06/10/12

Tentang Hikayat Negeri Jambi


Hikayat Negeri Jambi (HNJ), naskah Melayu yang ditulis pada paruh kedua abad XIX, terdiri dari lima bagian: Hikayat Tun Telanai, Hikayat Orang Kaya Hitam, Hikayat Pangeran Rengas Pendek, fasal keempat, dan fasal kelima. Dalam artikelnya di bawah ini, Sergei Kukushkin menguraikan (1) struktur HNJ dari bagian pertama hingga permulaan fasal keempat, (2) sumber-sumber yang digunakan untuk menyusun HNJ, serta (3) fungsi dan motif konseptual HNJ.

Artikel di bawah ini saya terjemahkan dari Hikayat Negeri Jambi: The Structure and Sources of A Nineteenth-Century Malay Historical Work yang telah diterbitkan dalam jurnal Indonesia and the Malay World, Vol. 32, No, 92, Maret 2004, hlm. 53-61. Apabila terjemahan ini dirasa tidak enak dibaca, sulit dimengerti, dan dalam beberapa—atau bahkan mungkin seluruh—bagian tidak sesuai dengan versi bahasa Inggrisnya, saya mohon maaf, sebab saya tidak mahir dalam bahasa Inggris maupun bahasa Indonesia. Tanpa memperpanjang mukadimah, saya ucapkan saja: selamat membaca, semoga bermanfaat.


HIKAYAT NEGERI JAMBI:
Struktur dan Sumber Sebuah Naskah Kesejarahan Melayu Abad XIX1

Oleh: Sergei Kukushkin

Wilayah di timur Sumatera yang sekarang dinamakan Jambi mempunyai sejarah yang kaya. Pada masa permulaan kerajaan Hindu, Jambi menjadi kesultanan yang makmur dan kuat, secara bertahap jatuh di bawah kontrol orang Eropa, dan sekarang menjadi bagian dari negara Indonesia.

Mengenai awal mula Jambi, kita tidak banyak tahu. Namun demikian, periode semenjak abad XVII dan seterusnya digambarkan secara detail dalam beberapa kajian2 yang terutama merujuk pada sumber-sumber Eropa. Naskah kesejarahan berbahasa Melayu yang berasal dari Jambi terbilang langka. Naskah-naskah tersebut disusun pada paruh kedua abad XIX. Berdasarkan standar historiografi modern, sebagian besar informasi yang tercantum di dalamnya sangat dapat digolongkan sebagai sejarah.

Pada saat yang sama, naskah-naskah tersebut menyediakan kesempatan unik: memungkinkan kita untuk mengamati sejarah Jambi melalui pandangan cendekiawan lokal yang hidup pada abad XIX yang percaya bahwa catatannya atas berbagai peristiwa merupakan kebenaran, persis seperti pendirian sarjana modern saat membuat rekonstruksi sejarah yang terutama didasarkan atas sumber-sumber Eropa. Rujukan cendekiawan Melayu tradisional beraneka ragam, termasuk Al-Qur-an dan al-Sunnah, yakni sumber pengetahuan tertinggi dalam agama Islam. Untuk menciptakan pola narasi historis, ia menggunakan naskah Melayu atau naskah asing3 sebagai model. Ia juga menggunakan tradisi lokal sebagai sumber informasi yang relevan.

Salah satu naskah kesejarahan itu adalah Hikayat Negeri Jambi4 (selanjutnya disingkat HNJ). HNJ adalah naskah yang paling konsisten memuat, dan sepenuhnya merupakan sebuah, narasi historis Melayu. HNJ menarasikan sejarah kesultanan sejak awal hingga akhir, atau sejak penguasa pertama bertahta hingga masa penulisan naskah tersebut. Ada dua manuskrip HNJ: Leiden Cod. Or. 2013 dan Cod. Or. 12182. Keduanya adalah naskah asli yang ditulis pada paruh kedua abad XIX. Saat itu, Belanda telah menguasai Jambi, memaksa Sultan melarikan diri dari ibu kota, dan mengangkat salah satu anggota keluarganya sebagai penguasa boneka.

Sebagaimana Sejarah Melayu, yang ditulis setelah kejatuhan Malaka untuk mengabadikan kebesaran sejarah kerajaan itu bagi kepentingan generasi mendatang dan untuk menjelaskan proses kehancurannya, HNJ mencerminkan pandangan dan sikap penyusunnya terhadap sejarah Jambi—kerajaan yang bersaing dengan lawan yang kuat tetapi seimbang, yaitu Johor dan Palembang—yang pada akhirnya jatuh ke tangan orang-orang Eropa.

Berdasarkan tokoh-tokoh utamanya dan hubugan mereka dengan alam dan politik, HNJ dapat dibagi menjadi beberapa bagian: Hikayat Tun Telanai5, Hikayat Orang Kaya Hitam, dan Hikayat Pangeran Rengas Pendek. Setelah akhir bagian ketiga, masih ada dua bagian lanjutan, yang disebut fasal dan diberi nomor 4 dan 5 (bagian ketiga juga disebut fasal, tetapi tanpa nomor).

Dalam artikel ini, kami hanya akan mengkaji tiga bagian pertama dan permulaan fasal keempat saja yang tampaknya menjelaskan periode awal sejarah Jambi. Pada periode ini, kita tidak mempunyai dekomentasi apa pun. Jadi, satu-satunya hal yang dapat kita rekonstruksi adalah gagasan sejarah lokal yang tersimpan dalam kepala pengarang HNJ ketika ia menulis naskah itu. Dalam masyarakat yang pada dasarnya tidak akrab dengan tradisi tulis, ingatan kolektif masyarakat ditransmisikan secara lisan, dan pengarang HNJ mesti menggunakan cerita rakyat dan legenda lokal (sebagai sumber rujukan untuk menulis naskah tersebut). Di bawah ini saya akan menunjukkan bagaimana dalam HNJ sumber lisan digunakan dan diorganisir menurut gagasan tertentu.

Bagian pertama bercerita tentang negeri asal yang dikuasai Tun Telanai. Nama tokoh ini tidak dikenal dalam literatur Melayu.6 Kerajaannya terletak di dekat muara sungai, dan disebutkan bahwa kerajaan itu masih ada bekasnya di sana. Tun Telanai dibantu lima hulubalang: Si Kentang Perak, Si Mata Empat, Si Pahit Lidah, Si Tajam Burit, dan Si Tahi Mata. Tentang cikal-bakal nama kerajaan itu, diceritakan bahwa: Tun Telanai memerintahkan Si Pahit Lidah untuk menggali terusan yang membentang dari ibu kota sampai ke laut. Tugas tersebut diselesaikan dalam waktu empat “jam”. Karena inilah kerajaan itu dinamai Jam-bi.

Tun Telanai awalnya tidak punya anak. Setelah jampi-jampi dukun ternyata gagal membuat istrinya hamil, ia berdoa kepada dewa mohon diberi keturunan. Ada peramal yang memperingatkan Tun Telanai bahwa anaknya kelak akan membunuhnya. Setelah anak itu lahir, Tun Telanai memerintahkan agar anak itu dimasukkan ke dalam peti yang akan dibuang ke laut. Akan tetapi, anak itu selamat, dan diadopsi oleh raja-ratu kerajaan Siam sebagai putra mereka. Ia dibesarkan layaknya putra kandung mereka sendiri. Namun, ketika bermain bersama anak-anak menteri dan pegawai kerajaan lainnya, putera Tun Telanai itu menunjukkan kekuatan yang dahsyat dan karakter yang membahayakan. Saat dewasa, ia ingin menyelidiki asal-asulnya. Diiringi tentara Siam, ia7 pun pergi ke Jambi. Tapi ternyata Tun Telanai menolak mengakuinya sebagai anak. Selanjutnya pecahlah pertempuran antara Tun Telanai dan putranya. Tidak ada yang menang. Melihat hal ini, Tun Telanai memutuskan bahwa salah satu di antara mereka harus kalah agar pertempuran berakhir. Ia pun memberi petunjuk kepada anaknya bagaimana cara untuk membunuhnya. Setelah membunuh ayahnya, putra Tun Telanai membawa seluruh rakyat ke Siam, meninggalkan kerajaan itu. Seiring bergulirnya waktu, kerajaan itu berubah menjadi hutan belantara. Inilah akhir dari Hikayat Tun Telanai.

Bagian HNJ berikutnya, Hikayat Orang Kaya Hitam, bermula dengan kisah seorang pangeran Turki, Datuk Paduka Berhala. Bangkai kapalnya ada di pulau Berhala yang terletak antara pulau Singkep dan muara Batang Hari. Di sana ia membangun pemukiman, dan pergi ke Palembang untuk menikah dengan anak perempuan Demang Lebar Daun. Setelah Datuk Paduka Berhala wafat, anaknya, yaitu Datuk Paduka Ningsun melaksanakan wasiat ayahnya untuk membangun pemukiman baru di Ujung Jabung (kini Tanjung Jabung) yang berlokasi di wilayah daratan. Berdasarkan wasiat ayahnya pula, Datuk Paduka Ningsun mulai menyerahkan upeti tahunan kepada kerajaan Mataram Jawa. Ketika ia wafat, anak sulungnya, yaitu Orang Kaya Hitam menjadi pengusa baru dan memindahkan ibu kota serta seluruh rakyatnya lebih ke hulu, ke Muara Simpang.

Orang Kaya Hitam berhenti mengirim upeti ke Mataram dan menerima surat murka dari raja Jawa. Dengan menyamar, Orang Kaya Hitam serta dua saudaranya pergi ke Mataram. Di sana mereka mendapatkan keris sakti.8 Sekembalinya dari Jawa, Orang Kaya Hitam menaklukkan seluruh kampung yang terletak di hulu sungai Batang Hari hingga Muara Tembesi. Lantaran Orang Kaya Hitam tidak punya anak, maka setelah ia wafat kerajaan itu diperintah oleh saudara-saudaranya. Salah satu dari mereka, Orang Kaya Mamak, pergi ke Jawa, menikah dengan perempuan Jawa, dan dikaruniai lima anak. Sesudah saudaranya yang terakhir wafat, Orang Kaya Mamak dipanggil pulang ke Jambi untuk memimpin kerajan itu, tetapi meninggal dalam perjalanan. Inilah akhir Hikayat Orang Kaya Hitam dan tiga saudaranya.

Pada permulaan bagian berikutnya, Hikayat Pangeran Rengas Pendek, kelima anak Orang Kaya Mamak harus mengangkat raja baru Jambi dari kalangan mereka sendiri, untuk memenuhi wasiat ayah mereka. Pertama-tama, mereka memindahkan ibu kota ke Rengas Pendek, lebih ke hulu, dan kemudian memilih saudara termuda mereka untuk menjadi raja dengan gelar Pangeran Rengas Pendek.

Cerita sekarang berpindah ke Puteri Pinang Masak, anak perempuan Yang Dipertuan Minangkabau. Ingin membangun tempat tinggalnya sendiri, ia meninggalkan Minangkabau dan bermukim di wilayah yang dahulu kala dikuasai oleh Tun Telanai, yang hingga saat itu masih berupa hutan belantara. Mendengar hal ini, Pangeran Rengas Pendek mengirim duta untuk mengunjungi Sang Puteri. Kemudian pangeran menemui sendiri Sang Puteri. Kasih sayang yang terbit di dalam lubuk hati mereka, berujung di pelaminan. Mereka kembali untuk hidup bersama di Rengas Pendek. Mereka dikaruniai empat anak. Inilah akhir Hikayat Pangeran Rengas Pendek.

Bagian selanjutnya, fasal keempat, berkisah tentang anak-anak Pangeran Rengas Pendek, yang memindahkan ibu kota ke hulu. Sebelum memilih raja dari kalangan mereka sendiri, mereka memulai ekspansi lanjutan, berencana menaklukkan seluruh daerah pedalaman anak sungai Batang Hari. Mendengar keberhasilan penaklukan mereka, Yang Dipertuan Minangkabau menghimpun prajurit dan rakyatnya, dan pergi ke Tanjung Semalidu yang terletak di perbatasan Minangkabau-Jambi. Di sana ia pun sadar bahwa pesaing potensialnya yang berasal dari Jambi adalah cucu-cucunya sendiri. Disaksikan Yang Dipertuan Minangkabau, empat kakak-beradik itu memilih yang paling muda di antara mereka, yaitu Panembahan Di Bawah Sawah, sebagai raja berikutnya. Mereka juga membuat kesepakatan dengan orang-orang Minangkabau terkait pembagian wilayah kekuasaan dan batas-batas kerajaan.

Dalam perjalanan pulangnya, Panembahan Di Bawah Sawah mengumpulkan makanan dari kampung-kampung jajahan yang baru ditaklukkan, mengirim makanan itu ke hilir menggunakan ratusan rakit yang terbuat dari batang pisang. Rakit-rakit itu berhenti di sebuah tempat bernama Tanah Pilih (sekarang ibu kota Provinsi Jambi), di mana Panembahan naik ke daratan dan bertapa selama tujuh hari tujuh malam. Akhirnya, ada dua roh leluhur yang datang menemuinya. Dengan imbalan baju Panembahan sendiri, kedua roh leluhur itu memberinya tiga benda pusaka: Si Jimat (sebuah meriam keramat), Si Timang Jambi (sebuah gong), dan Si Macan Turu (sebuah tombak). Setelah itu, rakyat mulai membangun benteng dan kota, tepat ketika Panembahan Di Bawah Sawah dianugerahi aneka gelar dan jabatan oleh saudara-saudaranya.

Panembahan Di Bawah Sawah punya dua anak, seorang puteri yang menikah dengan raja Johor, dan seorang putera yang setelah kematian ayahnya mewarisi tahta kerajaan dengan gelar Sultan Agung Seri Ingalaga, penguasa Jambi pertama yang menyandang gelar sultan. Di titik ini, bagian HNJ yang bernuansa legenda berakhir karena kami percaya bahwa Sultan Agung adalah raja yang menguasai Jambi pada abad XVII. Para sejarawan menjumpai nama Sultan Agung dalam sumber-sumber Eropa.

Sisa bagian keempat dan seluruh fasal kelima juga cukup menarik, karena di sini kita punya kesempatan untuk membandingkan naskah Melayu dengan sumber Belanda, tetapi kajian itu jauh melampaui lingkupan artikel ini. Sekarang, mari kita amati bagaimana pengarang HNJ menata informasi dari sumber-sumber lokal yang tersedia dalam rangka menyusun narasi tentang Jambi mengikuti pola umum naskah-naskah kesejarahan Melayu.

Naskah kesejarahan Melayu punya dua fungsi. Pertama, menjabarkan darah ningrat dan legitimasi sebuah dinasti. Kedua, narasi itu disusun sedemikian rupa untuk mengungkapkan makna tersembunyi dari berbagai peristiwa dan hakikat tak terlihat yang bekerja di bawah permukaan yang kasat mata (Braginsky 1983: 101-102). Bagian pertama biasanya berisi mitos tentang asal-usul dinasti yang sedang berkuasa, berdasarkan mitos lokal tentang kesatuan langit (matahari), air, dan bumi. Ini membuat dinasti yang sedang berkuasa tampak sebagai penjelmaan tata kosmik dan tata sosial. Dengan demikian, melegitimasikan haknya untuk menguasai seluruh subyeknya. Bagian kedua memaparkan periode sejarah. Bagian ini memuat daftar penguasa dan kebijakan-kebijakan mereka, dilengkapi dengan laporan peristiwa-peristiwa terpenting yang terjadi pada rezim masing-masing. Pemilihan peristiwa mana yang diceritakan,  dan bagaimana hubungan antarperistiwa itu, tergantung pada kemauan pengarang sendiri.

Pada kasus HNJ, pengarang di dalam benaknya memiliki ide terutama tentang relasi hulu-hilir dalam kerajaan Jambi.9 Pendek kata, hakikat relasi itu adalah dominasi ekonomi-politik orang-orang asing yang berasal dari hilir terhadap penduduk asli yang bermukim di hulu, dan segala hal yang merupakan akibat dari situasi tersebut. Karena pengarang HNJ termasuk orang-dalam istana, ia punya hubungan yang kuat dengan dinasti yang sedang berkuasa, dan karena itu, salah satu tugasnya adalah membuktikan legitimasi dan hak dinasti itu untuk menguasai seluruh wilayah Jambi. Situasinya, bagaimana pun juga, lebih kompleks lagi. Bagian akhir HNJ mengandung keterangan yang lebih relevan dengan situasi politik di Jambi pada masa disusunnya hikayat itu, dan yang menggunakan pendekatan relasi hulu-hilir dari sudut pandang yang lain.10

Tidak kurang pentingnya tugas pengarang HNJ yang kedua. Pertama, memposisikan Jambi dalam ruang dan waktu. Maksudnya, menempatkan Jambi di antara kerajaan-kerajaan yang terkuat di sekitarnya—bahkan bila kekuatan mereka telah lama melemah dan pada waktu itu telah menjadi legenda belaka—yaitu Malaka, Johor, dan Mataram (dalam HNJ, yang disebut sebagai Mataram adalah Jawa dalam seluruh periode sejarahnya). Kedua, mengaitkan Jambi dengan keagungan masa lalu. Jadi, secara magis mencoba menjamin terwujudnya keagungan masa depan.

Sekarang, mari kita perhatikan bagaimana pengarang menggunakan legenda-legenda lokal untuk membangun narasinya.

Bagian pertama, oleh pengarang diberi judul Hikayat Tun Telanai, hampir independen dari bagian-bagian HNJ lainnya. Bagian ini terhubung dengan bagian HNJ lainnya hanya ketika pengarang menyebutkan kerajaan Tun Telanai yang didiami kembali oleh Puteri Pinang Masak saat ia meninggalkan Minangkabau. Tetapi, di dalam cerita-cerita rakyat, Tun Telanai sering disebut bersama dengan Puteri Pinang Masak, sebagai seorang peminang yang gagal, yang terperdaya oleh muslihat Sang Puteri. Tun Telanai tidak mampu memenuhi persyaratan yang diajukan oleh Sang Puteri, yakni membangun sebuah istana dalam waktu satu malam. Dalam salah satu cerita rakyat, setelah gagal meminang Sang Puteri, Tun Telanai mengangkat Sang Puteri sebagai anak perempuannya. Kemudian Sang Puteri menjadi ratu dan menikah dengan Datuk Paduka Berhala untuk mulai membentuk dinasti (Andaya, 1993: 2012). Dalam cerita rakyat yang lain, setelah gagal membangun istana dalam satu malam, Tun Telanai merasa frustasi, dan menendang istana yang belum rampung itu. Istana itu roboh seketika. Batu-batunya jatuh di dekat Muara Tebo pada sebuah tempat bernama Kampung Candi, yaitu Kampung Percandian Hindu (Kahar dkk., 1980/1981: 71-72). Dalam cerita rakyat yang sama—rupanya merupakan sebuah campuran dari dua cerita berbeda—kisah itu disambung dengan: “Setelah itu, Tun Telanai punya seorang anak...”, kemudian dihubungkan dengan kisah putera Tun Telanai (tak disebutkan siapa ibunya) yang ditakdirkan akan membunuh ayahnya, dengan detail yang sama seperti di dalam HNJ.

Di dalam HNJ, hubungan antara kisah Tun Telanai ini dengan sisa-sisa peradaban Hindu juga dibangun dengan jelas. Bekas ibu kota kerajaan Tun Telanai dinyatakan masih tampak di Jambi.11 Baru setelah berdoa kepada dewa Hindu, istrinya memperoleh seorang anak. Tun Telanai sendiri bermain catur dengan salah seorang pengawalnya, Si Pahit Lidah. Pion catur yang mereka pakai terbuat dari batu, dan disebutkan bahwa satu set perlengkapan catur yang sama disimpan di dalam istana Sultan yang tengah berkuasa. Tak jauh dari ibu kota Jambi, terdapat salah satu jejak peninggalan agama Hindu: empat batu prasejarah yang oleh penduduk setempat dinamakan batu catur (empat batu, atau batu catur), untuk menjelaskan bahwa pada masa lalu para raja menggunakan batu-batu itu untuk bermain catur.12

Dalam sebuah cerita rakyat, di mana anehnya Si Pahit Lidah adalah perempuan yang tergila-gila pada Raja Banting, seorang Jawa, Tun Telanai menjadi putera raja ini. Tun Telanai datang ke Jambi dalam rangka mencari Raja Banting dan membunuh ayahnya itu karena Sang Raja enggan pulang ke Jawa (Kearifan 1993: 127-129).  Disebutkan, kisah ini berasal dari seorang lelaki yang pernah bekerja sebagai juru tulis di istana Jambi. Editornya menambahkan:

... cerita tentang Tun Telanai ini ada yang menceritakan bahwa dia adalah seorang anak yang durhaka, membunuh ayahnya sendiri, ibunya berasal dari Siam bapaknya dari India merantau ke Jambi.13

Hikayat Tun Telanai menggambarkan tokoh Tun Telanai. Pada satu sisi, ia adalah raja Jambi dan nenek moyang rakyat Jambi yang digdaya. Tetapi pada sisi yang lain, ia dihubungkan-hubungkan dengan peradaban Hindu masa lampau dan tidak mempunyai masa depan. Inilah sebabnya mengapa HNJ menyebutkan bahwa orang-orang Siam14 membawa seluruh rakyat Jambi ke negeri mereka dan meninggalkan kerajaan itu dalam keadaan tak berpenghuni. Dalam pandangan masyarakat Melayu abad XIX, peradaban Hindu masa lampau tampak amat jauh jaraknya, jika bukan dianggap tidak ada lagi. Bahkan, ketika beberapa cerita rakyat mengisahkan bahwa Tun Telanai tidak lenyap sama sekali ataupun tidak dibunuh, dia mewariskan kerajaannya, tidak kepada keturunan kandungnya, tetapi kepada anak perempuan angkatnya, dan di Jambi ia tidak meninggalkan sesuatu pun kecuali kisah jejak langkah dan legendanya.

Masa lampau ini ditulis menurut konvensi sejarah, jika bukan konvensi sastra. Kebanyakan naskah kesejarahan, mulai dari Sejarah Melayu hingga Hikayat Merong Mahawangsa, mencantumkan deskripsi periode Hindu, tetapi di dalam HNJ deskripsi itu tidak dalam bentuk mitos asal-usul (the myth of origin), melainkan dalam bentuk yang lebih menyerupai hikayat petualangan dengan formula dan motif konvensionalnya, dengan awal dan akhir yang pasti, dengan demikian benar-benar menciptakan jarak antara kedua bagian narasi itu, yaitu antara bagian pertama, Hikayat Tun Telanai, dengan bagian kedua, Hikayat Orang Kaya Hitam.

Periode selanjutnya bermula dari hal yang baru, yang sungguh berbeda tokoh dan latarnya. Satu-satunya kaitan antara bagian pertama dan kedua HNJ adalah Puteri Pinang Masak. Di dalam cerita rakyat, ia dihubung-hubungkan dengan Tun Telanai maupun Datuk Paduka Berhala. Di dalam HNJ, ia dihubungkan, meskipun secara tak langsung, dengan Tun Telanai (dengan menempati daerah yang pernah Tun Telanai kuasai) dan dengan Datuk Paduka Berhala (dengan menikahi salah seorang keturunannya).

Datuk Paduka Berhala, yang di dalam cerita rakyat ataupun di dalam HNJ dikatakan sebagai pangeran yang berasal dari Turki (Rum), dikenal oleh orang Minangkabau (dengan gelar Suri Maharaja Di Raja), sebagai salah satu penguasa Hindu mereka dahulu kala (Westenenk, 1916: 245, 255). Di dalam inskripsi Melayu Minangkabau yang berasal dari pedalaman Kerinci yang ditulis pada tanduk kerbau dengan aksara rencong Sumatera Selatan, Paduka Berhala disebut sebagai nenek-moyang penduduk Padang Panjang, yaitu Minangkabau, dan cucunya bernama Puteri Unduk Pinang Masak, sedangkan saudaranya bernama Perpatih Nan Sebatang, seorang pahlawan Minangkabau (Westenenk, 1922). Sang Puteri harus meninggalkan kampung halamannya dan mengadakan perjalanan berkeliling, pertama kali bersama ibunya, kemudian sendirian. Tampaknya, ide puteri Minagkabau yang merantau, dibutuhkan oleh orang Melayu Jambi untuk menguatkan klaim mereka demi menguasai wilayah hulu. Sejauh ini, saya belum menemukan bukti yang mendukung asumsi ini dalam sumber-sumber Minangkabau. Orang Minangkabau terkenal karena adat merantau mereka, tetapi para perantau itu adalah laki-laki, sedangkan hak waris tanah dan properti dipindahtangankan melalui garis perempuan.

Dalam berbagai cara pengungkapan, Datuk Paduka Berhala dan keturunannya mirip dengan Iskandar Zulkarnain, leluhur legendaris sultan-sultan Malaka serta anak-cucunya. Seperti Iskandar, Datuk Paduka Berhala datang dari Byzantium.15 Seperti Sang Sapurba, Datuk Paduka Berhala, seorang asing, menikahi puteri pemimpin setempat, Demang Lebar Daun. Dengan demikian, membangun ikatan dengan dunia Melayu. Seperti Sultan Mansur Shah, Orang Kaya Hitam menikahi puteri raja Jawa,16 memastikan kemerdekaan dan kedudukan sederajatnya dengan kerajaan yang kuat itu.

Baik di dalam HNJ atau pun di dalam cerita rakyat, Orang Kaya Hitam adalah sosok yang pertama kali memerintahkan penghentian pengiriman upeti ke Mataram. Ini menunjukkan terjadinya perkembangan kekuatan pertahanan kerajaan karena ibu kotanya pindah menjauh dari laut dan mendekat ke daerah pedalaman. Sejak peristiwa penghentian pengiriman upeti itu, perpindahan ibu kota lebih ke hulu mendominasi narasi. Masing-masing penguasa berikutnya, terus memindahkan ibu kota ke arah hulu, hingga memuncak pada pernikahan cucu Datuk Paduka Berhala dengan Puteri Pinang Masak; pasangan itu membangun ibu kota kerajan mereka di wilayah yang dahulu kala menjadi kerajaan Tun Telanai—di mana Telanaipura, ibu kota Provinsi Jambi saat ini, terletak. Wilayah ini dapat disebut sebagai tanah tak bertuan. Kerajaan yang baru dibangun itu diperintah oleh seorang lelaki dari hilir dan seorang perempuan dari hulu (Minangkabau). Dengan demikian, mengukuhkan hak anak-cucu mereka untuk menguasai seluruh teritorial Jambi. Selanjutnya, kami menemukan maksud diceritakannya pernikahan ini, yaitu ketika generasi berikutnya memulai ekspansi baru ke wilayah hulu dan bertemu dengan Yang Dipertuan Minangkabau di Semalidu—yang mengakui mereka sebagai cucunya sendiri—untuk menetapkan batas di antara dua kerajaan itu. Ketika penguasa Jambi sampai pada wilayah perbatasan mereka dan menetapkan ibu kota baru yang permanen, kodrat relasi hulu-hilir berubah: sejak itu, wilayah hulu mengabdi tidak sebagai obyek ekspansi atau daerah jajahan, tetapi sebagai daerah yang menyokong penguasa (atau leluhurnya) ketika berlangsung konflik dengan kekuatan eksternal atau dengan kekuatan di dalam dinasti itu sendiri. Pada saat yang sama, relasi hulu-hilir itu berhenti mendominasi narasi, dan tema pokok HNJ berganti menjadi (1) susunan struktur kerajaan dan (2) relasi eksternal dengan Johor, Palembang, dan Belanda.

Pada bagian awal HNJ, deskripsi relasi Jambi dengan kerajaan lain terbatas pada perjalanan Orang Kaya Hitam ke Mataram. Petualangannya di sana menjadi bahan baku dari beberapa legenda yang menceritakan kisah tersebut secara lebih rinci daripada HNJ. Tetapi sebagai legenda dan teks sastra, esensi semua cerita itu sama: Jambi menolak menyerahkan upeti ke Jawa, penguasanya pergi ke sana, menikahi seorang puteri Jawa, dan mendapatkan sebuah keris sakti yang menjadi pusaka suci keluarganya. Motif yang sama kita temukan di dalam Sejarah Melayu dan Hikayat Hang Tuah, walaupun di dalam kedua naskah itu Sultan Malaka-lah yang menikahi sang puteri, sementara seluruh pertempuran dijalankan oleh Hang Tuah yang mendapatkan keris sakti.

Di dalam HNJ, segalanya dijalankan oleh Orang Kaya Hitam sendiri. Kedua saudaranya yang menemaninya pergi ke Jawa, melulu beraksi sebagai penonton ketika Orang Kaya Hitam mengamuk dan ketika ia berdamai dengan Sultan Mataram, itu pun jika mereka dianggap beraksi. Agaknya, sekembalinya dari Jawa, Orang Kaya Hitam menjadi lebih kuat daripada Mansur Shah, Sultan Malaka. Ia tidak hanya menikahi seorang puteri Jawa, yang mengukuhkan persahabatan dengan kerajaan yang kuat dan mengancam ini, tetapi juga memperoleh sebuah keris sakti, dua tombak, dan sebuah pedang. Di antara senjata-senjata itu, kerislah yang paling penting karena dalam segala hal keris itu persis seperti Taming Sari-nya Hang Tuah: pada mulanya keris itu ditempa untuk membunuh Orang Kaya Hitam, tetapi ia malah memperoleh senjata mematikan itu, kemudian keris itu menjadi sarana yang memuluskan keberhasilannya. Hang Tuah, setelah menjadi prajurit yang kuat, menjadi benar-benar tidak terkalahkan. Orang Kaya Hitam, setelah menjadi menantu Sultan Jawa, menaklukkan wilayah hulu hingga Muara Tembesi—hampir setengah dari panjang Sungai Batang Hari; dengan demikian, meletakkan landasan substansial untuk ekspansi berikutnya.

Pencarian pusaka tersebut mencapai puncaknya pada fasal keempat. Panembahan Di Bawah Sawah, penguasa legendaris terakhir dan ayah tokoh sejarah pertama di dalam HNJ, memperoleh sebuah meriam keramat, gong, dan tombak dari roh leluhur setempat ketika ia kembali dari perjalanannya dari hulu, di mana ia telah membuat perjanjian dan manandai perbatasan wilayah dengan orang-orang Minangkabau. Pada tokoh ini, terangkum seluruh motif konseptual HNJ. Ia merupakan keturunan seorang pangeran muslim, seorang pemimpin Melayu, seorang sultan Jawa, dan seorang penguasa Minangkabau. Ia tinggal di kerajaan yang dulu pernah didiami rakyat lokal di mana masih terdapat sisa-sisa peradaban Hindu. Ia membangun ibu kotanya di antara hulu dan hilir sungai Batang Hari. Ia memiliki pusaka dari Jawa dan dari roh leluhur setempat. Puterinya menikah dengan penguasa Johor dan puteranya menikmati kemenangan dalam peperangan melawan kesultanan yang kuat ini.17 Namun demikian, puteranya tidak saja menjadi pemenang perang, tetapi juga menyaksikan kedatangan Belanda, dan kecewa berat dengan sahabatnya itu karena Sultan yang sedang berkuasa ditangkap dan dibuang ke Batavia.

Rupanya, saat menyusun narasinya, kepala pengarang HNJ disesaki dengan semua konsep dan peristiwa itu. Dalam menyusun HNJ, ia menggunakan mitos dan legenda lokal, dan mencari inspirasi dari Sejarah Melayu dan naskah kesejarahan Melayu lainnya.

Oriental Centre
Russian State Library
3/5 Vozdvizhenka Street
Moscow
Russia 119019

Email: skuk@rsl.ru



Catatan Akhir:

1.      Versi asli artikel ini dibacakan dalam bahasa Melayu pada Seminar Antarbangsa Kesusasteraan Melayu di Kuala Lumpur pada 2-3 September 1999, diselenggarakan oleh Dewan Bahasa dan Pustaka bekerja sama dengan Universiti Kebangsaan Malaysia.
2.     Sebagai contoh, Andaya (1993), yang mengkaji periode abad XVII dan XVIII, dan Locher-Scholten (1994) yang mengkaji relasi antara Jambi dengan pemerintah kolonial Belanda pada abad XIX.
3.     Yang mana, dalam hal ini, baik Sejarah Melayu atau naskah kesejarahan Melayu lainnya tampaknya disusun menurut sebuah pola yang sama. Tentang historiografi tradisional Melayu, lihat Braginsky (1998: 136-151, 339-350). Contoh naskah kesejarahan Melayu yang disusun menurut standar historiografi Islam dan menggunakan banyak sumber Melayu adalah Tuhfat al-Nafis karya Raja Ali Haji (Hooker, 1991).
4.     Terdapat pula naskah berjudul Cerita Negeri Jambi (KITLV Or. 71 MS.) yang tidak memaparkan sejarah kerajaan sebagai suatu keseluruhan, tetapi hanya menerangkan beberapa episode sejarahnya pada abad XIX.
5.      Bagian ini mencakup hampir separuh dari keseluruhan naskah. Salah satu manusikrip, Leiden Cod. Or. 12182, dikatalogisasi oleh van Ronkel (1921: 44) dengan judul Hikayat Toewan Tilani.
6.     Inter alia, Tun Telanai disebut-sebut dalam Sejarah Melayu, bukan sebagai nama orang, tetapi sebagai sebuah gelar yang kedudukannya di dalam istana sejajar dengan Bendahara, Laksamana, dan lain sebagainya (Shellabear, 1996: 122).
7.      Di dalam HNJ, ia hanya disebut sebagai anak angkat Raja Siam, tetapi di dalam cerita rakyat yang mengisahkan cerita yang sama, ia bernama Bujang Jambi.
8.     Keris ini dipercaya sebagai salah satu pusaka kerajaan Jambi (Legende, 1906). Sekarang, keris ini bersama sebuah pusaka lainnya disimpan di Museum Pusat di Jakarta (Locher-Scholten: 586).
9.     Untuk memahami lebih rinci konsep ini sebagaimana terungkap dalam sejarah Palembang dan Jambi, lihat Andaya (1993: 13-20).
10. Pada Oktober 1855, sultan baru Jambi, Taha Safiuddin, dinobatkan. Pada September 1858, ia digulingkan oleh Belanda dan melarikan diri ke hulu, dari mana ia melancarkan pemberontakan selama 46 tahun hingga ia meninggal pada 1904. Paman Taha menjadi sultan selanjutnya dan menandatangani kesepakatan dengan Belanda. Inilah alasan mengapa keponakannya memberontak. Karena hal ini pula, hubungan konfliktual antara hilir yang loyal dan hulu yang pemberontak tidak pernah benar-benar terdamaikan.
11.   ‘... sampai sekarang ada juga bekas negeri itu’.
12.  Pegawai Belanda yang mengunjungi tempat ini pada 1870-an mengamati bahwa orang Melayu tidak paham arti kata catur (‘empat’; dipinjam dari bahasa Sansekerta). Dalam rangka menjelaskan arti kata itu, dibuatlah sebuah legenda yang menyertakan catur sebagai kata yang lebih familiar (Reizen, 1882: 203). Kata ini, bagaimana pun juga, dalam bahasa Sansekerta dan Jawa memiliki dua arti: empat dan catur. Sebab, permaianan catur yang berasal dari India dimainkan oleh empat orang, tidak dua orang seperti permainan catur modern.
13.  Lihat Kearifan, 1993: 129
14.  Hubungan dengan Siam, musuh kuat kerajaan-kerajaan Melayu di Selat Malaka dan Semenanjung Melayu, bagi saya pertama-tama tampak sebagai sebuah konvensi belaka pada waktu itu, tetapi menurut Schnitger (1964: 21), ‘di aneka tempat di timur Jambi telah ditemukan perunggu bercorak Siam.’
15.  Maksudnya, Rum. “Rum”, bagi orang Melayu, mempunyai arti ganda. Pertama, Yunani Kuno (kemudian Byzantium), tanah air Aleksander. Kedua, kekaisaran Turki yang menaklukkan Konstantinopel dan kemudian berkembang menjadi kerajaan Islam yang paling kuat di dunia. Tentang Iskandar, Sejarah Melayu menyebut: ‘Rum bangsanya’, ‘ia berasal dari Rum’ (Shellabear, 1996: 3). Tetapi, dalam hal ini, yang disebut Rum bukanlah kekaisaran Romawi, bukan pula kekaisaran Romawi Barat yang beribu kota di Roma. Dalam hal ini, Rum adalah apa yang dikenal sebagai ‘Roma Kedua’, yakni Byzantium. Perlu diperhatikan bahwa dalam bahasa Slavonia kuno kata yang digunakan untuk menunjuk Yunani-Byzantium adalah romei, sedangkan kata sastrawinya adalah ‘Romans’.
16.  Di dalam HNJ, raja Jawa yang dimaksud di sini adalah raja Mataram, tetapi di dalam salah satu legenda ia juga muncul sebagai raja Majapahit (Legende, 1906).
17.  Tentang sejarah peperangan ini, lihat Andaya, 1975: 84-102.


Referensi

Manuskrip:

Hikayat Negeri Jambi
Leiden Universiteitsbibliothek. Cod. Or. 12182 (aksara Jawi)
Leiden Universiteitsbibliothek. Cod. Or. 1213 (aksara Jawi)
Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde. MS. 72 (aksara Latin)

Sumber Tercetak:

Andaya, L.Y. 1965. The Kingdom of Johor, 1964-1728. Kuala Lumpur: Oxford University Press.
Andaya, B.W. 1993. To Live as Brothers: Southeast Sumatra in the Seventeenth and Eighteenth Centuries. Honolulu: University of Hawai Press.
Braginsky, V.I. 1983. Istoriya Malayskoy Literatury VII-XIX Vekov (A History of Malay Literature in the 7-19 Centuries). Moskva: Nauka.
Thabran Kahar, dkk. 1979. Ceritera Rakyat Daerah Jambi. Jakarta: Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Thabran Kahar, dkk. 1980/1981. Ceritera Rakyat (Mite dan Legende) Daerah Jambi. Buku II. Jakarta: Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Legende 1906. Legende van de kris Si Gendje, zooals die den Assistent-Resident van Djambi door eenige oude anaq-radja werd medegedeeld, met, als aanhangsel, se legende omtrent Si Gendje Maboek, zooals die aan den controleur R.C. van der Bor in het Soeroelangoensche is verhaald. Tijdschrift voor Indische Taal-, Land- en Volkenkunde, 48 (2), 113-160.
Locher-Scholten E. 1993. Rivals and rituals in Jambi, South Sumatra (1857-1901), Modern Asian Studies, 27 (3), 573-591.
Locher-Scholten E. 1994. Sumatraans sultanaat en koloniale staat: de relatie Djambi-Batavia (1830-1907) en het Nederlandsche imperialisme. Leiden: KITLV Press. (Verhandelingen van het Koninklijk instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde, 161.)
Reizen.  1882. Reizen in Midden-Sumatra. 1877-1879. Door de leden der Sumatra-expeditie, uitgerust door het Aaardrijkskundig genootschap. Twede gedeelte, berschreven door C.H. Cornelissen, A.L. van Hasselt en Joh. F. Snelleman, leden der expeditie. Leden: E.J. Brill.
Ronkel, Ph.S. van. 1921. Supplement-catalogus der Maleische en Minangkabausche handschriften in de Leidsche Universiteits Bibliotheek. Leiden: E.J. Brill.
Schnitger, F.M. 1964. Forgotten Kingdom in Sumatra. Leiden: E.J. Brill.
Shellabear, W.G. 1996. Sejarah Melayu. Kuala Lumpur: Fajar Bakti.
Westenenk, L.C. 1916. Opstellen over Minangkabau. II. Padang-Padang Pandjang in de Lareh nan Pandjang. Tijdschrift voor Indische Taal-, Land- en Volkenkunde, 57, 241-262.
Westenenk, L.C. 1922. Rencong-Schrift. II. Beschreven hoorns in het landschap Krintji. Tijdschrift voor Indische Taal-,, Land- en Volkenkunde, 61, 95-110.

***

Kesimpulan dari dan catatan saya atas kajian di atas:

1.       HNJ disusun secara kronologis, sejak awal mula berdirinya negeri Jambi sampai naskah itu ditulis. Bagian pertama, yang bersifat legenda, terdiri dari: 1) hikayat tun telanai;
2) hikayat orang kaya hitam;
3) hikayat pangeran rengas pendek; dan
4) permulaan fasal keempat.
Bab (1) dan bab (2) seakan-akan terpisah, tidak punya jalinan yang kuat, dan hanya diikat oleh satu tokoh dan peristiwa: Puteri Pinang Masak (dan suaminya) yang menempati atau mendirikan kerajaan baru di bekas kerajaan Tun Telanai. Keberadaan Tun Telanai di bab (2) sama sekali hilang, benar-benar dilupakan, dan karena itu, ia seakan-akan hanya punya dan menjadi masa lalu belaka, tetapi tidak punya masa depan, kecuali sebagai leluhur raja-raja Jambi. Tun Telanailah yang menghubungkan kerajaan Jambi yang baru dengan sisa peradaban Hindu. Bab (3) dan fasal (4) adalah kelanjutan dari bab (2). Ada lima pola narasi yang menonjol dalam bagian pertama ini:
a) pemindahan ibu kota lebih ke hulu yang terjadi terus menerus secara berkesinambungan;
b) pernikahan yang dijadikan alat untuk memperdamaikan atau mengikat tali persahabatan dan politik dengan kerajaan musuh;
c) usaha mengharmoniskan relasi hulu-hilir;
d) menempatkan Jambi di antara berbagai kerajaan kuat di kala itu: siam, mataram, malaka, johor, dan pelembang; dan
e) pencarian keris pusaka untuk memperoleh legitimasi kekuasaan dan ekspansi.
Bagian kedua, yang bersifat historis, terdiri dari: 1) sisa fasal (4) dan fasal (5). Dalam artikel di atas, bagian ini tidak disinggung karena di luar ruang lingkup kajian.

2.      Sumber HNJ terbagi dua: sumber informasi cerita dan sumber pola narasi. Informasi cerita bersumber dari mitos dan legenda lokal yang diolah kembali oleh pengarang sesuai dengan motif konseptualnya dalam menyusun HNJ. Pola narasi bersumber dari naskah-naskah melayu lain: sejarah melayu dan hikayat hang tuah. Buktinya:
a)     Peran orang kaya hitam dalam memperoleh keris sakti dan dalam peperangan serupa dengan peran hang tuah. Fungsi siginjai dan taming sari dalam kedua cerita itu sama.
b)     Peran datuk paduka berhala mirip dengan izkandar zulkarnaen, leluhur raja-raja malaka. Keduanya bersal dari rum.
c)      Peran datuk paduka berhala ketika menikahi puteri raja setempat supaya ia diterima di kalangan orang melayu sama dengan peran sang sapurba yang juga menikahi puteri raja melayu setempat.
d)     Orang kaya hitam sama seperti mansur shah: menikahi seorang puteri raja jawa. Dengan narasi pernikahan itu, hubungan diplomatik antara kerajaan mereka dengan kerajaan mataram-jawa dijalin secara fiksional.
e)     HNJ sama fungsinya dengan sejarah melayu dan hikayat hang tuah: menyelamatkan keagungan masa lalu untuk dipelajari dan dipercayai oleh generasi kemudian, menjelaskan proses keruntuhan kerajaan, memaparkan darah ningrat raja-raja, melegitimasi kekuasaan raja yang tengah memimpin, dan tentu saja memperbesar kharisma dan wibawa raja yang mungkin sedang merosot ketika naskah-naskah itu ditulis.

3.      Fungsi HNJ tidak jauh berbeda dengan naskah kesejarahan melayu klasik lain:
a)     Menyelamatkan keagungan masa lalu
b)     Menjelaskan proses keruntuhan kerajaan
c)      Memaparkan the myth of origin
d)     Melegitimasi kekuasaan raja
e)     Mengungkapkan makna tersembunyi dari peristiwa atau benda (pusaka) yang tak kasat mata, misalnya kekeramatan keris pusaka dan lain sebagainya.

4.      Motif konseptual HNJ:
a)     Menyusun narasi yang menyatakan bahwa raja jambi adalah keturunan pangeran muslim dari turki, raja melayu, sultan jawa, dan raja minangkabau.
b)     Mengintegrasikan raja jawa dengan tradisi lokal setempat dan dengan peradaban hindu yang walaupun tinggal tersisa bekas-bekasnya saja namun masih kharismatis dalam pandangan masyarakat melayu jambi ketika itu, meski pun bagi mereka peradaban hindu adalah sesuatu yang amat jauh dari pandangan dan bahkan mungkin tidak mereka anggap ada lagi. di sini keagungan masa lalu berfungsi melegitimasi kekuasaan masa kini dan memastikan kejayaan masa depan. Tampaknya, dalam alam pikiran melayu(-jambi), ikatan dengan masa lalu pada khususnya, dan kontinuitas sejarah pada umumnya, adalah hal yang sangat penting.
c)      Mengharmoniskan hubungan hulu-hilir di kerajaan jambi yang saat itu sudah hampir tak mungkin terdamaikan, dengan menyusun cerita yang berusaha mengambil hati orang hulu, dengan menceritakan bahwa ibu kota kian lama kian bergeser ke arah hulu, dan bahkan akhirnya berdiri di antara hulu dan hilir. Saat itu, taha saifuddin bersemayam di hulu, dan melancarkan pemberontakan terhadap kerajaan boneka yang bertempat di hulu.
d)     Menyusun cerita yang menjelaskan bahwa raja jambi memiliki pusaka-pusaka suci dari jawa dan dari leluhur setempat. Pusaka ini menyongkong legitimasi kekuasaannya.
e)     Membangun pemahaman adanya ikatan kekeluargaan antara jambi dengan johor, dengan mengisahkan bahwa puteri raja jambi menikah dengan penguasa johor; tidak itu saja, tetapi juga membangun pemahaman bahwa jambi lebih unggul ketimbang johor, dengan mengisahkan bahwa pangeran jambi berhasil memenangkan perang jambi-johor.

5.      HNJ adalah karya sastra istana, seperti karya sastra klasik nusantara lainnya. Patron pengarang HNJ adalah raja jambi sendiri. dalam proses penyusunan HNJ, kita mengamati terjadinya pendekatan antara sastra tinggi dengan sastra populer (mitos dan legenda rakyat). Dan pendekatan itu lebih berupa penyimpangan plot dan maksud, disesuaikan dengan motif konseptual pengarang HNJ. Jadi, dulu, sikap orang melayu-jambi terhadap cerita rakyat tidak kaku, tetapi memanfaatkannya menurut kepentingan mereka sendiri. Kini, sikap mereka terhadap cerita rakyat terlihat kaku, bahkan memandang cerita itu sungguh-sungguh pernah terjadi dan para tokohnya benar-benar pernah hidup.

6.      Ketika HNJ disusun, terjadi proses semiotik yang kompleks.
a)     HNJ merupakan pemaknaan kembali atas cerita rakyat, legenda, dan mitos lokal.
b)     HNJ mengandung kesinambungan dengan sekaligus keterputusan dari konvensi sastra populer setempat kala itu.
c)      HNJ adalah refraksi dari realitas. Pengarangnya menyembunyikan realitas kerajaan Jambi yang sedang mulai runtuh ketika itu, dan sebagai gantinya, menyodorkan suatu dunia alternatif yang menggambarkan betapa kuatnya kerajaan Jambi.

2 komentar:

  1. nice post gan :D
    ane juga orang jambi :)

    BalasHapus
  2. ceritanya membingungkan. intinya saya suka jambi .. I love Jambi

    BalasHapus

mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam