08/10/12

Hantu Pirau


Ketika dipimpin oleh seorang raja yang berasal dari Keling, Jambi menjadi negeri yang sejahtera, makmur, dan sentosa. Rakyat tidak mengeluh kelaparan. Keadaan aman dan tenteram. Tetapi, hal itu tak berlangsung lama. Sesosok makhluk tak dikenal membuat keonaran di mana-mana. Orang-orang menyebutnya Hantu Pirau. Tubuhnya pendek, kira-kira setengah dari tinggi manusia normal. Wajahnya berbulu. Kakinya terbalik, tidak menghadap ke depan, tetapi menghadap ke belakang. Ia bicara dengan bahasa manusia.

Anehnya, Hantu Pirau yang tiba-tiba muncul itu tidak mengganggu orang dewasa. Ia hanya mengganggu anak-anak ketika mereka sedang ditinggalkan oleh orang tuanya. Awalnya ia hanya menggelitiki anak-anak, namun kemudian menakut-nakuti mereka sehingga mereka menangis.

Para orang tua merasa khawatir dengan kondisi anak-anak mereka yang kerap diganggu Hantu Pirau. Mereka lantas melaporkan keadaan itu kepada kepala kampung. Mereka berharap agar kepala kampung mencarikan jalan keluar dari permasalahan itu, atau menaklukkan Hantu Pirau atau mengusirnya. Tetapi kepala kampung tidak segera memberi jawaban. Ia menghadap kepada raja untuk melaporkan keonaran yang diperbuat Hantu Pirau itu.

Setibanya di istana, kepala kampung baru tahu bahwa Hantu Pirau tidak hanya membuat keonaran di kampungnya, tetapi juga di kampung-kampung lain di negeri Jambi. Banyak kepala kampung yang pada hari itu menghadap raja untuk melaporkan hal yang sama.

Mendengar laporan para kepala kampung, raja mengambil keputusan. “Perintahkanlah rakyat kalian untuk membuat lukah sebanyak-banyaknya. Pasanglah lukah-lukah itu di atas bukit. Ikat kuat-kuat pada tonggak kayu. Lalu, periksalah lukah-lukah itu setiap hari tepat saat matahari naik sepenggalah.”

Berpikir bahwa keputusan raja itu tak masuk akal, seorang kepala kampung bertanya kepada raja: “Duhai Paduka yang kami muliakan, kami diganggu Hantu Pirau, tapi mengapa Paduka menyuruh kami membuat lukah? Kami tidak sedang akan berkarang. Apatah mungkin dengan lukah itu kita dapat menangkap Hantu Pirau?”

“Laksanakan saja perintahku. Nanti kalian akan tahu hasilnya,” jawab sang raja.

Para kepala kampung akhirnya pulang dengan membawa seribu pertanyaan di dalam kepalanya. Mereka masih belum mengerti jalan pikiran sang raja. Tetapi sesampainya di kampung masing-masing, mereka langsung memerintahkan rakyatnya untuk membuat lukah, sebanyak-banyaknya. Rakyat pun membuat lukah. Lukah-lukah itu dipasang di atas bukit, diikat kuat-kuat pada tonggak kayu.

Secara bergiliran, para kepala kampung setiap hari, tepat saat matahari naik sepenggalah, memeriksa lukah-lukah itu. Pada hari pertama, tidak ada yang berubah dengan lukah-lukah itu, masih seperti sediakala. Demikian juga pada hari kedua. Namun pada hari ketiga, kepala kampung yang mendapat giliran memeriksa lukah terkejut sewaktu melihat salah satu lukah. Di dalamnya, ada sesosok makhluk aneh, bertubuh kecil, meronta-ronta, berusaha membebaskan diri dari jeratan lukah. “Jangan-jangan, itulah si Hantu Pirau,” tebak si kepala kampung.

Kepala kampung tersebut bergegas menghadap raja. Kepada raja, ia melaporkan bahwa tampaknya Hantu Pirau telah terjarat oleh salah satu lukah. Setelah memerintahkan kepada seluruh kepala kampung untuk mengasah parangnya tajam-tajam, raja dan beberapa pengawalnya dan para kepala kampung pergi ke atas bukit untuk melihat hal itu.

Mereka tiba di atas bukit. Raja membenarkan bahwa yang terjerat di salah satu lukah itu adalah Hantu Pirau. Menyaksikan para kepala kampung datang dengan membawa parang yang tajam, Hantu Pirau takut. Ia pun menghiba-hiba kepada sang raja.

“Wahai Raja, jangan bunuh hamba. Ampuni hamba. Lepaskan hamba. Bila Paduka melepaskan hamba, hamba berjanji tidak akan membuat keonaran lagi di negeri Paduka. Wahai Raja, ampunilah hamba.”

“Hei Hantu Pirau,” kata sang raja “kau akan kubebaskan, tetapi dengan dua syarat. Pertama, sesudah kau kulepaskan dari lukah, enyahlah kau selama-lamanya dari negeri Jambi. Kedua, aku dengar kau punya cincin sakti bernama cincin pinto-pinto. Berikanlah cincin itu kepadaku.”

“Baiklah Paduka, saya akan memenuhi dua persyaratan yang Paduka ajukan.”

Hantu Pirau memejamkan matanya. Sesaat kemudian di tanganya muncul sebuah cincin, dan Hantu Pirau memberikan cincin itu kepada sang raja. Ia lalu dibebaskan, pergi dari bukit itu.

Mungkin Hantu Pirau mengingkari janjinya. Konon saat ini ia masih berkeliaran di hutan-hutan di negeri Jambi. Ada saja orang yang mengaku bahwa secara tak sengaja ia berjumpa dengan Hantu Pirau ketika pergi berburu atau mencari kayu di hutan. Kini keberadaan Hantu Pirau membuat orang-orang penasaran. Mereka ingin melihat Hantu Pirau dengan mata sendiri. Tetapi mitosnya, siapa yang dengan sengaja menelusuri hutan untuk melihat Hantu Pirau, justru tak akan pernah dapat melihatnya.

Sumber: Okta Priyandi, sahabat saya; dan Cerita Rakyat Dari Jambi 2 (Kaslani, 1997)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam