16/06/11

anak-anak dan awan-awan

KETIKA berumur lima atau enam tahun, setelah letih berladang atau sekadar bermain layangan, saya suka sekali memandangi arak-arakan gumpalan awan sembari baring-baring di saung. Semilir angin, kerisik daun, dan cericit burung dusun sering membuai mata saya.

Saya tak mau terbuai. Saya berikhtiar melawan kantuk. Saya masih ingin memandang awan-awan yang berkeliaran bebas di langit itu. Mereka merdeka merangkai rupa dirinya masing-masing, tanpa intervensi dan rekayasa manusia manapun. Langit biru adalah panggung teater yang luasnya tak berbatas, tempat mereka mempelajari dan memerankan riwayat sepanjang hayatnya.

Awan-awan itu seperti sekawanan hewan dari luar angkasa yang tengah berlomba lari mencapai garis finish yang jauh, teramat jauh hingga mata manusia tak dapat menatapnya. Lain waktu, awan-awan itu menyerupai pesawat canggih yang ada dalam film starwars, lengkap dengan beberapa pesawat siluman yang mengintai bumi. Mereka seperti sedang menjalankan misi rahasia untuk menaklukan dan menguasai bumi, serta menjadikan manusia sebagai budak-budak galaksi. Kala lain, ada awan yang begitu mirip bidadari dengan rambut dan gaun tergerai, ada juga awan yang bagai malaikat dengan sayap-sayapnya yang mengembang, dan ada pula awan yang sedang mengamuk serupa godzila atau t-rex atau naga, menghancurkan apa saja yang melintas di sekililingnya, termasuk awan-awan yang berbentuk kupu-kupu dan capung.

Awan-awan putih itu seperti sedang mengejek dan menertawai tingkah-polah manusia, atau mereka sebenarnya sedang memperingatkan pada manusia bahwa lalim dan zalim akan membawa pada jurang kenistahinaan, atau mereka hanya berupaya menghibur anak-anak yang jiwanya remuk  karena keamburadulan pendidikan keluarga, atau awan-awan itu sejatinya adalah anak-anak: apa adanya bermain bersama biru, putih, angin, dan tinggi dengan tidak berpamrih terlampau muluk, kecuali memperoleh keriangan dan keceriaan dengan menikmati permainan tersebut.

Tetapi saya sedih dan menyesal ketika senja yang kadang kuning kunyit kadang merah jambu datang dari barat, merampas matahari hangat, menelan awan-awan yang gembira itu, dan membentangkan tirai malam yang hitam-kelam. Saya bangkit dari saung dan berjalan gontai pulang ke rumah. Sampai di rumah, saya menemukan wajah ibu yang sumringah, menyambut saya dan ayah saya dengan kudapan pecel pedas dan sekaleng kerupuk ubi yang gurih.

Kesedihan saya hilang. Penyesalan saya lepas. Sebab saya yakin, dengan wajahnya yang sederhana, sabar, dan gigih itu, ibu adalah hari esok ketika saya akan berjumpa kembali dengan: awan-awan yang menyiapkan beragam kejutan bereneka cerita, langit biru yang mengajarkan kepercayaan dan cinta, serta matahari yang penuh kasih sayang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam