Hikayat Negeri Jambi
(HNJ), naskah Melayu yang ditulis pada paruh kedua abad XIX, terdiri dari lima
bagian: Hikayat Tun Telanai, Hikayat Orang Kaya Hitam, Hikayat Pangeran Rengas Pendek, fasal keempat, dan fasal kelima. Dalam artikelnya di bawah ini, Sergei Kukushkin
menguraikan (1) struktur HNJ dari bagian pertama hingga permulaan fasal keempat, (2) sumber-sumber yang
digunakan untuk menyusun HNJ, serta (3) fungsi dan motif konseptual HNJ.
Artikel di bawah ini saya terjemahkan dari Hikayat Negeri Jambi: The Structure and
Sources of A Nineteenth-Century Malay Historical Work yang telah
diterbitkan dalam jurnal Indonesia and
the Malay World, Vol. 32, No, 92, Maret 2004, hlm. 53-61. Apabila
terjemahan ini dirasa tidak enak dibaca, sulit dimengerti, dan dalam
beberapa—atau bahkan mungkin seluruh—bagian tidak sesuai dengan versi bahasa
Inggrisnya, saya mohon maaf, sebab saya tidak mahir dalam bahasa Inggris maupun
bahasa Indonesia. Tanpa memperpanjang mukadimah, saya ucapkan saja: selamat
membaca, semoga bermanfaat.
HIKAYAT NEGERI JAMBI:
Struktur dan Sumber Sebuah Naskah Kesejarahan Melayu Abad
XIX1
Oleh: Sergei Kukushkin
Wilayah di timur Sumatera yang sekarang
dinamakan Jambi mempunyai sejarah yang kaya. Pada masa permulaan kerajaan
Hindu, Jambi menjadi kesultanan yang makmur dan kuat, secara bertahap jatuh di
bawah kontrol orang Eropa, dan sekarang menjadi bagian dari negara Indonesia.
Mengenai awal mula Jambi, kita tidak banyak
tahu. Namun demikian, periode semenjak abad XVII dan seterusnya digambarkan
secara detail dalam beberapa kajian2 yang terutama merujuk pada
sumber-sumber Eropa. Naskah kesejarahan berbahasa Melayu yang berasal dari
Jambi terbilang langka. Naskah-naskah tersebut disusun pada paruh kedua abad
XIX. Berdasarkan standar historiografi modern, sebagian besar informasi yang
tercantum di dalamnya sangat dapat digolongkan sebagai sejarah.
Pada saat yang sama, naskah-naskah tersebut
menyediakan kesempatan unik: memungkinkan kita untuk mengamati sejarah Jambi
melalui pandangan cendekiawan lokal yang hidup pada abad XIX yang percaya bahwa
catatannya atas berbagai peristiwa merupakan kebenaran, persis seperti
pendirian sarjana modern saat membuat rekonstruksi sejarah yang terutama
didasarkan atas sumber-sumber Eropa. Rujukan cendekiawan Melayu tradisional
beraneka ragam, termasuk Al-Qur-an dan al-Sunnah, yakni sumber pengetahuan
tertinggi dalam agama Islam. Untuk menciptakan pola narasi historis, ia
menggunakan naskah Melayu atau naskah asing3 sebagai model. Ia juga
menggunakan tradisi lokal sebagai sumber informasi yang relevan.
Salah satu naskah kesejarahan itu adalah Hikayat Negeri Jambi4
(selanjutnya disingkat HNJ). HNJ adalah naskah yang paling konsisten memuat,
dan sepenuhnya merupakan sebuah, narasi historis Melayu. HNJ menarasikan
sejarah kesultanan sejak awal hingga akhir, atau sejak penguasa pertama
bertahta hingga masa penulisan naskah tersebut. Ada dua manuskrip HNJ: Leiden
Cod. Or. 2013 dan Cod. Or. 12182. Keduanya adalah naskah asli yang ditulis pada
paruh kedua abad XIX. Saat itu, Belanda telah menguasai Jambi, memaksa Sultan
melarikan diri dari ibu kota, dan mengangkat salah satu anggota keluarganya sebagai
penguasa boneka.
Sebagaimana Sejarah Melayu, yang ditulis setelah kejatuhan Malaka untuk
mengabadikan kebesaran sejarah kerajaan itu bagi kepentingan generasi mendatang
dan untuk menjelaskan proses kehancurannya, HNJ mencerminkan pandangan dan sikap
penyusunnya terhadap sejarah Jambi—kerajaan yang bersaing dengan lawan yang
kuat tetapi seimbang, yaitu Johor dan Palembang—yang pada akhirnya jatuh ke
tangan orang-orang Eropa.
Berdasarkan tokoh-tokoh utamanya dan
hubugan mereka dengan alam dan politik, HNJ dapat dibagi menjadi beberapa
bagian: Hikayat Tun Telanai5,
Hikayat Orang Kaya Hitam, dan Hikayat Pangeran Rengas Pendek. Setelah
akhir bagian ketiga, masih ada dua bagian lanjutan, yang disebut fasal dan diberi nomor 4 dan 5 (bagian
ketiga juga disebut fasal, tetapi
tanpa nomor).
Dalam artikel ini, kami hanya akan mengkaji
tiga bagian pertama dan permulaan fasal
keempat saja yang tampaknya menjelaskan periode awal sejarah Jambi. Pada
periode ini, kita tidak mempunyai dekomentasi apa pun. Jadi, satu-satunya hal
yang dapat kita rekonstruksi adalah gagasan sejarah lokal yang tersimpan dalam
kepala pengarang HNJ ketika ia menulis naskah itu. Dalam masyarakat yang pada dasarnya tidak akrab dengan tradisi
tulis, ingatan kolektif masyarakat ditransmisikan secara lisan, dan pengarang
HNJ mesti menggunakan cerita rakyat dan legenda lokal (sebagai sumber rujukan
untuk menulis naskah tersebut). Di bawah ini saya akan menunjukkan bagaimana
dalam HNJ sumber lisan digunakan dan
diorganisir menurut gagasan tertentu.
Bagian pertama bercerita tentang negeri asal yang dikuasai Tun Telanai.
Nama tokoh ini tidak dikenal dalam literatur Melayu.6 Kerajaannya
terletak di dekat muara sungai, dan disebutkan bahwa kerajaan itu masih ada
bekasnya di sana. Tun Telanai dibantu lima hulubalang: Si Kentang Perak, Si
Mata Empat, Si Pahit Lidah, Si Tajam Burit, dan Si Tahi Mata. Tentang
cikal-bakal nama kerajaan itu, diceritakan bahwa: Tun Telanai memerintahkan Si
Pahit Lidah untuk menggali terusan yang membentang dari ibu kota sampai ke
laut. Tugas tersebut diselesaikan dalam waktu empat “jam”. Karena inilah
kerajaan itu dinamai Jam-bi.
Tun Telanai awalnya tidak punya anak.
Setelah jampi-jampi dukun ternyata gagal membuat istrinya hamil, ia berdoa
kepada dewa mohon diberi keturunan. Ada peramal yang memperingatkan Tun Telanai
bahwa anaknya kelak akan membunuhnya. Setelah anak itu lahir, Tun Telanai
memerintahkan agar anak itu dimasukkan ke dalam peti yang akan dibuang ke laut.
Akan tetapi, anak itu selamat, dan diadopsi oleh raja-ratu kerajaan Siam
sebagai putra mereka. Ia dibesarkan layaknya putra kandung mereka sendiri.
Namun, ketika bermain bersama anak-anak menteri dan pegawai kerajaan lainnya,
putera Tun Telanai itu menunjukkan kekuatan yang dahsyat dan karakter yang
membahayakan. Saat dewasa, ia ingin menyelidiki asal-asulnya. Diiringi tentara
Siam, ia7 pun pergi ke Jambi. Tapi ternyata Tun Telanai menolak
mengakuinya sebagai anak. Selanjutnya pecahlah pertempuran antara Tun Telanai
dan putranya. Tidak ada yang menang. Melihat hal ini, Tun Telanai memutuskan
bahwa salah satu di antara mereka harus kalah agar pertempuran berakhir. Ia pun
memberi petunjuk kepada anaknya bagaimana cara untuk membunuhnya. Setelah
membunuh ayahnya, putra Tun Telanai membawa seluruh rakyat ke Siam, meninggalkan
kerajaan itu. Seiring bergulirnya waktu, kerajaan itu berubah menjadi hutan
belantara. Inilah akhir dari Hikayat Tun
Telanai.
Bagian HNJ berikutnya, Hikayat Orang Kaya Hitam, bermula dengan kisah seorang pangeran
Turki, Datuk Paduka Berhala. Bangkai kapalnya ada di pulau Berhala yang
terletak antara pulau Singkep dan muara Batang Hari. Di sana ia membangun
pemukiman, dan pergi ke Palembang untuk menikah dengan anak perempuan Demang
Lebar Daun. Setelah Datuk Paduka Berhala wafat, anaknya, yaitu Datuk Paduka
Ningsun melaksanakan wasiat ayahnya untuk membangun pemukiman baru di Ujung
Jabung (kini Tanjung Jabung) yang berlokasi di wilayah daratan. Berdasarkan
wasiat ayahnya pula, Datuk Paduka Ningsun mulai menyerahkan upeti tahunan
kepada kerajaan Mataram Jawa. Ketika ia wafat, anak sulungnya, yaitu Orang Kaya
Hitam menjadi pengusa baru dan memindahkan ibu kota serta seluruh rakyatnya
lebih ke hulu, ke Muara Simpang.
Orang Kaya Hitam berhenti mengirim upeti ke
Mataram dan menerima surat murka dari raja Jawa. Dengan menyamar, Orang Kaya
Hitam serta dua saudaranya pergi ke Mataram. Di sana mereka mendapatkan keris
sakti.8 Sekembalinya dari Jawa, Orang Kaya Hitam menaklukkan seluruh
kampung yang terletak di hulu sungai Batang Hari hingga Muara Tembesi. Lantaran
Orang Kaya Hitam tidak punya anak, maka setelah ia wafat kerajaan itu
diperintah oleh saudara-saudaranya. Salah satu dari mereka, Orang Kaya Mamak,
pergi ke Jawa, menikah dengan perempuan Jawa, dan dikaruniai lima anak. Sesudah
saudaranya yang terakhir wafat, Orang Kaya Mamak dipanggil pulang ke Jambi
untuk memimpin kerajan itu, tetapi meninggal dalam perjalanan. Inilah akhir Hikayat Orang Kaya Hitam dan tiga
saudaranya.
Pada permulaan bagian
berikutnya, Hikayat Pangeran Rengas
Pendek, kelima anak Orang Kaya Mamak harus mengangkat raja baru Jambi dari
kalangan mereka sendiri, untuk memenuhi wasiat ayah mereka. Pertama-tama,
mereka memindahkan ibu kota ke Rengas Pendek, lebih ke hulu, dan kemudian
memilih saudara termuda mereka untuk menjadi raja dengan gelar Pangeran Rengas
Pendek.
Cerita sekarang
berpindah ke Puteri Pinang Masak, anak perempuan Yang Dipertuan Minangkabau.
Ingin membangun tempat tinggalnya sendiri, ia meninggalkan Minangkabau dan
bermukim di wilayah yang dahulu kala dikuasai oleh Tun Telanai, yang hingga
saat itu masih berupa hutan belantara. Mendengar hal ini, Pangeran Rengas
Pendek mengirim duta untuk mengunjungi Sang Puteri. Kemudian pangeran menemui
sendiri Sang Puteri. Kasih sayang yang terbit di dalam lubuk hati mereka,
berujung di pelaminan. Mereka kembali untuk hidup bersama di Rengas Pendek.
Mereka dikaruniai empat anak. Inilah akhir Hikayat
Pangeran Rengas Pendek.
Bagian selanjutnya, fasal keempat, berkisah tentang
anak-anak Pangeran Rengas Pendek, yang memindahkan ibu kota ke hulu. Sebelum
memilih raja dari kalangan mereka sendiri, mereka memulai ekspansi lanjutan,
berencana menaklukkan seluruh daerah pedalaman anak sungai Batang Hari.
Mendengar keberhasilan penaklukan mereka, Yang Dipertuan Minangkabau menghimpun
prajurit dan rakyatnya, dan pergi ke Tanjung Semalidu yang terletak di
perbatasan Minangkabau-Jambi. Di sana ia pun sadar bahwa pesaing potensialnya
yang berasal dari Jambi adalah cucu-cucunya sendiri. Disaksikan Yang Dipertuan
Minangkabau, empat kakak-beradik itu memilih yang paling muda di antara mereka,
yaitu Panembahan Di Bawah Sawah, sebagai raja berikutnya. Mereka juga membuat
kesepakatan dengan orang-orang Minangkabau terkait pembagian wilayah kekuasaan
dan batas-batas kerajaan.
Dalam perjalanan
pulangnya, Panembahan Di Bawah Sawah mengumpulkan makanan dari kampung-kampung
jajahan yang baru ditaklukkan, mengirim makanan itu ke hilir menggunakan
ratusan rakit yang terbuat dari batang pisang. Rakit-rakit itu berhenti di
sebuah tempat bernama Tanah Pilih (sekarang ibu kota Provinsi Jambi), di mana
Panembahan naik ke daratan dan bertapa selama tujuh hari tujuh malam. Akhirnya,
ada dua roh leluhur yang datang menemuinya. Dengan imbalan baju Panembahan
sendiri, kedua roh leluhur itu memberinya tiga benda pusaka: Si Jimat (sebuah
meriam keramat), Si Timang Jambi (sebuah gong), dan Si Macan Turu (sebuah
tombak). Setelah itu, rakyat mulai membangun benteng dan kota, tepat ketika
Panembahan Di Bawah Sawah dianugerahi aneka gelar dan jabatan oleh
saudara-saudaranya.
Panembahan Di Bawah
Sawah punya dua anak, seorang puteri yang menikah dengan raja Johor, dan
seorang putera yang setelah kematian ayahnya mewarisi tahta kerajaan dengan
gelar Sultan Agung Seri Ingalaga, penguasa Jambi pertama yang menyandang gelar
sultan. Di titik ini, bagian HNJ yang bernuansa legenda berakhir karena kami
percaya bahwa Sultan Agung adalah raja yang menguasai Jambi pada abad XVII.
Para sejarawan menjumpai nama Sultan Agung dalam sumber-sumber Eropa.
Sisa bagian keempat dan
seluruh fasal kelima juga cukup
menarik, karena di sini kita punya kesempatan untuk membandingkan naskah Melayu
dengan sumber Belanda, tetapi kajian itu jauh melampaui lingkupan artikel ini.
Sekarang, mari kita amati bagaimana pengarang HNJ menata informasi dari
sumber-sumber lokal yang tersedia dalam rangka menyusun narasi tentang Jambi mengikuti
pola umum naskah-naskah kesejarahan Melayu.
Naskah kesejarahan
Melayu punya dua fungsi. Pertama,
menjabarkan darah ningrat dan legitimasi sebuah dinasti. Kedua, narasi itu disusun
sedemikian rupa untuk mengungkapkan makna tersembunyi dari berbagai peristiwa dan hakikat tak terlihat yang bekerja di bawah permukaan yang kasat mata
(Braginsky 1983: 101-102). Bagian pertama biasanya berisi mitos tentang
asal-usul dinasti yang sedang berkuasa, berdasarkan mitos lokal tentang
kesatuan langit (matahari), air, dan bumi. Ini membuat dinasti yang sedang
berkuasa tampak sebagai penjelmaan tata kosmik dan tata sosial. Dengan
demikian, melegitimasikan haknya untuk menguasai seluruh subyeknya. Bagian
kedua memaparkan periode sejarah. Bagian ini memuat daftar penguasa dan
kebijakan-kebijakan mereka, dilengkapi dengan laporan peristiwa-peristiwa
terpenting yang terjadi pada rezim masing-masing. Pemilihan peristiwa mana yang
diceritakan, dan bagaimana hubungan
antarperistiwa itu, tergantung pada kemauan pengarang sendiri.
Pada kasus HNJ,
pengarang di dalam benaknya memiliki ide terutama tentang relasi hulu-hilir dalam kerajaan Jambi.9
Pendek kata, hakikat relasi itu adalah dominasi ekonomi-politik orang-orang
asing yang berasal dari hilir terhadap penduduk asli yang bermukim di hulu, dan
segala hal yang merupakan akibat dari situasi tersebut. Karena pengarang HNJ
termasuk orang-dalam istana, ia punya hubungan yang kuat dengan dinasti yang
sedang berkuasa, dan karena itu, salah satu tugasnya adalah membuktikan
legitimasi dan hak dinasti itu untuk menguasai seluruh wilayah Jambi.
Situasinya, bagaimana pun juga, lebih kompleks lagi. Bagian akhir HNJ
mengandung keterangan yang lebih relevan dengan situasi politik di Jambi pada
masa disusunnya hikayat itu, dan yang
menggunakan pendekatan relasi hulu-hilir
dari sudut pandang yang lain.10
Tidak kurang pentingnya
tugas pengarang HNJ yang kedua. Pertama,
memposisikan Jambi dalam ruang dan waktu. Maksudnya, menempatkan Jambi di
antara kerajaan-kerajaan yang terkuat di sekitarnya—bahkan bila kekuatan mereka
telah lama melemah dan pada waktu itu telah menjadi legenda belaka—yaitu
Malaka, Johor, dan Mataram (dalam HNJ, yang disebut sebagai Mataram adalah Jawa
dalam seluruh periode sejarahnya). Kedua,
mengaitkan Jambi dengan keagungan masa lalu. Jadi, secara magis mencoba
menjamin terwujudnya keagungan masa depan.
Sekarang, mari kita
perhatikan bagaimana pengarang menggunakan legenda-legenda lokal untuk
membangun narasinya.
Bagian pertama, oleh
pengarang diberi judul Hikayat Tun
Telanai, hampir independen dari bagian-bagian HNJ lainnya. Bagian ini
terhubung dengan bagian HNJ lainnya hanya ketika pengarang menyebutkan kerajaan
Tun Telanai yang didiami kembali oleh Puteri Pinang Masak saat ia meninggalkan
Minangkabau. Tetapi, di dalam cerita-cerita rakyat, Tun Telanai sering disebut
bersama dengan Puteri Pinang Masak, sebagai seorang peminang yang gagal, yang
terperdaya oleh muslihat Sang Puteri. Tun Telanai tidak mampu memenuhi
persyaratan yang diajukan oleh Sang Puteri, yakni membangun sebuah istana dalam
waktu satu malam. Dalam salah satu cerita rakyat, setelah gagal meminang Sang
Puteri, Tun Telanai mengangkat Sang Puteri sebagai anak perempuannya. Kemudian
Sang Puteri menjadi ratu dan menikah dengan Datuk Paduka Berhala untuk mulai
membentuk dinasti (Andaya, 1993: 2012). Dalam cerita rakyat yang lain, setelah
gagal membangun istana dalam satu malam, Tun Telanai merasa frustasi, dan
menendang istana yang belum rampung itu. Istana itu roboh seketika.
Batu-batunya jatuh di dekat Muara Tebo pada sebuah tempat bernama Kampung
Candi, yaitu Kampung Percandian Hindu (Kahar dkk., 1980/1981: 71-72). Dalam
cerita rakyat yang sama—rupanya merupakan sebuah campuran dari dua cerita
berbeda—kisah itu disambung dengan: “Setelah itu, Tun Telanai punya seorang
anak...”, kemudian dihubungkan dengan kisah putera Tun Telanai (tak disebutkan
siapa ibunya) yang ditakdirkan akan membunuh ayahnya, dengan detail yang sama
seperti di dalam HNJ.
Di dalam HNJ, hubungan
antara kisah Tun Telanai ini dengan sisa-sisa peradaban Hindu juga dibangun
dengan jelas. Bekas ibu kota kerajaan Tun Telanai dinyatakan masih tampak di
Jambi.11 Baru setelah berdoa kepada dewa Hindu, istrinya memperoleh
seorang anak. Tun Telanai sendiri bermain catur dengan salah seorang
pengawalnya, Si Pahit Lidah. Pion catur yang mereka pakai terbuat dari batu,
dan disebutkan bahwa satu set perlengkapan catur yang sama disimpan di dalam
istana Sultan yang tengah berkuasa. Tak jauh dari ibu kota Jambi, terdapat salah
satu jejak peninggalan agama Hindu: empat batu prasejarah yang oleh penduduk
setempat dinamakan batu catur (empat
batu, atau batu catur), untuk menjelaskan bahwa pada masa lalu para raja
menggunakan batu-batu itu untuk bermain catur.12
Dalam sebuah cerita
rakyat, di mana anehnya Si Pahit Lidah adalah perempuan yang tergila-gila pada
Raja Banting, seorang Jawa, Tun Telanai menjadi putera raja ini. Tun Telanai
datang ke Jambi dalam rangka mencari Raja Banting dan membunuh ayahnya itu
karena Sang Raja enggan pulang ke Jawa (Kearifan 1993: 127-129). Disebutkan, kisah ini berasal dari seorang
lelaki yang pernah bekerja sebagai juru tulis di istana Jambi. Editornya
menambahkan:
... cerita tentang Tun Telanai ini ada yang menceritakan
bahwa dia adalah seorang anak yang durhaka, membunuh ayahnya sendiri, ibunya
berasal dari Siam bapaknya dari India merantau ke Jambi.13
Hikayat Tun Telanai
menggambarkan tokoh Tun Telanai. Pada satu sisi, ia adalah raja Jambi dan nenek
moyang rakyat Jambi yang digdaya. Tetapi pada sisi yang lain, ia
dihubungkan-hubungkan dengan peradaban Hindu masa lampau dan tidak mempunyai
masa depan. Inilah sebabnya mengapa HNJ menyebutkan bahwa orang-orang Siam14
membawa seluruh rakyat Jambi ke negeri mereka dan meninggalkan kerajaan itu
dalam keadaan tak berpenghuni. Dalam pandangan masyarakat Melayu abad XIX,
peradaban Hindu masa lampau tampak amat jauh jaraknya, jika bukan dianggap
tidak ada lagi. Bahkan, ketika beberapa cerita rakyat mengisahkan bahwa Tun
Telanai tidak lenyap sama sekali ataupun tidak dibunuh, dia mewariskan
kerajaannya, tidak kepada keturunan kandungnya, tetapi kepada anak perempuan
angkatnya, dan di Jambi ia tidak meninggalkan sesuatu pun kecuali kisah jejak
langkah dan legendanya.
Masa lampau ini ditulis menurut
konvensi sejarah, jika bukan konvensi sastra. Kebanyakan naskah kesejarahan,
mulai dari Sejarah Melayu hingga Hikayat Merong Mahawangsa, mencantumkan
deskripsi periode Hindu, tetapi di dalam HNJ deskripsi itu tidak dalam bentuk
mitos asal-usul (the myth of origin),
melainkan dalam bentuk yang lebih menyerupai hikayat petualangan dengan formula
dan motif konvensionalnya, dengan awal dan akhir yang pasti, dengan demikian
benar-benar menciptakan jarak antara kedua bagian narasi itu, yaitu antara
bagian pertama, Hikayat Tun Telanai,
dengan bagian kedua, Hikayat Orang Kaya
Hitam.
Periode selanjutnya
bermula dari hal yang baru, yang sungguh berbeda tokoh dan latarnya. Satu-satunya
kaitan antara bagian pertama dan kedua HNJ adalah Puteri Pinang Masak. Di dalam
cerita rakyat, ia dihubung-hubungkan dengan Tun Telanai maupun Datuk Paduka
Berhala. Di dalam HNJ, ia dihubungkan, meskipun secara tak langsung, dengan Tun
Telanai (dengan menempati daerah yang pernah Tun Telanai kuasai) dan dengan
Datuk Paduka Berhala (dengan menikahi salah seorang keturunannya).
Datuk Paduka Berhala,
yang di dalam cerita rakyat ataupun di dalam HNJ dikatakan sebagai pangeran
yang berasal dari Turki (Rum), dikenal oleh orang Minangkabau (dengan gelar
Suri Maharaja Di Raja), sebagai salah satu penguasa Hindu mereka dahulu kala
(Westenenk, 1916: 245, 255). Di dalam inskripsi Melayu Minangkabau yang berasal
dari pedalaman Kerinci yang ditulis pada tanduk kerbau dengan aksara rencong Sumatera Selatan, Paduka Berhala
disebut sebagai nenek-moyang penduduk Padang Panjang, yaitu Minangkabau, dan
cucunya bernama Puteri Unduk Pinang Masak, sedangkan saudaranya bernama
Perpatih Nan Sebatang, seorang pahlawan Minangkabau (Westenenk, 1922). Sang
Puteri harus meninggalkan kampung halamannya dan mengadakan perjalanan
berkeliling, pertama kali bersama ibunya, kemudian sendirian. Tampaknya, ide
puteri Minagkabau yang merantau, dibutuhkan oleh orang Melayu Jambi untuk menguatkan
klaim mereka demi menguasai wilayah hulu. Sejauh ini, saya belum menemukan
bukti yang mendukung asumsi ini dalam sumber-sumber Minangkabau. Orang
Minangkabau terkenal karena adat merantau mereka, tetapi para perantau itu
adalah laki-laki, sedangkan hak waris tanah dan properti dipindahtangankan
melalui garis perempuan.
Dalam berbagai cara
pengungkapan, Datuk Paduka Berhala dan keturunannya mirip dengan Iskandar
Zulkarnain, leluhur legendaris sultan-sultan Malaka serta anak-cucunya. Seperti
Iskandar, Datuk Paduka Berhala datang dari Byzantium.15 Seperti Sang
Sapurba, Datuk Paduka Berhala, seorang asing, menikahi puteri pemimpin
setempat, Demang Lebar Daun. Dengan demikian, membangun ikatan dengan dunia
Melayu. Seperti Sultan Mansur Shah, Orang Kaya Hitam menikahi puteri raja Jawa,16
memastikan kemerdekaan dan kedudukan sederajatnya dengan kerajaan yang kuat
itu.
Baik di dalam HNJ atau pun di dalam cerita rakyat, Orang
Kaya Hitam adalah sosok yang pertama kali memerintahkan penghentian pengiriman upeti
ke Mataram. Ini menunjukkan terjadinya perkembangan kekuatan pertahanan
kerajaan karena ibu kotanya pindah menjauh dari laut dan mendekat ke daerah
pedalaman. Sejak peristiwa penghentian pengiriman upeti itu, perpindahan ibu
kota lebih ke hulu mendominasi narasi. Masing-masing penguasa berikutnya, terus
memindahkan ibu kota ke arah hulu, hingga memuncak pada pernikahan cucu Datuk
Paduka Berhala dengan Puteri Pinang Masak; pasangan itu membangun ibu kota kerajan
mereka di wilayah yang dahulu kala menjadi kerajaan Tun Telanai—di mana
Telanaipura, ibu kota Provinsi Jambi saat ini, terletak. Wilayah ini dapat
disebut sebagai tanah tak bertuan. Kerajaan yang baru dibangun itu diperintah
oleh seorang lelaki dari hilir dan seorang perempuan dari hulu (Minangkabau). Dengan
demikian, mengukuhkan hak anak-cucu mereka untuk menguasai seluruh teritorial
Jambi. Selanjutnya, kami menemukan maksud diceritakannya pernikahan ini, yaitu
ketika generasi berikutnya memulai ekspansi baru ke wilayah hulu dan bertemu
dengan Yang Dipertuan Minangkabau di Semalidu—yang mengakui mereka sebagai
cucunya sendiri—untuk menetapkan batas di antara dua kerajaan itu. Ketika
penguasa Jambi sampai pada wilayah perbatasan mereka dan menetapkan ibu kota
baru yang permanen, kodrat relasi hulu-hilir
berubah: sejak itu, wilayah hulu mengabdi tidak sebagai obyek ekspansi atau
daerah jajahan, tetapi sebagai daerah yang menyokong penguasa (atau leluhurnya)
ketika berlangsung konflik dengan kekuatan eksternal atau dengan kekuatan di
dalam dinasti itu sendiri. Pada saat yang sama, relasi hulu-hilir itu berhenti mendominasi narasi, dan tema pokok HNJ
berganti menjadi (1) susunan struktur kerajaan dan (2) relasi eksternal dengan
Johor, Palembang, dan Belanda.
Pada bagian awal HNJ,
deskripsi relasi Jambi dengan kerajaan lain terbatas pada perjalanan Orang Kaya
Hitam ke Mataram. Petualangannya di sana menjadi bahan baku dari beberapa
legenda yang menceritakan kisah tersebut secara lebih rinci daripada HNJ.
Tetapi sebagai legenda dan teks sastra, esensi semua cerita itu sama: Jambi
menolak menyerahkan upeti ke Jawa, penguasanya pergi ke sana, menikahi seorang
puteri Jawa, dan mendapatkan sebuah keris sakti yang menjadi pusaka suci
keluarganya. Motif yang sama kita temukan di dalam Sejarah Melayu dan Hikayat
Hang Tuah, walaupun di dalam kedua naskah itu Sultan Malaka-lah yang
menikahi sang puteri, sementara seluruh pertempuran dijalankan oleh Hang Tuah
yang mendapatkan keris sakti.
Di dalam HNJ, segalanya
dijalankan oleh Orang Kaya Hitam sendiri. Kedua saudaranya yang menemaninya
pergi ke Jawa, melulu beraksi sebagai penonton ketika Orang Kaya Hitam mengamuk
dan ketika ia berdamai dengan Sultan Mataram, itu pun jika mereka dianggap
beraksi. Agaknya, sekembalinya dari Jawa, Orang Kaya Hitam menjadi lebih kuat
daripada Mansur Shah, Sultan Malaka. Ia tidak hanya menikahi seorang puteri
Jawa, yang mengukuhkan persahabatan dengan kerajaan yang kuat dan mengancam
ini, tetapi juga memperoleh sebuah keris sakti, dua tombak, dan sebuah pedang.
Di antara senjata-senjata itu, kerislah yang paling penting karena dalam segala
hal keris itu persis seperti Taming Sari-nya Hang Tuah: pada mulanya keris itu
ditempa untuk membunuh Orang Kaya Hitam, tetapi ia malah memperoleh senjata
mematikan itu, kemudian keris itu menjadi sarana yang memuluskan
keberhasilannya. Hang Tuah, setelah menjadi prajurit yang kuat, menjadi benar-benar
tidak terkalahkan. Orang Kaya Hitam, setelah menjadi menantu Sultan Jawa,
menaklukkan wilayah hulu hingga Muara Tembesi—hampir setengah dari panjang
Sungai Batang Hari; dengan demikian, meletakkan landasan substansial untuk
ekspansi berikutnya.
Pencarian pusaka tersebut mencapai puncaknya pada fasal keempat. Panembahan Di Bawah
Sawah, penguasa legendaris terakhir dan ayah tokoh sejarah pertama di dalam
HNJ, memperoleh sebuah meriam keramat, gong, dan tombak dari roh leluhur
setempat ketika ia kembali dari perjalanannya dari hulu, di mana ia telah membuat
perjanjian dan manandai perbatasan wilayah dengan orang-orang Minangkabau. Pada
tokoh ini, terangkum seluruh motif konseptual HNJ. Ia merupakan keturunan
seorang pangeran muslim, seorang pemimpin Melayu, seorang sultan Jawa, dan
seorang penguasa Minangkabau. Ia tinggal di kerajaan yang dulu pernah didiami
rakyat lokal di mana masih terdapat sisa-sisa peradaban Hindu. Ia membangun ibu
kotanya di antara hulu dan hilir sungai Batang Hari. Ia memiliki pusaka dari Jawa dan dari roh leluhur
setempat. Puterinya menikah dengan penguasa Johor dan puteranya menikmati
kemenangan dalam peperangan melawan kesultanan yang kuat ini.17
Namun demikian, puteranya tidak saja menjadi pemenang perang, tetapi juga
menyaksikan kedatangan Belanda, dan kecewa berat dengan sahabatnya itu karena
Sultan yang sedang berkuasa ditangkap dan dibuang ke Batavia.
Rupanya, saat menyusun
narasinya, kepala pengarang HNJ disesaki dengan semua konsep dan peristiwa itu.
Dalam menyusun HNJ, ia menggunakan
mitos dan legenda lokal, dan mencari inspirasi dari Sejarah Melayu dan naskah kesejarahan Melayu lainnya.
Oriental Centre
Russian State Library
3/5 Vozdvizhenka Street
Moscow
Russia 119019
Email: skuk@rsl.ru
Catatan Akhir:
1. Versi
asli artikel ini dibacakan dalam bahasa Melayu pada Seminar Antarbangsa
Kesusasteraan Melayu di Kuala Lumpur pada 2-3 September 1999, diselenggarakan
oleh Dewan Bahasa dan Pustaka bekerja sama dengan Universiti Kebangsaan
Malaysia.
2. Sebagai
contoh, Andaya (1993), yang mengkaji periode abad XVII dan XVIII, dan
Locher-Scholten (1994) yang mengkaji relasi antara Jambi dengan pemerintah
kolonial Belanda pada abad XIX.
3. Yang
mana, dalam hal ini, baik Sejarah Melayu
atau naskah kesejarahan Melayu lainnya tampaknya disusun menurut sebuah pola
yang sama. Tentang historiografi tradisional Melayu, lihat Braginsky (1998:
136-151, 339-350). Contoh naskah kesejarahan Melayu yang disusun menurut
standar historiografi Islam dan menggunakan banyak sumber Melayu adalah Tuhfat al-Nafis karya Raja Ali Haji
(Hooker, 1991).
4. Terdapat
pula naskah berjudul Cerita Negeri Jambi
(KITLV Or. 71 MS.) yang tidak memaparkan sejarah kerajaan sebagai suatu
keseluruhan, tetapi hanya menerangkan beberapa episode sejarahnya pada abad
XIX.
5. Bagian
ini mencakup hampir separuh dari keseluruhan naskah. Salah satu manusikrip,
Leiden Cod. Or. 12182, dikatalogisasi oleh van Ronkel (1921: 44) dengan judul Hikayat Toewan Tilani.
6. Inter alia,
Tun Telanai disebut-sebut dalam Sejarah
Melayu, bukan sebagai nama orang, tetapi sebagai sebuah gelar yang
kedudukannya di dalam istana sejajar dengan Bendahara, Laksamana, dan lain
sebagainya (Shellabear, 1996: 122).
7. Di
dalam HNJ, ia hanya disebut sebagai anak angkat Raja Siam, tetapi di dalam
cerita rakyat yang mengisahkan cerita yang sama, ia bernama Bujang Jambi.
8. Keris
ini dipercaya sebagai salah satu pusaka kerajaan Jambi (Legende, 1906).
Sekarang, keris ini bersama sebuah pusaka lainnya disimpan di Museum Pusat di
Jakarta (Locher-Scholten: 586).
9. Untuk
memahami lebih rinci konsep ini sebagaimana terungkap dalam sejarah Palembang
dan Jambi, lihat Andaya (1993: 13-20).
10. Pada
Oktober 1855, sultan baru Jambi, Taha Safiuddin, dinobatkan. Pada September
1858, ia digulingkan oleh Belanda dan melarikan diri ke hulu, dari mana ia
melancarkan pemberontakan selama 46 tahun hingga ia meninggal pada 1904. Paman
Taha menjadi sultan selanjutnya dan menandatangani kesepakatan dengan Belanda.
Inilah alasan mengapa keponakannya memberontak. Karena hal ini pula, hubungan
konfliktual antara hilir yang loyal
dan hulu yang pemberontak tidak
pernah benar-benar terdamaikan.
11. ‘... sampai sekarang ada juga
bekas negeri itu’.
12. Pegawai
Belanda yang mengunjungi tempat ini pada 1870-an mengamati bahwa orang Melayu
tidak paham arti kata catur (‘empat’;
dipinjam dari bahasa Sansekerta). Dalam rangka menjelaskan arti kata itu,
dibuatlah sebuah legenda yang menyertakan catur
sebagai kata yang lebih familiar (Reizen, 1882: 203). Kata ini, bagaimana
pun juga, dalam bahasa Sansekerta dan Jawa memiliki dua arti: empat dan catur.
Sebab, permaianan catur yang berasal dari India dimainkan oleh empat orang,
tidak dua orang seperti permainan catur modern.
13. Lihat
Kearifan, 1993: 129
14. Hubungan
dengan Siam, musuh kuat kerajaan-kerajaan Melayu di Selat Malaka dan
Semenanjung Melayu, bagi saya pertama-tama tampak sebagai sebuah konvensi
belaka pada waktu itu, tetapi menurut Schnitger (1964: 21), ‘di aneka tempat di
timur Jambi telah ditemukan perunggu bercorak Siam.’
15. Maksudnya,
Rum. “Rum”, bagi orang Melayu, mempunyai arti ganda. Pertama, Yunani Kuno
(kemudian Byzantium), tanah air Aleksander. Kedua, kekaisaran Turki yang
menaklukkan Konstantinopel dan kemudian berkembang menjadi kerajaan Islam yang
paling kuat di dunia. Tentang Iskandar, Sejarah
Melayu menyebut: ‘Rum bangsanya’,
‘ia berasal dari Rum’ (Shellabear, 1996: 3). Tetapi, dalam hal ini, yang
disebut Rum bukanlah kekaisaran Romawi, bukan pula kekaisaran Romawi Barat yang
beribu kota di Roma. Dalam hal ini, Rum adalah apa yang dikenal sebagai ‘Roma
Kedua’, yakni Byzantium. Perlu diperhatikan bahwa dalam bahasa Slavonia kuno kata
yang digunakan untuk menunjuk Yunani-Byzantium adalah romei, sedangkan kata sastrawinya adalah ‘Romans’.
16. Di
dalam HNJ, raja Jawa yang dimaksud di sini adalah raja Mataram, tetapi di dalam
salah satu legenda ia juga muncul sebagai raja Majapahit (Legende, 1906).
17. Tentang
sejarah peperangan ini, lihat Andaya, 1975: 84-102.
Referensi
Manuskrip:
Hikayat
Negeri Jambi
Leiden Universiteitsbibliothek. Cod. Or.
12182 (aksara Jawi)
Leiden Universiteitsbibliothek. Cod. Or.
1213 (aksara Jawi)
Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en
Volkenkunde. MS. 72 (aksara Latin)
Sumber Tercetak:
Andaya,
L.Y. 1965. The Kingdom of Johor,
1964-1728. Kuala Lumpur: Oxford University Press.
Andaya, B.W. 1993. To Live as Brothers: Southeast Sumatra in the Seventeenth and
Eighteenth Centuries. Honolulu: University of Hawai Press.
Braginsky, V.I. 1983. Istoriya Malayskoy Literatury VII-XIX Vekov (A History of Malay
Literature in the 7-19 Centuries). Moskva: Nauka.
Thabran Kahar, dkk. 1979. Ceritera Rakyat Daerah Jambi. Jakarta: Proyek Penerbitan Buku
Sastra Indonesia dan Daerah, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Thabran Kahar, dkk. 1980/1981. Ceritera Rakyat (Mite dan Legende) Daerah
Jambi. Buku II. Jakarta: Proyek
Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah, Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.
Legende 1906. Legende van de kris Si Gendje,
zooals die den Assistent-Resident van Djambi door eenige oude anaq-radja werd
medegedeeld, met, als aanhangsel, se legende omtrent Si Gendje Maboek, zooals
die aan den controleur R.C. van der Bor in het Soeroelangoensche is verhaald. Tijdschrift voor Indische Taal-, Land- en
Volkenkunde, 48 (2), 113-160.
Locher-Scholten E. 1993. Rivals and rituals in
Jambi, South Sumatra (1857-1901), Modern
Asian Studies, 27 (3), 573-591.
Locher-Scholten E. 1994. Sumatraans sultanaat en koloniale staat: de relatie Djambi-Batavia
(1830-1907) en het Nederlandsche imperialisme. Leiden: KITLV Press. (Verhandelingen van het Koninklijk instituut
voor Taal-, Land- en Volkenkunde, 161.)
Reizen. 1882.
Reizen in Midden-Sumatra. 1877-1879. Door
de leden der Sumatra-expeditie, uitgerust door het Aaardrijkskundig genootschap.
Twede gedeelte, berschreven door C.H. Cornelissen, A.L. van Hasselt en Joh. F.
Snelleman, leden der expeditie. Leden: E.J. Brill.
Ronkel, Ph.S. van. 1921. Supplement-catalogus der Maleische en Minangkabausche handschriften in
de Leidsche Universiteits Bibliotheek. Leiden: E.J. Brill.
Schnitger, F.M. 1964. Forgotten Kingdom in Sumatra. Leiden: E.J. Brill.
Shellabear, W.G. 1996. Sejarah Melayu. Kuala Lumpur: Fajar Bakti.
Westenenk, L.C. 1916. Opstellen over
Minangkabau. II. Padang-Padang Pandjang in de Lareh nan Pandjang. Tijdschrift voor Indische Taal-, Land- en
Volkenkunde, 57, 241-262.
Westenenk, L.C. 1922. Rencong-Schrift. II. Beschreven
hoorns in het landschap Krintji. Tijdschrift
voor Indische Taal-,, Land- en Volkenkunde, 61, 95-110.
***
Kesimpulan dari
dan catatan saya atas kajian di
atas:
1.
HNJ disusun secara kronologis,
sejak awal mula berdirinya negeri Jambi sampai naskah itu ditulis. Bagian
pertama, yang bersifat legenda, terdiri dari: 1) hikayat tun telanai;
2) hikayat orang kaya hitam;
3) hikayat pangeran rengas
pendek; dan
4) permulaan fasal keempat.
Bab (1) dan bab (2) seakan-akan
terpisah, tidak punya jalinan yang kuat, dan hanya diikat oleh satu tokoh dan
peristiwa: Puteri Pinang Masak (dan suaminya) yang menempati atau mendirikan
kerajaan baru di bekas kerajaan Tun Telanai. Keberadaan Tun Telanai di bab (2)
sama sekali hilang, benar-benar dilupakan, dan karena itu, ia seakan-akan hanya
punya dan menjadi masa lalu belaka, tetapi tidak punya masa depan, kecuali
sebagai leluhur raja-raja Jambi. Tun Telanailah yang menghubungkan kerajaan
Jambi yang baru dengan sisa peradaban Hindu. Bab (3) dan fasal (4) adalah
kelanjutan dari bab (2). Ada lima pola narasi yang menonjol dalam bagian
pertama ini:
a) pemindahan ibu kota lebih ke
hulu yang terjadi terus menerus secara berkesinambungan;
b) pernikahan yang dijadikan
alat untuk memperdamaikan atau mengikat tali persahabatan dan politik dengan
kerajaan musuh;
c) usaha mengharmoniskan relasi
hulu-hilir;
d) menempatkan Jambi di antara
berbagai kerajaan kuat di kala itu: siam, mataram, malaka, johor, dan
pelembang; dan
e) pencarian keris pusaka untuk
memperoleh legitimasi kekuasaan dan ekspansi.
Bagian kedua, yang bersifat
historis, terdiri dari: 1) sisa fasal (4) dan fasal (5). Dalam artikel di atas,
bagian ini tidak disinggung karena di luar ruang lingkup kajian.
2.
Sumber HNJ terbagi dua: sumber
informasi cerita dan sumber pola narasi. Informasi cerita bersumber dari mitos
dan legenda lokal yang diolah kembali oleh pengarang sesuai dengan motif
konseptualnya dalam menyusun HNJ. Pola narasi bersumber dari naskah-naskah
melayu lain: sejarah melayu dan hikayat hang tuah. Buktinya:
a)
Peran orang kaya hitam dalam
memperoleh keris sakti dan dalam peperangan serupa dengan peran hang
tuah. Fungsi siginjai dan taming sari dalam kedua cerita itu sama.
b)
Peran datuk paduka berhala
mirip dengan izkandar zulkarnaen, leluhur raja-raja malaka. Keduanya bersal
dari rum.
c)
Peran datuk paduka berhala
ketika menikahi puteri raja setempat supaya ia diterima di kalangan orang
melayu sama dengan peran sang sapurba yang juga menikahi puteri raja melayu
setempat.
d)
Orang kaya hitam sama seperti
mansur shah: menikahi seorang puteri raja jawa. Dengan narasi pernikahan itu,
hubungan diplomatik antara kerajaan mereka dengan kerajaan mataram-jawa dijalin
secara fiksional.
e)
HNJ sama fungsinya dengan
sejarah melayu dan hikayat hang tuah: menyelamatkan keagungan masa lalu untuk
dipelajari dan dipercayai oleh generasi kemudian, menjelaskan proses keruntuhan
kerajaan, memaparkan darah ningrat raja-raja, melegitimasi kekuasaan raja yang
tengah memimpin, dan tentu saja memperbesar kharisma dan wibawa raja yang
mungkin sedang merosot ketika naskah-naskah itu ditulis.
3.
Fungsi HNJ tidak jauh berbeda
dengan naskah kesejarahan melayu klasik lain:
a)
Menyelamatkan keagungan masa
lalu
b)
Menjelaskan proses keruntuhan
kerajaan
c)
Memaparkan the myth of origin
d)
Melegitimasi kekuasaan raja
e)
Mengungkapkan makna tersembunyi
dari peristiwa atau benda (pusaka) yang tak kasat mata, misalnya kekeramatan
keris pusaka dan lain sebagainya.
4.
Motif konseptual HNJ:
a)
Menyusun narasi yang menyatakan
bahwa raja jambi adalah keturunan pangeran muslim dari turki, raja melayu,
sultan jawa, dan raja minangkabau.
b)
Mengintegrasikan raja jawa
dengan tradisi lokal setempat dan dengan peradaban hindu yang walaupun tinggal
tersisa bekas-bekasnya saja namun masih kharismatis dalam pandangan masyarakat
melayu jambi ketika itu, meski pun bagi mereka peradaban hindu adalah sesuatu
yang amat jauh dari pandangan dan bahkan mungkin tidak mereka anggap ada lagi.
di sini keagungan masa lalu berfungsi melegitimasi kekuasaan masa kini dan
memastikan kejayaan masa depan. Tampaknya, dalam alam pikiran melayu(-jambi),
ikatan dengan masa lalu pada khususnya, dan kontinuitas sejarah pada umumnya,
adalah hal yang sangat penting.
c)
Mengharmoniskan hubungan
hulu-hilir di kerajaan jambi yang saat itu sudah hampir tak mungkin
terdamaikan, dengan menyusun cerita yang berusaha mengambil hati orang hulu,
dengan menceritakan bahwa ibu kota kian lama kian bergeser ke arah hulu, dan
bahkan akhirnya berdiri di antara hulu dan hilir. Saat itu, taha saifuddin
bersemayam di hulu, dan melancarkan pemberontakan terhadap kerajaan boneka yang
bertempat di hulu.
d)
Menyusun cerita yang
menjelaskan bahwa raja jambi memiliki pusaka-pusaka suci dari jawa dan dari
leluhur setempat. Pusaka ini menyongkong legitimasi kekuasaannya.
e)
Membangun pemahaman adanya
ikatan kekeluargaan antara jambi dengan johor, dengan mengisahkan bahwa puteri
raja jambi menikah dengan penguasa johor; tidak itu saja, tetapi juga membangun
pemahaman bahwa jambi lebih unggul ketimbang johor, dengan mengisahkan bahwa
pangeran jambi berhasil memenangkan perang jambi-johor.
5.
HNJ adalah karya sastra istana,
seperti karya sastra klasik nusantara lainnya. Patron pengarang HNJ adalah raja
jambi sendiri. dalam proses penyusunan HNJ, kita mengamati terjadinya
pendekatan antara sastra tinggi dengan sastra populer (mitos dan legenda
rakyat). Dan pendekatan itu lebih berupa penyimpangan plot dan maksud,
disesuaikan dengan motif konseptual pengarang HNJ. Jadi, dulu, sikap orang
melayu-jambi terhadap cerita rakyat tidak kaku, tetapi memanfaatkannya menurut
kepentingan mereka sendiri. Kini, sikap mereka terhadap cerita rakyat terlihat
kaku, bahkan memandang cerita itu sungguh-sungguh pernah terjadi dan para
tokohnya benar-benar pernah hidup.
6.
Ketika HNJ disusun, terjadi
proses semiotik yang kompleks.
a)
HNJ merupakan pemaknaan kembali
atas cerita rakyat, legenda, dan mitos lokal.
b)
HNJ mengandung kesinambungan
dengan sekaligus keterputusan dari konvensi sastra populer setempat kala itu.
c)
HNJ adalah refraksi dari
realitas. Pengarangnya menyembunyikan realitas kerajaan Jambi yang sedang mulai
runtuh ketika itu, dan sebagai gantinya, menyodorkan suatu dunia alternatif
yang menggambarkan betapa kuatnya kerajaan Jambi.
nice post gan :D
BalasHapusane juga orang jambi :)
ceritanya membingungkan. intinya saya suka jambi .. I love Jambi
BalasHapus