27/02/12

korupsi


Di depan mata Anda, teman Anda menyogok atasannya. Tujuannya: meminta supaya atasannya memberinya proyek gede yang super basah. Apa sikap Anda?

Jika Anda seorang apatis, Anda akan cuek saja dengan peristiwa itu, dan menganggapnya tidak pernah terjadi, untuk kemudian melupakannya selamanya. Jika Anda seorang pengecut, Anda akan merahasiakan peristiwa itu dari publik, tidak menegur teman Anda dan atasannya, menampik suara nurani, berapologi ini itu, dan mencomot teori tertentu untuk membenarkan sikap Anda. Jika Anda seorang opurtunis yang punya bakat dagang + ngakali, Anda akan cepat-cepat memancing di air keruh, meminta uang tutup mulut kepada teman Anda. Jika Anda adalah seorang pembelajar yang sesat, Anda akan meneladani sikap teman Anda, dan memodifikasi metode menyogoknya. Bila ini semua, atau salah satu di antaranya, sudah atau akan Anda lakukan, maka ditinjau dari perspektif moral, Anda tergolong orang yang tidak baik, dan Anda sah menerima hukuman.

Jika Anda orang Jawa dan sejak kecil hidup dalam lingkungan Jawa, maka ketika melihat peristiwa penyogokan tadi di depan mata sendiri, biasanya, entah dengan sadar atau tidak sadar, Anda akan otomatis bersikap: ngalah, ngalih, ngamuk. Ngalah dan ngalih, dalam konteks ini, bisa diartikan sebagai pendiaman. Biar aman, dan biar pergaulan dengan teman Anda tetap harmonis, lebih baik Anda tutup mulut. Pura-pura tak tahu saja, wong sudah sama-sama tahu juga. Hidup rukun—meskipun saling memendam dendam, curiga, dan benci—selalu lebih baik daripada hidup bermusuh-musuhan. Konflik harus dihindari. Stabilitas harus diutamakan. Tetapi kalau penyogokan itu sudah merongrong eksistensi Anda di hadapan masyarakat, maka Anda akan ngamuk, baik kepada teman Anda tadi maupun kepada atasannya, baik dengan jalan hukum manusia maupun dengan jalan hukum rimba, dalam rangka memulihkan citra Anda. Singkatnya, bagi Anda korupsi boleh, asal tak melibatkan Anda, asal tak melecehkan kehormatan Anda, asal tak merusak citra Anda di mata publik, asal tidak menggoyang kedudukan Anda, dan asal tidak mengusik ketenteraman Anda.

Secara kultural, penegakan hukum dan demokrasi pada dasarnya tidak sejalan dengan “sisi buruk” tradisi Jawa ini, yang oleh Pramoedya dinamai Jawanisme. Ini juga menjelaskan mengapa Islam yang berkembang di Jawa, terutama di wilayah yang terkena pengaruh kerajaan Mataram Baru, adalah Islam yang coraknya mistik-sinkretik, dan bukan rasional-legal.

Jika Anda seorang muslim yang teguh dan tegas, yang sedari anak-anak hidup dalam lingkungan muslim yang taat, maka ketika Anda menyaksikan peristiwa penyogokan tersebut, Anda akan ber-nahi ‘anil mungkar. Caranya tiga macam: melarang dengan pukulan, mencegah dengan lidah, mengharamkan dengan hati. Cara terakhir, kata para kyai, adalah cara yang digunakan oleh muslim yang sangat-sangat lemah imannya.

Kesimpulan: seorang muslim hendaknya berpikir secara rasional, dalam koridor hukum, dengan pendekatan sosiologis. Nahi ‘anil mungkar adalah strategi kebudayaan untuk menciptakan apa yang dalam al-Qur’an disebut sebagai khoiru ummah (masyarakat ideal). Pribadi-pribadi yang hidup dalam masyarakat seperti itu adalah pribadi yang bebas, rasional, dan bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri, kemanusiaan secara umum, dan sang hakim maha agung: tuhan; peran kongkretnya tidak beda dengan citizen (warga negara) atau civilian (orang sipil) dalam sistem sosial sekuler.

jogjakarta, februari 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam