13/07/16

Leluhur Nusantara Mencari Hikmah

PERKARA cari hikmah, leluhur kita ahlinya. Kalau tidak percaya, perhatikan saja khazanah peribahasa nusantara, gudang hikmah yang, sayang sekali, jarang dijamah sedikit dilirik.
Di mana leluhur kita mencari hikmah? Jawabannya kita temukan dalam peribahasa Minangkabau yang terkenal: alam takambang jadi guru, satitiak jadikan lawik, sakapa jadikan gunung. Alam terkembang jadi guru. Setitik air jadikan laut. Sekepal tanah jadikan gunung.
Leluhur kita mencari hikmah di alam semesta. Alam semesta adalah buku yang terkembang, kitab yang terbuka. Alam semesta adalah papan tulis mahaluas. Leluhur kita membaca ayat-ayat Ilahi yang tertulis di alam semesta, al-quran al-takwiny. Mereka membaca realitas untuk mencari hikmah, membaca kasunyatan untuk menemukan makna. Berlatar belakang agama apa pun, ternyata leluhur kita mengamalkan perintah pertama yang diterima umat Islam dari langit: bacalah.

Pendekatan “ilmiah”
Pendekatan pembacaan yang mereka gunakan adalah, setitik jadikan laut, sekepal jadikan gunung. Mereka tidak menyepelekan gejala-gejala kecil di sekitar mereka. Ada kesadaran, jangan-jangan hal kecil yang tampak tak berarti, menyembunyikan hikmah agung. Jangan-jangan setitik air melambangkan lautan, sekepal tanah menyimbolkan gunung. Karena itu, dalam rangka menemukan hikmah agung itu, leluhur kita menjadikan setitik air sebagai lautan, sekepal tanah sebagai gunung.
Apa maksudnya? Pertama, mereka meletakkan hal kecil dalam konteks struktural makro. Setitik air adalah bagian dari lautan. Sekepal tanah adalah bagian dari gunung. Kedua, pandangan mereka menembus apa yang kasat mata, yang lahiriah, yang fenomenal. Di balik bentuk (shurah), ada makna (ma’na). Di balik fenomena, ada noumena. Di balik penanda (signifiant), ada petanda (signifie). Di balik setitik air, ada lautan. Di balik sekepal tanah, ada gunung. Ternyata, dalam membaca kasunyatan, leluhur kita menggunakan semacam kombinasi pendekatan semiotik-struktural dan fenomenologi.
Hasilnya, ditemukanlah segudang teori, ilmu, makna, hikmah yang diungkapkan dengan bahasa yang tidak formal dan kaku. Alat ungkapnya adalah sastra: peribahasa. Dan sastra sama sekali bukan hal besar. Ia hanyalah hal kecil yang sehari-hari.
Jadi, leluhur kita memandang besar hal kecil untuk menemukan hal besar yang diungkapkan sebagai hal kecil. Proses ilmiahnya melingkar, dari hal kecil kembali ke hal kecil, dari yang sehari-hari kembali ke yang sehari-hari, dari yang konkret menuju yang abstrak untuk kembali pada yang konkret, dari bumi naik ke langit untuk turun kembali ke bumi.
Dengan proses ilmiah melingkar itu, ilmu yang mereka peroleh jadi bermanfaat. Sedemikian bermanfaatnya hingga secara sinambung diwariskan dari generasi ke generasi. Memang, ciri ilmu yang bermanfaat adalah ketahanannya dalam ujian sejarah. Ilmu yang bermanfaat tak aus dimakan waktu. Tak lekang oleh panas. Tak lapuk oleh hujan.
Ilmu yang bermanfaat tidak hanya tertulis pada kertas, tetapi juga bersemayam dalam dada, mengalir dalam darah, merasuk dalam tulang, menyatu dengan daging. Walaupun naskah yang merekam peribahasa hancur, hilang, terbakar, kandungan hikmah peribahasa tersebut tetap hidup sebagai adat dalam masyarakat tradisional yang menghayatinya.
Dengan demikian, terbayang proses ilmiah melingkar pencarian hikmah oleh leluhur kita pada lapis yang lebih dalam: dari realitas kembali ke realitas, dari kasunyatan kembali ke kasunyatan. Kasunyatan kedua ini kemudian dibaca lagi untuk dicari hikmahnya yang pada akhirnya bakal mengejawantah sebagai kasunyatan selanjutnya. Maka, pada dasarnya, objek baca atau bahan renungan leluhur kita dalam usahanya mencari hikmah adalah kasunyatan. Bukan kasunyatan yang jauh di sana, tetapi yang dekat di sini. Realitas di sekitar kita.

Leluhur Minangkabau
Dan jumlah gejala yang dekat dengan kita, sangat banyak. Barangkali tak terhitung. Salah satunya, pohon. Ketika melihat pohon di tengah kota, bertanyalah leluhur kita dari Minangkabau: pohon di tengah kota, apa maknanya? Setelah bergumul dengan pertanyaan tersebut, dari pohon mereka memetik hikmah ini: nan bak umpamo kayu gadang di tangah koto, urek nan buliah tampek baselo, batang gadang tampek basanda, dahan kuat buliah bagantung, daun rimbun buliah balindung, buah labek dapek dimakan.
Pohon di tengah kota adalah penanda. Petandanya, pemimpin yang ideal. Pohon melambangkan pemimpin. Seharusnya pemimpin itu seperti pohon. Seluruh bagian pohon berguna bagi makhluk lain. Akarnya untuk duduk. Batangnya untuk bersandar. Dahannya untuk bergantung. Daunnya untuk berlindung dari panas dan hujan. Buahnya untuk dimakan.
Artinya, pemimpin adalah pelayan bagi rakyatnya. Dia memberikan sebesar-besarnya manfaat bagi rakyat. Sebaliknya, rakyat mengambil sebesar-besarnya manfaat dari pemimpin. Pemimpin menjadi pemangku rakyat. Kepadanya, rakyat bersandar, bergantung, dan berlindung. Kebijakan dan kebijaksanaannya adalah buah yang dapat dimakan rakyat, yang lezat bagi rakyat dan mengenyangkan mereka.
Pemimpin harus memperhatikan rakyatnya. Sewenang-sewenang terhadap rakyat adalah pantangan. Dia memandang rakyat dengan mata kasih sayang. Sebab, dia adalah pam(om)ong rakyat.
Di Jawa zaman Mataram Islam, sebagaimana di Minangkabau, fungsi pemimpin sebagai pamomong rakyat juga dilambangkan dengan pohon, khususnya pohon beringin. Akar pohon beringin untuk duduk. Batangnya yang besar untuk bersandar. Dahannya yang kuat untuk bergantung. Daunnya yang rimbun untuk berlindung dari hujan dan panas.
Di zaman Majapahit, tampaknya fungsi pemimpin sebagai pamomong rakyat dilambangkan dengan pohon kamal, asam Jawa, yang buahnya tentu dapat dimakan. Kalau kita menyaksikan wayang kulit, pada gunungan atau kayon terdapat gambar stilistik pohon kehidupan. Rupanya, sejauh menyangkut simbol pohon, budaya Minangkabau dan Jawa berbagi makna yang pada pokoknya sama. Pohon melambangkan pemimpin ideal.

Leluhur Bugis
Kalau leluhur kita dari Minangkabau dan Jawa menemukan hikmah setelah membaca pohon, leluhur kita dari Bugis menemukan hikmah setelah membaca olahan pohon: kayu. Aju maruluemi riala palewa bala. Terjemahnya, hanya kayu yang lurus yang dijadikan ramuan rumah.
Material utama rumah tradisional Bugis adalah kayu. Itu artinya, rumah adalah himpunan kayu yang disusun sedemikian rupa sehingga dapat difungsikan sebagai tempat bernaung, juga tempat berlindung dari panas dan hujan. Begitulah pemimpin dalam cakrawala harapan orang Bugis. Pemimpin adalah tempat bernaung dan berlindung rakyat. Pemimpin adalah pamomong rakyat.
Untuk membangun rumah, kita perlu menyeleksi kayu. Tidak semua kayu yang ada digunakan. Hanya kayu yang memenuhi kriteria saja yang dipakai untuk membangun rumah. Kriterianya, kelurusan kayu. Jika lurus, diambil. Jika tak lurus, tak dipakai.
Untuk mengangkat pemimpin, diperlukan seleksi. Tidak sembarang orang diangkat. Hanya calon yang memenuhi kriteria saja yang diangkat sebagai pemimpin. Kriterianya, kelurusan. Kejujuran. Kebersihan hati. Keselarasan kepribadian. Hati, otak, lidah, dan seluruh anggota tubuhnya bergerak selaras. Perasaan, pikiran, perkataan, dan perbuatannya tidak saling bertentangan. Iman, ilmu, dan amal berjalan beriringan. Rasa, cipta, dan karsanya seirama. Calon pemimpin haruslah orang yang berbudaya, berkepribadian luhur, arif.
Jadi, jika direnungkan lebih dalam, kriteria dasar untuk memilih pemimpin adalah religiositas. Betapa beruntungnya masyarakat yang memiliki pemimpin dengan religiositas mendalam. Sebab, rumah, yang bakal digunakan sebagai tempat bernaung dan berlindung, jadi tegak jika dibangun dengan kayu-kayu yang lurus. Kepemimpinan pun jadi efektif jika dijalankan oleh pemimpin religius.
Begitulah, leluhur kita dari Bugis membaca kayu sehingga menemukan hikmah kepemimpinan. Kasunyatan alam semesta, dalam hal ini berupa pepohonan dan olahannya, direnungkan maknanya. Leluhur kita dari Aceh juga membaca pepohonan. Tapi, pohon yang dibaca bukan pohon pada umumnya, melainkan bambu dan pohon kelapa yang berbuah.
Buah kelapa terdiri dari banyak bagian. Setiap bagian bermanfaat. Salah satu bagian buah kelapa adalah tempurung atau batoknya. Setelah merenungi makna batok kelapa itu, dalam kaitannya dengan bambu, mereka merumuskan peribahasa ini, bek peusaban kai ngon aree, jangan disamakan batok dengan bambu.

Leluhur Aceh
Leluhur kita dari Aceh pernah menggunakan dua jenis takaran: takaran batok dan takaran ruas bambu. Volume sebuah batok lebih kecil daripada volume sebuah bambu yang biasa digunakan sebagai standar takaran. Janganlah disamakan ukuran takaran batok dan takaran bambu. Kalau disamakan, kita bakal mengalamai salah satu dari dua hal, berlaku bodoh sehingga merugi atau berlaku sewenang-wenang yang juga mencerminkan kebodohan. Hanya orang bodoh yang menyamakan ukuran takaran batok dan takaran bambu.
Jadi, peribahasa bek peusaban kai ngon aree sebenarnya berbicara tentang relativitas nilai, yang secara ekstrem bisa pula dipahami sebagai relativitas kebenaran. Manusia bukan eksistensi yang bisa dinilai secara pukul rata. Setiap manusia unik dan subjektif. Apa yang menurut saya baik belum tentu baik bagi orang lain. Apa yang Anda nilai indah boleh jadi saya nilai jelek. Menurut Anda suatu tindakan tepat dilakukan tapi hal itu keliru dalam pandangan saya.
Ukuran saya dengan ukuran Anda berbeda, setidaknya tidak persis sama. Karena itu, marilah bertenggang rasa. Jangan memaksakan kehendak, apalagi dengan kekerasan. Nilai toleransi ini juga dihayati leluhur kita dari Jawa, Bugis, dan Mandar. Dalam budaya Jawa, ada peribahasa tepa selira. Dalam budaya Bugis, ada peribahasa otakku kuassukeki, otakmu muassukeki, takaranku kujadikan ukuran, takaranmu kamu jadikan ukuran. Dalam budaya Mandar, ada peribahasa da bajumu mupaqukkurangi tau, jangan bajumu dijadikan ukuran untuk orang lain.
Dengan adanya peribahasa-peribahasa ini, kita jadi bangga. Bangsa kita ternyata memang pada dasarnya toleran. Sejarah toleransi kita telah panjang usianya, juga telah sedemikian mengakar. Siapa-siapa yang tidak bersikap toleran, merasa benar sendiri, dan memaksakan kehendak kepada orang lain apalagi dengan kekerasan, adalah orang-orang yang tidak berbudaya. Mereka tidak kenal jati diri kebangsaannya. Walaupun tinggal, bahkan lahir, di nusantara, sesungguhnya mereka adalah orang asing yang tidak mau dengar nasihat leluhur, malin kundang yang sudah sepantasnya mendapat kutukan.
Sebab itu, agar tidak jadi Malin Kundang, juga agar tidak mendapat kutukan atau bebendu, adalah baik jika kita menghayati pesan leluhur dari Aceh, bek peusaban kai ngon aree, jangan disamakan batok dengan bambu. Kalau ada orang yang menyamakan batok dengan bambu, dia pantas disebut bodoh. Dia punya mata tapi tidak untuk melihat, punya otak tapi tidak untuk berpikir, punya hati tapi tidak untuk berempati. Nggugu karsane priyangga, tulis Mangkunegara IV dalam Serat Wedhatama.
Dia, kata al-Quran, seperti binatang ternak, atau lebih bodoh lagi. Hikmah yang diperoleh leluhur kita dari Aceh setelah merenungi makna bambu dalam kaitannya dengan pohon kelapa rupanya sejalan dengan falsafah al-Quran. Ini mengindikasikan, adat Aceh tidak bertentangan dengan al-Quran. Budaya Aceh selaras dengan ajaran Islam.
Al-Quran adalah hikmah. Peribahasa bek peusaban kai ngon aree juga hikmah. Dan hikmah bersifat perenial dan universal. Hanya saja, media dan bentuk pengungkapannya baragam. Universalitas hikmah mengejawantah dalam partikularitas tradisi, sesuai dengan dan bergantung pada konteks sosial dan lingkungan alam setempat.
Di Aceh misalnya, terdapat banyak bambu dan kelapa. Sehari-hari leluhur kita dari Aceh berinteraksi dengan bambu dan batok kelapa, hal-hal kecil yang tampak sepele. Tapi, mereka meletakkan hal kecil itu dalam konteks kehidupan makro. Pandangan mereka menembus apa yang kasat mata, yang lahiriah, yang fenomenal.
Akhirnya, berangkat dari permenungan akan bambu dan batok kelapa, mereka pun menemukan makna relativitas nilai sekaligus nilai toleransi. Setitik air mereka jadikan lautan. Sekepal tanah mereka jadikan gunung. Alam terkembang jadi guru.

Leluhur Ternate
Leluhur kita dari Ternate juga berguru pada alam terkembang. Mereka membaca kasunyatan dengan pendekatan yang sama. Salah satu kasunyatan yang dibaca adalah tembakau atau rokok, lagi-lagi hal kecil sehari-hari yang tampak sepele dan tak berarti. Mereka bertanya, apa makna rokok? Hikmah apa yang terkandung dalam sebatang rokok? Jawabannya, tobako dudumoi to-sirai jole ma-jiko, rokok sebatang dapat membakar tumpukan jerami.
Sekilas, hikmah peribahasa Ternate ini tampak serupa dengan peribahasa Melayu yang telah diangkat sebagai peribahasa Indonesia: karena nila setitik, rusak susu sebelanga. Tapi, bagi leluhur dari Ternate sendiri, peribahasa ini lebih sebanding dengan peribahasa Melayu lain yang juga telah diangkat sebagai peribahasa Indonesia: besar pasak daripada tiang.
Dalam hal keuangan, kita harus berhati-hati. Tidak ceroboh. Harus berhemat. Tidak boros. Keinginan tidak diumbar. Kebutuhan diperhitungkan dengan cermat. Tali kekang nafsu tidak dilepas. Jika tidak mendayagunakan akal untuk mengendalikan nafsu, bisa-bisa kita berlaku ceroboh. Puntung rokok yang masih menyala kita lemparkan saja ke tumpukan jerami kering. Terjadilah kebakaran.
Jika tidak memfungsikan akal untuk menilai keinginan dan kebutuhan, bisa-bisa kita berlaku boros, bertindak konsumtif. Apa saja yang diinginkan dibeli, tak pikir berapa tebal dompet yang dimiliki. Bila uang sendiri habis, kita bahkan menghutang ke sana ke mari sekadar untuk menuruti nafsu, ngumbar kanepson. Akibatnya, bangkrutlah kita. Sudah jatuh, tertimpa tangga. Sudah jatuh miskin, hutang menggunung pula.
Supaya tidak mengalami musibah itu, leluhur kita dari Ternate memberikan piwulang: tobako dudumoi to-sirai jole ma-jiko, rokok sebatang dapat membakar tumpukan jerami. Dalam pandangan mereka, dalam sebatang rokok, terkandung hikmah luhur: fungsi akal sebagai pengendali nafsu. Inilah fungsi tadbir akal, hikmah yang juga diajarkan dalam tradisi filsafat Platonik, Aristotelian, Paripatetik Islam, dan Ghazalian.
Hikmah memang universal dan perenial. Orang Ternate berbagi hikmah yang sama dengan orang Yunani Kuno, Spanyol Islam, dan Persia Islam. Dan leluhur kita dari Tarnate menemukan hikmah itu tidak dengan jauh-jauh dan ndakik-ndakik berguru pada Plato, Aristoteles, Ibnu Miskawaih, atau al-Ghazali, tetapi cukup dengan berguru pada alam terkembang, kasunyatan yang dekat dengan mereka, yang ada di sekitar mereka, yaitu tembakau atau rokok.
Di Ternate, sebagaimana di banyak daerah lain di nusantara, merokok telah menjadi kebiasaan sehari-hari. Merokok telah jadi budaya. Selain budaya merokok, dulu orang nusantara juga terkenal dengan budaya menginangnya. Pertemuan dan percakapan tidak sempurna tanpa kapur dan sirih, sebagaimana saat ini pergaulan terasa tidak lengkap tanpa rokok.
Dengan menginang, seperti halnya dengan merokok, percakapan jadi lebih lancar, luwes, dan terbuka. Suasana jadi lebih ringan dan santai. Karena itu, setiap silaturahmi, apalagi lobi dan negosiasi, perlu kapur dan sirih.
Mempertimbangkan hal ini, dalam tata krama silaturahmi, leluhur kita dari Jambi tidak hanya menyuguhkan kapur dan sirih kepada tamunya. Mereka bahkan menciptakan tarian untuk menyambut tamu dengan suguhan kapur dan sirih. Namanya, tari Sekapur Sirih. Duta penyuguhnya atau penarinya adalah gadis-gadis belia berparas rupawan.
Ini menunjukkan, budaya menginang dulu pernah amat mengakar di Jambi. Demikian pula di nusantara pada umumnya. Kapur dan sirih pun jadi kasunyatan sehari-hari yang berpotensi dibaca untuk ditemukan kandungan hikmahnya.

Leluhur Jawa
Dan leluhur kita dari Jawa, membaca kasunyatan tersebut. Mereka bertanya, apa makna sirih? Kaya sirih, lumah kurebe beda, nanging yen gineget padha rasane. Seperti sirih, warna atas dan bawahnya berbeda, tapi kalau digigit sama rasanya. Sirih menandakan adanya kesamaan dari dua hal yang tampak berbeda. Dua hal berbeda yang beresensi sama itu bisa bermacam-macam.
Pada mulanya, peribahasa ini mengemuka sebagai respons sastrawi atas penjajahan oleh orang asing di tanah Jawa. Setelah dijajah Belanda, orang Jawa dijajah lagi oleh Jepang. Yang pertama berkulit putih dan berasal dari Eropa. Yang kedua berkulit kuning dan berasal dari Asia Timur.
Dalam banyak hal, kedua penjajah tersebut berbeda. Tapi, di balik perpedaan itu, ternyata ada kesamaan: sama-sama zalim, sama-sama menindas, sama-sama eksploitatif, sama-sama menyengsarakan, sama-sama memperhinakan. Belanda dan Jepang sama-sama menjajah orang Jawa. Keduanya kaya sirih, lemah kurebe beda, nanging yen gineget padha rasane.
Peribahasa ini akan memberikan banyak manfaat jika diterapkan sebagai pendekatan dalam studi perbandingan agama. Dalam studi perbandingan agama gaya klasik, dua atau lebih agama dipelajari lebih untuk mencari perbedaan dan pengaruh daripada persamaan.
Akibatnya, berkembang paradigma aku berbeda dari kamu, kami berbeda dari mereka, agamaku sama sekali berlawanan dengan agamamu. Agamaku dan agamamu sudah berpisah jalan, tidak akan pernah bertemu. Paradigma eksklusif begini jelas mendorong muncul dan meningkatnya konflik lintas agama. Dialog antar-iman jadi sulit dijalankan. Toleransi bersendikan kemanusiaan, al-ukhuwah al-basyariyah, jadi sukar diwujudkan.
Saat ini, studi perbandingan agama klasik dengan pendekatan, paradigm, dan akibat seperti itu, sudah out of date, ketinggalan zaman dalam arti harfiahnya. Kita sudah jenuh dengan perang yang menyeret-nyeret agama. Zaman menghendaki studi perbandingan agama gaya baru, dengan pendekatan baru, yang membuahkan paradigma dan efek sosial bermanfaat, yang merupakan aktualisasi dari spiritualitas dan prinsip etik agama-agama itu sendiri.
Mengapa studi perbandingan agama jadi perlu? Untuk mengurangi konflik antaragama. Untuk memupuk sikap toleransi. Untuk mendewasakan umat beragama dalam interaksi sosial lintas iman. Untuk mencari titik temu, kalimatun sawa’, lokus perjumpaan agama-agama yang diperbandingkan. Untuk pertama-tama mencari persamaan, bukan perbedaan dan pengaruh, antar-agama. Untuk mencari “rasa” yang sama dalam setiap agama. Untuk menemukan hikmah bahwa agama-agama itu seperti kayu sirih, lumah kurebe beda, nanging yen gineget padha rasane.
Selain dapat diterapkan dalam studi perbandingan agama, peribahasa ini juga dapat digunakan sebagai pelita yang menerangi pergaulan sosial kita. Selama terus-menerus mencari perbedaan, kita akan terus-menerus pula dirundung konflik. Jika tak konflik sosial, ya konflik batin.
Tapi, jika kita terbiasa mencari persamaan yang mempertemukan satu individu dengan individu lain, satu golongan dengan golongan lain, aku dengan kau, kami dengan mereka, kondisi sosial akan lebih tertib, tenteram, dan damai. Paling tidak, hati kita jadi lebih damai, tidak dipenuhi prasangka dan kebencian dan amarah. Tidak dikendalikan daya diyu yang jahat dengan watak sura dira jayaningrat-nya.
Dengan demikian, kehadiran kita dalam pergaulan sosial jadi rahmat, bukan fitnah, bagi yang lain. Bagi kita, terbuka lebarlah peluang untuk tampil sebagai manusia yang memberikan sebanyak-banyaknya manfaat bagi manusia lain. Kita berkesempatan untuk meneladani Nabi, manusia yang memanusiakan manusia lain. Kita pun berpeluang untuk mengikuti jejak Panembahan Senopati, pemimpin Jawa yang menjalani lelaku karyenak tyasing sesama.
Berbagai kemungkinan penerapan peribahasa kaya sirih, lumah kurebe beda, nanging yen gineget padha rasane tersebut menunjukkan bahwa peribahasa ini adalah ilmu yang membumi, yang tidak mengawang-awang di langit. Ia bermula dari kasunyatan yang direnungi dan kembali pada kasunyatan. Sirih adalah kasunyatan sehari-hari. Salah satu, di antara sekian banyak, hikmah yang terkandung dalam sehelai sirih, dapat diamalkan dalam kasunyatan sehari-hari, dihayati dalam kehidupan real.

Leluhur Sunda
Apakah dalam budaya Sunda proses pencarian hikmah dengan membaca kasunyatan sehari-hari juga ada? Tentu saja. Leluhur kita dari Sunda pun berguru pada alam terkembang. Alam Sunda menyediakan banyak sungai.
Dalam budaya Sunda, sebagaimana dalam budaya Melayu, tampaknya sungai adalah unsur yang penting dan mendasar. Di ranah Melayu, banyak wilayah dinamai dengan nama sungai atau yang berkaitan dengan sungai, misalnya Sungai Tanang, Batang Hari, Way Kambas, dan Ogan Komering Ulu. Di tatar Sunda juga begitu, misalnya ada wilayah bernama Cimahi dan Cileunyi. Kata ci berpadanan dengan kata way, batang, dan sungai.
Sehari-hari leluhur Sunda hidup begitu dekat, bahkan manunggal, dengan sungai. Mereka kemudian membaca kasunyatan sungai untuk menggali hikmah yang dikandungnya. Buahnya, lahirlah peribahasa mun kiruh ti girang, komo ka hilirna, kalau sudah keruh di hulu, lebih keruh lagi di hilirnya. Peribahasa Sunda ini mengingatkan kita pada sebuah peribahasa Melayu Jambi: keruh aek di ilir prikso di ulunyo, senak aek di ulu prikso di muaronyo. Kalau keruh air di hilir, periksalah di hulunya. Kalau dalam air di hulu, periksalah di muaranya.
Redaksi kedua peribahasa tersebut hampir mirip, tapi maksudnya berbeda. Walaupun berbeda maksud, keduanya membayangkan teori ilmiah yang sama: logika kausal. Akibat tentu ada sebabnya. Sebab tentu berpengaruh terhadap akibatnya. Ada hubungan kausal antara dua variabel tertentu. Kedua peribahasa tersebut menyatakan, ada hubungan kausal antara variabel air di hulu sungai dan variabel air di hilirnya. Teorinya: kalau air di hulu sungai keruh, air di hilirnya tentu lebih keruh.
Hulu sungai adalah mata air yang biasanya terletak di dataran tinggi. Air dari hulu tersebut mengalir melewati induk dan anak sungai hingga ke tepi laut. Bagian ujung dari sungai yang berbatasan dengan laut inilah yang kita sebut hilir atau muara sungai.
Ibarat tubuh, hulu sungai seperti kepala sungai yang jumlahnya tunggal, sedangkan hilir adalah kaki sungai yang jumlahnya jamak. Kentaralah sudah, hulu sungai dalam peribahasa mun kiruh ti girang, komo ka hilirna melambangkan pemimpin, sedangkan hilirnya melambangkan para pembantu pemimpin dalam menjalankan roda pemerintahan, misalnya menteri dan gubernur.
Hulu sungai sebagai lambang pemimpin, bukan hal yang hanya dimiliki budaya Sunda. Budaya Melayu pun memilikinya. Orang Melayu menyebut pemimpin, dalam lingkup administratif kecil tertentu, sebagai peng-hulu, kepala masyarakat. Dalam kesultanan Jawa, peng-hulu adalah jabatan struktural yang diduduki pemimpin keagamaan. KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah itu, pada zamannya pernah menjabat sebagai peng-hulu dalem Kesultanan Yogyakarta.
Semasa pemerintahan kolonial Hindia-Belanda, peng-hulu adalah pemimpin keagamaan dalam sebuah residen yang tugasnya mirip seperti qadhi di Kesultanan Aceh. Setelah Indonesia merdeka, wilayah kerja dan tugas peng-hulu menciut. Kini peng-hulu hanya staf Kantor Urusan Agama (KUA). Tugasnya yang paling dikenal adalah menikahkan calon pasangan suami istri secara resmi. Dia memimpin jalannya upacara pernikahan.
Meski makna peng-hulu kian lama kian menciut, pada prinsipnya peng-hulu tetaplah pemimpin, entah pemimpin masyarakat secara umum, entah sekadar pemimpin agama. Sebagai pemimpin, dia punya bawahan atau pembantu. Kalau pemimpin sudah tak becus bekerja, bawahannya tentu lebih tak becus lagi. Manajemen pemerintahan jadi tak tertata. Program dan kebijakannya jadi tak efektif. Kalau air di hulu sudah keruh, air di hilir lebih keruh lagi. Mun kiruh ti girang, komo ka hilirna.
Hikmah peribahasa Sunda itu juga dikandung sebuah peribahasa Melayu Jambi yang lain: bejalan kincir kerno aek, begoyang dahan kerno angin. Maknanya sebangun, tapi simbolismenya berbeda. Pemimpin seperti air yang membuat kincir berputar, seperti angin yang membuat dahan bergoyang.
Jika pemimpin bersemangat, bawahannya pun bersemangat. Rakyat pun tergerak untuk maju. Kalau pemimpin tangkas bekerja, bawahannya pun lamban bekerja. Kepercayaan rakyat meningkat. Bila pemimpin bekerja profesional, bawahannya demikian pula. Rakyat pun merasa beruntung karena punya pemimpin hebat.
Sebaliknya, jika pemimpin tak bersemangat, bawahannya juga. Rakyat tak tergerak untuk maju. Kalau pemimpin lamban bekerja, bawahannya juga. Kepercayaan rakyat susut. Bila pemimpin tak becus bekerja, bawahannya demikian pula. Pihak yang paling dirugikan karena hal ini adalah rakyat. Mun kiruh ti girang, komo ka hilirna.

Leluhur Dayak Ngaju
Bukan hanya leluhur kita dari Sunda dan Melayu Jambi yang membaca kasunyatan air keruh untuk menemukan hikmah, leluhur kita dari Dayak Ngaju juga melakukan hal serupa. Apa makna air keruh? Mereka menjawab, jantun puji telaga je keruh mampalua janum je katining. Tak pernah telaga yang keruh mengalirkan air yang jernih. Telaga adalah sumber air, kasunyatan sehari-hari dalam kehidupan leluhur Dayak Ngaju.
Telaga mengalirkan air melintasi sungai-sungai kecil atau parit-parit. Jika sumber air jernih, air di parit-parit yang berasal darinya pun jernih. Jika air parit tampak jernih dari kejauhan, padahal telaga yang jadi sumber mata airnya keruh, sebaiknya air parit itu diperiksa lebih dekat dan cermat. Sebab, telaga keruh tak pernah mengalirkan air jernih. Telaga keruh pasti mengalirkan air keruh pula.
Apa makna peribahasa ini? Telaga menandakan sumber, latar belakang, asal-usul, atau golongan sosial seseorang, air yang mengalir dari telaga tersebut. Kalau kita bertemu dengan orang yang tampak baik, padahal keluarga, teman-teman, komunitas, atau tempat belajarnya buruk, sebaiknya kita berhati-hati dengan orang tersebut.
Kalau kita diberi tawaran menggiurkan yang seolah-olah tanpa pamrih oleh kader partai politik tertentu, padahal rekam jejak partai tersebut kelam, sebaiknya kita bersikap kritis terhadap kader tersebut. Jantun puji telaga je keruh mampalua janum je katining. Dengan sikap kritis tersebut, kita tidak gampang tertipu.
Kritisisme adalah jantung filsafat Barat sejak Yunani Kuno hingga pascamodern. Lebih dari itu, kritisisme bahkan barangkali jantung seluruh tradisi filsafat. Untuk mencari kebanaran atau hikmah, filsafat bertumpu pada akal sehat, penalaran yang sahih. Dalam filsafat Barat, filsafat India, dan filsafat Islam logika menempati kedudukan elementer.
Tapi memang, dalam perjalanan mencari hikmah, ada saatnya kedudukan elementer akal digantikan oleh rasa. Akal bukan instrumen “ilmiah” yang sesuai untuk mengalami hakikat kasunyatan yang terdalam. Akal punya batas capaiannya.
Meski begitu, sebelum pencari hikmah mencapai maqam puncak dalam pendakian ilmiahnya itu, dia tetap perlu bersahabat dengan logika. Kritisisme adalah pedang, tombak, perisai, sekaligus baju zirah baginya dalam medan peperangan filsafat untuk memperebutkan kebenaran. Karena pentingnya logika dalam mencari hikmah, tampaknya hampir seluruh tradisi filsafat mengajarkan kritisisme.
Kritisisme, dengan demikian, adalah ajaran kemanusiaan pada umumnya. Ia hikmah universal yang ditemukan leluhur kita dari Dayak Ngaju setelah membaca kasunyatan air parit keruh yang bersumber dari telaga keruh. Dengan berguru pada alam terkembang, berbekal semacam kombinasi pendekatan semiotik-struktural dan fenomenologi, mereka memperoleh hikmah yang luhur, agung, dan universal.

Pendekatan Kita?
Begitulah kiranya cara leluhur nusantara mencari hikmah. Alam terkembang jadi guru. Setitik jadikan laut. Sekepal jadikan gunung. Bagaimana dengan kita? Sudahkah kita mulai mencari hikmah? Pendekatan apa yang kita gunakan?
Jangan-jangan hikmah yang kita jual dan bualkan hanya ada di atas kertas dan menempel di ujung lidah, belum bersemayam dalam dada, mengalir dalam darah, merasuk dalam tulang, menyatu dengan daging. Jangan-jangan kita masih memberhalakan buku dan kitab dan tokoh. Masih terpukau dengan hal-hal besar di atas langit sana.
Jangan-jangan kita mengikuti jejak Diogenes, filsuf Yunani Kuno yang suka tertawa dan suka menertawakan kehidupan itu. Suatu malam, Diogenes berjalan sambil memandang bintang di langit. Dia suntuk dalam kontemplasinya tentang bintang-bintang, hal-hal yang sesungguhnya besar sekali dan berada di atas langit sana. Diogenes terus berjalan tanpa melihat ke depan, apalagi ke bawah. Padahal, di depannya ada lubang. Karena tak melihatnya, dia jatuh ke lubang tersebut.
Nenek yang saat itu berpapasan dengannya pun tertawa. Diogenes, yang biasanya menertawakan, kini ganti ditertawakan. Tak tanggung-tanggung, dia ditertawakan oleh seorang nenek. Perempuan uzur itu barangkali berpikir, “betapa bodohnya filsuf satu ini. Diogenes mengaku sebagai pencari hikmah, bahkan ahli hikmah. Tapi, perilakunya tak filosofis. Amalnya tak dipandu hikmah. Hikmah tak jadi cahaya penerang jalan hidupnya. Betapa tak bermanfaatnya ilmu Diogenes”.
Ya, betapa tak bermanfaatnya. Jadi, untuk apa Diogenes mencari hikmah, menuntut ilmu? Untuk apa selama ini aku menuntut ilmu?

Bumi Mataram, Rabu, 23 Ramadan 1437 H



NB: Artikel ini adalah sambungan dari artikel saya sebelumnya, Filsafat dan Hal-Hal Kecil Lainnya. Dipublikasikan di halaman facebook pribadi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam