09/01/16

rahasia hujan bulan juni

Pengorbanan meminta syarat yang begitu berat, yang tak semua orang sanggup memenuhinya, yaitu ketabahan. Walaupun syaratnya berat, buah pengorbanan sungguh berharga. Pengorbanan berbuah kebajikan dan kearifan. Tapi, pengorbanan dengan buah semahal ini bukanlah pengorbanan yang lamis dan basa-basi, melainkah pengorbanan yang menghancur-luluhkan eksistensi siapa yang berkorban. Inilah tingkat pengorbanan para nabi dan wali.
Namun demikian, hingga kadar tertentu, pengorbanan sejati ini hadir di sekeliling kita, khususnya pada sosok ibu. Tidak ada ibu yang tidak berkorban tulus untuk anaknya, kecuali ibu yang kehilangan kesadaran, kemanusiaan, dan keibuannya.
Pengorbanan tingkat tinggi yang ditopang oleh ketulusan kita temukan kisahnya pada puisi Sapardi Djoko Damano yang populer, berjudul Hujan Bulan Juni. Berikut puisi itu selengkapnya.

HUJAN BULAN JUNI

Tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan Juni
dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu.

Tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan Juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu.

Tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan Juni
dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu.

Dalam puisi tersebut, hiduplah tokoh bernama Hujan Bulan Juni. Kalau kita kembali pada tahun-tahun silam sebelum siklus musim menjadi tidak normal seperti sekarang, pada bulan Juni tidak ada hujan. Bulan Juni adalah bagian dari musim kemarau. Di daerah beriklim tropis, hujan tentu hanya datang pada musim penghujan, khususnya pada empat bulan yang namanya berakhiran –er, yaitu September, Oktober, November, dan Desember. Begitulah dongeng yang dituturkan guru kita di sekolah dasar dulu.
Pertanyaannya, mengapa hujan tidak berkenan datang pada bulan Juni? Seorang ilmuwan akan menjawab pertanyaan tersebut dengan kering dan tautologis. Hujan tidak datang pada bulan Juni karena bulan Juni adalah bagian dari musim kemarau. Lantas, ilmuwan tersebut menjelaskan gejala itu dengan sehimpun teori dan data klimatologis.
Apabila pertanyaan itu dilayangkan kepada penyair, kita akan memperoleh jawaban lain. Jawaban yang aneh dan asing, tetapi memancing nalar dan menyentuh hati, menerbitkan fajar pencerahan. Pada bulan Juni, menurut Sapardi yang penyair itu, hujan bukan tidak ada. Hujan sebenarnya ada pada bulan Juni. Tapi, Hujan Bulan Juni, tokoh kita itu, memutuskan untuk tidak menampakkan diri, bahkan untuk tidak memberadakan atau mewujudkan diri. Dia memilih menghancur luluhkan, menyirnakan total, eksistensinya.
Mengapa dan untuk apa dia melakukan hal itu? Dia tidak ingin mengganggu keseimbangan musim. Tidak ingin pula merusak harmoni alam. Kalau harmoni alam rusak, kehidupan semesta pun rusak, akhirnya kehidupan manusia ikut rusak. Ketakseimbangan makrokosmos, yaitu alam semesta menyebabkan ketakseimbangan mikrokosmos, yaitu manusia. Ada kesaling-tergantungan eksistensial antara manusia dengan alam semesta. Karena itu, Hujan Bulan Juni meniadakan keberadaannya. Dia mengorbankan keseluruhan dirinya demi keseimbangan dan kehidupan semesta, juga demi eksistensi manusia.
Maka, Sapardi pun memuji ketabahan Hujan Bulan Juni yang menjalani laku pengorbanan eksistensial. Tak ada yang lebih tabah daripada Hujan Bulan Juni. Dia merahasiakan rintik rindunya kepada pohon berbunga itu. Hujan Bulan Juni sebenarnya ingin tetap ada, tampak, dan hadir. Sebab, dia begitu rindu kepada pohon berbunga itu. Dia sangat ingin, dengan rintiknya, membasah-kuyupi pohon berbunga itu, sehingga bunga pada pohon itu merekah indah berhias titik-titik air bening, sesaat setelah Hujan Bulan Juni menjatuhkan jutaan rintiknya.
Tidak hanya memuji ketabahan Hujan Bulan Juni. Sapardi juga mengenang pekerti luhur Hujan Bulan Juni, yaitu sifat bijaknya, buah dari pengorbanan yang maha. Tak ada yang lebih bijak daripada Hujan Bulan Juni. Dia menghapus jejak-jejak kakinya yang ragu-ragu di jalan itu. Dia tidak mau jalan itu basah oleh jejak-jejak kakinya, yang ragu-ragu. Kalau pun memilih datang pada bulan Juni, dia merasa akan datang dalam kebimbangan. Pilihan egosentris itu, keputusan zalim itu, dosa kosmis itu, tidak direstui oleh nuraninya sendiri. Sebab itu, dia memilih untuk tidak turun pada bulan Juni. Walhasil, pada jalan itu sama sekali tidak ada jejak-jejak kakinya yang ragu-ragu.
Sapardi juga menyanjung kearifan Hujan Bulan Juni, akhlak yang lahir dari rahim pengorbanan. Tak ada yang lebih arif daripada Hujan Bulan Juni. Dia membiarkan sesuatu yang tak terucapkan diserap akar pohon bunga itu. Apakah sesuatu yang tak terucapkan itu? Pengorbanan, nama lain dari cinta. Cinta itu indah dan bernilai justru karena tak terucapkan. Cinta itu hadir dengan sungguh-sungguh justru karena disembunyikan dari kata-kata. Cinta yang tak terjangkau kata-kata itulah yang kita sebut sebagai ketulusan atau keikhlasan. Apakah pemberian yang dipublikasikan secara berlebih-lebihan, yang dicerita-ceritakan, yang diungkit-ungkit, merupakan pemberian yang ikhlas, pengorbanan yang berlandaskan cinta?
Hujan bulan Juni tidak kenal dengan pemberian serendah itu. Hujan Bulan Juni hanya memberikan sesuatu sebagai pengorbanan, dengan motif ketulusan, atas nama cinta. Inilah jenis pemberian yang berkualitas persembahan, darma. Apakah yang diberikan hujan bulan Juni kepada pohon bunga itu? Hujan bulan Juni tidak memberikan rintiknya, tetapi memberikan eksistensinya justru dengan meniadakan eksistensinya itu.
Hujan Bulan Juni rela untuk tidak ada demi bunga itu, supaya alam tetap mengalir dalam ritmenya yang normal, tetap menyanyi dalam iramanya yang harmonis, supaya pohon bunga itu bisa tetap hidup dalam keseimbangan. Hujan Bulan Juni rela tidak ada demi keberadaan yang lain. Tapi, justru karena tindakannya itu, Hujan Bulan Juni pada hakikatnya menjadi ada dalam keberadaan yang lain, keberadaan semesta, termasuk pohon bunga itu. Dia, yang sudah meniada, diserap akar pohon bunga itu.
Jadi, Hujan Bulan Juni adalah personifikasi, adalah metafora bagi pengorbanan, cinta, dan keikhlasan. Sebab itu, dia tabah, bijak, dan arif. Makna ini bukan sesuatu yang baru, melainkan merupakan hikmah abadi, perennial wisdom. Dalam berbagai kitab suci, kita menemukan hikmah ini. Para guru, dari bermacam tradisi, juga mengajarkan hikmah ini.
Salah seorang guru yang mengajarkan hikmah pengorbanan, cinta, dan keikhlasan ialah Syaikh Ibnu ‘Athaillah al-Iskandary. Dalam kitabnya yang populer, berjudul al-Hikam, beliau berpesan: kuburkan eksistensimu dalam tanah tak dikenal; sebab, pohon apa pun yang benihnya tak dipendam dalam tanah tidak akan sempurna buahnya.
Jika tidak didasari keikhlasan, dilandasi cinta, dan dimaksudkan sebagai pengorbanan sebagai persembahan sebagai darma sebagai ibadah, sebuah tindakan, meskipun tampak besar, tidak akan sempurna hasilnya, bahkan bisa jatuh menjadi tindakan yang tak berharga, tak bernilai, sia-sia. Tindakan tersebut tampaknya memang kokoh, tetapi sejatinya rapuh, seperti sarang laba-laba.
Bagi laba-laba, yang mengalami sarangnya dalam dimensinya sendiri dan dari sudut pandangnya sendiri, sarang yang dia bangun memang kuat. Tapi, bagi manusia, sarang laba-laba itu rapuh, serapuh-rapuhnya rumah. Sekali dikebas dengan tangan, sarang itu hancur seketika. Karena itu, kita perlu meneladani Hujan Bulan Juni dalam pengorbanan, cinta, dan keikhlasannya agar tindakan kita menjadi kokoh, bagaikan pohon yang akarnya terhunjam dalam ke perut bumi dan pucuknya mencapai langit. Wallahu al-‘alim, wa ‘abduhu al-jahil.


Yogyakarta, 8 Januari 2016

amsal perjalanan pulang

Semut yang berada nun jauh di sana, tampak. Akan tetapi, gajah di pelupuk mata sendiri, tidak tampak. Itulah ihwal yang dialami dua orang berikut ini. Orang pertama nggolek banyu tapi apikulan warih; mencari air tapi sudah memikul ember yang penuh air. Orang kedua nggolek geni tapi adedamar; mencari api tapi sudah menggenggam pelita yang apinya menyala terang.
Apakah mereka bodoh? Boleh jadi ya, boleh jadi pula tidak. Sebab, air yang dipikul itu bukan air biasa. Pelita yang digenggam itu pun bukan pelita biasa. Mata lahir tidak dapat menjangkaunya. Air dan pelita itu ada di seberang apa yang tampak, berada di dunia yang melampaui fisik.
Air yang sesungguhnya sedang dipikul itu dan pelita yang sejatinya sedang digenggam itu hanya dapat disaksikan dengan mata batin, dengan rasa yang halus dan tajam. Tidak semua orang mau dan mampu mengasah rasanya sehingga halus dan tajam. Itulah sebabnya, si pencari api tidak mengetahui bahwa dia sedang menggenggam pelita, si pencari air tidak menyadari bahwa dia sedang memikul ember penuh air.
Lantas, apakah air yang dipikul itu? Apakah pelita yang digenggam itu?
Peribahasa pertama berbunyi, nggolek banyu apikulan warih. Meskipun sama-sama air, banyu dan warih berbeda. Banyu adalah air pada umumnya. Air laut, air sungai, air hujan, dan air-air lainnya adalah banyu. Warih adalah air yang digunakan untuk bersuci. Sinomim warih adalah tirta. Hanya warih dan tirta yang bermakna kudus dan yang digunakan dalam ritual keagamaan. Warih, juga tirta, adalah banyu yang istimewa. Kalau orang merasa bahwa dosanya telah seberat dan sebesar gunung, dia harus mencari warih, bukan banyu. Dengan warih itu dia mensucikan kehidupannya dari najis keakuan.
Dia yang telah begitu menyesal dengan dosa-dosanya pasti ingin bertaubat, tetapi pada awal berjalan berputar-putar dalam kebingungan. Akibatnya, dia tidak dapat membedakan mana banyu, mana pula warih. Banyu disangkanya warih. Itulah yang kita saksikan dalam gerakan New Age di Barat yang mulai meruyak setelah Perang Dunia Kedua. Anak-anak muda, yang jengah dengan kehampaan dan kegersangan peradaban Barat, mencari air untuk memulihkan religiositas dan kemanusiaannya.
Seringkali, yang mereka peroleh adalah banyu, bukan warih; adalah spiritualisme palsu, bukan spiritualisme sejati. Mereka mencari banyu yang ada di luar sana. Padahal, apa yang seharusnya dan sejatinya meraka cari, yaitu warih, ada di dalam sini, di dalam dada mereka sendiri. Mereka nggolek banyu, tapi apikulan warih.
Peribahasa kedua berbunyi, nggolek geni adedamar. Peribahasa ini adalah varian dari peribahasa pertama. Makna pokok kedua peribahasa tersebut, matriksnya, sama. Api adalah lambang spiritualitas. Ia membakar apa pun yang disentuhnya. Ludes tak bersisa, tak berjejak. Tuhan ibarat api lilin. Pelampah spiritual ibarat ngengat yang terbang menuju api tersebut dengan suka cita, dengan rindu dendam. Ngengat memusnahkan kediriannya di dalam api. Terbakar habis oleh api, ngengat menjadi tiada. Yang ada dan tetap saja ada tinggal api itu sendiri. Dalam salah satu puisinya Sapardi Djoko Damono mengungkapkan hal ini dengan gaya bahasa yang kuat, indah, segar, tapi sederhana. “Aku ingin”, tulisnya, “mencintaimu dengan sederhana/dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu/kepada api yang menjadikannya abu”.
Bagi pencari yang kebingungan, api itu berada jauh di luar sana, jauh di puncak gunung Olympus di atas sana. Demi menyembuhkan gigil kedinginannya, kaku kebekuannya dia mencari, bahkan mengejar, api itu. Dia berhasrat merebut api itu, bahkan dari tangan dewata. Kalau dewata tak memberikan api itu dengan suka rela, dia akan mencurinya, meniru dan mengulang apa yang telah dilakukan Prometheus. Dia tidak juga sadar bahwa api yang di luar sana hanyalah api majazi. Api hakiki senyatanya telah menyala pada sebuah pelita. Pelita itu sendiri sudah digenggamnya, jauh sebelum dia merasa membutuhkan api.
Tapi, bagi pencari yang diberkahi petunjuk, api itu ada di dalam sini. Ia tidak di luar sana. Hamzah Fanshuri, ulama Jawi kawentar itu, berkata, “Hamzah Fanshuri di dalam Mekah/mencari Tuhan di Baitul Ka’bah/dari Barus ke Kudus terlalu payah/akhirnya dijumpa di dalam rumah”. Tidak salah lagi, air yang dicari itu sudah berada dalam ember yang sedang dipikul. Api yang dicari itu pun sudah menyala pada pelita yang sedang digenggam. Al-Quran menjelaskan, Tuhan sebegitu dekat dengan kita, lebih dekat dari urat leher kita sendiri. Hanya saja, kita sering lupa untuk menata pikir, mengolah budi, mengasah rasa.
Jadi, mari pulang ke dalam diri. Mari membersihkan cermin hati dengan seember warih yang sedang kita pikul. Mari membakar habis kegalauan dengan api pelita yang sedang kita genggam. Mari berjalan menuju-Nya, bersama dengan-Nya. Di kedalaman lubuk dada pribadi, bertahta guru sejati. Sosrokartono, santri Kiyai Saleh Darat, berpesan, “murid gurune pribadi; guru muride pribadi”. Guru si murid adalah pribadi murid sendiri. Murid sang guru adalah pribadi guru itu sendiri pula. Sunan Kalijaga, melalui lakon wayang carangan yang digubahnya, telah mendongeng: tirta yang dicari Bima ternyata tersimpan dalam dirinya sendiri. Pribadi Bima adalah rumah suci tempat bersemayamnya Dewa Ruci, hakikat tirta yang dia cari-cari itu. Wallahu al-‘alim, wa ‘abduhu al-jahil.

Bhumi Mataram, Rabi’ul Awwal, 1437 H

sumur

Sumur melambangkan orang yang berilmu. Ilmu bagaikan air yang memancar dari liang sumur. Begitu pula ilmu, memancar dari dada orang berilmu. Sesring terjadi, air sumur yang dibagi-bagikan kepada warga secara gratis tidak kunjung kering. Semakin banyak dibagi, justru air dalam sumur itu semakin banyak; juga saat musim kemarau. Ilmu pun demikian. Semakin banyak dibagi, jumlahnya semakin bertambah banyak.
Air itu menghilangkan dahaga, di samping menyegarkan dan menyejukkan. Ilmu menghilangkan dahaga spiritual, juga menyegarkan rohani dan menyejukkan batin; apabila ilmu itu benar-benar ilmu. Air adalah syarat kehidupan jasmani. Ilmu adalah syarat kehidupan rohani. Karena itu, ilmu kerap disebut sebagai air kehidupan.
Air digunakan untuk bersuci. Air membersihkan kotoran, najis, dan noda yang menempel pada tubuh. Ilmu pun untuk bersuci. Ilmu membersihkan pikiran dari kotoran, najis, dan noda ilusi, fatamorgana, angan-angan, bayangan; dari semua pengertian yang serba palsu tak sejati; dari segala kesalahan. Setelah membersihkan pikiran, ilmu mensucikan hati dari kotoran, najis, dan noda rohani. Kalau ada ilmu yang mengeruhkan, bahkan mengotori pikiran dan hati, itu pasti bukan ilmu, melainkan sekadar teori yang tak bermanfaat.
Air memadamkan api yang ganas menyala-nyala, yang membakar habis kayu dan daun kering yang ditemuinya. Ilmu memadamkan api angkara murka yang menyala-nyala dalam dada. Kita mencari ilmu untuk memadamkan api angkara murka itu sebelum kebaikan dan kesadaran kita dibakar habis olehnya, sebagaimana kayu kering yang dibakar habis oleh api.
Air yang mensucikan, menghilangkan dahaga, menyegarkan rohani, menyejukkan batin, dan memadamkan api tersebut ada dalam sumur. Ilmu ada dalam dada orang yang berilmu. Berdasarkan metafor ini, jagad jawa menciptakan sumur-sumur aneh.
Dalam peribahasa sumur lumaku tinimba, kita menyaksikan sumur yang berjalan. Ternyata, tidak semua sumur diam di tempat selamanya. Ada juga sumur yang berjalan. Sumur berjalan yang dimaksud adalah cendekiawan. Kita diharuskan menimba ilmu yang memancar dari dadanya. Cendekiawan jangan diacuhkan. Jangan sampai ada cendekiawan yang keadaannya merana, seperti kain lungsed ing sampiran; kain lecek yang tergantung-gantung kesepian di jemuran. Ilmunya tidak bermanfaat karena kita tidak berguru kepadanya.
Sumur aneh lainnya dalam jagad jawa adalah sumur yang menjemput timbanya; sumur marani timba. Kali ini sumur tidak saja berjalan, tetapi juga berjalan dengan motif tertentu, yaitu menjemput timba. Makna sumur dalam peribahasa ini adalah guru. Timbanya adalah murid. Di kalangan spiritual, tidak hanya murid yang mencari guru, tetapi guru pun mencari murid. Ilmu spiritual adalah konsumsi kelompok tertentu. Tidak semua muslim berkemampuan untuk mengaksesnya. Karena itu, guru berupaya mencari murid yang sanggup menampung keaengan, keluasan, dan kedalaman ilmu spiritual.
Itulah dua, barangkali dari sekian banyak, sumur aneh yang ada dalam jagad jawa. Keanehan tersebut bermula dari pengiasan sumur dengan orang berilmu. Apa makna sumur dalam jagad kebudayaan lain? Dalam jagad melayu, jagad bugis, jagad banjar, jagad…?