29/12/10

Kesederhanaan, Gandhi, dan Ki Blaka

Segala kebijaksanaan tampaknya sederhana saja. Bukan bagaimana konsep sebuah kebijaksanaan dirumuskan, tapi yang lebih penting adalah bagaimana kebijaksanaan itu dipraktikkan dengan konsisten. Sederhana. Sederhana sendiri juga kebijaksanaan.

Kesederhanaan Gandhi

Gandhi menginspirasi dunia hanya karena satu hal: pantang-kekerasan, ahimsa. Ini terlihat jelas pada banyak catatan otobiografisnya. Dan gandhi pun memang adalah orang sederhana yang biasa-biasa saja. Sehari-hari hidup dengan makan yang pas (bukan pas-pasan), mengenakan kain yang diselempangkan menutupi tubuhnya, memakai kasut yang terbilang murah, berkacamata ala master shaolin, dan tak pernah lupa ke mana-mana membawa tongkat. Gandhi tak memiliki keinginan yang muluk-muluk seperti aktivis-aktivis mahasiswa. Gandhi cuma mau konsisten menerapkan ahimsa. Itu saja. Adapun konsepsi tata politik, tata ekonomi, tata agama, tata budaya, sampai tata peradaban yang ia perkenalkan, itu hanya turunan dan pengembangan dari ahimsa-nya.

Kesederhanaan Ki Blaka

Sama seperti Gandhi, Ki Blaka, tokoh utama “Blakanis”, sebuah novel karya Arswendo Atmowiloto, juga hidup secara sederhana. Gagasan Ki Blaka hanya satu, gagasan yang sederhana saja, yakni: blaka. Blaka artinya hidup jujur, terbuka, transparan, telanjang, terbuka, tidak bohong, tidak pura-pura bohong, dan tidak pura-pura jujur. Sehari-hari Ki Blaka hidup sederhana: berjalan ngalor-ngidul telanjang kaki, hanya memakai selimut lorek yang menutupi tubuhnya, dan berbicara jujur. Bila ditanya orang, apa pun pertanyaannya, termasuk hal-hal paling rahasia, seperti sex, maka Ki Blaka akan menjawabnya dengan jujur. Tapi ini tidak tanpa syarat. orang yang bertanya pada Ki Blaka harus jujur juga. Tak tanggung-tanggung, tanpa malu-malu, Ki Blaka lantas menanyakan padanya: berapa istrimu? Apa kamu punya simpanan? Berapa kali njajan ke pelacuran? Pernah ngesex sama kambing nggak? Pingin kawin lagi, dengan siapa? dan pertanyaan gemblung lainnya.

Anehnya, bukan malah dibenci, justru karena kejujurannya tersebut Ki Blaka semakin disukai orang. Ia jadi tokoh terkenal. Ia membuka malam pertemuan di mana di sana tiap orang berbicara jujur, tanpa tedeng aling-aling. Tak peduli kejujurannya bakal menusuk orang lain atau menusuk dirinya sendiri. Yang penting, jujur saja. Titik.

Pernah seorang mantan menteri, yang banyak melakukan KKN dan kejahatan birokratis lainnya, datang ke pertemuan rutin Ki Blaka. Ia sedang kena sakit parah dan terpaksa duduk di kursi roda. Motifnya datang ke pertemuan itu adalah minta kesembuhan pada Ki Blaka. Ia pikir Ki Blaka adalah dukun, wali, atau orang pintar, dan sejenisnya. Namun nyatanya Ki Blaka bukan orang seperti itu. Ki Blaka hanya orang biasa yang ingin hidup secara blaka. Menteri tadi pun kecewa pada sosok Ki Blaka. Tapi kekecewaanya tak berlarut. Seperti para peserta pertemuan lainnya, ia pun berbicara jujur. Si menteri, Jamil Akamid namanya, malah menceritakan aktivitas KKN dan segala kejahatan birokratisnya dengan jujur. Jujur sekali. Ia cerita bahwa dirinya telah memperalat hukum, birokrasi, partai, dan bahkan presiden untuk menumpuk kekayaan pribadinya. Ia bocorkan nama-nama pejabat yang gemar ber-KKN bersamanya. Ia tunjukkan bagaimana prosesnya, di bank mana saja uang hasil KKN mereka di simpan, siapa bekengnya, dan siapa korbannya. Dan karena pengakuan Jamil Akamid diliput media, masyarakat pun panik. Para pejabat yang disebut-sebut namanya muntab. Stabilitas pemerintahan terancam. Jamil Akamid terus memanas-manasi Ki Blaka untuk menjadikan pertemuan rutinnya sebagai gerakan moral nasional. Katanya, Ki Blaka bisa jadi avan gardis pembuka kesadaran negeri. Tapi apa respon Ki Blaka? Biasa saja. sederhana. Ia hanya menjawab semua bujuk rayu si menteri dengan: O begitu; O, bisa ya; ya bagus itu. tidak tampak tanggapan yang meledak-leduk. Jamil Akamid pun dibikin stres oleh tingkah Ki Blaka. Sekali lagi menteri jujur ini kecewa (Menteri jujur? Kedengarannya lucu, soalnya selama ini menteri-menteri pada takut jujur). Nah, kekecawaannya yang kedua ini, alhamdulillah, menyadarkan Jamil Akamid. ia mafhum. Jujur itu bukan untuk siapa-siapa, kecuali untuk kebaikan dirinya. Berbicara jujur melatih diri hidup blaka. Hidup blaka menjadikan hidup lebih ringan dan mengalir. Orang yang hidup blaka, pembawaannya gembira melulu. Dikata-katain, gembira; dijelek-jelekin, gembira; diinjak-injak, gembira; dikutuk, gembira; dikasih uang segepok, oh tentu gembira dong; tidak pernah jadi juara sepakbola, gembira; bisa masuk final piala AFF, gembira; dicurangi, diprovokasi, dan dipecundangi 3-0 oleh Malaysia, gembira juga, toh hanya permainan.

Jadi, bagaiamana, apa Anda siap bersikap sederhana, realistis, dan tidak muluk-muluk? Mau jadi lelananging jagad? Mbok yo sing prasojo, hidup sederhana saja deh... []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam