19/04/12

orang-orang proyek


sebuah sinopsis
Jembatan Sungai Cibawor dibangun kembali setelah para pemuda yang tenggelam dalam gelora revolusi meledakkannya puluhan tahun lalu. Kepala pelaksana pembangunan jembatan tersebut adalah Ir. Kabul, mantan aktivis mahasiswa yang masih menjaga idealismenya dengan susah-payah. Manajer proyeknya adalah Ir. Dalkijo, senior Kabul yang pragmatis dalam berpikir. 

Pragmatisme Dalkijo tumbuh karena dia bertekad bertobat dari kemiskinan yang telah dialami keluarganya turun-temurun. Dalkijo mengaku telah kapok miskin. Dia ingin jadi orang kaya, walaupun kekayaan itu diperolehnya dengan cara yang merugikan orang lain, misalnya korupsi, termasuk mengorupsi anggaran proyek pembangunan jembatan Sungai Cibawor. Dalkijo memamerkan kekayaannya kepada khalayak dengan bergaya bak koboi, berkendaraan Harley Davidson, dan jor-joran terhadap anak-anaknya: setiap permintaan anaknya dituruti. 

Koruptor proyek tersebut hanya Dalkijo? Tidak. Adalah rahasia umum bahwa orang-orang proyek, yakni orang-orang yang bekerja terutama mengurusi proyek pemerintah, adalah koruptor. Mereka berkorupsi secara berjamaah. Bahkan kuli-kulinya pun ikut-ikutan korupsi, meneladani para mandor. Karena itu, tak salah apabila masyarakat kemudian menyinonimkan kata proyek dan kata korupsi.

Golongan Lestari Menang (GLM) yang pada tahun 1991 itu mendominasi politik nasional turut mengail keuntungan dari proyek jembatan Cibawor. Partai ini mendesak Basar, kepala desa di mana jembatan Cibawor dibangun, untuk  membolehkan partai merayakan hari ulang tahunnya di desa itu. Pada momen tersebut, jembatan Cibawor akan diresmikan oleh wakil presiden yang tidak lain adalah tokoh teras partai. Acara itu akan menjadi ajang kampanye terselubung bagi GLM yang akan mengikuti Pemilu 1992. Selain itu, GLM memaksa orang-orang proyek agar bersedia memberi bantuan teknis, finansial, dan logistik. Basar, teman sekampus Kabul yang dulunya juga aktivis mahasiswa, sebenarnya ingin menolak permintaan itu, dan dia sudah mencoba menolak secara halus. Tapi partai mengancam Basar. Basar pun melunak, memberi GLM izin. Meski demikian, Basar masih gusar. Dalam hati, dia tetap tidak mengizinkan. 

Keesokan harinya, Basar mengunjungi lokasi proyek, mencurahkan kegalauannya kepada Kabul. Dalam pembicaraan itu, mereka hanya bisa mengeluh, dan saling membesarkan hati. Kegalauan dan kemarahan Kabul sendiri lebih besar daripada Basar. Setiap hari Kabul menyaksikan tindakan tak bermoral yang dilakukan oleh atasan dan bawahannya. Karena anggaran menipis setelah dialirkan ke kantong masing-masing, dibelilah material bangunan yang kualitasnya di bawah standar. Bahkan, sempat dibeli pula material bekas yang sudah tak layak pakai.

Ada satu hal lagi yang membuat amarah kabul semakin meranggas. Mulanya, jembatan baru akan mulai dibangun saat musim kemarau. Tetapi, GLM menginginkan proyek tersebut rampung sebelum hari ulang tahunnya tiba. Pembangunan jembatan terpaksa dimajukan pada musim hujan. Proses pembangunannya terpaksa dikebut. Para kuli kerja lembur, hampir tak memperoleh jatah istirahat yang manusiawi. Malang tak dapat ditolak memang. Hujan yang turun terus-menerus membuat Sungai Cibawor meluap, dan banjir. Terseret arus, tiang pondasi jembatan pertama yang baru selesai ditegakkan, memiring. Akibatnya, proses pembangunan jembatan diulang dari awal.

Sebuah objek yang mulanya disangka negatif bisa saja akan menampilkan nilai positifnya bila dimaknai dari sudut pandang berbeda. Demikian pula proyek pembangunan jembatan Sungai Cibawor. Selain merupakan ladang korupsi, proyek itu juga memberi penghidupan kepada penduduk kampung. Bahkan Mak Sumeh, yang jauh-jauh datang dari Tegal untuk membuka warung makan di lokasi proyek, ikut diuntungkan dengan adanya proyek tersebut. Proyek memperkerjakan pemuda-pemudi kampung yang masih menganggur, termasuk Wati, anak gadis anggota DPRD, sarjana anyaran yang gagal mengadu nasib di Jakarta. Pada proyek tersebut, Wati bekerja sebagai penulis  (sekretaris?). Diam-diam, Wati jatuh hati dengan Kabul. Kabul, kendati merasakan getaran aneh setiap kali menyaksikan Wati merengut, masih belum mau menyatakan rasa cintanya kepada Wati. 

Mengapa Kabul bersikap demikian terhadap Wati? Apa Kabul sudah beristri? Belum. Kabul belum menikah, meskipun saat itu usianya telah mencapai 30-an. Kepada Kabul, beberapa kali Pak Tarya, pensiunan pegawai Kantor Penerangan di Jakarta yang kerjanya memancing sambil sesekali meniup seruling, secara iseng bertanya mengapa kok belum menikah, padahal umur sudah lebih dari cukup dan hidup telah mapan. Kabul tidak pernah memberi jawaban yang genah. 

Selain Basar, kepada Pak Tarya inilah Kabul berbagi rasa. Pak Tarya adalah Semar yang siap-sedia menampung keluh-kesah Arjuna. Pak Tarya bisa menangkap galau dan marah Kabul terhadap orang-orang proyek karena lelaki tua ini katanya pernah bekerja sebagai wartawan di Jakarta. Dia orang yang bijak, berwawasan luas, ilmunya dalam, mengetahui seluk-beluk orang-orang proyek, dan banyak mewarisi kearifan Jawa. Buktinya, ketika di kantor Kabul terjadi perdebatan sengit antara Pak Baldun, panitia renovasi masjid yang mengajukan proposal bantuan dana, dengan Kabul, yang tegas menolak proposal tersebut, sikap Pak Tarya tenang-tenang saja, tidak ikut meledak. Sementara Basar, yang mengantar Pak Baldun menemui Kabul, sedikit banyak terbawa keadaan. Urusan proposal ini selesai tanpa harus menyunat anggaran proyek.

“Permainan kotor” orang-orang proyek membuat Kabul tak kerasan bekerja di sana. Kabul ingin cepat-cepat keluar dari proyek tersebut. Keinginan ini diutarakannya kepada Wati. Mendengar hal itu, Wati bersedih, khawatir ditinggal pergi Kabul. Cinta Wati terhadap Kabul semakin lebat rupanya. Kabul juga mengutarakan keinginan tersebut kepada Basar. Basar hanya menasihati: jangan tinggal gelanggang colong playu. Intinya, jangan melarikan diri, Kabul harus bertanggung jawab, bekerja di sana sampai proyek itu rampung. Dan Kabul pun berupaya menyabarkan diri.

Kabul adalah manusia biasa. Ada kalanya kesabarannya habis. Dalkijo memberinya instuksi untuk menggunakan besi bekas sebagai material bangunan, kali ini dengan sangat memaksa. Kabul menolak. Mereka bertengkar habis-habisan melalui handy-talky. Dalkijo terus memaksa. Kabul mengancam akan mengundurkan diri. Pertengkaran itu diputus sampai di situ. Dalkijo ingin berbicara langsung, bertemu muka, dengan Kabul. Besoknya, pertengkaran kembali berlanjut di kantor Kabul. Kabul dan Dalkijo sama-sama tidak mau mengalah. Pertengkaran menghadapi jalan buntu. Kabul memutuskan mengundurkan diri. Wati, Mak Sumeh, dan para bawahan Kabul menyesali keputusan ini. Hari itu juga, mereka melepas kepergian Kabul dengan air mata. 

Lantas, dengan kepergian kabul, bagaimana nasib Wati? Merana? Tidak. Sebelum mengajukan pengunduran diri, Kabul sudah membalas cinta Wati. Mereka sudah sama-sama saling menerima. Halangan di antara keduanya tidak ada lagi. Yos, pacar Wati yang adalah mahasiswa semester IV MIPA, telah memutuskan hubungan dengan Wati. Adapun sebabnya, Wati yang telah berumur antara 24 atau 25, mengirim surat kepada Yos: minta dikawini; jika tak bersedia, putus saja. Yos panik dan bimbang. Tetapi Yos akhirnya datang menemui Wati di kantornya, memuntahkan amarahnya kepada Wati, dan memutus hubungan kasih yang telah lama terjalin antara keduanya.

Pengunduran diri dari proyek menggoncang jiwa Kabul. Demi menenangkan jiwa, dia pulang ke kampung halamannya di Gombong, menemui biyungnya. Setelah cukup tenang, Kabul mencari pekerjaan lagi, dan diterima sebagai site manager pembangunan hotel di Cirebon. 

Kabul juga menyempatkan diri datang pada hari ulang tahun GLM. Bersama Pak Tarya, Wati, Tante Ana, dan Bejo, dari kejauhan Kabul menonton acara yang dimeriahkan pawai akbar itu. Kabul degdegan ketika menonton truk trailer bermuatan penuh melintas di atas jembatan baru tersebut. Untunglah, saat itu jembatan tidak ambrol. 

Pada akhir Desember 1992, setahun setelah Kabul meninggalkan proyek jembatan Cibawor, Kabul, yang waktu itu telah tinggal di Cirebon bersama Wati, berniat berlibur ke Gombong, tempat biyungnya. Perjalanan dari Cirebon ke Gombong melewati jembatan Cibawor. Betapa kaget dan kecewanya Kabul ketika dia mendapati bahwa jembatan Cibawor telah rusak. Lantai jebol pada dua titik. Aspal sudah rusak hampir sepanjang lantai jembatan. Kabul pun mengambil rute lain. Di perjalanan, suami-istri itu sibuk memperbincangkan jembatan Cibawor dan perilaku orang-orang proyek yang oleh Kabul diejek sebagai rayap. “Rayap baru berhenti makan bila kayu yang digerogotinya sudah habis. Atau bila mereka disiram racun antiserangga,” demikian Kabul menyimpulkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam