12/04/13

Surat Izin Palsu



Teman kita ini bernama Nina. Masih kelas VI SD. Bu Maryam, guru yang paling ditakutinya, minggu lalu memberinya tugas yang harus dikumpul besok. Nina merasa tugas itu sangat berat. Nina jadi malas mengerjakannya. Tugas itu pasti tidak bakal selesai bila baru mulai dikerjaan hari ini.

Bila besok Nina tidak mengumpulkan tugas, Bu Maryam, seperti biasa, aka marah dan menghukumnya. Bu Maryam akan menyuruhnya hormat bendera sampai bel istirahat berdering. Bu Maryam juga akan menyuruhnya mengelilingi lapangan sekolah sebanyak sepuluh kali putaran. Nina tidak mau dimarahi dan dihukum oleh Bu Maryam.

Bagaimana jalan keluarnya? Nina mendapat ide: menulis surat izin tidak masuk sekolah. Alasannya, sakit. Ketika menulis surat tersebut, Nina mendengar suara dari dalam hatinya: “Nin, menulis surat ini namanya berbohong. Jangan tulis surat ini. Jangan dilanjutkan.” Sesaat Nina ragu melanjutkan “misi penipuannya”. Tapi Nina kemudian menepis, membungkam, dan mengabaikan suara tersebut. Melanjutkan menulis surat.

Ada satu masalah lagi. Surat itu harus ditandatangani oleh orang tuanya. Nina tidak mungkin meminta ayah atau ibunya menandatangani surat itu. Maka, Nina melipatgandakan kebohongannya. Memalsukan tanda tangan ibunya.

***

Malam ini Nina pergi menemui Lala. Rumah Lala tidak begitu jauh dari rumah Nina, berjarak kira-kira 500 meter saja. Sampai di rumah Lala, cepat-cepat Nina menemui teman karibnya itu, menceritakan misinya kepada Lala. Lala lalu berkata, “Nin, itu namanya bohong. Kata ibuku, kita tidak boleh bohong. Kata ibuku, berdosa nanti. Kata ibuku, nanti kamu kena batunya.”

“Uh. Kata ibuku, kata ibuku terus... Aku nulis surat ini kan gara-gara Bu Maryam juga. Sudah galak, seneng marah, seneng menghukum, ngasih tugas berat banget lagi. Tahu nggak, Bu Maryam itu guru paling kejam sedunia. Sebel aku sama monster itu.”

“Husy! Masak guru sendiri dikatain monster. Besok masuk aja lah kayak biasa. Kalau tugasmu belum selesai, ya tinggal ngomong aja ama Bu Maryam. Paling-paling Bu Maryam menghukum kamu. Tapi kalau kamu bicara ama Bu Maryam, tugasnya berat banget, Bu Maryam mungkin mau maafin kamu.”

“Ah, nggak mungkin. Bu Maryam itu jahat. Nggak bakalan kasih maaf. Tugasmu emang udah selesai?”

“Udah. Barusan aja.”

“Pokoknya,” desak Nina “kamu besok pokoknya harus bantu akau ngasih surat ini ama Bu Maryam. Kalau kamu nggak mau bantu aku, persahabatan kita putus sampai di sini. Putus!”

“Nin, kok gituuuuuuu...”

“Pokoknya harus. Kamus harus bantu aku. Nih suratnya. Udah ya, aku pulang dulu. Met malem...”

Setelah berkata demikian, setelah memberikan surat izinnya kepada Lala, Nina ngacir pulang. Lala sebenarnya tidak setuju dengan misi Nina. Lala ingat betul nasihat yang sering dikatakan ibunya: berbohong itu dosa; orang yang berbohong akan kena batunya. Walaupun demikian, akhirnya Lala pun membantu Nina. Lala tidak mau ikatan persahabatannya dengan Nina putus.

***

Sebagaimana direncanakan, Nina hari ini tidak masuk sekolah. Waktu ibunya bertanya mengapa tidak masuk sekolah, Nina bingung mau menjawab apa. Nina mencari akal. Ketemu. Menjawab, “Hari ini kan sekolah libur, Bu. Semua guru rapat. Sekolah diliburkan.”

Nina bohong lagi. Sebuah kebohongan memang melahirkan kebohongan-kebohongan lain. Ibu Nina tidak sepenuhnya percaya dengan ucapan anaknya. Soalnya, wajah Nina memancarkan gelagat aneh. Ibu membiarkannya. Tidak mengusut lebih lanjut ucapan Nina.

Hingga sore, Nina di rumah saja. Tidak pergi ke mana-mana. Sekitar pukul tiga sore, pintu rumah diketuk. Nina sedang di dapur. Seorang perempuan beruluk salam dan mengucapkan “permisi”.

Kayaknya, pikir Nina, aku kenal suara itu. Nina bingung dan ketakutan. Pintu diketuk lagi. Suara uluk salam dan “permisi” terdengar lagi. Kali ini kian keras. “Aduh, gimana ini?” teriak Nina dalam hati, sambil bergegas masuk ke dalam kamarnya. Pintu kamar dikuncinya.

Nina berjalan mondar-mandir di dalam kamarnya. Ia mengutuki dirinya sendiri, “Bodoh, kenapa aku tulis surat itu? Kenapa aku bohong? Masak sekarang harus pura-pura sakit!”

“Nin, itu pintunya dibuka! Ada tamu,” perintah Ibu kepada Nina. Karena yang disuruh lama tidak menyahut, Ibu pun membukakan pintu dan menyambut sang tamu.

 “Waalaikumsalam. Eh, Bu Maryam. Mari masuk. Silakan duduk, Bu. Minum apa, Bu? Oh ya, saya baru menerima kiriman kopi dari luar kota. Katanya sih enak. Saya bikinkan kopi saja, ya Bu?”

Setelah mempersilakan Bu Maryam duduk, Ibu pergi ke dapur, membuatkan secangkir kopi untuk guru anaknya. Tidak berapa lama, Ibu telah menyuguhkan secangkir kopi itu kepada Bu Maryam.

“Bagaimana, Bu? Enak kan kopinya?” tanya Ibu Nina.

“Enak sekali. Ini kopi dari daerah mana ya? Baru kali ini saya minum kopi seenak ini. Sebenarnya, saya datang ke sini untuk menjenguk Nina. Nina sakit apa, Bu? Kok sampai tidak masuk sekolah?”

Ibu Nina terkejut. Nina sakit? Lho, katanya hari ini sekolah libur. Benar dugaanku, pikir Ibu, anak itu pasti menyembunyikan sesuatu. Tahu Nina menipu gurunya, Ibu merasa malu sekali terhadap Bu Maryam. Ibu lantas memanggil Nina, “Nin, ke sini! Ini ada Bu Maryam. Datang menjengukmu.”

Nina, yang dari tadi menguping pembicaraan antara Bu Maryam dan ibunya, tambah takut dan bingung. Andai punya teman seperti Doraemon, ia akan membujuk Doraemon mengeluarkan “Pintu Kemana Saja” dari kantong ajaibnya. Tapi Nina bukan Nobita. Tidak punya teman seperti Doraemon. Nina tidak bisa lari. Tidak bisa sembunyi lagi.

”Nin, cepet ke sini! Bu Maryam menunggumu ini,” panggil Ibu sekali lagi, dengan nada suara yang makin lama makin meninggi. Ibu memang sedang menahan amarahnya.

Nina keluar dari kamarnya, berjalan lemas menuju ruang tamu dengan kepala tertunduk, untuk memenuhi panggilan ibunya. “Nin, duduk!” perintah Ibu, singkat, rada kasar. Kemarahan Ibu sedikit meledak rupanya.

Kali ini, Bu Maryamlah yang terkejut. Nina tampak sehat-sehat saja. Badannya bugar. Sangat bugar malah. Hanya wajahnya memang pucat. Pucat bukan karena sakit, tetapi karena takut. Bu Maryam berusaha menyembunyikan keterkejutannya. Sebagai basa-basi, Bu Maryam bertanya kepada Nina, “Nin, bagaimana, sudah sembuh? Sakit apa, kok sampai tidak masuk sekolah? Wajahmu pucat sekali.”

Nina tidak dapat membuka mulutnya. Tidak tahu harus menjawab apa. Malah menangis. Menyaksikan muridnya menangis, Bu Maryam berbasa-basi lagi, “Lho, kok nangis, Nin?” Karena telah sangat marah, Ibu tidak trenyuh oleh tangis Nina. Malah tambah marah. “Nin, cepat minta maaf kepada Bu Maryam!” Bukan mematuhi perintah ibunya, tangis Nina justru menjadi-jadi.

Tanggap keadaan, Bu Maryam berkata, “Nin, sudah. Jangan menangis lagi. Ibu sudah tahu. Ibu akan memaafkan kamu, asal kamu mau mengakui kesalahanmu, asal kamu mau jujur mengungkapkan alasanmu menulis surat izin palsu itu, asal kamu berjanji tidak akan mengulangi kesalahanmu lagi. Jangan berbohong lagi. Jangan menipu lagi.”

“Nin, cepat minta maaf kepada Bu Maryam!” Ibu mengulangi perintahnya. Sambil sesenggukan, Nina pun minta maaf kepada Bu Maryam. “Kenapa kamu berbohong?” tanya Bu Maryam. “Saya belum mengerjakan tugas yang Ibu suruh. Tugas yang Ibu berikan sangat berat. Saya takut, kalau saya masuk dan belum mengerjakan tugas, Ibu memarahi dan menghukum saya.”

Sekali lagi, Bu Maryam terkejut. Bu Maryam sadar, ternyata Nina berbohong karena dirinya. Bu Maryam juga sadar, selama ini kelewat galak kepada murid-muridnya, terlalu egoistis, kurang memperhatikan kondisi mereka. Tidak dekat dan akrab dengan mereka.

“Sepertinya, saya juga harus minta maaf kepada Nina. Nin, maafkan saya, selama ini memang Ibu terlalu galak sama kalian, sama Nina juga. Tapi itu bukan alasan untuk tidak masuk sekolah. Tidak mengerjakan tugas juga bukan alasan untuk tidak masuk sekolah. Sekarang, Ibu janji tidak akan galak lagi sama kalian, tapi Nina juga janji ya, tidak akan menipu lagi, apalagi menulis surat izin palsu seperti tadi.” Nina mengangguk. Isak tangisnya mereda.

Ketika mendengar pengakuan anaknya, marah Ibu Nina luntur. Ternyata Nina tidak sepenuhnya salah. “Nah, Nin, itu dengar kata-kata Bu Maryam. Jangan bohong lagi. Jangan menipu lagi. Jangan menulis surat izin palsu lagi.”

Kepada Bu Maryam, Ibu berkata, “Bu, mohon maafkan kesalahan anak saya, ya. Nina memang bandel. Saya jadi malu kepada Ibu, apalagi Ibu minta maaf segala kepada Nina. Ibu tidak perlu minta maaf kepada anak bandel ini.”

“Tidak apa-apa, Bu,” balas Bu Maryam. “Meminta maaf kepada Nina merupakan keharusan bagi saya. Saya harus memberi teladan baik. Wah, sudah setengah empat ini. Sudah waktunya menjemput Aan. Kalau begitu, saya permisi dulu ya, Bu”.

Ibu Nina tidak mencoba menahan tamunya agar tidak segera pulang. Ia tahu bahwa Aan, putra Bu Maryam yang mengikuti kursus bahasa Perancis, sekarang pasti sedang menunggu jemputan ibunya.

***

Nina kapok. Sejak mengalami kejadian itu, tidak mau menulis surat izin palsu lagi. Nina bertekad, tidak akan berbohong untuk tujuan buruk lagi. Tidak mau kena batunya lagi. Nina kini rajin mengerjakan tugas-tugas sekolah. Menjadi dekat dengan Bu Maryam yang dulu ditakuti dan dimusuhinya.

Sekarang Bu Maryam benar-benar menjadi sahabat bagi murid-muridnya. Ia tidak lagi dijuluki sebagai “monster” atau “guru paling kejam sedunia”.

Sementara itu, Ibu kini lebih teliti memperhatikan perilaku Nina. Ibu sekarang sering menanyakan kepada Nina apakah ada tugas sekolah dan apakah tugas sekolahnya telah dikerjakan atau belum.

Yogyakarta, Maret-April 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam