29/09/11

cerita yang tidak mungkin


Di kampung tepi hutan yang belum terjamah aliran listrik itu, dia membangun sebuah gubuk seadanya: berdinding papan, bertiang trembesi, beratap nipah. Untuk melawan kegelapan malam, dia memasang empat lampu teplok pada empat sudut gubuknya, dan menggantung satu lampu patromaks tepat di pusat bangunan nelangsa itu.

Ketika malam datang, gubuk itu terang. Tetapi dia tak tampak senang. Dia masih saja gundah, dan merasa ada yang kurang. Lima lampu itu hanya membantunya membaca wajah istri dan anak-anaknya, tidak sama sekali membantunya membaca wajahnya sendiri.

Istrinya, yang mengerti kegundahannya, menyarankannya membeli cermin. Dia menolak saran istrinya. “Buat apa beli cermin? Buat berkaca, buat bersolek, buat mematut-matut diri? Saya tidak akan beli cermin karena saya tidak percaya sama dia. Dia pembohong: menganankan kiri, mengirikan kanan. Dia munafik: meratakan wajah saya yang berdimensi tiga.”

Istrinya pun dongkol, marah minta ampun. Sesudah sedikit tenang, istrinya berkata: “Ah, masak cermin yang tak berdosa itu kau salahkan. Dasar! Kerjamu menyalahkan yang lain melulu. Cepat-cepatlah beli cermin supaya kau cepat-cepat melihat wajah dan matamu sendiri, sebelum lima lampu di gubuk kita ini kehabisan minyak. Saya kuatir, kalau kau tidak segera beli cermin, kau malah akan menceraikanku dan mengusir anak-anak, atau membakar gubuk ini serta hutannya sekalian.”

Jambi, 22 September 2011

so


Mengawali tulisan ini, saya ingin mengulang kembali celetukan realis seorang kawan: Jambi masih betah hidup dalam abad kegelapan. Celetukan ini tentu hanya bisa diujarkan oleh orang yang benar-benar jujur dalam mencintai Jambi, karena dia rela menerima sekaligus rupa rupawan dan rupa bopeng provinsi yang hampir tiap tahun disiplin memproduksi dan mengekspor asap itu, tiap hari konsisten membiarkan korporasi memangkas cadangan hutan tropisnya.

Terminologi abad kegelapan, kita tahu, merujuk pada kondisi Eropa pada abad pertengahan, ketika gereja bersama kerajaan bergotong-royong merampas hak asasi masyarakat, ketika sains dan teknologi didakwa bidah, ketika imajinasi dituduh kafir dan berpikir dianggap sebagai sampar. Abad kegelapan adalah metafora bagi waktu yang macet, waktu yang terkesima “hanya” dengan masa lalu, dan para teolog berusaha mempertahankan kemasalaluan itu mati-matian dengan beragam varian kekerasan dan pembunuhan. Perang yang paling nyata pada saat itu sebenarnya adalah perang antara masa lalu berhadapan dengan aliansi antara masa kini dan masa depan, perang antara kepastian dan kemungkinan, antara ketakutan dan keberanian.

Korban dari (atau penyelamat bagi) abad kegelapan, kita ingat, misalnya Copernicus, Bruno, Galileo, Luther, dan seterusnya. Dan setelah pagebluk abad kegelapan berakhir,  dan fajar rasionalitas mulai menyingsing di Eropa, dan para cendekiawan pada nglilir dari tidur dogmatis, para martir itu disanjung sebagai nyaris sejajar dengan nabi dalam kontribusinya membongkar arsitektur budaya lama dan menyusun formasi budaya baru, budaya yang rela menerima dan melihat fakta masa kini secara apa adanya, budaya yang berorientasi kepada masa depan dan tidak lagi berorientasi kepada masa lalu. Semenjak itu, Eropa bangkit dan bergerak cepat membangun (jati) diri dengan instrumen sains dan teknologi.

Artinya, bila dikemukakan “fakta” bahwa Jambi masih betah hidup dalam abad kegelapan, maka masyarakat Jambi adalah masyarakat yang tidak melek sains dan rabun teknologi. Memang benar begitu? Saya tidak tahu pasti.

Saya hanya menyaksikan, di Jambi masih sangat sedikit sekali sekolah negeri yang memiliki laboratorium praktikum lengkap, guru-guru berpola pikir saintifik, referensi pustaka memadai, sarana teknologi-informasi canggih yang sebanding dengan rasio jumlah siswa. Malah, masih banyak sekolah negeri yang belum mendapat aliran listrik, jika pun dapat, aliran listrik itu tersendat-sendat, sehari mati sehari hidup, seminggu mati seminggu hidup, seperti di kampung saya.

Saya juga pernah mendengar, seorang “psikolog pendidikan” beken di Jambi, dalam sebuah acara dialog di stasiun televisi lokal, terang-terangan menunjukkan sikapnya yang kontra, bahkan, menurut saya, anti terhadap teknologi-informasi. Alasannya, teknologi-informasi merusak moral anak-anak dan remaja. Alasan penolakannya hanya sampai di sini, tidak disambung dengan argumentasi filosofis fenomenologis seperti yang pernah diutarakan oleh Romo Mangun atau argumentasi filosofis spiritual seperti yang pernah diwacanakan Capra. Menonton acara itu, saya sedih sendiri: di Jambi, psikolog pendidikan, yang seharusnya sudah terbiasa berpikir humanis-saintifik, masih saja beropini dan berprasangka sebagaimana teolog geraja pada abad pertengahan.

So....

Jambi, 28 September 2011

19/09/11

tanya


 Harap maklum. Ini kisah sedikit imajinatif, tentang seekor lalat pengganggu, Sokrates namanya. Air mukanya jenaka. Tubuhnya pendek gemuk. Konon wajah bundarnya tidak lebih tampan daripada Tukul. Sebagaimana master Zen atau syekh Sufi, ia hidup asketis, mengelana bagai gelandangan, dengan perbekalan seadanya, pakaian lusuh, kaki telanjang.

Sehari-hari ia menyusuri kota Athena. Diperhatikannya tindak tanduk manusia: mengapa berbuat baik, mengapa bertindak jahat, mengapa manusia ada. Direnungkannya dari mana alam berasal, akan ke mana alam bergerak. Setelah merenung, barangkali ia akan marah, sedih, atau tersenyum geli. Perangai manusia memang lucu, aneh-aneh saja.

Semakin dalam ia merenung, semakin bertambah kegelisahannya. Banyak manusia telah salah tindak, salah sikap, salah pikir, salah niat. Oleh karena itu, Sokrates merasa harus mengambil sikap. Keadaan harus diubah menjadi lebih baik, atau paling tidak, dijaga agar tidak menjadi lebih buruk. Tetapi bagaimana caranya?

Sokrates lantas mengelilingi Athena. Ia mengajukan pertanyaan apa saja kepada siapa saja yang ditemuinya. Tidak seorang pun mampu menjawab pertanyaannya dengan benar. Dan memang, saya rasa, Sokrates tidak menginginkan jawaban. Pertanyaan adalah derau, sejenis puisi, suara sumbang yang sejatinya merupakan strategi retorik agar lagu digubah jadi lebih merdu. Dengan bertanya, Sokrates menularkan keraguan, kegelisahan, dan... pemberontakan, perlawanan, akhirnya: perubahan.

Anak-anak muda, yang sedang dilanda dahaga, tertarik kepada Sokrates. Mereka mengangkatnya sebagai Guru, dengan “G” kapital. Di mana-mana sosok semacam Sokrates selalu jadi magnet. Sahabat Sokrates bertambah banyak, tetapi musuhnya bertambah sangat banyak.

Setelah mengaji kepada Sokrates, anak-anak muda itu berperilaku “yang bukan-bukan”, “yang ada-ada saja”, misalnya menolak mentaati perintah orang tuanya yang buruk dan busuk, atau membangkang terhadap kebijakan pemimpin polis, atau mengkritik dan mengutuk demokrasi. Ketika itu Athena menerapkan demokrasi sebagai sistem politik. Demokrasi adalah tirani mayoritas atas minoritas. Demokrasi lebih mengunggulkan kuantitas tinimbang kualitas, prosedur tinimbang orientasi, citra tinimbang hati. Anak-anak muda itu menjadi seperti Sokrates: peragu yang suka bertanya.

Gejolak sosial meledak. Huru hara politik merebak. Para politikus, yang kemapanan kekuasaannya mulai terancam, menuduh Sokrates sebagai virus. Sokrates telah meracuni pikiran anak-anak muda Athena. Sokrates tidak bisa dibiarkan, harus dibereskan, harus dibawa ke muka pengadilan untuk mendapat hukuman seberat-seberatnya. Sokrates harus membayar dosa-dosanya.

Di persidangan, Sokrates tak lagi bisa berkutik. Para politikus adalah musuhnya. Para hakim juga musuhnya. Para anggota parlemen musuhnya juga. Mereka sepakat untuk membunuh Sokrates dengan jalan yang legal dan resmi. Sahabat dan pembela Sokrates hanya anak-anak muda, Platon misalnya. Sayang sekali, karena merupakan minoritas, mereka tak diberi ruang untuk bicara. Sokrates pasrah saja menerima hukuman itu. Ia dihukum mati dengan disuruh meminum racun. Riwayat Sokrates tamat.

Sokrates memang tamat. Tapi kisah ini belum tamat. Pertanyaan-pertanyaan Sokrates terus bergaung di benak murid-muridnya, termasuk Platon. Platon kemudian mengarang banyak buku. Tulisan-tulisan Platon inilah cikal bakal filsafat barat, sistem berpikir yang mengantar Eropa mencapai puncak keemasan.

Jadi, pencerahan berawal dari Sokrates, dari pertanyaan, dan bukan dari jawaban atas pertanyaan. Orang dinilai tidak dari kemahirannya menjawab pertanyaan, tetapi dari kepandaainnya membuat pertanyaan. Sebab, membuat pertanyaan lebih musykil daripada menjawab pertanyaan.

Pertanyaannya, dari mana datangnya pertanyaan?
Jambi, 18 September 2011

Kawruh


Ada satu aturan main. Hikmah (wisdom/kawruh), ketika dilembagakan, akan mengalami reduksi sedemikian rupa. Orang-orang lantas terpikat dan terserap oleh bungkus dan melupakan isinya. Lebih parah lagi, beberapa orang menjaga kemurnian bungkus itu dan menyangka bahwa bungkus masih mencerminkan isi, padahal tidak. Isi bungkus telah berubah, bahkan bungkus menjadi sekadar bungkus kosong. Tinanda telah malih rupa atau sudah oncat dari penanda.

Belajar
Belajar adalah sebuah wisdom. Belajar kemudian dilembagakan dalam bentuk sekolah. Kita memahami sekolah sebagai tempat belajar, merubah diri menjadi lebih dan semakin lebih baik. Di sekolah kita dididik untuk menjadi pandai dan arif.

Tetapi setelah sekian abad sekolah berdiri, kita menjumpai kejanggalan, inkonsistensi, bahkan kontradiksi. Sekolah telah berjalan menyimpang terlalu jauh dari koridor idealnya. Pada kenyataannya, sekolah mendidik kita untuk menjadi pandir dan bejat. Sekolah mendidik anak-anak untuk menjadi koruptor, otokrat, preman, tukang palak, algojo. Nazaruddin, Malinda Dee, Soeharto sudah pasti adalah anak sekolahan.

Jadi, belajar sebagai sebuah wisdom mengalami reduksi sedemikian rupa ketika dilembagakan dalam bentuk sekolah. Atas alasan ini, Ivan Illich, A.S. Neill, dan para pedagog anarkistis lainnya, menentang keberadaan sekolah. Daripada sekolah hanya berfungsi sebagai pabrik penjahat, lebih baik sekolah sebagai lembaga belajar ditiadakan.

Sekolah bukan satu-satunya tempat belajar. Kita bisa belajar di mana saja, bahkan di dalam toilet sekali pun. Sebuah seloko Minangkabau yang amat populer menyebutkan: alam terbentang menjadi guru. Ruang tidak membatasi kegiatan belajar, demikian pula waktu.

Dengan pemahaman seperti ini, kita akan memandang keadaan secara lebih positif dan optimistis. Memang pilihan berpulang kepada diri kita sendiri, apa hendak menjadi anarkis, bersikap anti terhadap sekolah, atau reformis, bersikap aktif mengembalikan sekolah untuk kembali berjalan pada koridor idealnya. Yang jelas, penanda dan tinanda harus kembali dipertemukan, bungkus kosong mesti diisi. Dalam bahasa normatif, sekolah harus kembali menjadi tempat belajar, sarana memperbaiki diri, memandaikan diri, mengarifkan diri.

Tuhan
Keesaan Tuhan adalah sebuah wisdom. Agar umat manusia tetap mengesakan Tuhan, maka dibentuklah sebuah lembaga atau instrumen: agama. Agama menjadi jaminan dan isyarat bahwa manusia masih mengesakan Tuhan, tidak menyembah selain kepada-Nya. Pengesaan terhadap Tuhan sendiri adalah jaminan bagi terus berlangsungnya persaudaraan dan perdamaian di bumi. Akibat fatal dari politeisme yaitu peperangan antardewa yang rupanya berwujud peperangan antargolongan manusia.

Dengan mengesakan tuhan, seseorang akan merawat napas kehidupan. Ia akan adil terhadap sesama, tidak akan bertindak diskriminatif terhadap manusia lain, dan toleran terhadap kelompok lain, walaupun kelompok tersebut memiliki keyakinan yang bertolak belakang dengan keyakinannya. Sebab, kehidupan lebih agung dan lebih berarti daripada kematian. Permusuhan biasanya berakhir dengan kematian, mungkin kematian di pihak sini, mungkin kematian di pihak sana, mungkin kematian fisik, mungkin kematian simbolik. Seperti amoeba, kematian memiliki kekuatan melipatgandakan diri: satu peristiwa kematian adalah sebab bagi kematian-kematian berikutnya, dan seterusnya.

Namun pada perjalanannya, agama tidak mampu mengemban fungsi idealnya. Agama bukan lagi sebagai tanda kehidupan, penanda keberadaan Tuhan. Sebaliknya, agama malah menjadi tanda kematian, penanda ketiadaan Tuhan. Dengan memeluk agama tertentu, kita justru menjadi zalim dan lalim. Agama menjadi alasan teror, perang, pembunuhan. Agama menjadi alasan otoriterianisme dan KKN. Agama adalah topeng atau kedok yang kita perlukan untuk menjustifikasi segala perilaku jahat kita. Kita memperalat agama, mempermainkan Tuhan.

Resah megalami kenyataan tersebut, sebagai ungkapan protes dan pemberontakan, beberapa orang memilih untuk tidak beragama. Tindakan ateistik mereka ini bersumber dari tingkat spiritualisme yang tinggi, barangkali tingginya mangatasi para ulama, mulah, kyai. Beragama bagi mereka sama saja dengan mendukung kesewenang-wenangan dan kepura-puraan. Sebagian dari para ateis bersikap moderat dan ugahari, tidak konfrontatif dan tidak mengutuk agama secara terbuka. Tetapi sebagian lainnya bersikap ekstrem, menolak moralitas apa pun, hidup dengan cara paling liberal, berpikir dengan cara paling sekuler, membabi buta meragukan segala yang dianggap pasti.

Kendati belum tentu selalu buruk, fenomena ateisme atau pseudo-ateisme adalah masalah sosial yang menuntut jawaban. Agama, maksudnya perilaku beragama kita, memang telah keliru dan melenceng, sampai-sampai kita berani menyembah selain Tuhan, bahkan dengan melestarikan egosentrisme, diam-diam kita sudah memproklamirkan diri sebagai Tuhan. Ternyata kita adalah Fir’aun, Namrud, Abu Jahal, yakni mereka yang selama ini kita musuhi dan kita takfirkan.

Di hadapan kita, sekarang tersaji tiga pilihan: beragama dengan cara yang keliru, tidak beragama, atau membenahi perilaku beragama kita. Intinya, penanda harus kembali dipertemukan dengan tinanda yang tepat, bungkus kosong mesti diisi dengan zat yang sesuai. Wisdom “Tuhan adalah Esa” adalah tinanda bagi kata “agama”. Agama, sebagai bungkus, berisi kehidupan, bukan kematian.

Sejauh ini kita baru membicarakan dua wisdom: belajar dan keesaan Tuhan. Wisdom-wisdom lain juga telah dilembagakan. Ini artinya wisdom tersebut mengalami reduksi sedemikian rupa. Halal bi halal atau open house sebagai pelembagaan maaf ternyata telah mereduksi makna maaf itu sendiri. Hukum sebagai pelembagaan keadilan rupanya sudah mereduksi makna adil itu sendiri. Kita masih bisa memperpanjang daftar ini....

Jambi, 17 september 2011

15/09/11

budaya


Nyatanya, kita mengartikan budaya sebagai produk tradisi yang telah ditemukan dan diciptakan oleh “hanya” para leluhur kita “sendiri”. Melestarikan budaya adalah sejenis gerak kembali ke masa lalu untuk mempertahankan keberlangsungan hidup masa lalu itu sendiri, atau membawa eksotismenya ke masa kini, dan merencanakan pemuseumannya di masa depan untuk berbagai tujuan, yang paling kentara yaitu untuk menaati egoisme finansial. Budaya yang seharusnya adalah kata kerja berubah menjadi kata benda. Budaya adalah sehimpun produk-produk seni yang sudah jadi, final, selesai, tak bisa dan tak boleh diobok-obok, diotak-atik, dibongkarpasang lagi.

Budaya direduksi hanya sebagai masa lalu. Titik. Tanpa ko-eksistensi dengan masa kini dan masa depan. Seperti romantisis (dalam artinya yang negatif), eksistensi kita tersangkut dan terperangkap di masa lalu. Kita menjadi manusia yang semakin purba di tengah arus zaman yang terus bergerak sangat cepat menuju kondisi yang semakin kompleks dan canggih.

Karena hidup di masa lalu, kita akan tidak jujur menghadapi fakta kekinian yang ternyata tidak lagi sebagus dan seindah “surga” tempo doeloe. Karena takut kehilangan akar eksistensial, muncul keinginan untuk merevivalisasi budaya, bukan merevitalisasi budaya. Revivalisasi menolak kebaruan, sedangkan revitalisasi terbuka terhadap perubahan. Ekspresi para revivalis bersifat fundamentalistis dan preskriptif, secara tak sadar menutup diri dari dinamika dan segala unsur baru yang sedang dan akan datang dari luar, ibarat katak dalam tempurung yang berpolah narsis dan merasa paling cantik sendiri, lebih banyak berkhayal daripada bekerja realistis, tapi selalu minder dan keder berhadap-hadapan dengan center kebudayaan, selalu lebai dan congkak di hadapan para pemula.

Setiap unsur baru adalah ancaman yang harus segera dikontrol dan dipadamkan, walaupun sudah jelas bahwa unsur baru tersebut adalah keniscayaan sejarah yang pasti hadir dan memberi warna pada tradisi. Para revivalis mensyaratkan diri untuk tinggal dalam kemacetan dan kejumudan, dan mencegah diri dari kemajuan dan perkembangan. Tidak ada kata perubahan, progresi, apalagi revolusi. Sikap revivalis adalah menghindari konflik dan menjaga atau melestarikan harmoni, takut terhadap perbedaan dan perang, namun diam-diam membedakan diri dan tak segan-segan menyulut api peperangan. Standar ganda, sebuah hipokrisi, kemunafikan yang dicoba disembunyikan rapat-rapat.

Jambi, bagi saya, adalah rumah yang amat aman dan nyaman bagi para revivalis. Di Jambi kita mendengar sangat sedikit peristiwa polemik, kecuali konflik horizontal antarsuku, antarkampung, dan antarsekte Islam yang sudah basi, tak laku, kontraproduktif. Masyarakat akar rumput, lantaran beraneka sebab dan alasan, sepakat mengafirmasi kebijakan tanpa keadilan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Baru pada 2011 ini kita menyaksikan fenomena resistensi masyarakat sipil: demonstrasi mahasiswa IAIN STS, perlawanan petani sawit, aksi Suku Anak Dalam menduduki gedung DPRD, pembakaran truk batubara oleh penduduk, aksi mogok para guru honorer SD se-Kota Jambi, dan seterusnya. Dengan mengikuti trend pop-culture, anak-anak muda juga mencoba berpisah dari idealitas orang tua dan identitas tradisional. Mereka sebenarnya sudah jengah dengan stagnasi moralitas palsu yang dijaga kebenaran ortodoksionalnya oleh para orang tua mereka, para pendukung, pengabsah, sekaligus penikmat korupsi politik.

Dengan latar belakang sosial-budaya seperti ini, saat ini merupakan momentum yang cukup tepat bagi kita untuk merefleksikan kembali apa makna “budaya”. Besar kemungkinan masyarakat akar rumput yang sedang gelisah dan diam-diam merindukan perubahan akan menyambut positif hasil refleksi ini.

Budaya bukan saja apa yang arkaik dan antik. Budaya adalah relasi resiprokal antara masa lalu, masa kini, dan masa depan. Budaya adalah proses, proses kehidupan, proses menghidupi dan menghidupkan. Budaya adalah kata kerja, tindakan berkarya, ketersambungan antara daya, cipta, rasa, dan karsa. Budaya tidak memberi tempat bagi stagnasi dan kebisuan. Budaya merupakan budi dan daya, pemaduan aktif antara rasio, rasa, dan kerja, penyatuan seimbang antara roh dan tubuh. Nirwan Dewanto menyebutnya sebagai proses transkultural, multikulturalisme yang tidak lamisan.

Dengan mendefinisikan budaya sebagai proses, maka kita akan beranjak dari melulu merevivalisasi tradisi menjadi merevitalisasi tradisi, dari kerja pasif menuju kerja aktif. Produk tradisi tidak lagi dijaga kesuciaannya dari pengaruh kultur asing (yang senantiasa dikonotasikan negatif), namun diajak untuk saling berbagi, saling memberi-menerima, saling berdialog dengan apa saja ekspresi budaya dari suku lain, bahkan dari bangsa lain. Ketakutan akan perbedaan perlahan-lahan akan terkikis dan bersalinrupa menjadi penerimaan yang tabah akan perbedaan, alienasi, konflik, dan perubahan. Nalar formal ditukar menjadi nalar kritik. Akan hadir ruang publik yang menggelar kompetisi terbuka, fair, serta tanpa represi tanpa kekerasan; sebuah medan wacana di mana kita mempertanyakan ketabuan, mengkritik ketidakadilan kekuasaan, menelanjangi kepura-puraan tendensional; sebuah galengan untuk menyemaikan dan menumbuhkan benih-benih pencerahan.

Di Jambi, strategi budaya ini sebenarnya telah dimulai oleh, misalnya, Tom Ibnur, maestro tari zapin kelahiran Sumatera Barat dan Dimas Arika Miharja, penyair sepuh asal Yogyakarta. Tom Ibnur merevolusi tari zapin dengan meinternalisasikan unsur-unsur balet dan ragam tari lainnya ke dalam tari tradisional bercitarasa timur tengah itu. Tari zapin, yang juga adalah ikon Melayu Jambi, menjadi media pertukaran budaya transnasional. Tom Ibnur mensekulerisasi religiositas-sempit tari zapin, mengglobalisasikan lokalitas. Dimas Arika Miharja memanfaatkan teknik tembang liris Jawa untuk memuisikan, sebagai contoh, Sungai Batanghari atau Suku Anak Dalam. Di tangannya, puisi menjelma sebagai ruang komunikasi antara tradisi Jawa dengan tradisi Sumatera. Bagi baik Tom Ibnur maupun Dimas Arika Miharja, budaya adalah kata kerja dan bukan kata benda.

Jambi, malam rabu, 15 syawal 1432 h