02/09/12

manusia


Qiyamuhu binafsih, itulah Allah. Tetapi, kenapa ketika salat kita masih harus membesarkannya, padahal Ia adalah Yang Mahabesar? Kenapa kita masih harus mensucikannya, padahal Ia adalah Yang Mahasuci? Kenapa kita harus memujinya, padahal Ia adalah Yang Maha Terpuji? Akhirnya, kenapa dan untuk siapa kita salat, kita beribadah, kita berislam, sementara Tuhan adalah Yang Maha Sempurna dan Ia sebenarnya tidak membutuhkan sesaji dan pengorbanan dari kita? Jawabannya, karena (barangkali) kita sendirilah yang akan memanen manfaat dari segala bentuk ibadah kita. Makna Tuhan berkorelasi dengan makna manusia.

Ketika kita memahabesarkan Allah, terbit secercah kesadaran bahwa hanya Allah-lah yang pantas menyandang gelar maha besar. Selain Allah, segenap makhluk-Nya, termasuk kita, adalah kecil belaka. Kesadaran akan kekecilan manusia (di hadapan Tuhannya) ini mengantarkan kita kepada perlunya sikap rendah hati dan tidak sewenang-wenang, tak sebatas terhadap sesama manusia saja, tetapi juga terhadap makhluk-makhluk lainnya: hewan, tumbuhan, malaikat, jin, bumi, langit, dan seterusnya. Kemahabesaran, kesombongan, dan kesewang-wenangan hanya milik Allah semata. Pada saat memahabesarkan Allah, kita sedang diajari oleh-Nya bagaimana menjadi khalifah yang baik, benar, dan indah (memayu-ayu ayuning salira, memayu-ayu ayuning manungsa, memayu-ayu ayuning buwana).

Penalaran keharusan memahabesarkan Allah dan dampak positifnya bagi manusia ini analog dengan penalaran keharusan memahasucikan-Nya dan memahaterpujikan-Nya; analog pula dengan alasan humanistik mengapa dan untuk siapa kita salat, beribadah, dan berislam. Ternyata, tidak lain tidak bukan, semua itu bermanfaat untuk kebahagiaan diri kita sendiri di dunia dan di akhirat. Dan justru manfaat yang sifatnya egoistis ini dapat diraih tatkala kita dengan tulus mempersembahkan total diri kita untuk-Nya (lillah). Maka, manusia yang tulus adalah manusia yang paling egois.

Ringkasan dari catatan kecil ini adalah bahwa memahabesarkan, memahasucikan, dan memahaterpujikan Allah pada hakikatnya merupakan usaha personal untuk membesarkan, mensucikan, dan menterpujikan diri sendiri. Penegakan secara konsisten ritual salat, yang merupakan salah satu tanda manusia yang bertakwa, akan mengangkat derajat kita secara bertahap ke taraf manusia yang mulia (karim).

Saya telah membuktikan hal ini melalui penalaran. Tugas saya selanjutnya adalah membuktikannya dengan praksis nyata sehari-hari. Semoga Allah memberi saya kemauan, kekuatan, dan kemudahan untuk melaksanakannya. Semoga Allah senantiasa membimbing langkah saya. Amin.

Jogjakarta, 27 Juli 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam