15/12/13

prasangka


SAYA tak pernah berjumpa dengan orang-orang ini: Nelson Mandela, Ahmad Dahlan, Gus Dur, dan Ki Hadjar Dewantara. Anda boleh menyebut saya sebagai pengagum mereka. Tapi tunggu dulu, pengagum mungkin istilah yang muluk dan sentimental. Saya hanya bocah bodoh yang ingin mengenali gagasan mereka. Atau, seorang awam yang tertarik dengan apa yang mereka rasakan, pikirkan, dan lakukan. Itu saja.

Kita berduka karena 5 Desember lalu Mandela meninggalkan kita. Ia mendermakan hidupnya untuk membebaskan rakyat Afrika Selatan dan Inggris dari belenggu rasialisme yang berpilin dengan kolonialisme. Memang Mandela berhasil mengusir Inggris dari benua Hitam. Ia pun berhasil menggerakkan dunia untuk melawan rasialisme. Akan tetapi, rasialisme belum benar-benar hilang. Prasangka rasial sekaligus mental kolonial, yang bagaikan dua sisi sekeping mata uang logam, masih berdiam dalam alam sadar dan alam bawah sadar kita.

Itu pendapat Jean Couteau dalam rubrik Udar Rasa SKH Kompas minggu ini. Adalah hak Anda untuk tak sepaham dengannya. Namun pendapatnya bisa jadi benar belaka. Palestina dan Israel belum merasa lelah dan jengah berperang. Minoritas muslim misalnya di Jerman atau Thailand masih mengalami diskriminasi. Belum pula lekang dari ingatan kita: Farhat Abbas menghina Ahok, wakil gubernur DKI Jakarta yang kebetulan berdarah Cina itu, bukan karena kebijakannya yang barangkali keliru, tetapi lebih karena kecinaannya. Sebagian orang Melayu Jambi tidak bosan-bosannya memandang orang kubu dengan sebelah mata, seolah-olah mereka bukan manusia saja. Atau, memandang orang kubu sebagai setengah manusia, sepertiga manusia, seperempat manusia; persis seperti dulu Londo memandang inlander.

Prasangka rasial Londo terhadap inlander, dan inferioritas inlander ketika berhadap-hadapan dengan Londo, itulah yang dikisahkan Pramoedya dalam tetralogi Buru. Karena itu, dengan menulis tetralogi Buru, Pramoedya juga mau menyampaikan pesan humanitas: manusia pada fitrahnya setara dan sederajat; hukum  dan aparat hukum tidak boleh merestui dan menyokong penjajahan dan penghisapan manusia oleh manusia. Terkadang, kita menggunakan kata “adil” untuk menunjukkan situasi humanitas tersebut. Kita beruntung sebetulnya. Sebab, pesan humanitas yang terus-menerus disuarakan kembali oleh tokoh-tokoh agung sepanjang sejarah telah tersarikan sebagai sila kedua Pancasila: kemanusiaan yang adil dan beradab.

Menempatkan Ahmad Dahlan, Gus Dur, dan Ki Hadjar Dewantara sebagai tokoh agung mungkin merupakan sikap yang agak gegabah dan tergesa-gesa karena sikap seperti itu dapat menumbuhkan dan menyuburkan pengkultusan, sedangkan pengkultusan justru menjauhkan kita dari cita-cita yang mereka realisasikan dan mereka wariskan kepada kita. Namun demikian, bahwa Ahmad Dahlan, Gus Dur, dan Ki Hadjar Dewantara semasa hidupnya telah memperjuangkan cita-cita humanitas dengan begitu gigih, tentu merupakan kenyataan yang tak menemukan penyangkalnya.

Ahmad Dahlan secara luwes bergaul dengan komunitas nonmuslim. Bahkan, ia menyerap ide dan praktik pedagogis misionaris yang sejalan dengan pandangan keislamannya. Ia membuka sekolah Islam modern. Ia mengajar seperti guru eropa mengajar. Tanpa kehilangan identitasnya, Ahmad Dahlan bergerak melampaui batas tradisi dan sekat ideologinya. Pikirannya bersih dari prasangka-prasangka sosial-budaya yang sempit dan dangkal. Gerakan transendentif Ahmad Dahlah itulah yang brangkali disebut Cak Nur sebagai universalisasi Islam, dan disebut Kuntowijoyo sebagai objektivikasi Islam. Dalam dan dengan gerakan transendentif itu, keislaman dan kemanusiaan yang pada hakikatnya memang manunggal, kembali menjadi manunggal.

Patah tumbuh hilang berganti. Ahmad Dahlan pergi, Gus Dur datang dengan cita-cita pluralisme dan kosmopolitanisme Islamnya. Minoritas Tionghoa Indonesia yang terutama pada masa orde baru menjadi korban politik dan budaya nasional, kembali memperoleh hak-haknya ketika Gus Dur menjadi presiden. Kini, pementasan budaya Tionghoa bukan hal yang tabu lagi. Imlek dirayakan dengan sukacita, baik oleh komunitas Tionghoa sendiri maupun oleh kemunitas-komunitas etnis dan agama lain. Klenteng-klenteng tegak dengan gagah dan percaya diri, terbuka untuk umum, juga untuk warga yang berbeda keyakinan. Tionghoa muslim telah menjadi kategori sosial yang tidak asing lagi. Semaraklah dialog lintas budaya, lintas iman, dan lintas ideologi. Indonesia pun pelan-pelan kembali menemukan jati diri kebangsaannya yang hamemayu hayuning manungsa.

Saya kira, kebangsaaan yang selaras dengan kemanusiaan itulah yang menjadi cita-cita sekaligus citra diri Ki Hadjar Dewantara. Ki Hadjar ialah keturunan Sunan Kalijaga, ulama yang dengan pendekatan budaya turut mengislamkan tanah Jawa. Akan tetapi, Ki Hadjar tidak menjadikan Islam sebagai identitas pribadi yang dipamer-pamerkan. Islam Ki Hadjar adalah islam yang esoteris, Islam yang sunyi, Islam yang subtantif, Islam yang menjadi jiwa bagi aktivisme politik dan pedagogisnya. Untuk tubuh aktivismenya, ia memilih Indonesia, sebuah universalisasi atau objektivikasi Islam pada tingkatnya yang radikal. Bukan tanpa alasan Ki Hadjar menjalankan gerakan transendentif tersebut.

Ki Hadjar menyaksikan bagaimana Belanda dengan gencar mengadakan klasifikisasi sosial berdasarkan ras dan agama secara ilmiah, politik, dan ekonomi di Hindia Belanda. Islam dipertentangkan dengan nonislam. Etnis jawa dipertentangkan dengan etnis nonjawa. Prasangka rasial dan agama diajarkan lewat pendidikan kolonial yang programatis dan sistematis. Potensi pemersatu dan resistensi yang terkandung dalam agama Islam dikebiri, bahkan ditiadakan. Gerakan kemerdekaan apa pun yang menggunakan Islam sebagai senjata ideologisnya pasti segera berakhir dalam kegagalan. Itulah yang terjadi pada Perang Diponegoro. Itulah pula yang dialami Sarekat Islam pada 1926.

Sementara itu, klasifikasi sosial belanda mematangkan mental kolonial dalam diri inlander. Dan di pihak lain, sistem pendidikan kolonial menyelenggarakan kurikulum tersembunyi yang bertujuan untuk melanggengkan mental kolonial tersebut. Mental kolonial menyebabkan inlander bersikap menjilat ke atas ke londo yang putih kulitnya, menginjak ke bawah ke kawula pidak-pedarakan yang tersia-siakan. Karena mental kolonial itu pula, seorang muslim menjadi mudah tersulut amarahnya hanya karena provokasi remeh-temeh, sehingga dia dengan bangga mengacung-acungkan senjata demi membunuh saudaranya sendiri yang nonmuslim; atau sebaliknya. Dengan gaya bertutur yang memikat, dalam tetralogi Burunya Pramoedya mengisahkan konflik horizontal di Jawa yang antara lain disebabkan oleh mengakarnya mental kolonial dalam diri inlander ini.

Pada kondisi demikian, ketika Islam-dalam-praktik sudah menjadi lawan dari humanitas, Islam tidak mungkin lagi dipakai sebagai senjata ideologis untuk merebut kemerdekaan. Maka, tidak dapat tidak, tinggal kebangsaan yang selaras dengan kemanusiaanlah yang dapat menjalankan tugas itu ketika komunisme telah menampakkan watak dehumanitasnya.

Perlu digarisbawahi, kebangsaan Ki Hadjar adalah kebangsaan yang selaras dengan kemanusiaan. Ia mencela Nazisme, penjelmaan politis dari ide kebangsaan yang sempit, buas, dan ganas, yang bertentangan dengan asas kemanusiaan. Pada titik ini, kita menemukan kesamaan pandangan antara Ki Hadjar dan Nelson Mandela. Namun demikian, kesamaan paling mendasar antara Ki Hadjar dan Mandela adalah cita-cita humanitas yang mereka perjuangkan dengan pengorbanan yang tidak main-main, cita-cita yang juga diperjuangkan dengan semangat jihad yang tinggi oleh Ahmad Dahlan dan Gus Dur. Saya memang tak pernah berjumpa dengan mereka. Saya hanya seorang awam yang tertarik dengan apa yang mereka rasakan, pikirkan, dan lakukan. Itu saja.

1 komentar:

  1. mantap tulisanmu jok, sangat sederhana dan bersahaja. merdeka harus dalam pengertian memerdekakan orang lain. ki hajar, gus dur, dan nelson konsisten terhadp kemerdekaan terhadap kemanusiaan.

    BalasHapus

mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam