinya sendiri. Harun sedang terlempar ke dalam prahara malam kelam jiwa.

Sesi terapi hari itu berlangsung cukup lama. Tapi tak menghasilkan apapun, kecuali energi rohaniku yang terkuras. Aku kelelahan. Sangat kelelahan. Baru kali ini aku mendapat klien dengan luka jiwa sedalam dan seperih itu. Apa sebenarnya yang terjadi?

Kantor polisi yang menyewa jasaku sebagai psikolog memberiku sketsa jawaban yang membuatku tercenung. Begitu tragiskah takdir anak manusia? Harun, mengapa kau mengalami gemblengan jiwa yang sebegitu berat?

Sebagaimana diceritakan teman dan tetangganya, Harun bukan penduduk asli di kampungnya. Tanah kelahirannya adalah Jambi. Karena ingin cepat kaya, ia merantau ke Kalimantan. Mengikuti jejak abang dan pamannya menambang intan. Sampai di Pulau Borneo, dia baru paham bahwa mencari intan teryata lebih sukar daripada mengejar cinta perempuan yang kini menjadi istrinya, yang ditinggalkannya di Jambi bersama mertuanya, juga bersama anaknya.

Harun pun banting setir. Intan adalah buku lamunan masa lalu yang sudah ditutupnya rapat-rapat dan dibuangnya ke keranjang sampah. Ia mencari peruntungan baru. Untuk menafkahi keluarganya, Harun bekerja sebagai buruh di perkebunan sawit. Tambahan penghasilan diperolehnya dari berburu di hutan. Berburu binatang liar yang dibayar mahal para penadah, misalnya orang utan. Karena orang utan kian langka, Harun juga berburu rusa, trenggiling, dan berbagai burung yang dicari-cari kalangan tajir.

Dengan kombinasi pekerjaan seperti itu, sehari-hari Harun keluar masuk perkebunan sawit, kalau tidak keluar masuk hutan. Kombinasi pekerjaan itulah yang membuat Anthony memperhatikan Harun. Bagi manajer perkebunan sawit tempat Harun bekerja itu, Harun adalah orang yang cocok untuk mengeksekusi rencana yang disusunnya. Sekadar menjiplak lakon klise dari perkebunan-perkebunan sawit lain untuk memperluas area kebun.

Mantap dengan pilihannya, Anthony memanggil Harun ke ruang kerjanya. Aku bayangkan, mereka terlibat percapakan yang kira-kira begini.

“Saya dengar, istrimu sedang sakit?”

“Usus buntu, Pak. Harus segera dioperasi.”

“Siapa yang merawat?”

“Mertua. Kasihan mertua saya, Pak. Sudah setua itu, masih harus merawat istri saya. Tambah cucunya.”

“Oh, kamu sudah punya anak?”

“Tiga tahun, Pak. Sudah dua tahun tidak melihat ayahnya. Dia cantik. Seperti ibunya. Ibunya yang sakit....”

“Harun, saya mengerti perasaanmu. Saya juga punya keluarga. Kamu tahu, kenapa saya panggil?”

“Maaf, Pak. Kerja saya memang buruk. Malas-malasan. Sering teledor.”

“Saya menghargai kerjamu. Tapi ini tentang istrimu. Berapa biaya operasi yang dibutuhkan?”

Harun diam. Bingung mau menjawab apa. Dia sebetulnya bertanya-tanya dalam hati, “Ada apa dengan Pak Anthony?” Bos Harun itu terkenal sangat perhitungan dalam hal keuangan. “Aneh, kenapa dia tiba-tiba mau membantuku?” pikir Harun. “Aku tidak pernah minta bantuannya.”

“Jangan berpikir bahwa aku memberimu hutangan. Aku mengerti perasaanmu. Istriku meninggal saat anak-anakku masih kecil. Lima tahun lalu.”

“Maaf, Pak. Bukan hutang?”

“Sama sekali bukan. Tapi, ada syaratnya. Ada tugas yang harus kamu kerjakan.”

Anthony menjelaskan rencana yang disusunnya. Harun harus mengeksekusi rencana tersebut. Nanti, di musim kemarau. Kira-kira tiga bulan lagi.

Harun bimbang. Dahinya mengernyit. Dia tak meragukan kemampuan dirinya sendiri untuk mengeksekusi rencana Anthony. Hutan di sekitar perkebunan sawit sudah seperti rumahnya sendiri. Dia hapal seluk-beluk hutan itu jengkal demi jengkal. Yang Harun khawatirkan, api yang akan dinyalakannya tiga bulan lagi kemungkinan akan menjalar berkilo-kilo meter. Hutan yang akan dia “garap” adalah hutan gambut.

“Tapi, kau butuh uang, Harun,” akalnya berbisik. Harun jelas butuh uang. Uang dalam jumlah besar yang tak bisa dia pinjam dari teman, tetangga, dan kenalannya. Mereka, yang sama melaratnya dengan Harun, tak mungkin meminjaminya uang sebanyak itu. “Bodoh betul aku,” umpat Harun dalam hati, “kenapa aku dari dulu tidak bikin kartu jaminan kesehatan?”

“Bagaimana,” ujar Anthony. “Istrimu sedang sakit. Aku tidak tega dengan istrimu. Dan bagaimana masa depan anakmu? Jangan biarkan dia tumbuh besar tanpa asuhan seorang ibu. Tugasmu juga ringan, ‘kan? Tidak lebih sulit daripada menyalakan sebatang rokok.”

“Baiklah, Pak. Tapi, ini demi istri saya, Pak. Demi anak saya.”

Lalu, Anthony menyuruh Harun mengambil “bantuan” di bagian keuangan.

Kau benar, barangkali dialog mereka memang tak selugu itu. Dialog itu hanya perkiraanku belaka. Perkiraan yang, aku yakin, mendekati kenyataan.

Dua bulan kemudian, Harun melaksanakan tugasnya. Agaknya dia merasa berhutang budi dengan Anthony. Setelah dioperasi, istrinya sembuh. Bahkan, sedikit-sedikit sudah bisa bekerja lagi seperti dulu, membantu Harun menyambung kepulan asap dapur.

Harun memilih hari yang aman, malam yang tepat. Sendirian dia memasuki hutan di perbatasan perkebunan sawit. Dia menaksir, jarak antara dirinya berada saat ini dengan hutan sawit sekitar lima ratus meter. Jarak yang pas.

Malam itu sesungguhnya cerah. Tapi, langit sepi bintang. Bulan, yang telah tua, tertutupi awan. Harun mengambil tiga obat nyamuk bakar. Bagian tengahnya dia siram minyak tanah. Korek api dipantik. Dan obat nyamuk disulut, lalu dilempar begitu saja di atas serasah kering yang telah dikumpulkannya.

Bertiup angin dingin. Terasa kering ketika menyentuh tubuh. Harun merasa haus. “Kenapa malam ini sunyi sekali?”. Seperti gumamam, kalimat itu keluar dengan sendirinya dari mulut Harun. Tanpa sepenuhnya dia sadari. Memang, binatang malam seolah bermufakat untuk diam. Bahkan, suara jangkrik pun tak terdengar. Telinga hanya menangkap gesekan dedaunan yang gelisah diombang-ambingkan angin.

“Lantaklah,” ucap Harun. Dia terkejut mendengar umpatannya sendiri. “Yang penting, tugas sudah kulakukan. Hutang budi sudah kubayar. Apa urusanku dengan apa yang akan terjadi?”

Kendati telah berusaha menenangkan hati, Harun pulang membawa gelisah. Tak jenak di rumah. Malam itu, dia tak tidur hingga pagi. Esoknya, kekhawatiran Harun mulai terbukti. Benih api yang disemainya tumbuh dengan ganas, merambat dengan cepat. Seperti setan kelaparan, api itu memangsa apapun yang dilewatinya. Dan api itu semakin mendekati perkebunan sawit. Untungnya, kebun sawit dan hutan dibatasi kanal dalam yang, meskipun surut, airnya belum kering. Tapi, api tak mau berhenti menjalar.

Tim pemadam kebakaran datang. Mereka kesulitan mencari sumber air terdekat dengan volume yang cukup. Dari jam ke jam, perkembangan situasi tambah memburuk. Api di permukaan memang jinak. Mudah dipadamkan dengan semburan air. Tapi, api dalam perut tanah, lebih keras kepala daripada karang. Selalu menolak padam sebelum meneguk bertangki-tangki air. Padahal, kemarau adalah musim yang kikir berbagi air.

Tiga hari kemudian, berhektar-hektar lahan sudah membara. Ternyata, bara itu menjalar tak hanya dari satu sumber. Lokasi hutan lain pun terbakar. Seolah ada sekolompok pelaku yang kompak membakar hutan. Jalaran api yang satu bertemu dan menyatu dengan jalaran api yang lain, menciptakan kobaran yang lebih luas, lebih serakah, lebih ganas. Juga menciptakan kabut yang lama-lama pekat, yang lama-lama tebal, yang mengirimkan wabah penyakit pernapasan ke kampung-kampung dan kota-kota sekitar.

Harun menyaksikan temannya, yang seumur hidup tak pernah merokok, terbatuk-batuk seperti pecandu rokok yang telah kronis. Dia harus dilarikan ke rumah sakit untuk secepatnya menghirup oksigen segar dari tabung. Harun juga menyaksikan bayi tetangganya, yang baru sebulan lahir, diratapi ibunya yang masih muda. Bayi itu meninggal sebelum mengenal kata-kata untuk mengutuk para pembakar hutan. Karena terpapar asap yang tak kenal kasih, paru-parunya akhirnya berhenti berfungsi.

Harun lalu seakan melihat dirinya sendiri—begitulah kubayangkan dia saat itu. Harun menatap dirinya sendiri yang menjelma raksasa bertaring dengan mulut berlumur darah. “Tidak, itu bukan aku,” mungkin begitulah komentar Harun untuk menampik kenyataan. Tapi, kenyataan malah menudingnya lebih tajam.

“Harun, itulah kau. Kau yang sesungguhnya. Kau raksasa. Kau pembunuh.”

“Tidak. Aku bukan pembunuh. Aku hanya melakukan perintah orang lain. Aku hanya ingin menyelamatkan nyawa istriku.” Begitulah kubayangkan pembelaan Harun.

Saat menghadapi mahkamah nurani tersebut, Harun mendengar kabar—kabar dari jauh—yang hampir saja memporak-porandakan benteng kesadarannya. Dari sambungan telepon, terdengar suara mertuanya yang serak, berat, seolah menanggung beban seribu bukit.

“Nak, pulanglah ke Jambi,” kata orang tua itu. “Putrimu, Nak. Putrimu sudah pergi. Sakit pernapasan, Nak. Karena asap. Asap jahanam itu...." 

Ternyata, saat Kalimantan dilanda bencana asap, Jambi juga diselimuti asap. Sebegitu tebal dan pekatnya asap tersebut, sampai-sampai langit Jambi berwarna darah.

Begitu mendengar kabar duka dari mertuanya, Harun merasa melayang. Bumi bagai karpet yang menggelombang. Seluruh tenaga Harun seperti dilucuti. Dan lidahnya tiba-tiba kaku. Dan pikirannya tiba-tiba buntu. Setelah mematikan sambungan telepon, Harun hanya mendekam di rumah. Duduk berpindah-pindah. Berputar-putar dari ruang tamu ke dapur ke kamar tidur lalu ke ruang tamu lagi.

Teramat bingungnya, Harun sampai tak mendengar suara mobil yang berhenti di depan teras rumah. Tak mendengar orang-orang yang memanggil-manggil namanya dengan nada tinggi. Tak mendengar pula suara pintu yang didobrak dan terbanting ke dinding.

Ketika orang-orang itu memasuki rumahnya dan mendekatinya, Harun hanya menatap mereka dengan datar. Bukan dengan datar. Tapi tepatnya: dengan mata yang kosong. Saat itu juga, Harun langsung digelandang ke kantor polisi.

Itulah cerita Harun yang dituturkan polisi kepadaku. Cerita yang kututurkan kepadamu. Tapi, tahukah kau bagaimana cerita Anthony? Bukankah angin telah membisikkan cerita itu kepadamu? Tuturkanlah cerita itu kepadaku. Tuturkan pula cerita tentang Anthony kepada putri Harun yang di alam keabadian sedang mengusut sebab-musabab kematiannya.

17/10/21

Literasi (di) Pesantren, La Raiba Fihi

MESKIPUN kelihatan tradisional, pesantren sebenarnya telah mengandung elemen modern, bahkan sebelum melakukan proses panjang modernisasi--sejak awal abad ke-20--yang hingga kini belum mencapai bentuk finalnya. Di antara elemen modern dalam pesantren adalah budaya literasi. Membaca, menulis, dan berdiskusi merupakan suatu living culture dalam komunitas pesantren.

Jadi, bila sebuah pesantren memiliki madrasah, sekolah umum, atau pun semacam perguruan tinggi, lembaga-lembaga pendidikan ini tak perlu disuruh-suruh untuk menghidupkan budaya literasi. Munculnya suruhan demikian menandakan bahwa pihak eksternal, yang menyuruh pesantren untuk menghidupkan budaya literasi, tak memahami betul seluk-beluk pesantren. Dalam hal menghidupkan budaya literasi, justru lembaga-lembaga pendidikan formal non-pesantrenlah yang harus belajar kepada pesantren.

Di pesantren, aktivitas dan habit literasi dapat dipilah menjadi dua kategori. Pertama, guided collective literacy, yaitu aktivitas literasi santri secara berjamaah yang dibimbing sang kiai.

Contoh konkretnya, dalam pengajian kitab kuning yang rutin dilaksanakan, kiai dan para santri membaca kitab, yang umumnya berbahasa Arab, yang dipelajari secara bersama-sama. Sang kiai membaca kitab tersebut kata per kata, lalu menerjemahkannya kata per kata pula. Setelah itu, ia menerangkan makna satuan kalimat atau satuan wacana (discourse) yang telah diterjemahkan itu.

Ketika sang kiai membaca dan menerjemahkan kitab kata per kata, para santri juga membaca kitab tersebut, sembari memberi harakat pada tiap kata dan menulis arti kata di bawah kata bersangkutan.

Sebelum dan setelah melakukan guided collective literacy, sebagian santri melakukan creative individual literacy. Inilah kategori kedua aktivitas literasi dalam dunia pesantren.

Sebelum mengaji, santri yang rajin biasanya membaca kitab yang akan dipelajari. Ia memberi harakat tiap kata dan mencari sendiri terjemahannya, juga merenung-renung sendiri untuk memahami makna dan maksud kitab yang sedang dibacanya.

Untuk mengharakati kata, menerjemahkan kata, serta menelusuri makna dan maksud kandungan kitab, diperlukan daya pikir dan daya kreatif yang tidak kecil. Karena itulah, kategori literasi kedua ini dipandang sebagai aktivitas literasi yang "creative".

Setelah mengaji, si santri kembali membaca satuan wacana dalam kitab yang baru saja dipelajari. Jika menemukan wawasan, pandangan, atau persoalan baru, ia mendiskusikannya dengan teman-temannya sesama santri.

Kegiatan diskusi yang semula bersifat spontan ini kemudian dilembagakan menjadi forum bahtsul masa-il, ruang bagi para santri yang ilmu agamanya telah cukup memadai untuk berdialektika dalam rangka merumuskan pemecahan atas persoalan fikihiah tertentu, dengan merujuk pada kitab-kitab fikih yang mu'tabarah di kalangan pesantren.

Berdasarkan fenomena-fenomena keliterasian di atas, kita dapat menarik kesimpulan bahwa dalam dunia pesantren, bahkan pesantren tradisional (salafiyah) sekali pun, budaya literasi telah berjalan dan berkembang sedemikian rupa. Budaya literasi (di) pesantren merupakan fenomena yang "la raiba fihi"; yang sudah tak diragukan lagi keberadaannya. Dan budaya literasi ini sesungguhnya merupakan elemen modern dalam pesantren.

14/10/21

Problem Pedagogi Content

Dalam dunia pendidikan kita, terdapat paradigma pedagogis implisit yang real, masih berdiri kokoh, dan sukar diubah. Paradigma implisit tersebut adalah, guru mengajarkan content ilmu, bukan metode untuk mencari dan mengembangkan ilmu.

Maka, yang terbentuk adalah kultur reproduksi ilmu. Inovasi dan kreativitas keilmuan, kalaupun ada, merupakan anomali, yaitu suatu kondisi yang luar biasa. Siswa-siswi kita, demikian pula para gurunya, menjadi konsumen pengetahuan. Hal ini benar untuk pendidikan umum, apalagi pendidikan Islam.

Kurikulum 2013, yang mengutamakan pendekatan saintifik, sebenarnya disusun untuk menghilangkan kultur reproduksi pengetahuan tersebut. Tapi, dalam implementasinya, tujuan dari disusunnya Kurikulum 2013 gagal tercapai.

Kita bisa mendaftar faktor-faktor kegagalan tersebut. Ada pengamat yang menyatakan bahwa kegagalan itu disebabkan karena rendahnya mutu pendidikan guru kita, sehingga bukan hanya para siswa yang tak siap menghayati paradigma Kurikulum 2013, guru pun sebetulnya tidak siap. Walaupun mengajarkan Kurikulum 2013, guru masih berpikir, bertindak, dan bersikap dengan paradigma kurikulum lawas yang lebih menitikberatkan content ilmu daripada metode ilmiah.

Hal itu, jika ditelisik lebih dalam, menunjukkan betapa susahnya mengubah kultur dan paradigma, apalagi bila paradigma tersebut implisit dan tak tersadari. Terbukti berkali-kali, mengganti kurikulum nyatanya hanya mengubah wadah, bungkus, atau kemasan. Pada tataran penerapan, esensi semua kurikulum sama saja, dalam arti masih saja mengajarkan content pengetahuan.

Karena itu, solusi untuk mengikis paradigma reproduksi dan konsumsi ilmu pengetahuan dalam dunia pendidikan bukanlah mengganti kurikulum, merevisinya, melengkapinya, memodifikasinya, menyederhanakannya, atau pun mengurangi bobotnya. Solusinya adalah inisiasi dan implementasi gerakan besar-besaran revolusi paradigma pedagogis.

Garda terdepan revolusi paradigma ini bukanlah pemerintah, melainkan guru. Pemerintah hanya membuat policy untuk menata ekosistem pendidikan yang dipersyaratkan dan dibutuhkan. Gurulah yang menjadi eksekutor revolusi paradigma tersebut.

Sayangnya, kalau kita mengamati secara objektif kualitas guru kita saat ini, revolusi paradigma pedagogis itu mungkin akan sangat sulit dijalankan, untuk tidak mengatakan "mustahil dijalankan". Memang ada guru-guru pembelajar yang mau maju dan memajukan siswa-siswinya. Tapi, mayoritas guru kita adalah guru yang formalis, administratif, dan birokratif.

Kalau aktivitas pembelajaran bisa dilakukan secara mudah dengan hanya mengajarkan content pengetahuan kepada para siswa dan hal itu sudah cukup untuk memenuhi kualifikasi administratif yang bisa dimanipulasi, kenapa kita harus bersusah-payah belajar pedagogi berparadigma baru demi mengajarkan metode ilmiah kepada para siswa?