28/07/16

Kaum Apa Pendapatmu

Syaikh al-Zarnuji bertutur. Dulu, jauh sebelum dia hidup, para pencari ilmu memperoleh sebutan istimewa: ma taqul, apa pendapatmu. Mengapa pelajar zaman itu dijuluki kaum apa pendapatmu? Latar belakangnya sederhana, tapi menggetarkan, apalagi untuk kita yang hidup pada zaman pasar ini.
Pada zaman itu, ke mana-mana para pencari ilmu bertanya: apa pendapatmu? Apa pendapatmu tentang hal ini? Apa pendapatmu tentang hal itu? Mereka terbiasa bertanya. Juga terbiasa mencari jawaban. Tidak merasa puas dengan jawaban sendiri, dari orang lain mereka mencari jawaban. Jawaban pembanding, jawaban penguat, jawaban penyanggah, jawaban pembatal.
Mereka tidak merasa cukup dengan diri sendiri. Sepintar apa pun, masih merasa butuh orang lain. Dengan kata lain, mereka tidak merasa benar sendiri. Tidak merasa pintar sendiri. Tidak pula merasa tinggi sendiri.
Di kalangan pencari ilmu, tersebar luas wawasan yang mawas diri: jangan-jangan aku salah dan jangan-jangan orang lain benar. Aku mungkin benar, tapi orang lain belum tentu salah. Barangkali aku benar, tapi barangkali pula orang lain benar. Apa yang kuanggap kebenaran semakin mendekati kebenaran kalau semakin banyak orang berilmu yang membenarkannya.
Pandangan kaum-apa-pendapatmu itu menunjukkan, mereka bersedia dan siap disalahkan. Juga siap melepas pendapat yang disangka benar tetapi ternyata salah. Mereka terbuka terhadap kritik. Malah mencari dan mengejar kritik. Jadi, ada keberanian untuk ditertawakan.
Juga ada kehendak kuat untuk menemukan kebenaran, dari mana pun datangnya. Jika kebenaran itu tidak datang dari dalam diriku sendiri, tetapi dari orang lain yang lebih rendah dariku, aku tetap harus menerimanya. Apa boleh buat. Saya teringat Abu Hanifah yang belajar dari seorang anak kecil. Padahal, dia ulama besar. Ulama besar lain, Ahmad bin Hanbal, belajar dari orang awam.
Ceritanya begini. Ketika tinggal di Baghdad, Ahmad bin Hanbal tiba-tiba merasa ingin pergi ke Basrah. Seperti ada yang menyuruh. Dia pun berjalan mengikuti suara hati. Karena letih, ketika sampai di kota tujuan dia beristirahat di sebuah masjid. Duduk-duduk dan tidur-tiduran di serambi.
Tak disangka, takmir mengusirnya. Takmir itu tak tahu bahwa dia sebenarnya adalah Ahmad bin Hanbal. Zaman itu belum ada media massa. Terhadap ulama besar, umat hanya kenal nama, tidak kenal wajah.
Tanpa menunjukkan jati diri, setelah diusir takmir, Ahmad bin Hambal rela keluar masjid. Tapi di depan masjid, dia termangu-mangu sendirian. Malam itu, di mana dia bisa beristirahat?
Seorang jamaah yang baru keluar dari masjid mendekati Ahmad bin Hambal. Menepuk pundaknya. Lalu berkata, “Ada apa Saudaraku? Tampaknya sedang ada masalah. Adakah yang bisa kubantu?”
“Aku memang sedang bingung, Saudaraku,” jawab Ahmad bin Hanbal. “Aku baru sampai dari Baghdad. Letih rasanya. Aku lalu istirahat di serambi masjid. Tapi takmir mengusirku. Lantas, di mana aku bisa melepas lelah malam ini?”
“Engkau bisa menginap di rumahku.”
Ahmad bin Hanbal menerima tawaran tersebut. Sejak malam itu dia menginap di rumah jamaah yang murah hati itu. Selama tinggal di sana, Ahmad bin Hanbal mengamati tingkah laku tuan rumah. Dia memandang saudara barunya yang orang awam ini sebagai guru kehidupan. Dari kehidupan tuan rumah, Ahmad bin Hanbal ingin ambil pelajaran.
Ilmu apa yang diperolehnya? Sang ulama kagum. Tuan rumahnya berbeda dari orang kebanyakan. Salehnya plus. Kebanyakan muslim memulai pekerjaan dengan basmalah. Tapi, saudara barunya memulai pekerjaan dengan basmalah + istighfar.
“Apa semua doamu terkabul?” tanya Ahmad bin Hanbal kepada tuan rumah.
“Benar. Semua doaku terkabul. Tapi ada satu doa yang belum dikabulkan.”
“Apa itu?”
“Sudah lama aku berdoa. Aku ingin sekali berguru kepada Ahmad bin Hanbal. Sampai sekarang, keinginanku belum terwujud.”
Ahmad bin Hanbal tertunduk. Diam cukup lama. Pipinya basah oleh air mata.
“Saudaraku, Engkau menangis?”
“Allah mengabulkan doamu,” ujar Ahmad bin Hanbal. “Akulah Ahmad bin Hanbal.”
Ahmad bin Hanbal dan Abu Hanifah adalah contoh pencari ilmu yang tidak merasa benar sendiri, pintar sendiri, tinggi sendiri. Mereka termasuk kaum apa pendapatmu. Di atas orang pintar masih ada yang lebih pintar. Di atas orang pintar masih ada Yang Maha Pintar. Di atas gunung, ada gunung.
Pada kenyataanya yang terdalam, sepanjang apa pun deretan gelar kecendekiaan yang disandang, manusia bukan pemilik ilmu. Dia hanya tempat kebodohan. Dia selamanya bodoh. Selamanya salah. Selamanya rendah.
Perasaan bodoh, bersalah, dan rendah itulah barangkali rahasia di balik keberkahan dan kebermanfaatan ilmu Imam Ahmad bin Hanbal dan Imam Abu Hanifah—cinta Allah semoga senantiasa tercurah kepada kedua guru besar itu.
Mereka tak segan bertanya. Tak malu berkata: “saya tidak tahu”. Tak merasa jatuh kehormatannya bila berguru kepada orang awam. Mereka belajar kepada siapa pun, kapan pun, dan di mana pun. Dalam proses pencarian ilmu, mereka menemukan Allah. Mereka menempuh jalan ilmu untuk berjumpa dengan Allah.

itulah ilmu, berperang tanpa henti
dengan murid yang merasa tinggi
seperti air mengalir, berperang tanpa akhir
dengan tempat yang tinggi
            (Al-Ghazali)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam