03/08/15

senja

usia sejarah sudah tua. barangkali dia sekarang tengah berada pada senjakala. berdasarkan kalender masehi, sejarah telah berusia 2015 tahun. sementara itu, berdasarkan kalender hijriah, sejarah telah berusia 1436 tahun, satu setengah milenium. kalau kita menggunakan sistem penanggalan yang lain yang lebih tua, umur sejarah tampak lebih tua pula. belum lagi kalau kita menggunakan teori2 biologi, arkeologi, dan antropologi. tapi, agar tidak terdengar kelewat seram dan mencemaskan, saya berpatokan pada kalender masehi yang dengannya kita tahu bahwa umur sejarah telah dua milenium lebih dan kalender hijriah yang dengannya kita paham bahwa sejarah telah memasuki usia 1436.

jarak waktu sepanjang itu membuat kita telah bearda begitu jauh dari kemurnian teori2 kebudayaan yang diajarkan baik oleh baginda isa--yang kelahirannya menandai permulaan penanggalan masehi--dan baginda muhammad--yang diangkat sebagai dutasuci lebih satu dasawarsa sebelum bermulanya tahun pertama penanggalan hijriah. menggunakan idiom islam, barangkali kita tengah berada pada akhir zaman atau zaman akhir,  senjakala sejarah sebelum matahari kehidupan tenggelam dalam malam peraduannya.

apakah tanda2 yang menunjukkan telah rentanya sejarah? kita dapat menemukan penjelasan tentang hal ini tidak saja dalam kitab2 hadits, melainkan juga dalam pepatah-petitih yang diwariskan leluhur.

orang jawa akrab dengan pitutur arif berikut, sedemikian akrabnya sehingga menjadi lirik sebuah lagu tradisional populer.

yen pasar ilang kumandange, yen kali ilang kedunge;
wong wadon ilang wirange, wong lanang ilang perbawane;
enggal2 tapa lelana, njajah desa milang kori.

lebih-kurang, terjemahan bahasa indonesia pitutur arif di atas adalah sebagai berikut.

apabila pasar hilang kumandangnya, apabila sungai hilang hulunya;
perempuan hilang martabatnya, lelaki hilang wibawanya
segeralah bertapa kelana, menjelajah desa menghitung pintu.

apakah kumandang pasar sekarang hilang? tidak ada jawaban lain kecuali 'ya'. secara harfiah, kumandang pasar memang tidak hilang, malah sebaliknya, semakin riuh dan membahana. cobalah anda berjalan2 mengitari pasar tradisional beringharjo atau pasar modern ramayana, keduanya terletak di jalan malioboro, yogyakarta. di tempat-tempat tersebut, manusia berebut ruang hening untuk memperdengarkan suara. kita sukar sekali menemukan kesenyapan. dengan demikian, kalau kita memahami pernyataan pasar hilang kumandangnya secara harfiah seperti ini, maka jawaban untuk pertanyaan di atas adalah negatif.

akan tetapi, yang dimaksud oleh pitutur di atas bukan pengertian harfiah itu, tetapi pengertian struktural. kapitalisme lanjut (globalisasi) yang melanda negara2 dunia ketiga sejak puluhan tahun lalu telah berhasil, sebagaimana diisyaratkan jurgen habermas, menjadikan seluruh ruang kehidupan sebagai pasar, sebegitu berhasilnya sampai2 bourdeau mengistilahkan relasi sosial dan pencapaian intelektual sebagai kapital, terminologi yang dulunya hanya digunakan dalam pembicaraan ekonomi. jadi, kita telah memandang pergaulan sosial dan dunia ilmiah dengan nalar dagang. kita memperluas jaringan dan belajar di lembaga pendidikan pada akhirnya untuk memperoleh sukses material, satu2nya jenis kesuksesan yang direstui oleh kebudayaan modern.

ruang kehidupan lain yang secara menonjol telah menjadi pasar adalah ruang publik politik, di dalam mana terjadi pertukaran kapital dalam rangka tawar-menawar kekuasaan. contoh konkret, merupakan gejala jamak bahwa dalam pilkada raya 2015 ini hanya kandidat berduitlah yang dapat maju menjadi calon, dan berpeluang besar untuk menjadi, pemimpin daerah. pribadi tulus yang tak berduit sejak pagi buta sudah tersingkir dari gelanggang kompetisi.

itulah yang sesungguhnya terjadi dalam era pasar bebas: seluruh ruang kehidupan telah menjadi pasar. implikasinya, kumandang pasar hilang. sebab, semuanya adalah pasar. tidak hanya mengepung kita, pasar bahkan adalah kita. dalam diri kita terdapat pasar, yaitu nalar dagang yang bersemayam dalam alam bawah sadar kita. sedemikian intim dan manunggalnya kita dengan pasar sampai2 kita tidak mendengar kumandangnya yang menyerbu telinga. kita menjadi bagian dari pasar dan kumandang pasar itu sendiri. situasi ketakberjarakan dari pasar ini dulu, sebelum penyakit kapitalisme mewabah, kiranya tak pernah terjadi. dulu, kita berada di sini, sedangkan pasar berada nun jauh di sana, di suatu lokasi dari mana kumandang pasar kita dengar secara samar2.

akibat dari marketisasi kehidupan ini kita sudah mengerti: kebudayaan luluh-lantak. dari kebudayaan, yang tersisa hanya simbol2nya saja yang celakanya diperjualbelikan sebagai komoditas pariwisata. makna simbol2 itu sendiri tidak hidup lagi. kalau pun hidup, hanya dihayati oleh generasi tua yang tidak lama lagi meninggalkan kita, the lost generation, generasi yang kehilangan jati diri ini. maka, ketika pasar hilang kumandangnya, pada saat itulah berlangsung kondisi darurat budaya. jika tali nafas kebudayaan tidak segera disambung, kita terancam kehilangan akar eksistensial. kita lupa akan masa lalu sehingga gagal melangkah menuju masa depan yang dikehendaki langit. nasib kita sebagai kolektivitas sosial barangkali tidak akan berbeda jauh dari nasib malin kundang; atau nasib hanafi, tokoh durhaka dalam novel Salah Asuhan yang dikarang Abdul Muis.

hilangnya akar eksistensial, saya yakin itulah maksud aforisma kali ilang kedunge, sungai hilang hulunya. meskipun leluhur telah mewanti-wanti untuk menerapkan azaz kontinyuitas sebagai strategi kebudayaan, nyatanya kebudayaan kita pada umumnya berkembang hampir-hampir secara tidak sinambung. buktinya, bagian kecil dari kaum muda kita sekarang berupaya, dengan tertatih-tatih, untuk mengenal dan mempelajari kebudayaan leluhurnya sendiri--tanda gagalnya mekanisme pewarisan kebudayaan, sedangkan bagian terbesar dari kaum muda malah menghamba kepada kebudayaan asing yang diimpor khususnya oleh media. tidak mudah lagi membedakan mana orang eropa dan mana orang indonesia, kecuali bahwa orang indonesia berbicara dengan bahasa yang campur aduk: bahasa indonesia, bahasa daerah, dan bahasa asing--istimewanya bahasa inggris, digado2kan menjadi sebuah bahasa hibrid yang tak jelas bentuknya bahkan strukturnya.

tidak mudah pula membedakan perempuan eropa, korea, dan nusantara. sebab, seiring menggejalanya homogenisasi gaya hidup akibat globalisasi, ketiganya hanya punya sedikit perbedaan dalam gaya hidup. kita kadang mendengar keluhan dari generasi tua bahwa nenek2 kita semasa mudanya dulu begitu menjaga martabatnya, apa yang sukar ditemukan pada perempuan2 masa kini. penjagaan martabat tersebut tidak hanya terbit dari kesadaran sang perempuan, tetapi juga dilakukan oleh dan dijalankan sebagai sistem adat, dalam arti sistem sosial. kebanyakan budaya di nusantara memberikan kedudukan sangat tinggi, mulia, dan terhormat kepada perempuan. kebudayaan buddha di jambi menyimbolkan ilmu spiritual terpuncak--induk dari ilmu2 lain--yang dapat dicapai oleh manusia sebagai perempuan cantik jelita, prajnaparamita. jejak2 penyembahan terhadap dewi sri, perempuan dewi keseburan, masih tersisa di tanah jawa. saya khawatir--semoga kekhawatiran ini difalsifikasi kenyataan, mencermati ke mana arah perkembangan gaya hidup generasi saya, pada masa2 mendatang, martabat akan semakin tidak menjadi identitas bagi perempuan, wong wadon akan benar-benar ilang wirange.

wirang, leksikon jawa satu ini cukup memancing rasa penasaran. ia barangkali berasal dari kata wira', suatu variasi morfologis dari wara'. karena lidah jawa tidak fasih membunyikan wira', orang jawa pun mengucapkan wira' sebagai wirang. kesimpulan pseudo-etimologis ini spekulasi memang, tapi bukan spekulasi yang tak berguna. sebab, wira' dan wirang ternyata punya pertautan semantik. secara sederhana, wira' berarti menjaga diri dari yang halal agar tidak terjerumus ke dalam yang haram. membalas perbuatan jahat yang dilakukan orang lain, boleh-boleh saja. tapi, orang yang wara' tidak bersikap gegabah. dia akan mendahulukan permaafan daripada pembalasan. sebab, pembalasan akan menimbulkan pembalasan berikutnya, yang skalanya bisa dengan mudah membesar dan ukurannya bisa dengan mudah pula memanjang.

agama tidak melarang perempuan berhias selama masih dalam batas2 tertentu. dalam kondisi2 khusus hal itu malah dianjurkan, sebagaimana keterangannya dapat kita temukan baik dalam al-quran maupun hadits. tapi, perempuan wara' sangat membatasi diri dalam berhias dalam rangka menjaga martabat dirinya, dengan demikian juga supaya tidak terjadi tindak kriminal yang menempatkan dirinya sebagai korban. ilustrasi ini menunjukkan bahwa wira' ternyata manifestasi dari sekaligus berorientasi pada wirang. ada hubungan timbal balik yang saling menguatkan antarkeduanya: semakin wara' semakin wirang, sebaliknya: semakin wirang semakin wara'.

pada senjakala sejarah, sementara perempuan kehilangan wara', lelaki kehilangan perbawa atau wibawa. banyak suami tidak ditaati istrinya karena kehilangan perbawa. sebaiknya, ketidaktaatan istri terhadap suaminya tersebut tidak dicari akarnya semata-mata pada pihak istri. sebab, perbawa suami kecil kemungkinannya hilang di mata istri selama sang suami terus berupaya untuk menjaga integritasnya sebagai model dalam kehidupan berkeluarga, di samping selama tidak ada pergeseran filosofis dalam perikehidupan berkeluarga.

mengapa suami gagal menjaga integritas dengan mana otoritasnya sebagai kepala keluarga dapat dipertahankan? kita paham, banyak sebabnya. tapi, sebab yang kiranya cukup primer adalah pendidikan. lelaki calon suami, sebelum menaiki jenjang pernikahan, tidak dibekali atau pun membekali diri dengan pengetahuan-kesadaran berkeluarga. itu terjadi antara lain karena jamaknya gejala nikah usia dini, yang pada gilirannya bermuara pada situasi pasar ilang kumandange. di sisi lain, lembaga pendidikan formal kita pun kurang peduli dengan pendidikan seksual, pendidikan pra-nikah, dan parenting.

kalau tanda2 senjakala sejarah itu telah menghampiri kita, apa yang harus kita lakukan? enggal2 tapa lelana, njajah desa milang kori, segera bertapa kelana, menjelajah desa menghitung pintu. hikmah anjuran tapa kelana sejalan dengan pesan al-quran untuk mengadakan perjalanan di muka bumi dalam rangka mengamati akhir riwayat umat-umat tempo dulu yang tidak percaya akan kenyataan adanya Allah dan hari akhir, faktor kebudayaan yang secara mantap melatarbelakangi tumbangnya eksistensi bangsa2.

tapa kelana adalah salah satu bentuk lelampahan spiritual  dalam tradisi islam-jawa. barangkali, bagi pelampah spiritual, tujuannya untuk mengenali hakikat dirinya sehingga dia kenal pula akan hakikat tuhannya. dengan kata lain, tapa kelana adalah metode untuk menyadari siapa sejatinya aku, dari mana asalnya aku, dan ke mana pulangnya aku. ringkasnya, metode untuk mencari jati diri. 'mencari' adalah kata kerja yang menunjukkan bahwa ada sesuatu yang hilang baik dalam diri pribadi secara mikrokosmik maupun dalam diri kolektif secara makrokosmik.

apakah yang hilang itu? jati diri, identitas, atau karakter, yang dimetaforkan sebagai kumandangnya pasar, hulunya sungai, wirangnya perempuan,  dan perbawanya lelaki. dalam rangka menemukan kembali identitas eksistensial dan makna kebudayaan yang hilang tersebut, pelampah spiritual tidak menjalani sembarang pengelanaan. meskipun secara kasat mata menjalani pengelanaan geografis, pada dasarnya dia lebih menjalani pengelanaan kebudayaan. dia menziarahi desa demi desa, pintu rumah demi pintu rumah, kebudayaan demi kebudayaan, untuk menemukan--meminjam diksi sapardi dan kuntowijoyo--isyarat; untuk menemukan isyarat, tanda, ayat, petunjuk, hidayat jati; untuk pada akhirnya menempuh jalan lurus setelah mengentaskan diri dari ketersesatan dan keterlaknatan.

dari puing-puing pelbagai bangunan kebudayaan yang telah luluh lantak, pelampah spiritual mencari artefak yang tertera padanya aksara bermakna. puing2 dan remah2 makna yang tercecer berserakan itu dihimpunnya dengan sabar untuk merangkai makna holistik yang kelak menjadi kesadarannya.

ini kerja kolektif hermeneutik suci raksasa. itu artinya, harus diterjemahkan menjadi gerakan kebudayaan. suatu jamaah mesti maju ke garis terdepan dalam medan perang untuk menjadi saksi yang bertindak, menjadi ummatan wasathan, yang tidak saja mengkritik, melainkan juga melancarkan koreksi struktural, yang tentu saja dimulai dari kritik ideologi, sebagaimana gerakan kebudayaan yang dipimpin oleh para rasul. apakah mungkin?

menurut saya, secara indivual sikap yang paling realistis adalah menjalani olah budaya dalam rangka tazkiyat al-nafs. kita ingat pesan baginda muhammad. ketika dihampiri tanda2 akhir zaman, kita harus berkhalwat. eskapis? mencari selamat sendiri? tidak sesederhana itu. pengertian khalwat dapat dikembangkan secara lebih plastis sebagai khalwat kebudayaan atau tapa ngrame: senantiasa menjaga jarak dari apa yang disebut oleh para mistikus islam sebagai dunia, justru ketika dunia mengepung kita. pada saat yang sama, sebagai bagian fundamental dari tapa ngrame itu, kita melunasi tanggung jawab sebagai mandataris ilahi di muka bumi. akhirnya, saya merasa perlu untuk mengutip sebuah penggalan ayat suci: bertakwalah, sejauh kemampuan kalian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam