01/07/11

Mengapa Bahasa Arab?


SELAMA bertahun-tahun, pertanyaan “mengapa dan untuk apa belajar Bahasa Arab?” terus mengganggu saya. Selama bertahun-tahun pula, dengan sengaja ataupun tidak, saya mencoba menjawab pertanyaan yang menurut orang lain sepele, namun menurut saya amat penting, itu.

Berbagai jawaban datang. Beberapa saya sangkal dan tangkal. Beberapa saya pelihara untuk kemudian dilengkapi dan disempurnakan. Meski sampai kini saya belum menemukan jawaban yang sungguh-sungguh memuaskan hati, saya ingin mencatat dua dari sekian jawaban simplifikatif dan tentatif yang saya temukan, sekadar sebagai dokumentasi pribadi yang barangkali kelak bakal saya baca ulang dan saya tertawakan sendiri, juga sebagai upaya untuk saling berbagi kepada siapa saja yang kebetulan membaca tulisan asal jadi ini.

Dalam rangka menjawab pertanyaan mahapayah itu, saya berangkat dari beberapa fakta. Fakta pertama, Bahasa Arab adalah bahasa al-Qur’an, kitab suci muslim. Saya muslim, setidaknya demikian yang tercantum dalam Kartu Tanpa Penduduk (KTP).  Hanya dengan meng(k)aji al-Qur’an, seorang muslim dapat memahami intipati agamanya. Tidak mungkin meng(k)aji al-Qur’an secara tuntas dan menyeluruh jika tidak mampu berbahasa Arab dengan fasih, falsafi, dan sastrawi. Artinya, jawaban pertama “mengapa dan untuk apa belajar Bahasa Arab?” adalah supaya saya bisa memahami al-Qur’an.

Namun, jawaban ini menumbuhkan rentetan pertanyaan turunan yang lebih fundamental: mengapa harus memahami al-Qur’an? Agar bisa mengaktulisir ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari; mengapa ajaran Islam yang tertera dalam al-Qur’an mesti diaktulisir dalam kehidupan sehari-hari? Agar memperoleh pahala sebanyak-banyaknya sebagai syarat masuk surga; jika kehidupan di dunia sudah sangat nikmat dan menyenangkan, di mana di dalamnya saya kerasan dan tentram-bahagia sehingga saya sangat takut terhadap ajal, kenapa saya masih memburu surga (yang kenikmatannya baru dapat saya rasakan jauh sekali setelah kematian dan kebangkitan)? Ternyata jawaban pertama bukan membikin terang permasalahan, justeru memperumit dan mempersulit.

Fakta kedua, Bahasa Indonesia menyerap banyak sekali kosakata dari Bahasa Arab. Sebagaimana pada kasus Bahasa Belanda, Inggris, dan Sansekerta, ribuan, bahkan mungkin belasan ribu, kosakata serapan dari Bahasa Arab tidak lagi dianggap sebagai kosakata asing, tetapi telah menyatu dengan kehidupan sosial-budaya masyarakat Indonesia.

Kita tak perlu capek-capek menerjemahkan, misalnya: Islam, masjid, rakyat, karena, secara arbitrer-konvensif, kata-kata tersebut telah sama-sama dipahami artinya. Justeru dari sini berasal berbagai permasalahan konseptual dan aktual, yang pada gilirannya menimbulkan konflik ideologi dan kekerasan fisik. Lantaran “Islam”, “masjid”, dan “rakyat” telah menyatu dan telah secara taken for granted kita ketahui maknanya, kita pun malas untuk menapaktilasi arti asli kata-kata tersebut dalam Bahasa Arab, apalagi mengurai maknanya menggunakan metode linguistik yang sudah berkembang sedemikian rupa.

Akibatnya, “Islam” kita artikan hanya sebagai “salah satu agama samawi”, “masjid” sebagai “tempat ibadah umat muslim”, dan “rakyat” sebagai “objek yang dipimpin dan dikuasai presiden” atau “antitesis presiden”. Padahal, bila ditelaah secara kritis dan teliti, makna ketiga kata tersebut tidak sesempit itu.

Akar kata Islam adalah SLM, artinya “menyerahkan/berserah (diri)” atau “menyerahkan [ke]aku[an]".  Jarak semantik antara “Islam” dengan “tawakkal” tipis sekali. Secara struktural, SLM merupakan antonim dari egoistis. Siapa egois, tak bakal se-la-mat, malah akan celaka baik di kehidupan dunia lebih-lebih di kehidupan akhirat. Berislam, oleh karena itu, adalah upaya sadar untuk mengikis, bahkan membersihkan diri dari egosentrisme dalam fungsinya yang negatif. “Islam” juga akan bermakna berbeda bila dibaca secara dekonstruktif, antropolinguistis, atau historikolinguistis, demikian halnya “masjid” dan “rakyat”.

Dari penjelasan di atas, tergambar betapa penting dan mendesaknya mempelajari Bahasa Arab. Mempelajari bahasa yang di Indonesia berjaya pada abad XVII-XVIII dan mulai memudar pada awal abad XX ini, berguna untuk menjernihkan makna kosakata serapan, dan kemudian untuk menjernihkan situasi sosial-politik yang terlanjur compang-camping karena keliru mengartikan (semiotical misunderstanding), bahkan salah mengartikan (semiotical disunderstanding), kosakata serapan tersebut.

Jika benar dan tepat dalam mengartikan “masjid”, kita tidak akan kelewat gampang terprovokasi dan terjerumus dalam konflik inter dan intra-reliji sebagaimana marak akhir-akhir ini. Jika “rakyat” dipahami secara intertekstual, maka kita akan melihat bahwa Esbeye sudah sedang melalaikan “tanggungjawab”-nya sebagai pemimpin, suatu kondisi yang mewajibkan kita segera mengambil sikap dan tindakan politik tertentu.

Oleh sebab itu, belajar Bahasa Arab tidak saja berhubungan dengan aktivitas tulisan dan lisan dalam ruang akademik, tetapi juga berkait sangat erat dengan tata sosial, tata politik, dan tata budaya masyarakat. Ahli Bahasa Arab berkewajiban dan bertanggung jawab besar meluruskan apa yang bengkok dalam masyarakat karena, pertama, ia mampu memahami al-Qur’an dan segala sumber hukum Islam, dan kedua, ia mampu menjernihkan makna kata-kata Arab yang mengalami pengeruhan dan pergeseran drastis ketika masuk ke dalam Bahasa Indonesia.

Tentu, dua hal yang agak panjang lebar saya jelaskan di atas belum dapat secara lengkap menjawab “mengapa dan untuk apa belajar Bahasa Arab?”. Masih berserakan berbagai jawaban lain yang entah kapan akan saya temukan, tutur, dan timbang-timbang. Dua jawaban yang saya kemukakan dalam tulisan ini, bisa jadi, entah kapan pula, akan saya kritik, atau bahkan saya lempar ke tempat sampah. Jalan-mencapai-pengetahuan (science) memang harus demikian, bukan?

Jogja, 1 Juli 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam