27/03/12

fragmen 1

Ketika kenyataan berdiri telanjang di hadapannya, Bawuk pun menjumpai kesejatian, dalam rupanya yang paling jujur. Rupa ibu, wanita tua itu. "Ibu yang bijaksana. Ternyata cuma kau yang mengerti," ujar (atau keluh? atau protes?) Bawuk, di dalam hati. Ibu memang piawai menyelipkan sehelai kecantikan di sela-sela tumpukan penderitaan.

yk, 28/03

24/03/12

guru syukur


huruf-huruf berderap
berjalan rapi meniti garis lurus
seperti sebaris infantri
yang akan dikalungi mendali
dan menerima lencana ksatria.
kelihatan bagai parade tuhan

tidak. nyatanya tidak demikian.

huruf-huruf murung itu
mengenang perang demi perang
yang datang susul-menyusul
berlomba melukis luka pada mata ibu
mata yang sengaja dilupakan
oleh dendam sebatang handam

syukurlah. ibu adalah ibu.
dengan tabah yang anggun
dipetik dan dimakannya buah lupa
yang membusuk di pohon hayat itu.

yogyakarta, maret 2012

guru haru


berhubung bahasa
sudah binasa
disayat mata kata
baiknya aku dan kau
pulang ke rumah saja
meminta ibu
membuatkan kita
sepiring haru
dan segelas sunyi
sebagai sarapan
di tepi senja ini

yogyakarta, maret 2012

guru tari


biyung baring
di atas bayang
meriwayatkan
hikayat cahaya
mewasiatkan
peta airmata
menunggu subuh
bersama Rindu
yang tak butuh aduh

Yogyakarta, Maret 2012

nb: puisi ini saya dedikasikan untuk ibu. dulu dia penari. pada tahun-tahun pertama setelah menikah, dia membuka sanggar tari di kampung. dia mengajarkan tari-tari tradisional jawa kepada anak-anak tetangga. tapi karena kesulitan ekonomi, dia terpaksa meninggalkan dunianya itu, untuk membantu ayah saya menyadap karet dan berdagang. setiap kali melihat perempuan menari, saya seperti sedang melihat ibu menari.

oposisi


Sastra, tidak seperti matematika, tidak menawarkan kepastian. Dalam matematika, dua ditambah dua pasti sama dengan empat. Tidak bisa lain. Dalam sastra, jawaban dari dua ditambah dua adalah keserbamungkinan, bisa empat, bisa nol, bahkan bisa tidak terjawab, atau hanya dijawab dengan: “saya tidak tahu”.

Mengapa sastra bersifat tak eksak? Sastra membicarakan kehidupan. Kehidupan tidak bakal dapat dipastikan. Dan dalam kehidupan, pilihan yang tersedia tidak hanya dua macam saja: atau hitam atau putih. Kadang-kadang hitam secara aneh, menakjubkan, dan selaras bersenyawa dengan putih, tanpa harus menjadi abu-abu. Kadang-kadang apa yang disangka hitam ternyata sejatinya putih, atau sebaliknya. Dan kadang-kadang lagi, ada sosok yang tidak dapat dikategorikan masuk ke dalam golongan hitam maupun golongan putih, jadi dia bukan hitam sekaligus bukan putih, dan dia mengatasi batas yang memisahkan dan membedakan hitam dan putih. Dia adalah sosok yang lain yang baru, seorang moderator yang bergerak (nomad, musafir, gelandangan, orang usiran, petualang, pengelana, pengembara, eksil, dan lain sebagainya, dan seterusnya).

Teori yang dilahirkan dan disimpulkan secara matematis akan menghadapi kebuntuan dan mengalami kebingungan dalam memahami sosok seperti dia. Solusinya, kita mau tidak mau dituntut untuk membatalkan teori tersebut. Kekeraskepalaan kita untuk bersikukuh memegang dan mendukung mati-matian teori itu, selain menunjukkan ketertutupan dan ketakutan kita, juga merupakan sikap yang tidak sejalan dengan kehendak kehidupan, dengan kata lain, kita menjerumuskan diri ke lembah kematian.

Membicarakan kehidupan adalah membicarakan manusia yang ingin mengetahui dengan pasti, dan memastikan, kejadian, tetapi karena kelemahan epistemiknya manusia mesti mengakui bahwa dia tidak mungkin mampu mengetahui, dan menjelaskan, misteri kejadian. Sebab itu, tidak sedikit sastrawan yang tak sengaja menjumpai tuhan dalam perjalanan hidup dan proses kreatifnya, meskipun dia sesungguhnya tidak berniat mencari tuhan.

Tuhan di sini adalah tuhan yang tak terbahasakan. Tidak ada nama yang dapat digunakan untuk menerangkan hakikat-Nya. Penamaan tuhan justru akan mempermiskin dan mempersempit hakikat-Nya. Tuhan tidak lagi memiliki, namun dimiliki oleh seseorang atau sekelompok orang. Posisi sudah dibalik. Tuhan yang seharusnya Maha Tinggi ditempatkan di bawah (kuasa) manusia yang diciptakan dari tanah yang busuk dan air yang menjijikkan, makhluk yang sangat dan paling rendah asal-muasalnya.

Selain itu, penamaan tuhan merupakan pernyataan terbuka bahwa Dia telah ditemukan. Tidak ada lagi misteri dan pencarian. Manusia yang hidup diberi “insting mencari”.  Lalu, apa jadinya jika misteri tertinggi dan pencarian termustahil sudah tidak ada lagi? Bisa jadi lantaran hal ini, dalam teologi Islam, tuhan dipercayai mempunyai 99 nama yang indah. Angka 99 adalah isyarat ketakterhinggaan, kelaksaan. Maksudnya, tuhan sebetulnya tidak terdefenisikan dan tidak terangkakan. Dia adalah misteri, al-ghaib, dan keluasan, al-wasi’. Karena kemisterian tuhan memungkinkan manusia untuk mengadakan pencarian sehabis-habisnya, manusia pun hidup dengan progresi yang luar biasa. Kita memahami “progresi yang luar biasa” ini sebagai keajaiban. Dengan keajaiban itu, kita merasakan keberadaan tuhan melalui perbuatan manusia yang masuk akal maupun yang tak masuk akal.

Hubungan antara kehidupan dan tuhan ini, menurut pandangan lama yang mempertentangkan antara matematika dengan sastra, tidak terjangkau oleh kaedah-kaedah eksakta. Bagi matematikus, tuhan adalah tuhan yang konseptual dan teoritis. Tuhan tidak dapat tidak bernama. Untuk membicarakan tuhan, kita harus terlebih dahulu memberi-Nya nama, dan merumuskan defenisi-Nya, meringkus dan meringkas-Nya ke dalam bahasa verbal manusia.

Akan tetapi, zaman ketika sastra dan matematika diasumsikan saling berseberangan dan mengambil jalan dan alamatnya masing-masing tampaknya sudah lewat. Kini, entah bagaimana juntrungannya, semakin banyak matematikus yang tak sengaja menyaksikan kehadiran tuhan dengan sarana angka-angka. Demikian pula sebaliknya, telah lahir generasi sastrawan yang menyangsikan kehadiran tuhan, dan mereka terang-terangan mempromosikan diri sebagai ateis. Matematika pun menjadi puitis, dan puisi menjadi matematis. Atau jangan-jangan, kesadaran akan “yang lain yang baru” yang telah lepas dari dikotomi sastra-matematika memang telah tumbuh dalam masyarakat kita. Sains dan agama yang sejak era aufklarung tercerai-berai kini sudah mulai rujuk dan menyatu kembali, bukan?

Yogyakarta, Sabtu, 24 Maret 2012

10/03/12

di pinggir batang hari


di sini
di pinggir sungai ini
kita saksikan
dua angsa putih
tengah menebar benih kasih

aliran air
terhenti seketika
para penjala, pedagang, dan penambang emas
mematung, termangu (atau terkutuk?)

wahai sialnya
tuhan tiba-tiba
ikut campur seenaknya
dan jadilah, katanya, maka terjadi:
seorang abang yang baik
memancung adiknya yang juga baik
seorang anak yang baik
mencincang bapanya yang juga baik
seorang pemuda yang baik
menjambak rambut ibunya yang juga baik
seorang ibu yang baik, ya, dia ibu yang baik
membuang bayinya yang tentu saja baik

air pun kembali mengalir
membisikkan ricik
yang merdu dan misterius
kita pun, aku dan kau,
kembali melanjutkan perjalanan

“tak ada yang perlu dirisaukan
selama ulu dan ilir masih ada,”
begitu pesanmu, sebelum kita
membiarkan dua angsa itu
bermain cinta di sungai ini

yogyakarta, maret 2012

pandora


ini adalah malam ke-40 dia bersemedi, bersila di atas batu, di dalam gua terlarang itu. bulan sedang sempurna. bulat penuh. teramat terang. langit tampak bersih dan cemerlang. hanya ada satu dua bintang yang saling berkedipan. burung-burung malam tidur dengan pulasnya. tak terdengar gesekan dedaunan, gemericik air sungai, desau angin, apalagi desis ular dan lolongan anjing. tahu-tahu dia mendengar suara asing yang dengan sendirinya keluar dari mulutnya.

“dengar!”
(apa yang harus kudengar?)

“dengarlah!”
(mengapa kausuruh aku mendengar?)

“dengarkanlah atas nama nama yang jangan coba-coba kauucapkan. rahasiakanlah ayat-ayat ini dari siapa pun.”

yogyakarta, maret 2012

onting-anting


siapa tak heran
setelah ditinggalkan api
mengapa kampung itu
terbakar, baranya
memenggal kepala anak-anak
dan menikam dada ibu mereka

“dengarkanlah!” seru anak tua
(kabarnya dia pintar menggambar air mata)
“bahkan air pun membakar istri dan anakku.”

yogyakarta, maret 2012

syukur


Saya sudah lebih kurang lima tahun di Yogyakarta, tetapi saya masih saja kuliah, sementara teman-teman seangkatan saya sudah sarjana, mendapat pekerjaan, dan sebagian telah menikah. Dengan kondisi saya sekarang, apa saya menyesal, dan bersedih? Tidak. Tepatnya, tidak lagi. Pernah saya menyesali keadaan dan menangisi nasib, kemudian bersikap pesimistis. Tetapi rupanya penyesalan, kesedihan, dan pesimisme saya tidak beralasan kuat, bahkan tampaknya tak beralasan sama sekali, dan adalah kerugian besar.

Sikap negatif saya ini muncul karena saya terseret mengikuti arus prasangka umum. Prasangka umum kadang baik, namun lebih sering buruk. Contoh, dalam masyarakat yang tidak rasional, laki-laki yang berjalan memakai payung ketika gerimis turun dinilai tidak jantan. Saya lantas mengikuti prasangka umum ini. Daripada malu dikatain orang banyak dan disangka tidak jantan, saya memilih berjalan tanpa payung ketika gerimis. Akan tetapi, dua menit kemudian hujan turun dengan sangat lebat. Saya terpaksa berhenti berjalan dan berteduh. Waktu saya terbuang percuma hanya untuk menunggu hujan reda. Kalau sejak langkah pertama saya memakai payung, dan menampik prasangka umum, saya tidak perlu berteduh, dapat melanjutkan perjalanan, dan barangkali telah sampai di tempat tujuan. Saya menggunakan waktu dengan baik.

Di sekiling kita, masih banyak prasangka umum yang secara nalar tidak baik dan merugikan, tetapi masih kita ikuti karena kita ingin selalu berada dalam kenyamanan psikologis. Kita tidak ingin digunjing, dicemooh, dan dihakimi masyarakat. Kita takut berpisah dengan masyarakat. Kita ingin hidup damai dengan masyarakat, walaupun hal ini malah membuat kita tidak bisa berdamai dengan diri sendiri.

Hati kecil kita yang cenderung mengarah kepada kebaikan bertikai dengan prasangka umum masyarakat yang tidak senantiasa baik. Pertikaian ini menimbulkan kekacauan batin yang berdampak sangat gawat jika tidak segera diterapi. Kita bisa-bisa terbiasa bertindak tanpa melakukan penalaran terlebih dahulu. Subjektivitas, kreativitas, otentisitas, dan kemampuan kritik kita lama-lama akan melemah. Perkembangan hidup dan kejiwaan kita akan tersendat, macet, atau mengalami kemunduran. Kita akan bermental kerdil. Dan bila pertikaian itu dibiarkan berlarut-larut, kita akan mengalami stress, gila, menjadi tidak lebih mulia ketimbang binatang.

Contoh lain dari prasangka umum yang tidak baik: pelajar yang kuliahnya tidak cepat selesai adalah pelajar yang bodoh, nakal, bejat, dan tidak memiliki masa depan yang jelas. Penilaian dan prediksi mereka mungkin benar, tetapi juga mungkin salah. Ada banyak sebab mengapa si pelajar tidak lekas selesai kuliah. Sebab-sebab itu bisa datang dari luar dan tidak melulu berasal dari kelalaian dirinya sendiri. Sementara itu, apa yang akan terjadi di masa depan tidak selalu bersesuaian dengan hasil analisis logis. Dalam kenyataan, “jika” tidak pasti “maka”; jika empat dikalikan dengan tujuh, maka bisa jadi hasilnya akan sembilan. Di sinilah ruang bagi Tuhan untuk menunjukkan kekuasaan dan cintanya kepada kita, dan untuk mengingatkan manusia bahwa Dia nyata ada.

Oleh karena itu, saya tidak perlu menyesal, bersedih, dan pesimistis. Prasangka umum belum tentu baik dan benar. Walaupun mereka menyangka masa depan saya akan tidak gemilang, saya akan tetap optimistis, karena masa depan tidak tunduk pada prasangka umum dan hanya patuh terhadap kehendak Tuhan.

Dengan kondisi saya saat ini, saya juga tidak perlu menyesal karena niat saya datang ke Yogyakarta sejak semula adalah untuk mencari ilmu. Saya memaknai ilmu sebagai moralitas sehari-hari.

Kampus atau sekolah bukan satu-satunya tempat untuk memperoleh ilmu. Di kampus kita hanya mendapatkan, dan berlatih teknik menemukan, teori-teori. Teori-teori ini oleh manusia yang berjiwa lemah sering digunakan sebagai alat untuk mendukung tujuan-tujuan buruknya. Teori tidak sinonim dengan, bahkan kadangkala antonim dari, moralitas. Tetapi adalah keliru jika pendapat saya ini dikutip untuk membenarkan sikap antipati sekelompok orang terhadap sekolah atau kampus. Fungsi kampus dan manfaat prediket sarjana sangat penting, terlebih dalam masyarakat kita yang simbolis dan pragmatis. Selain itu, soko guru moralitas mustahil diemban sendiri oleh kampus semata.

Ilmu bisa kita timba dari mana saja, kapan saja, dan di mana saja. Kita bisa menimba ilmu di toilet atau di lokalisasi. Kita bisa menimba ilmu ketika sedang mengemudikan motor atau sedang tidur. Kita bisa menimba ilmu dari daun kering yang gugur ke tanah, dari embek kambing, atau dari tembelek ayam. Para nabi memperoleh ilmu langsung dari tuhannya. Untuk menjadi nabi, mereka tidak harus belajar di kampus. Kampus hanya salah satu dari amat banyak tempat mencari ilmu. Sebelum zaman modern, orang belajar di rumah gurunya, di rumahnya sendiri, atau di tempat-tempat ibadah. Pada zaman informasi sekarang ini, orang belajar melalui internet yang telah bisa dioperasikan di mana pun.

Jadi tidak ada alasan bagi saya untuk menyesal, bersedih, dan pesimistis. Saya hanya punya alasan untuk mensyukuri masa lalu. Masa lalu, entah baik atau buruk, adalah hadiah dari tuhan yang tidak ternilai harganya. Masa lalu adalah bagian dari diri saya. Tengkyu, Gusti.

Yogyakarta, 10 Maret 2012

04/03/12

pledoi sinta


rama, ah, rama
semenjak semula
aku sudah menduga
kaulah rahwana itu
titisan keraguan
yang dikutuk
memburu bayang-bayang
selamanya, selama-lamanya

apabila tubuhku
hangus terbakar nanti
biarkan abuku
mewahyukan kepadamu:
cinta semata-mata iman
yang tak henti-henti
menimba harapan
dan kerendahan hati
dari perigi derita

jogjakarta, maret 2012