12/04/13

Guru Lugu itu Bernama Gandhi



WAKTU yang terus mengegelinding memberi kita anugerah yang patut disyukuri. Salah satunya, pengalaman yang kian kaya dan pengertian yang kian luas. Saya yang dulu dengan saya yang sekarang melihat sesuatu melalui dua tingkatan cahaya yang berbeda. Saya bergerak dinamis di dalam diri saya sendiri. Dan penyebab gerakan dinamis intrapersonal tersebut adalah waktu, selain cara saya merespon dan menafsirkan rangkaian peristiwa yang saya menjadi tokoh porosnya.

Saya sudah membaca buku yang merangkum pandangan Gandhi, Semua Manusia Bersaudara, diterbitkan Yayasan Obor Indonesia. Waktu itu, saya membacanya dengan pengalaman yang masih miskin dan pengertian yang masih sempit. Hasilnya, saya merasa telah sungguh-sungguh memahami apa yang dikemukakan Gandhi, padahal saya belum memahaminya sedikit pun. Sekarang saya membaca kembali buku tersebut, dengan cahaya yang berbeda. Memang, saya belum memahami isinya secara utuh karena, terus terang saja, saya bukan orang yang berpengalaman kaya dan berpengertian luas. Akan tetapi, identifikasi-diri saya kepada Gandhi rasanya menjadi lebih kuat. Dapat sedikit saya bayangkan bagaimana Gandhi berjuang menempuh jalan kebenaran yang pelik nan berbahaya. Dan Gandhi adalah Gandhi, tidak surut langkahnya menghadapi setiap cobaan dan percobaan yang merundungnya tanpa belas kasih.

Pada bagian otobiografis di mana Gandhi bercerita tentang eksperimentasinya terhadap kebenaran, saya terpukau dengan kualitas pribadi yang dimilki Gandhi, yang sekarang telah jadi spesies yang terancam punah, yakni keluguan. Ketika SMP, gurunya mengisyaratkan Gandhi untuk menyontek agar akreditasi dan prestise sekolahnya tidak jatuh. Gandhi tidak memahami, atau mungkin sengaja tidak memahami, isyarat gurunya tersebut. Ia mengaku tidak bisa menyontek.

Saat bekerja sebagai pengacara di Afrika Selatan, lantaran alasan tertentu Gandhi mulai belajar mencuci dan menyetrika sendiri pakaiannya. Terlalu banyak Gandhi menuangkan tepung kanji. Ia menyetrika baju berkerahnya dengan setrika yang kadar panasnya tak mencukupi. Ia mengenakan baju itu ketika bertugas. Teman-temannya menertawai dan mengolok-oloknya karena tepung kanji yang meresap di kerahnya luntur dan meleleh. Olok-olok itu Gandhi terima dengan kasih sayang yang begitu lugu. Tidak ada perasaan tersinggung, terhina, atau amarah yang buas. Perlu dicatat, ketika itu Gandhi sudah menjadi tokoh terhormat tidak saja di kalangan masyarakat imigran India, namun juga di kalangan masyarakat kulit putih. Jika saya kebetulan bertemu dengan orang yang perilakunya seperti ini, saya pasti akan menilainya sebagai orang bodoh atau orang gila.

Kisah lugu berikutnya masih terjadi ketika Gandhi tinggal di Afrika Selatan. Syahdan, Gandhi hendak potong rambut di sebuah salon yang hanya melayani pengunjung kulit putih. Sang juru pangkas rambut menolak melayani Gandhi. Gandhi memaklumi penolakan itu. Bagi sang juru pangkas rambut, melayani pengunjung kulit berwarna akan memacetkan aliran rezekinya. Sampai di sini kisah belum berakhir. Selanjutnya, Gandhi mencukur sendiri rambutnya. Bagian depan tercukur rapi. Tapi bagian belakang acak-acakan. Dengan “gaya” rambut seperti itu Gandhi pergi ke kantornya untuk menjalankan tugasnya. Tentulah rekan-rekan kulit putihnya lagi-lagi menertawai dan mengolok-oloknya. Seorang rekannya mengejeknya, “Kenapa rambutmu, Gandhi? Dimakan tikus?”. Jawaban Gandhi lugu saja: “Oh tidak. Hanya karena tukang pangkas rambut putih tidak mau menyentuh rambutku yang hitam ini, jadi saya potong sendiri. Biar jelek, nggak apa.” Jawaban itu membuat rekan-rekannya kaget. Jawaban itu menikam jantung rasialisme koloni Inggris di Afrika Selatan.

Itulah tiga kisah keluguan Gandhi. Barangkali banyak lagi kisah keluguannya yang lain yang tidak diceritakannya kepada kita. Biar cuma tiga biji, kisah-kisah berharga itu sudah cukup memulihkan kepercayaan saya bahwa keluguan, khususnya keluguan kanak-kanak, adalah modal yang sangat diperlukan oleh seorang pemimpin. Keluguan yang dimiliki seorang pemimpin tidak menunjukkan kebodohan, keloloan, atau kegilaannya. Sama sekali tidak. Keluguan justru menandakan kobaran api iman di dalam dadanya yang tidak mudah dipadamkan, apalagi dipadamkan oleh sekadar pandangan mayoritas manusia. Keluguan menjadikannya sabar, tabah, dan tegar berjalan menentang arus opini umum yang disalahpahami sebagai kebenaran. Keluguan mencerminkan keagungan jiwanya dan kualitas kepemimpinannya yang mumpuni. Punyakah kita keluguan yang membuat nama Gandhi mulia dan abadi itu?

Yogyakarta, 11 April 2013

1 komentar:

  1. terima kasih sudah share..
    Kalau boleh tau judul bukunya apa ya? Trims
    Tahun berapa terbit? Pengarangnya?

    BalasHapus

mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam