20/06/11

puisi, keinginan, sebab

Sebenarnya saya ingin sekali menulis sesuatu yang lebih bermakna daripada sekadar puisi. Misalnya, esai panjang yang ditopang dengan teori matang, argumentasi terang, dan observasi yang sabar dan tenang, serta menawarkan tesis yang solutif dan siap-terap. Misal lain, cerita endapan dari intipati realita yang disusun dengan perangkat bahasa yang simbolistis, indah, multimakna, tak membosankan, tak membingungkan, beralur investigatif, menyuguhkan pertanyaan bukan jawaban, serta dapat dicerna hanya dengan sekali baca. Misal lain lagi, ulasan buku yang tidak cuma mengulang apa yang ditulis pengarang, namun menunjukkan berbagai kekurangan dan kemungkinan jelajah wacana baru bagi buku tersebut. Dan seterusnya, dan sebagainya.

Tetapi puisi tidak pernah bisa disamakan atau dipaksa sama dengan jenis tulisan lain. Puisi memiliki kekuatan dan rahasianya sendiri. Puisi membuka, mengungkap, dan menyingkap potensi tersembunyi dari kata-kata. Puisi, oleh karena itu, juga ikut serta membocorkan rahasia alam, manusia, dan tuhan. Puisi membantu, sangat-sangat membantu saya belajar.

Hanya melalui puisi, hasil renungan dapat dibahasakan dan dikomunikasikan. Tata bahasa dan tata makna, yang wajib dipakai ketika menulis esai dan cerita, tidak memberi ruang dan peluang bagi hasil renungan untuk tampil di atas kertas. Jadi wajar bila kebanyakan para mistikus lebih suka menuangkan pengalaman esoteriknya dalam bentuk puisi atau semacamnya. Dan kita tahu, rata-rata penyair memang adalah mistikus yang menempuh individuitasnya sendiri-sendiri.

Maka keinginan yang saya tulis dalam kalimat pembuka tulisan ini tidak mungkin tergapai. Sebab puisi adalah tulisan yang paling bermakna.

Baidewai, kenapa saya kok ndadak menuliskan hal ini?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam