26/09/16

Membaca Jawa (1)

Kesultanan Yogyakarta, yang umurnya sudah lebih dari dua setengah abad, punya sesanti: hamemayu hayuning bawana. Sesanti ini sebetulnya bukan hanya visi yang dicanangkan sebuah kesultanan. Hamemayu juga visi kehidupan yang dihayati orang Jawa. Dengan kata lain, dalam kehidupan duniawi orang Jawa secara individual bertugas untuk hamemayu hayuning bawana. Apa makna ungkapan ini?
Jika diterjemahkan dengan sederhana, arti dari hamemayu hayuning bawana adalah menjaga keindahan semesta yang pada fitrahnya memang sudah indah. Manusia tidak dibebani amanah untuk memperbaiki dunia. Tanggung jawabnya adalah menjaga keindahan dunia dari aksi-aksi pengrusakan.
Jadi, dalam sesanti ini, samar-samar kita mendengar gema kitab suci: syukurilah kehidupan, jangan membuat kerusakan di muka bumi. Maknanya, jagalah harmoni semesta. Faktor moral penyebab kerusakan adalah rasa lebih dari yang lain dan sikap benar sendiri. Maka, untuk menjaga harmoni semesta manusia harus menghindari perilaku dumeh, ialah sikap sok, dan sifat adigang, adigung, adiguna.
Selain menggemakan seruan kitab suci, sesanti hamemayu juga mengisyaratkan pandangan kosmologis manusia Jawa. Pandangan kosmologis pertama menyebutkan, semesta pada fitrahnya selaras, harmonis, dan indah. Manusialah yang menghancurkan keselarasan tersebut. Alam batin pada fitrahnya damai, sebagaimana kita rasakan pada bayi yang baru lahir. Alam sosial pun pada fitrahnya selaras, asalkan manusia tidak mengubah fitrah keselarasan tersebut dengan campur tangan keakuannya.
Maka, dalam tindak-tanduk keseharian, sedapat mungkin kita harus menghindari konflik terbuka demi menjaga kedamaian. Caranya, kita bertindak tepat sesuai dengan konteks. Inilah lelaku adil dari sisi personal yang sehari-hari dilampahi manusia Jawa. Kita harus mengikuti tata krama. Berbicara dengan bahasa yang halus dan santun kepada yang lebih tua. Bersikap ngemong kepada yang lebih muda. Singkatnya, kita mesti rela meletakkan keakuan di bawah cita-cita kedamaian bersama. Jadi prinsipnya, jangan sampai manusia mengacaukan keselerasan semesta.
Tapi, apa makna semesta, bawana, dalam sesanti tersebut? Ternyata, makna bawana tidak hanya berkenaan dengan skala luas sebagaimana pernah diperdebatkan beberapa waktu lalu oleh kalangan keraton. Bawana adalah tentang multidimensi semesta. Pandangan kosmologis Jawa selanjutnya menyebutkan, semesta tersusun dari tiga dimensi hirarkis yang saling berkaitan. Hal ini tercermin dalam pewayangan. Dimensi teratas dari semesta adalah alam mayapada. Dimensi terbawahnya adalah alam arcapada. Adapun dimensi perantaranya adalah alam madyapada.
Pada arsitektur Candi Borobudur, alam mayapada paralel dengan dimensi arupadatu, alam madyapada paralel dengan dimensi rupadatu, dan alam arcapada paralel dengan dimensi kamadatu. Arsitektur Borobudur mengisyaratkan bahwa puncak dari perjalanan spiritual semesta yang mendaki adalah stupa kosong: suwung. Inilah awang-uwung yang tanpa ruang dan tanpa waktu. Utara adalah selatan. Selatan adalah utara. Jika naik ke atas, maka kita jatuh ke bawah. Jika turun ke bawah, maka kita terbang ke atas. Kita dapat menemukan keterangan tentang alam awang-uwung ini misalnya dalam naskah Suluk Wujil, yang konon dianggit oleh Sunan Bonang.
Jadi, bagi manusia Jawa, alam tidak sebatas yang fisik dan empiris. Di atas dan di bawah alam empiris masih terdapat dimensi alam lain. Di atas alam madyapada yang dihuni oleh manusia, terdapat alam mayapada yang disemayami dewa-dewi, para makhluk yang tersucikan. Di bawah alam mayapada, terdapat alam arcapada, tempat tinggal kaum raksasa dan makhluk halus lain. Setiap dimensi alam ini merupakan manifestasi ke-hayu-an, keindahan. Pada fitrahnya, setiap alam pun terhubung secara hayu: selaras dan harmonis.
Kalau manusia berlaku tidak adil, tatanan alam jadi kacau. Keselamatan manusia jadi terancam. Kekacauan semesta, yang berpangkal pada kegagalan manusia untuk berlaku adil, ditandai oleh datangnya bencana alam. Lagi-lagi kita dapat menyaksikan hal ini dalam pewayangan. Perang dan bencana alam seperti pasangan gelap yang datang bersamaan mengusik ketenteraman semesta.
Agar tatanan alam tidak jadi kacau, manusia bertanggung jawab menjaga harmoni semesta. Untuk tujuan inilah diselenggarakan siklus upacara slametan. Slametan menandakan tepa selira manusia Jawa terhadap multidimensi semesta. Dia bukan saja ber-tepa selira dengan manusia lain, tetapi juga dengan dewa-dewi, raksasa, dhemit, binatang, tumbuhan, bahkan dengan benda (yang dikira) mati. Jangan lupa, manusia terutama harus ber-tepa selira dengan Tuhan, yang adalah poros, inti, sekaligus puncak semesta.
Jadi, sesanti hamemayu tidak sebatas mengungkapkan kemanusiaan orang Jawa, tetapi juga secara simbolis menyatakan ke-tepa-selira-an orang Jawa yang melingkupi sekaligus melampui kemanusiaan. Manusia Jawa menghargai kehadiran liyan: manusia lain, dewa-dewi, raksasa, dhemit, binatang, tumbuhan, benda mati, akhirnya Tuhan. Bukti dari penghargaan ini antara lain kita saksikan pada upacara jamasan pusaka yang khususnya digelar pada bulan Sura. Keris, benda (yang tampak) mati yang diberi nama itu, dimandikan, seperti memandikan anak sendiri. Bukti lain, upacara lelabuhan baik di gunung maupun di pantai. Sebagai ucapan terima kasih, manusia menghargai eksistensi gunung dan pantai yang telah mendukung kehayuan hidup masyarakat manusia.
Kosmologi Jawa juga terserap ke dalam logika kekuasaan. Pada era pra-Islam, pemimpin tanah Jawa bergelar ratu tribuwana, pemimpin tiga alam, ialah alam mayapada, alam madyapada, dan alam arcapada. Jadi, raja tanah Jawa tidak hanya memimpin masyarakat manusia. Raja juga memimpin jenis masyarakat lain yang secara hirarkis eksistensinya berada di atas manusia dan di bawah manusia. Raja adalah raja bagi manusia, bagi para makhluk suci, bagi jin dan raksasa, bagi binatang, tumbuhan, benda mati, gunung, pantai, hutan, dan lain-lain. Raja sungguh-sungguh berperan sebagai bayangan Ilahi di muka bumi.
Ketika kerajaan pra-Islam runtuh, untuk kemudian digantikan posisinya oleh kesultanan Islam, kita memang tak lagi mendengar konsep tribuwana secara formal. Akan tetapi, praktik kepemimpinan tribuwana bukan sama sekali nihil. Konsep tribuwana ditransformasikan jadi konsep kalipatulah. Pemimpin, baik sebagai ratu tribuwana maupun sebagai kalipatulah, sama berperan sebagai bayangan Ilahi di bumi. Kepemimpinan sultan atas masyarakat yang menghuni alam arcapada disimbolkan dengan perkawinan mistik antara Panembahan Senopati dan Nyai Rara Kidul. Penjaga gaib Gunung Merapi pun diposisikan sebagai abdi dalem sultan.
Jadi, zaman boleh berganti, dari Hindu-Budha menjadi Islam, tapi orang Jawa tetap ber-tepa selira dengan makhluk yang menguni tiga dimensi alam. Zaman boleh bergerak, tapi orang Jawa tetap berpegang pada pandangan kosmologisnya. Visi, sekaligus misi, kehidupannya di dunia tetaplah hamemayu hayuning bawana.
Tapi, ketika tanah Jawa dilanda banjir bandang modernitas, bagaimana pandangan kosmologis itu dipertahankan? Sekarang, masih adakah hamemayu hayuning bawana itu? Inilah persoalannya.

Bumi Mataram, Dulkangidah 1437 H

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam