01/03/14

Kisah Pemulung Merah


TAPOL novel ketiga Ngarto Februana. Novel pertama Lorong Tanpa Cahaya (1999). Novel kedua Menolak Panggilan Pulang (2000). Tapol mengangkat tragedi sejarah Indonesia paling kelam dan berdarah: peristiwa G 30 S. Pertama kali terbit, September 2002, daya hentak Tapol mungkin masih kerasa. Sampai saat itu, belum begitu banyak penulis yang terinsipirasi peristiwa G 30 S. Tapi jika dibaca sekarang, 2014, ketika penulis lama maupun baru seolah-olah berlomba memfiksikan G 30 S, Tapol jadi ora ngangkat ora gayeng. Ceritanya jadi biasa-biasa saja: seorang tak terlibat PKI, tetapi diganyang musuh-musuh PKI: dituduh PKI, ditangkap dan diadili dan dipenjara atau dibuang, kemudian menderita sepanjang hayat. Tidak ada yang istimewa. Tidak ada yang menyentak.

Terlebih, alur ceritanya gampang ditebak. Bagian awal novel jadi membosankan. Membuat malas menyelesaikan membaca hingga tamat. Untung saja, Ngarto pintar bermain konflik. Bagian akhir novel mengetengahkan konflik psikologis yang dialami Lastri dan Mirah, dua tokoh perempuan utama. Tokoh utama Tapol ada tiga: Kardjono, Lastri, dan Mirah.

Kardjono mulanya perwira angkatan udara yang bersih, lurus, patuh, tetapi lugu. Pengikut Bung Karno yang tidak memihak ataupun membenci PKI. Oleh Sudjono, komandannya, ia dan teman-temannya disuruh menyelenggarakan pelatihan militer untuk masyarakat. Untuk menguatkan pondasi Nasakom katanya. Pelatihan berpusat di daerah Lubang Buaya. Kardjono patuh menjalankan komando. Tapi saat pelatihan, Kardjono merasakan sesuatu yang aneh: yang dilatih hanya orang-orang PKI. Ia bercerita tentang hal ini kepada Lastri. Istrinya itu menangkap firasat buruk dan menasihatinya. Nasihat tersebut agak diabaikan Kardjono.

Firasat buruk Lastri terbukti. Malam itu peristiwa G 30 S terjadi. Kemudian PKI diganyang. Kader dan simpatisannya ditangkap lalu dibunuh atau dibuang atau dipenjara tanpa proses hukum. Kardjono ikut ditangkap dan dipenjara. Diduga dan dituduh PKI. Lastri yang sedang hamil tua mencari kabar Kardjono. Tetangganya, yang suaminya juga ditangkap, melapor: Kardjono ditangkap, dipenjara, dibunuh; mayatnya dibuang ke laut. Dengan laporan itu, Lastri percaya saja.

Kehilangan suami, Lastri pulang kampung. Klaten, kampung halamannya, termasuk kawasan paling bergolak selama masa ontran-ontran itu. Harapan Lastri bertemu orangtuanya, pupus. Ayah dan kakaknya diganyang. Langsung tak langsung, keduanya ikut PKI. Keluarganya yang lain diganyang juga. Akhirnya Lastri hijrah ke Yogya, numpang di rumah Sarijah, Bude sahabatnya di Klaten, Sriharti. Perempuan sebatang kara itu menerima Lastri seperti anak sendiri. Menganggap kedua anak Lastri, Mirah dan Hernowo, sebagai cucu sendiri. Dibantu Sarijah, Lastri membesarkan kedua anaknya. Kepada anak-anaknya, Lastri merahasiakan siapa sebenarnya bapak mereka.

Mirah perempuan yang gelisah. Menjadi mahasiswa sosiologi UGM, Mirah ambil bagian dalam gerekan prodemokrasi 80/90-an. Mirah tertarik dengan komunisme. Bersimpati dengan PKI. Sangat membenci Soeharto. Mengikuti diskusi-diskusi kiri. Teriak-teriak dalam aksi demonstrasi kasus waduk Kedungombo dan rentetan kasus setelahnya. Lastri tidak menyetujui aktivisme Mirah. Lastri tak mau anaknya menjadi komunis.

Tapi Mirah terus berdiskusi dan berdemonstrasi. Setiap berdemonstrasi, seorang pemulung aneh selalu mengawasinya. Mirah curiga: jangan-jangan pemulung itu intel yang khusus memata-matai tindak-tanduknya. Kawan-kawan aktivis Mirah berpikiran serupa. Namun pikiran mereka keliru. Sebab ternyata pemulung itu ialah Djon, mantan perwira angkatan udara yang ditangkap dan dipenjara karena dituduh terlibat PKI, ayah Mirah. Setelah ditengkap, Djon atau Kardjono dilempar dari penjara ke penjara, kemudian dibebaskan pada 1975. Bagi Djon, kebebasan bukan gerbang kebahagiaan. Ia tak tahu di mana keluarganya kini berada. Tak mungkin pulang ke Nganjuk di mana sanak kadangnya yang berideologi Masyumi tinggal. Kardjono akhirnya memutuskan menjadi pemulung. Hidup menggelandang di Yogya.

Sehabis sakit, Djon baru ketemu Mirah dan Lastri. Djon ditolong Mirah yang setelah lulus kuliah mendirikan LSM untuk kaum miskin kota, khususnya untuk anak jalanan dan pemulung. Djon terserang liver. Temannya membawa Djon kepada Mirah. Mirah membawa Djon berobat ke rumah sakit. Seminggu Djon dirawat disana. Ditunggui Mirah dan kawan-kawannya. Keluar dari rumah sakit, Mirah membawa Djon ke rumahnya. Saat itulah Djon ketemu Lastri. Mirah sendiri terkejut, ternyata pemulung yang ditolongnya adalah ayahnya yang dikira telah meninggal. Mereka membuka lembaran idup baru, sebagai keluarga yang kini utuh kembali.

Sebelum ketemu kembali dengan Djon, Lastri sudah menerima lamaran Jumadi, duda yang sekian tahun ingin sekali memperistrinya. Kembalinya Djon tentu menerbitkan dilema di hati Lastri: apakah akan melanjutkan hubungannya dengan Jumadi atau kembali kepada Djon. Tapi Ngarto tidak memaksimalkan potensi konflik psikologis ini. Ngarto malah tidak menyinggung-nyinggung lagi bagaimana hubungan Lastri-Jumadi sekembalinya Djon.

Ngarto hanya berkutat pada konflik psikologis Mirah. Mirah ingin setia pada komunisme, tapi bapak ibunya berharap Mirah menanggalkan ideologi yang pernah menghancurkan keluarga itu. Djon terus menasihati Mirah untuk bertaubat dari komunisme. Juga saat kesehatan Djon mulai melemah. Djon barangkali sakit karena kebanyakan memikirkan Mirah yang kelewat teguh dengan komunismenya. Sakit Djon kian parah, dirawat di rumah sakit. Saat itu dilema batin Mirah memuncak: apakah bersetia pada komunisme atau mengikuti nasihat orangtuanya. Ketika Mirah mau mengabarkan kepada ayahnya bahwa ia memutuskan menanggalkan komunisme, Djon keburu meninggal.

Demikian Tapol ditutup. Dengan niat yang tak kesampaian. Dengan penyesalan yang bakal terus membayang-bayangi Mirah seumur hidup.

Bagian akhir Tapol memang bagus, tapi bagian awalnya tidak. Ini kelemahan Tapol. Kekuatannya ada pada tema dan gaya bahasanya yang lebih jurnalistis daripada sastrawi. Kalimatnya pendek-pendek dengan sedikit metafor dan kata berbunga. Irit. Benar-benar seperti laporan soft-news. Memang, di samping menulis fiksi, Ngarto bekerja juga sebagai wartawan di D & R, kemudian Semanggi dan DeTak. Rampung menulis Tapol, Ngarto tercatat bekerja di Pusat Data dan Analisis Tempo. Kekuatan Tapol yang lain: imajinasi dalam Tapol didasari hasil riset. Pertama, beberapa riset tentang G 30 S. Kedua, sebuah riset tentang pemulung Yogya. Tapi kekuatan ini barangkali kelemahan juga: Tapol nyaris menjadi buku teks pelajaran sejarah.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam