19/10/21

Ketika Langit Berwarna Darah

SITUASI tidak baik-baik saja ketika Harun mendengar kabar kematian putrinya. Balita malang itu meninggal setelah paru-parunya dirusak asap yang dia hirup berhari-hari. Asap yang tebal dan pekat. Asap yang membuat langit berwarna darah. Asap yang membubung ke angkasa dari ribuan hektar hutan yang dimangsa api. Asap yang menuding-nuding kesadaran Harun. Asap yang akhirnya mengurungnya dalam penjara. Dibantai iblis penyesalan. Dirajam setan putus asa.


Kau tahu, kondisi Harun begitu kacau saat aku pertama kali bertemu dengannya. Kami berbincang di sebuah ruang di kantor polisi. Ah, peristiwa itu tak dapat disebut perbincangan. Peristiwa itu adalah monolog yang bagiku mencemaskan, tetapi juga mengundang penasaran.

Aku terus-menerus mengajaknya berbicara. Tapi, Harun terlalu teguh dalam diamnya, bersama rambut sebahunya yang tak tersisir, wajahnya yang berminyak, matanya yang memerah kuyu, kemejanya yang kusut kumal, dan celana panjang abu-abunya yang kusam. Aku tak menemukan cahaya pada sorot matanya. Tampaknya, klienku ini sedang bergumul dengan dirinya sendiri. Harun sedang terlempar ke dalam prahara malam kelam jiwa.

Sesi terapi hari itu berlangsung cukup lama. Tapi tak menghasilkan apapun, kecuali energi rohaniku yang terkuras. Aku kelelahan. Sangat kelelahan. Baru kali ini aku mendapat klien dengan luka jiwa sedalam dan seperih itu. Apa sebenarnya yang terjadi?

Kantor polisi yang menyewa jasaku sebagai psikolog memberiku sketsa jawaban yang membuatku tercenung. Begitu tragiskah takdir anak manusia? Harun, mengapa kau mengalami gemblengan jiwa yang sebegitu berat?

Sebagaimana diceritakan teman dan tetangganya, Harun bukan penduduk asli di kampungnya. Tanah kelahirannya adalah Jambi. Karena ingin cepat kaya, ia merantau ke Kalimantan. Mengikuti jejak abang dan pamannya menambang intan. Sampai di Pulau Borneo, dia baru paham bahwa mencari intan teryata lebih sukar daripada mengejar cinta perempuan yang kini menjadi istrinya, yang ditinggalkannya di Jambi bersama mertuanya, juga bersama anaknya.

Harun pun banting setir. Intan adalah buku lamunan masa lalu yang sudah ditutupnya rapat-rapat dan dibuangnya ke keranjang sampah. Ia mencari peruntungan baru. Untuk menafkahi keluarganya, Harun bekerja sebagai buruh di perkebunan sawit. Tambahan penghasilan diperolehnya dari berburu di hutan. Berburu binatang liar yang dibayar mahal para penadah, misalnya orang utan. Karena orang utan kian langka, Harun juga berburu rusa, trenggiling, dan berbagai burung yang dicari-cari kalangan tajir.

Dengan kombinasi pekerjaan seperti itu, sehari-hari Harun keluar masuk perkebunan sawit, kalau tidak keluar masuk hutan. Kombinasi pekerjaan itulah yang membuat Anthony memperhatikan Harun. Bagi manajer perkebunan sawit tempat Harun bekerja itu, Harun adalah orang yang cocok untuk mengeksekusi rencana yang disusunnya. Sekadar menjiplak lakon klise dari perkebunan-perkebunan sawit lain untuk memperluas area kebun.

Mantap dengan pilihannya, Anthony memanggil Harun ke ruang kerjanya. Aku bayangkan, mereka terlibat percapakan yang kira-kira begini.

“Saya dengar, istrimu sedang sakit?”

“Usus buntu, Pak. Harus segera dioperasi.”

“Siapa yang merawat?”

“Mertua. Kasihan mertua saya, Pak. Sudah setua itu, masih harus merawat istri saya. Tambah cucunya.”

“Oh, kamu sudah punya anak?”

“Tiga tahun, Pak. Sudah dua tahun tidak melihat ayahnya. Dia cantik. Seperti ibunya. Ibunya yang sakit....”

“Harun, saya mengerti perasaanmu. Saya juga punya keluarga. Kamu tahu, kenapa saya panggil?”

“Maaf, Pak. Kerja saya memang buruk. Malas-malasan. Sering teledor.”

“Saya menghargai kerjamu. Tapi ini tentang istrimu. Berapa biaya operasi yang dibutuhkan?”

Harun diam. Bingung mau menjawab apa. Dia sebetulnya bertanya-tanya dalam hati, “Ada apa dengan Pak Anthony?” Bos Harun itu terkenal sangat perhitungan dalam hal keuangan. “Aneh, kenapa dia tiba-tiba mau membantuku?” pikir Harun. “Aku tidak pernah minta bantuannya.”

“Jangan berpikir bahwa aku memberimu hutangan. Aku mengerti perasaanmu. Istriku meninggal saat anak-anakku masih kecil. Lima tahun lalu.”

“Maaf, Pak. Bukan hutang?”

“Sama sekali bukan. Tapi, ada syaratnya. Ada tugas yang harus kamu kerjakan.”

Anthony menjelaskan rencana yang disusunnya. Harun harus mengeksekusi rencana tersebut. Nanti, di musim kemarau. Kira-kira tiga bulan lagi.

Harun bimbang. Dahinya mengernyit. Dia tak meragukan kemampuan dirinya sendiri untuk mengeksekusi rencana Anthony. Hutan di sekitar perkebunan sawit sudah seperti rumahnya sendiri. Dia hapal seluk-beluk hutan itu jengkal demi jengkal. Yang Harun khawatirkan, api yang akan dinyalakannya tiga bulan lagi kemungkinan akan menjalar berkilo-kilo meter. Hutan yang akan dia “garap” adalah hutan gambut.

“Tapi, kau butuh uang, Harun,” akalnya berbisik. Harun jelas butuh uang. Uang dalam jumlah besar yang tak bisa dia pinjam dari teman, tetangga, dan kenalannya. Mereka, yang sama melaratnya dengan Harun, tak mungkin meminjaminya uang sebanyak itu. “Bodoh betul aku,” umpat Harun dalam hati, “kenapa aku dari dulu tidak bikin kartu jaminan kesehatan?”

“Bagaimana,” ujar Anthony. “Istrimu sedang sakit. Aku tidak tega dengan istrimu. Dan bagaimana masa depan anakmu? Jangan biarkan dia tumbuh besar tanpa asuhan seorang ibu. Tugasmu juga ringan, ‘kan? Tidak lebih sulit daripada menyalakan sebatang rokok.”

“Baiklah, Pak. Tapi, ini demi istri saya, Pak. Demi anak saya.”

Lalu, Anthony menyuruh Harun mengambil “bantuan” di bagian keuangan.

Kau benar, barangkali dialog mereka memang tak selugu itu. Dialog itu hanya perkiraanku belaka. Perkiraan yang, aku yakin, mendekati kenyataan.

Dua bulan kemudian, Harun melaksanakan tugasnya. Agaknya dia merasa berhutang budi dengan Anthony. Setelah dioperasi, istrinya sembuh. Bahkan, sedikit-sedikit sudah bisa bekerja lagi seperti dulu, membantu Harun menyambung kepulan asap dapur.

Harun memilih hari yang aman, malam yang tepat. Sendirian dia memasuki hutan di perbatasan perkebunan sawit. Dia menaksir, jarak antara dirinya berada saat ini dengan hutan sawit sekitar lima ratus meter. Jarak yang pas.

Malam itu sesungguhnya cerah. Tapi, langit sepi bintang. Bulan, yang telah tua, tertutupi awan. Harun mengambil tiga obat nyamuk bakar. Bagian tengahnya dia siram minyak tanah. Korek api dipantik. Dan obat nyamuk disulut, lalu dilempar begitu saja di atas serasah kering yang telah dikumpulkannya.

Bertiup angin dingin. Terasa kering ketika menyentuh tubuh. Harun merasa haus. “Kenapa malam ini sunyi sekali?”. Seperti gumamam, kalimat itu keluar dengan sendirinya dari mulut Harun. Tanpa sepenuhnya dia sadari. Memang, binatang malam seolah bermufakat untuk diam. Bahkan, suara jangkrik pun tak terdengar. Telinga hanya menangkap gesekan dedaunan yang gelisah diombang-ambingkan angin.

“Lantaklah,” ucap Harun. Dia terkejut mendengar umpatannya sendiri. “Yang penting, tugas sudah kulakukan. Hutang budi sudah kubayar. Apa urusanku dengan apa yang akan terjadi?”

Kendati telah berusaha menenangkan hati, Harun pulang membawa gelisah. Tak jenak di rumah. Malam itu, dia tak tidur hingga pagi. Esoknya, kekhawatiran Harun mulai terbukti. Benih api yang disemainya tumbuh dengan ganas, merambat dengan cepat. Seperti setan kelaparan, api itu memangsa apapun yang dilewatinya. Dan api itu semakin mendekati perkebunan sawit. Untungnya, kebun sawit dan hutan dibatasi kanal dalam yang, meskipun surut, airnya belum kering. Tapi, api tak mau berhenti menjalar.

Tim pemadam kebakaran datang. Mereka kesulitan mencari sumber air terdekat dengan volume yang cukup. Dari jam ke jam, perkembangan situasi tambah memburuk. Api di permukaan memang jinak. Mudah dipadamkan dengan semburan air. Tapi, api dalam perut tanah, lebih keras kepala daripada karang. Selalu menolak padam sebelum meneguk bertangki-tangki air. Padahal, kemarau adalah musim yang kikir berbagi air.

Tiga hari kemudian, berhektar-hektar lahan sudah membara. Ternyata, bara itu menjalar tak hanya dari satu sumber. Lokasi hutan lain pun terbakar. Seolah ada sekolompok pelaku yang kompak membakar hutan. Jalaran api yang satu bertemu dan menyatu dengan jalaran api yang lain, menciptakan kobaran yang lebih luas, lebih serakah, lebih ganas. Juga menciptakan kabut yang lama-lama pekat, yang lama-lama tebal, yang mengirimkan wabah penyakit pernapasan ke kampung-kampung dan kota-kota sekitar.

Harun menyaksikan temannya, yang seumur hidup tak pernah merokok, terbatuk-batuk seperti pecandu rokok yang telah kronis. Dia harus dilarikan ke rumah sakit untuk secepatnya menghirup oksigen segar dari tabung. Harun juga menyaksikan bayi tetangganya, yang baru sebulan lahir, diratapi ibunya yang masih muda. Bayi itu meninggal sebelum mengenal kata-kata untuk mengutuk para pembakar hutan. Karena terpapar asap yang tak kenal kasih, paru-parunya akhirnya berhenti berfungsi.

Harun lalu seakan melihat dirinya sendiri—begitulah kubayangkan dia saat itu. Harun menatap dirinya sendiri yang menjelma raksasa bertaring dengan mulut berlumur darah. “Tidak, itu bukan aku,” mungkin begitulah komentar Harun untuk menampik kenyataan. Tapi, kenyataan malah menudingnya lebih tajam.

“Harun, itulah kau. Kau yang sesungguhnya. Kau raksasa. Kau pembunuh.”

“Tidak. Aku bukan pembunuh. Aku hanya melakukan perintah orang lain. Aku hanya ingin menyelamatkan nyawa istriku.” Begitulah kubayangkan pembelaan Harun.

Saat menghadapi mahkamah nurani tersebut, Harun mendengar kabar—kabar dari jauh—yang hampir saja memporak-porandakan benteng kesadarannya. Dari sambungan telepon, terdengar suara mertuanya yang serak, berat, seolah menanggung beban seribu bukit.

“Nak, pulanglah ke Jambi,” kata orang tua itu. “Putrimu, Nak. Putrimu sudah pergi. Sakit pernapasan, Nak. Karena asap. Asap jahanam itu...." 

Ternyata, saat Kalimantan dilanda bencana asap, Jambi juga diselimuti asap. Sebegitu tebal dan pekatnya asap tersebut, sampai-sampai langit Jambi berwarna darah.

Begitu mendengar kabar duka dari mertuanya, Harun merasa melayang. Bumi bagai karpet yang menggelombang. Seluruh tenaga Harun seperti dilucuti. Dan lidahnya tiba-tiba kaku. Dan pikirannya tiba-tiba buntu. Setelah mematikan sambungan telepon, Harun hanya mendekam di rumah. Duduk berpindah-pindah. Berputar-putar dari ruang tamu ke dapur ke kamar tidur lalu ke ruang tamu lagi.

Teramat bingungnya, Harun sampai tak mendengar suara mobil yang berhenti di depan teras rumah. Tak mendengar orang-orang yang memanggil-manggil namanya dengan nada tinggi. Tak mendengar pula suara pintu yang didobrak dan terbanting ke dinding.

Ketika orang-orang itu memasuki rumahnya dan mendekatinya, Harun hanya menatap mereka dengan datar. Bukan dengan datar. Tapi tepatnya: dengan mata yang kosong. Saat itu juga, Harun langsung digelandang ke kantor polisi.

Itulah cerita Harun yang dituturkan polisi kepadaku. Cerita yang kututurkan kepadamu. Tapi, tahukah kau bagaimana cerita Anthony? Bukankah angin telah membisikkan cerita itu kepadamu? Tuturkanlah cerita itu kepadaku. Tuturkan pula cerita tentang Anthony kepada putri Harun yang di alam keabadian sedang mengusut sebab-musabab kematiannya.

17/10/21

Literasi (di) Pesantren, La Raiba Fihi

MESKIPUN kelihatan tradisional, pesantren sebenarnya telah mengandung elemen modern, bahkan sebelum melakukan proses panjang modernisasi--sejak awal abad ke-20--yang hingga kini belum mencapai bentuk finalnya. Di antara elemen modern dalam pesantren adalah budaya literasi. Membaca, menulis, dan berdiskusi merupakan suatu living culture dalam komunitas pesantren.

Jadi, bila sebuah pesantren memiliki madrasah, sekolah umum, atau pun semacam perguruan tinggi, lembaga-lembaga pendidikan ini tak perlu disuruh-suruh untuk menghidupkan budaya literasi. Munculnya suruhan demikian menandakan bahwa pihak eksternal, yang menyuruh pesantren untuk menghidupkan budaya literasi, tak memahami betul seluk-beluk pesantren. Dalam hal menghidupkan budaya literasi, justru lembaga-lembaga pendidikan formal non-pesantrenlah yang harus belajar kepada pesantren.

Di pesantren, aktivitas dan habit literasi dapat dipilah menjadi dua kategori. Pertama, guided collective literacy, yaitu aktivitas literasi santri secara berjamaah yang dibimbing sang kiai.

Contoh konkretnya, dalam pengajian kitab kuning yang rutin dilaksanakan, kiai dan para santri membaca kitab, yang umumnya berbahasa Arab, yang dipelajari secara bersama-sama. Sang kiai membaca kitab tersebut kata per kata, lalu menerjemahkannya kata per kata pula. Setelah itu, ia menerangkan makna satuan kalimat atau satuan wacana (discourse) yang telah diterjemahkan itu.

Ketika sang kiai membaca dan menerjemahkan kitab kata per kata, para santri juga membaca kitab tersebut, sembari memberi harakat pada tiap kata dan menulis arti kata di bawah kata bersangkutan.

Sebelum dan setelah melakukan guided collective literacy, sebagian santri melakukan creative individual literacy. Inilah kategori kedua aktivitas literasi dalam dunia pesantren.

Sebelum mengaji, santri yang rajin biasanya membaca kitab yang akan dipelajari. Ia memberi harakat tiap kata dan mencari sendiri terjemahannya, juga merenung-renung sendiri untuk memahami makna dan maksud kitab yang sedang dibacanya.

Untuk mengharakati kata, menerjemahkan kata, serta menelusuri makna dan maksud kandungan kitab, diperlukan daya pikir dan daya kreatif yang tidak kecil. Karena itulah, kategori literasi kedua ini dipandang sebagai aktivitas literasi yang "creative".

Setelah mengaji, si santri kembali membaca satuan wacana dalam kitab yang baru saja dipelajari. Jika menemukan wawasan, pandangan, atau persoalan baru, ia mendiskusikannya dengan teman-temannya sesama santri.

Kegiatan diskusi yang semula bersifat spontan ini kemudian dilembagakan menjadi forum bahtsul masa-il, ruang bagi para santri yang ilmu agamanya telah cukup memadai untuk berdialektika dalam rangka merumuskan pemecahan atas persoalan fikihiah tertentu, dengan merujuk pada kitab-kitab fikih yang mu'tabarah di kalangan pesantren.

Berdasarkan fenomena-fenomena keliterasian di atas, kita dapat menarik kesimpulan bahwa dalam dunia pesantren, bahkan pesantren tradisional (salafiyah) sekali pun, budaya literasi telah berjalan dan berkembang sedemikian rupa. Budaya literasi (di) pesantren merupakan fenomena yang "la raiba fihi"; yang sudah tak diragukan lagi keberadaannya. Dan budaya literasi ini sesungguhnya merupakan elemen modern dalam pesantren.

14/10/21

Problem Pedagogi Content

Dalam dunia pendidikan kita, terdapat paradigma pedagogis implisit yang real, masih berdiri kokoh, dan sukar diubah. Paradigma implisit tersebut adalah, guru mengajarkan content ilmu, bukan metode untuk mencari dan mengembangkan ilmu.

Maka, yang terbentuk adalah kultur reproduksi ilmu. Inovasi dan kreativitas keilmuan, kalaupun ada, merupakan anomali, yaitu suatu kondisi yang luar biasa. Siswa-siswi kita, demikian pula para gurunya, menjadi konsumen pengetahuan. Hal ini benar untuk pendidikan umum, apalagi pendidikan Islam.

Kurikulum 2013, yang mengutamakan pendekatan saintifik, sebenarnya disusun untuk menghilangkan kultur reproduksi pengetahuan tersebut. Tapi, dalam implementasinya, tujuan dari disusunnya Kurikulum 2013 gagal tercapai.

Kita bisa mendaftar faktor-faktor kegagalan tersebut. Ada pengamat yang menyatakan bahwa kegagalan itu disebabkan karena rendahnya mutu pendidikan guru kita, sehingga bukan hanya para siswa yang tak siap menghayati paradigma Kurikulum 2013, guru pun sebetulnya tidak siap. Walaupun mengajarkan Kurikulum 2013, guru masih berpikir, bertindak, dan bersikap dengan paradigma kurikulum lawas yang lebih menitikberatkan content ilmu daripada metode ilmiah.

Hal itu, jika ditelisik lebih dalam, menunjukkan betapa susahnya mengubah kultur dan paradigma, apalagi bila paradigma tersebut implisit dan tak tersadari. Terbukti berkali-kali, mengganti kurikulum nyatanya hanya mengubah wadah, bungkus, atau kemasan. Pada tataran penerapan, esensi semua kurikulum sama saja, dalam arti masih saja mengajarkan content pengetahuan.

Karena itu, solusi untuk mengikis paradigma reproduksi dan konsumsi ilmu pengetahuan dalam dunia pendidikan bukanlah mengganti kurikulum, merevisinya, melengkapinya, memodifikasinya, menyederhanakannya, atau pun mengurangi bobotnya. Solusinya adalah inisiasi dan implementasi gerakan besar-besaran revolusi paradigma pedagogis.

Garda terdepan revolusi paradigma ini bukanlah pemerintah, melainkan guru. Pemerintah hanya membuat policy untuk menata ekosistem pendidikan yang dipersyaratkan dan dibutuhkan. Gurulah yang menjadi eksekutor revolusi paradigma tersebut.

Sayangnya, kalau kita mengamati secara objektif kualitas guru kita saat ini, revolusi paradigma pedagogis itu mungkin akan sangat sulit dijalankan, untuk tidak mengatakan "mustahil dijalankan". Memang ada guru-guru pembelajar yang mau maju dan memajukan siswa-siswinya. Tapi, mayoritas guru kita adalah guru yang formalis, administratif, dan birokratif.

Kalau aktivitas pembelajaran bisa dilakukan secara mudah dengan hanya mengajarkan content pengetahuan kepada para siswa dan hal itu sudah cukup untuk memenuhi kualifikasi administratif yang bisa dimanipulasi, kenapa kita harus bersusah-payah belajar pedagogi berparadigma baru demi mengajarkan metode ilmiah kepada para siswa?