14/11/12

kerbau


Apa yang dapat dipelajari dari “Bertanya Kerbau pada Pedati”, sebuah cerpen olahan A.A. Navis? Proses penandaan yang terus-menerus. Sentral dalam cerpen itu adalah “kerbau” sebagai simbol. Seiring bergulirnya plot, pelan-pelan Navis mentransendensikan “kerbau” dari konteks lamanya—yang walaupun masih hidup, tetapi tampaknya sudah tidak menghidupkan, untuk selanjutnya meletakkan “kerbau” pada konteksnya yang baru. Pada konteksnya yang baru itu, “kerbau” seakan-akan menjadi jawaban, atau menjadi representasi dari jawaban yang diikhtiarkan oleh Navis, terhadap permasalahan hidup kontemporer. Dalam hal ini, yang dimaksud dengan kontemporer adalah masa revolusi. Terserahlah kepada pembaca apakah akan menerima, atau menerima dengan syarat, atau menolak jawaban alternatif yang diketengahkan Navis itu.

Pada konteksnya yang lama, “kerbau” (1) dikaitkan dengan ceritera Cindur Mato “yang mengisahkan seekor kerbau keramat bernama Binuang, yang dalam telinganya bersarang lebah berbisa yang bila dikehendaki Cindur Mato lebah-lebah itu akan memantak penyamun yang menghadang perjalanan”; (2) dihubungkan dengan kisah “kalah perangnya panglima Jawa melawan Datuk nan Baduo, oleh sebab kalah taruhan adu kerbau” yang mana kisah tersebut menjadi sendi budaya Minangkabau; (3) dipahami melalui ungkapan “bagai kerbau dicocok hidungnya” yang menjelaskan bahwa kerbau adalah binatang yang bodoh dan menuruti saja apa pun perintah tuannya; (4) adalah binatang yang dagingnya lebih disukai masyarakat dan manfaatnya lebih banyak ketimbang sapi. Pada konteks (1) “kerbau” berkonotasi kuno dan tak masuk akal, pada konteks (2) berkonotosi kebesaran adat yang bisa saja menyebabkan seseorang berpikir sempit dan tertutup, pada konteks (3) berkonotasi budak, dan pada konteks (4) berkonotasi tak lezat dan tak menguntungkan. Daripada bersifat positif atau netral, keempat konotasi “kerbau” itu bersifat negatif.

Kemudian, Navis membalik konotasi yang disandangkan pada “kerbau” dari negatif menjadi positif. Seusai membaca cerpen tersebut, kita akan memahami “kerbau” sebagai simbol kemanusiaan, pemberontakan, revolusi. Cerpen itu mengandung satir yang membangunkan kesadaran pembaca bahwa kerbau pun tidak kuat dan tidak kerasan selama-lamanya menjadi budak; bahwa kerbau yang dianggap bodoh itu pun akhirnya memberontak terhadap tuannya, tukang pedati; bahwa kerbau memerdekakan dirinya sendiri. Jika demikian, mengapa manusia yang berakal tidak menolak menjadi budak, tidak memberontak kepada tuan atawa pemimpinnya yang zalim, tidak mau dan tidak mampu memerdekakan dirinya sendiri? Apakah manusia lebih bodoh dari kerbau, binatang yang dianggap sangat bodoh itu?

Yogyakarta, 28 Oktober 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam