26/09/16

Menyikapi Ateisme

I
Mengapa umat beragama, yang percaya kepada Tuhan Yang Penyayang dan Pemaaf, saling benci, saling hina, saling pukul, dan saling bunuh satu sama lain? Jika pertanyaan itu dilontarkan seorang ateis kepada Anda, sebagai orang beragama apakah jawaban yang akan Anda berikan? Semua agama berbicara tentang cinta, kemanusiaan, dan persaudaraan, tapi mengapa (terlalu) sering pecah peperangan atas nama agama?
Tidak pernah mudah menjawab pertanyaan demikian. Penanya, yang ateis itu, juga tidak mudah diyakinkan bahwa agama normatif berbeda dengan agama historis; bahwa ajaran agama adalah satu hal, sedangkan pengamalan ajaran tersebut adalah hal yang lain. Pertanyaan demikian, yang hanya merupakan apologi bagi sikap ateisme mutlak, sesungguhnya juga tidak memerlukan jawaban. Jawaban hanya akan dipahami sebagai serangan balik yang membuat penanya mengambil strategi defensif. Ketika benteng beton rasionalisasi ditegakkan tinggi-tinggi, rasio alternatif tidak akan dapat meruntuhkannya. Maka, yang terjadi hanyalah monolog, bukan dialog.
Alih-alih dijawab, pertanyaan demikian harus disikapi dengan empati. Kita perlu masuk ke dalam dunia sang ateis. Kita perlu menjawab pertanyaan lain demi membuka pintu dialog: mengapa orang menjadi ateis, padahal agama merupakan fitrah manusia?
Tanpa agama, kehidupan menjadi tampak absurd. Kita sulit menemukan makna di balik himpunan misteri kehidupan. Mengapa seorang ibu yang baik harus menyaksikan kematian balitanya dengan matanya sendiri? Mengapa seorang gadis kecil yang tak berdosa harus kehilangan kedua orang tuanya, bahkan seluruh anggota keluarganya, karena bencana alam? Mengapa koruptor selamat dari kecelakaan beruntun, sedangkan seorang petani saleh mati tertindih mobil dalam kecelakaan tersebut?
Agama menyediakan jawaban bagi pertanyaan-pertanyaan eksistensial itu. Bukan sekadar jawaban teoretis, tetapi juga jawaban praksis dan terapis. Misteri kehidupan adalah pendakian terjal yang harus dilampahi demi mencapai puncak kebahagiaan. Bukan surga, tetapi kehidupan dunia adalah rangkaian ujian. Maka, betapa pun kehidupan terasa tidak adil, kita harus tetap berjalan tegak sebagai manusia yang waras. Kehidupan dunia ini, yang menjadi panggung bagi drama kolosal umat manusia, bukanlah tempat bagi keadilan mutlak. Seadil-adilnya, paling jauh manusia hanya mampu merealisasikan keadilan relatif, karena paling jauh dia pun hanya mampu menjangkau kebenaran relatif. Manusia lain, bahkan diriku sendiri, akan senantiasa merupakan misteri bagiku.
Terbentur oleh adanya misteri tersebut, yang merupakan bagian dari universum misteri kehidupan secara umum, manusia secara kodrati berpaling kepada Ilahi, Yang Maha Tahu, sekaligus Maha Misterius. Misteri kembali kepada Misteri. Akal dan bahasa ditanggalkan. Kita pun bergabung kembali dalam fitrah simfoni kesunyian. Dengan cara yang aneh, hidup menjadi sepenuhnya bermakna. Makna tersingkap justru dengan tidak menjawab persoalan absurditas kehidupan. Tak ada yang lebih arif, tulis penyair Sapardi, dari hujan bulan Juni/dibiarkannya yang tak terucapkan/diserap akar pohon bunga itu. Karena pertanyaan ‘mengapa ada hujan pada bulan Juni?’ dibiarkan tak terjawab, maka jawaban hakiki pun tersingkap tanpa terucapkan.
Peran agama, dalam menjawab absurditas kehidupan, tidak tergantikan oleh sains. Sains, yang bersendikan akal itu, di satu sisi bertolak dari hal-hal yang empiris, sementara di sisi lain menampik eksistensi alam non-empirik. Tidak tersedia ruang bagi yang Adikodrati dalam sains. Tidak pula ada ruang bagi misteri. Sains mau menjawab misteri kehidupan dengan akal setuntas-tuntasnya. Tapi apa yang dicapai akal? Kebuntuhan di hadapan misteri kehidupan. Hingga sekarang, filsafat Barat masih saja gagal memberi penjelasan rasional yang memuaskan atas problem of evil. Sains belum menemukan teknologi untuk menunda, apalagi meniadakan, kematian. Saintis masih bungkam di depan maut.
Jika seorang saintis bersedia jujur akan batas-batas pengetahuannya, penyelidikan dan eksperimentasi ilmiahnya pastilah mempertemukan dia dengan Tuhan. Dia akan menemukan titik, dalam rentang panjang perjalanan ilmiahnya, ketika dia menyadari bahwa jangkauan akal rupanya terbatas dan bahwa kemampuan ekspresif bahasa ternyata juga terbatas. Itulah momen ketika dia tertegun diam dalam keterposanaan akan misteri kehidupan. Itulah saatnya ketika dia melantunkan tasbih dalam simfoni kesunyian. Itulah waktunya ketika sains menjelma puisi. Berhadapan dengan kemahaan Ilahi, manusia tidak ada harganya, bahkan lebur dan sirna. Eksistensi manusia terserap total ke dalam Misteri.

II
Begitulah, bukan hanya kehidupan orang awam, tetapi kehidupan saintis pun, dengan sendirinya terarah kepada Tuhan, kepada agama. Tapi mengapa orang menjadi ateis? Tampaknya, ateisme lebih dari sekadar masalah epistemologis. Ateisme pertama-tama adalah masalah moral. Untuk memahami hal ini, marilah kita kembali mengenang sejarah Eropa Abad Pertengahan, di mana terlihat bahwa lahirnya epistemologi sains, yang menjadi tumpuan rasional kaum ateis modern, rupanya bermula dari krisis moralitas.
 Peradaban Eropa Abad Pertengahan dibangun di atas pondasi tradisi skolastik, demikian penilaian Seyyed Hossein Nasr.  Pada era itu, Eropa belum mengenal fragmentasi kehidupan. Pandangan dunia masih integral: agama dan negara adalah satu kesatuan yang bulat, doa dan kerja (ora et labora) pun merupakan kesatuan yang tak terpisahkan. Seluruh dimensi kehidupan dirembesi anasir Ilahiah. Juga ada kekuatan Ilahiah dalam diri penguasa. Dan penguasa mendapatkan legitimasi kekuasaannya dari gereja.
Di sinilah letak masalahnya. Kekuasaan adalah godaan, tidak saja bagi penguasa, tetapi juga bagi kalangan gereja. Tentu saja ada kaum gerejawi yang lurus, tetapi pendeta yang sengaja menyimpangi idealisme keagamaan demi mewujudkan ambisi duniawi, keberadaannya bukan lagi rahasia. Maka, agama dipolitisasi. Agama jadi alat untuk menumpuk kuasa dan harta.
Agama, yang pada mulanya hadir untuk membereskan masalah moral (yang berdimensi struktural), justru menciptakan masalah moral yang, ironisnya, sama dengan masalah moral yang dulu hendak dibereskannya. Agama datang untuk memberikan kabar gembira bahwa cinta dan keadilan itu pasti ada. Tapi agama kemudian digunakan oleh kaum agamawan munafik untuk menumpas harapan umat tentang adanya cinta dan keadilan. Agama normatif jadi amat berjarak dari agama historis. Agama pada akhirnya bercerai dari kemanusiaan. Dalam ungkapan yang lebih kritis, agama adalah biang dan alat penindasan.
Akibatnya, sikap skeptis terhadap agama pun bermunculan. Berbagai pertanyaan teologis radikal tampil di panggung sejarah: masih perlukah agama? Adakah alternatif lain bagi agama? Mungkinkah, atau tidakkah lebih baik, manusia mengatur kehidupannya tanpa berdasarkan agama? Inilah masa ketika peradaban Eropa Abad Pertengahan mulai tumbang, dan peradaban yang baru mulai dibangun. Inilah zaman ketika Copernicus, Galileo, Descartes, Voltaire dan lain-lain menyuarkan gagasan kritisnya, suatu zaman yang menyaksikan kelahiran manusia modern, manusia berkarakter fragmentatif yang menempatkan diri sebagai pusat semesta; suatu zaman yang juga menyaksikan kelahiran epistemologi sains.
Terhadap persoalan kemanusiaan yang ditimbulkan oleh relasi politik dan agama, manusia modern memberikan jawaban pragmatis. Kalau pun agama masih diperlukan, agama harus dipisahkan dari negara. Hukum agama biarlah mengatur ranah privat saja. Ranah publik adalah bagian hukum positif. Itulah jalan untuk memastikan tegaknya keadilan dan hadirnya kemanusiaan. Di sisi lain, manusia modern pun mencari alternatif selain agama untuk menemukan makna kehidupan sekaligus menguasai hukum kehidupan dan mengatur kehidupannya sendiri. Dan alternatif itu adalah sains.
Dan ternyata, sains memang memberikan harapan baru bagi manusia modern. Dengan sains, manusia modern memahami hukum alam yang pada gilirannya dimanfaatkan untuk menguasai alam demi progresivitas sejarah umat manusia. Sains juga memberikan pendar-pendar cahaya petunjuk dalam rangka menemukan makna kehidupan. Misteri kehidupan, yang dulu hanya dijawab oleh mitos secara semu, lalu juga oleh agama, kini sedikit demi sedikit disingkap oleh sains. Perhatian manusia modern pun bergeser dari yang metafisik menuju yang fisik, yang positif; dari yang gaib menuju yang empirik; dari agama menuju sains; dari Tuhan menuju manusia.
Jika pada Abad Pertengahan agama menjadi induk bagi ilmu, maka pada abad modern sains otonom dari dan sejajar dengan agama, bahkan bersaing dan bertentangan dengan agama. Jika pada Abad Pertengahan akal dan intuisi dipandang sebagai kesatuan instrumen epistemik, pada abad modern akal, yang menjadi tulang punggung sains, berpisah dari iman kaum agamawan. Secara teoretis, tidak ada tempat bagi iman dalam sains. Iman adalah percaya, sedangkan sains bekerja dengan keraguan dan kritik. Sains, demi hukum kausalitas, meragukan kerja dan eksistensi Tuhan. Sains, demi rasionalitas ilmiah, mengkritik kitab suci. Maka, sains menjadi senjata intelektual yang cocok bagi dan diperlukan oleh kaum ateis modern, yang memahami agama sebagai sesuatu yang mubazir, tidak berguna, bahkan berbahaya khususnya bagi kemanusiaan.

III
Mengapa orang menjadi ateis? Sampai di sini, pertanyaan ini belum terjawab dengan gamblang. Tapi dari perjalanan sejarah Eropa, sejak Abad Pertengahan hingga Abad Modern, kita telah memperoleh jawaban yang samar-samar. Penyebab ateisme jangan dicari di luar agama, walaupun faktor di luar agama sudah barang tentu ada. Kaum agamawan perlu bermawas diri. Modernitas ternyata anak yang keluar dari rahim agama. Sains, tepatnya epistemologi sains, dalam beberapa hal adalah kritik terhadap agama, tepatnya perilaku beragama. Demikian pula sekularisme. Ketiga fenomena modern ini merupakan bagian dari, dan mengklimaks pada, ateisme. Jadi, ateisme adalah kejengahan dan frustrasi manusia modern atas penyimpangan dalam beragama demi mewujudkan ambisi duniawi. Ringkas kata, ateisme adalah respons kritis dan resistens terhadap kemunafikan kaum beragama.
Karena itu, ateisme tak sepenuhnya negatif, juga tak sepenuhnya anti-agama. Ateisme justru beranjak dari dan ditenagai oleh salah satu nilai keagamaan yang paling inti: kejujuran. Ketika kejujuran perlahan-lahan meninggalkan agama, kaum ateis mengambilnya, lalu memegang dan menggenggamnya dengan kukuh. Dan karena kejujuran adalah nama lain dari ketulusan, kaum ateis juga menyelematkan ketulusan yang perlahan-lahan dilupakan dan diabaikan kaum beragama. Satu lagi, kaum ateis juga menampung nilai kemanusiaan yang disia-siakan oleh kaum beragama, padahal nilai kemanusiaan itu adalah hadiah terbesar Ilahi kepada mereka. Ini artinya, betapa jauh jarak kita, kaum beragama ini, dari Tuhan; betapa dekat jarak kaum ateis, yang kita pandang anti-agama dan anti-Tuhan itu, dengan Tuhan. Mereka menjunjung tinggi kejujuran, ketulusan, dan kemanusiaan. Sementara kita?
Kita terlalu sibuk mengurusi dan membela Tuhan, padahal Tuhan itu Maha Suci dari manusia yang kotor dan najis. Tuhan, sebagaimana dijelaskan-Nya sendiri dalam kitab suci, sudah cukup dengan diri-Nya sendiri. Tuhan hadir bagi kita, bukan sebaliknya. Alangkah congkaknya manusia yang mengaku telah mempersembahkan ini dan memberikan itu kepada Tuhan. Alangkah pongahnya manusia yang tak menyadari betapa jauh jarak antara dirinya dengan Tuhan. Bila kita tak berjarak dari-Nya, kita tak mungkin menyanyikan lagu rindu dan menggemakan tembang cinta.
Dan golongan manusia yang paling merasa jauh dari Tuhan adalah kaum ateis. Jangan-jangan, mereka diam-diam mendambakan Tuhan. Bukankah ekspresi cinta tak selamanya, juga tak selalu, lurus? Bukankah ada cinta yang diekspresikan secara melengkung melalui ragam tindakan yang tampak sebagai kebencian? Betapa pun juga, agama adalah fitrah manusia. Jauh dalam kegelapan hati manusia, menyala api rindu kepada Tuhan, hasrat kudus untuk berjumpa dan kembali manunggal dengan-Nya.
Sebab itu, kita tak perlu menghakimi dan menyalahkan para ateis. Kita hanya perlu membuka pintu dialog dengan mereka. Dalam hal ini, kaum beragama punya dua tugas berat. Tugas pertama mengarah ke dalam: kaum beragama mesti bermawas diri. Manusia tidak menggenggam kebenaran mutlak, universal, dan final. Tugas kedua mengarah ke luar: kaum beragama mesti belajar memahami dan belajar mengemong kaum ateis. Kita dan mereka pada dasarnya punya bahasa yang sama: kejujuran, ketulusan, dan kemanusiaan. Itulah modal kita untuk saling mengenal. Bahwa setelah bertegur sapa dan berbalas salam, mereka tetap saja teguh pada keateisannya, hal itu bukan lagi wilayah kerja kita sebagai manusia. Manungsa winenang ngudi, purba wasesa ing astane Gusti. Kepada Baginda Muhammad, Tuhan berfirman: Kau tidak akan pernah dapat memberikan petunjuk kepada orang yang kau cintai; Tuhan-lah yang memberikan petunjuk kepada orang yang Beliau kehendaki.


Bumi Mataram, Dulkangidah 1437 H

Membaca Jawa (1)

Kesultanan Yogyakarta, yang umurnya sudah lebih dari dua setengah abad, punya sesanti: hamemayu hayuning bawana. Sesanti ini sebetulnya bukan hanya visi yang dicanangkan sebuah kesultanan. Hamemayu juga visi kehidupan yang dihayati orang Jawa. Dengan kata lain, dalam kehidupan duniawi orang Jawa secara individual bertugas untuk hamemayu hayuning bawana. Apa makna ungkapan ini?
Jika diterjemahkan dengan sederhana, arti dari hamemayu hayuning bawana adalah menjaga keindahan semesta yang pada fitrahnya memang sudah indah. Manusia tidak dibebani amanah untuk memperbaiki dunia. Tanggung jawabnya adalah menjaga keindahan dunia dari aksi-aksi pengrusakan.
Jadi, dalam sesanti ini, samar-samar kita mendengar gema kitab suci: syukurilah kehidupan, jangan membuat kerusakan di muka bumi. Maknanya, jagalah harmoni semesta. Faktor moral penyebab kerusakan adalah rasa lebih dari yang lain dan sikap benar sendiri. Maka, untuk menjaga harmoni semesta manusia harus menghindari perilaku dumeh, ialah sikap sok, dan sifat adigang, adigung, adiguna.
Selain menggemakan seruan kitab suci, sesanti hamemayu juga mengisyaratkan pandangan kosmologis manusia Jawa. Pandangan kosmologis pertama menyebutkan, semesta pada fitrahnya selaras, harmonis, dan indah. Manusialah yang menghancurkan keselarasan tersebut. Alam batin pada fitrahnya damai, sebagaimana kita rasakan pada bayi yang baru lahir. Alam sosial pun pada fitrahnya selaras, asalkan manusia tidak mengubah fitrah keselarasan tersebut dengan campur tangan keakuannya.
Maka, dalam tindak-tanduk keseharian, sedapat mungkin kita harus menghindari konflik terbuka demi menjaga kedamaian. Caranya, kita bertindak tepat sesuai dengan konteks. Inilah lelaku adil dari sisi personal yang sehari-hari dilampahi manusia Jawa. Kita harus mengikuti tata krama. Berbicara dengan bahasa yang halus dan santun kepada yang lebih tua. Bersikap ngemong kepada yang lebih muda. Singkatnya, kita mesti rela meletakkan keakuan di bawah cita-cita kedamaian bersama. Jadi prinsipnya, jangan sampai manusia mengacaukan keselerasan semesta.
Tapi, apa makna semesta, bawana, dalam sesanti tersebut? Ternyata, makna bawana tidak hanya berkenaan dengan skala luas sebagaimana pernah diperdebatkan beberapa waktu lalu oleh kalangan keraton. Bawana adalah tentang multidimensi semesta. Pandangan kosmologis Jawa selanjutnya menyebutkan, semesta tersusun dari tiga dimensi hirarkis yang saling berkaitan. Hal ini tercermin dalam pewayangan. Dimensi teratas dari semesta adalah alam mayapada. Dimensi terbawahnya adalah alam arcapada. Adapun dimensi perantaranya adalah alam madyapada.
Pada arsitektur Candi Borobudur, alam mayapada paralel dengan dimensi arupadatu, alam madyapada paralel dengan dimensi rupadatu, dan alam arcapada paralel dengan dimensi kamadatu. Arsitektur Borobudur mengisyaratkan bahwa puncak dari perjalanan spiritual semesta yang mendaki adalah stupa kosong: suwung. Inilah awang-uwung yang tanpa ruang dan tanpa waktu. Utara adalah selatan. Selatan adalah utara. Jika naik ke atas, maka kita jatuh ke bawah. Jika turun ke bawah, maka kita terbang ke atas. Kita dapat menemukan keterangan tentang alam awang-uwung ini misalnya dalam naskah Suluk Wujil, yang konon dianggit oleh Sunan Bonang.
Jadi, bagi manusia Jawa, alam tidak sebatas yang fisik dan empiris. Di atas dan di bawah alam empiris masih terdapat dimensi alam lain. Di atas alam madyapada yang dihuni oleh manusia, terdapat alam mayapada yang disemayami dewa-dewi, para makhluk yang tersucikan. Di bawah alam mayapada, terdapat alam arcapada, tempat tinggal kaum raksasa dan makhluk halus lain. Setiap dimensi alam ini merupakan manifestasi ke-hayu-an, keindahan. Pada fitrahnya, setiap alam pun terhubung secara hayu: selaras dan harmonis.
Kalau manusia berlaku tidak adil, tatanan alam jadi kacau. Keselamatan manusia jadi terancam. Kekacauan semesta, yang berpangkal pada kegagalan manusia untuk berlaku adil, ditandai oleh datangnya bencana alam. Lagi-lagi kita dapat menyaksikan hal ini dalam pewayangan. Perang dan bencana alam seperti pasangan gelap yang datang bersamaan mengusik ketenteraman semesta.
Agar tatanan alam tidak jadi kacau, manusia bertanggung jawab menjaga harmoni semesta. Untuk tujuan inilah diselenggarakan siklus upacara slametan. Slametan menandakan tepa selira manusia Jawa terhadap multidimensi semesta. Dia bukan saja ber-tepa selira dengan manusia lain, tetapi juga dengan dewa-dewi, raksasa, dhemit, binatang, tumbuhan, bahkan dengan benda (yang dikira) mati. Jangan lupa, manusia terutama harus ber-tepa selira dengan Tuhan, yang adalah poros, inti, sekaligus puncak semesta.
Jadi, sesanti hamemayu tidak sebatas mengungkapkan kemanusiaan orang Jawa, tetapi juga secara simbolis menyatakan ke-tepa-selira-an orang Jawa yang melingkupi sekaligus melampui kemanusiaan. Manusia Jawa menghargai kehadiran liyan: manusia lain, dewa-dewi, raksasa, dhemit, binatang, tumbuhan, benda mati, akhirnya Tuhan. Bukti dari penghargaan ini antara lain kita saksikan pada upacara jamasan pusaka yang khususnya digelar pada bulan Sura. Keris, benda (yang tampak) mati yang diberi nama itu, dimandikan, seperti memandikan anak sendiri. Bukti lain, upacara lelabuhan baik di gunung maupun di pantai. Sebagai ucapan terima kasih, manusia menghargai eksistensi gunung dan pantai yang telah mendukung kehayuan hidup masyarakat manusia.
Kosmologi Jawa juga terserap ke dalam logika kekuasaan. Pada era pra-Islam, pemimpin tanah Jawa bergelar ratu tribuwana, pemimpin tiga alam, ialah alam mayapada, alam madyapada, dan alam arcapada. Jadi, raja tanah Jawa tidak hanya memimpin masyarakat manusia. Raja juga memimpin jenis masyarakat lain yang secara hirarkis eksistensinya berada di atas manusia dan di bawah manusia. Raja adalah raja bagi manusia, bagi para makhluk suci, bagi jin dan raksasa, bagi binatang, tumbuhan, benda mati, gunung, pantai, hutan, dan lain-lain. Raja sungguh-sungguh berperan sebagai bayangan Ilahi di muka bumi.
Ketika kerajaan pra-Islam runtuh, untuk kemudian digantikan posisinya oleh kesultanan Islam, kita memang tak lagi mendengar konsep tribuwana secara formal. Akan tetapi, praktik kepemimpinan tribuwana bukan sama sekali nihil. Konsep tribuwana ditransformasikan jadi konsep kalipatulah. Pemimpin, baik sebagai ratu tribuwana maupun sebagai kalipatulah, sama berperan sebagai bayangan Ilahi di bumi. Kepemimpinan sultan atas masyarakat yang menghuni alam arcapada disimbolkan dengan perkawinan mistik antara Panembahan Senopati dan Nyai Rara Kidul. Penjaga gaib Gunung Merapi pun diposisikan sebagai abdi dalem sultan.
Jadi, zaman boleh berganti, dari Hindu-Budha menjadi Islam, tapi orang Jawa tetap ber-tepa selira dengan makhluk yang menguni tiga dimensi alam. Zaman boleh bergerak, tapi orang Jawa tetap berpegang pada pandangan kosmologisnya. Visi, sekaligus misi, kehidupannya di dunia tetaplah hamemayu hayuning bawana.
Tapi, ketika tanah Jawa dilanda banjir bandang modernitas, bagaimana pandangan kosmologis itu dipertahankan? Sekarang, masih adakah hamemayu hayuning bawana itu? Inilah persoalannya.

Bumi Mataram, Dulkangidah 1437 H