21/11/21

Data Primer Ilmu Nahwu

Data-data primer linguistik untuk menyusun ilmu nahwu diambil dari dialek lisan bahasa Arab, bukan dari khazanah tulisan Arab yang diposisikan sebagai data sekunder dan komplementer. Mengapa yang digunakan sebagai data primer adalah dialek lisan, bukan tulisan?


Bahasa, apapun bahasa itu, hakikatnya adalah fenomena kelisanan. Bahasa lisan lebih dulu ada daripada bahasa tulisan. Bahasa lisan lebih asli, murni, dan natural ketimbang bahasa tulisan. Setelah lahir, manusia belajar bahasa lisan terlebih dahulu, kemudian baru belajar bahasa tulisan di bangku sekolah.

Penjelasan kedua, bahasa adalah hasil konsensus. Bahasa merupakan konvensi sosial yang pada mulanya dibuat tanpa aturan baku, mengalir begitu saja secara alamiah dan manasuka (arbitrer). Dan konvensi sosial dari bahasa ini terepresentasikan secara sempurna dalam bahasa lisan.

Tatkala menuturkan bahasa lisan, seseorg pastilah bercakap-cakap dan berinteraksi minimal dengan satu orang lain, kecuali jika ia gila atau sedang berlatih drama. Jadi, bahasa lisan berwatak sosial. Tak mungkin bersifat individual. Interaksi sosial, yang menjadi keniscayaan dalam fenomena bahasa lisan, merupakan prasyarat mutlak terjadinya konvensi kebahasaan.

Sementara itu, bahasa tulisan cenderung bersifat individual, walaupun dalam konteks tertentu juga berwatak sosial (misalnya dalam fenomena berkirim sms atau chat WA). Seseorg biasanya menulis buku dalam kesendirian dan kesunyian. Bahkan, supaya bisa berfokus dengan proses menulis yang tengah dikerjakannya, ia tak mau diganggu oleh org lain. Dialek tulisan membatasi dirinya dari interaksi sosial. Karena itu, dialek tulisan lebih bersifat idiosinkretis sehingga kurang merepresentasikan konvensi kebahasaan.

Sebab itulah, kahazanah tulisan tak dipakai sebagai data primer untuk merumuskan teori-teori dalam ilmu nahwu yang berkarakter generalisatif (istiqra-iy) dan debatable (mukhtalaf fih). Bahasa lisan lebih dapat diandalkan dan dipedomani untuk merumuskan kaidah-kaidah nahwu.

Kalau ada pertanyaan, bukankah kaidah-kaidah ilmu nahwu juga dirumuskan berdasarkan penelitian terhadap penggunaaan bahasa Arab dalam al-Quran dan kitab-kitab hadis?, maka jawabannya: meskipun telah dibukukan, ayat-ayat al-Quran dan "teks-teks" hadis pada awalnya merupakan dialek lisan. Kedua sumber data ilmu nahwu tersebut mulanya adalah bagian dari bahasa lisan.

Al-Quran, kendati menyebut dirinya sendiri sebagai al-kitab (kitab suci/the holy scripture), tak diturunkan srcara sekaligus dalam bentuk kitab yang sudah jadi dan rampung. Al-Quran diturunkan secara bertahap selama lebih dari 20 tahun. Ketika Rasulullah menerima wahyu dari malaikat Jibril, ia menyampaikan wahyu tersebut secara lisan kepada umatnya. Adanya lompatan logika dalam rangkaian ayat al-Quran dan pelesapan (hadzf) kata/frasa/klausa dalam suatu ayat, sebagaimana kita temukan dalam "kitab" al-Quran yg sudah dijilid dan tercetak, menunjukkan bahwa al-Quran pada dasarnya merupakan bagian dari khazanah bahasa lisan.

Hadis pun pada dasarnya dan pada mulanya merupakan bahasa lisan. Khazanah hadis baru dikumpulkan, diseleksi ketat, dan dibukukan ratusan tahun setelah Rasulullah meninggal. Hadis-hadis yang tertulis dalam kitab-kitab hadis adalah ucapan-ucapan Rasulullah yang diingat para sahabat, atau perbuatan dan persetujuannya yang disampaikan secara lisan oleh para sahabat kepada kalangan tabi'in yang menjadi murid mereka. Kesimpulannya jelas: al-Quran dan hadis adalah khazanah bahasa lisan yang kemudian ditulis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam