02/06/16

Ber-uzlah dari Media

Serakah, pada zaman ini, bukan sekadar masalah moral. Untuk mengatasinya, nasihat saja tak cukup. Telah banyak penceramah yang mengutuk keserakahan dan mengajak masyarakat hidup sederhana. Tapi, serakah masih ada. Seakan tak berkurang. Malah, boleh jadi bertambah-tambah. KPK masih saja menangkapi para pejabat korup.
Kita tak bisa lagi melihat keserakahan dengan paradigma lama. Secara tradisional, serakah dipandang sebagai penyimpangan etik personal. Setan menggoda seseorang untuk serakah. Orang menjadi serakah karena imannya tak kuat sehingga termakan bujukan setan. Maka, menurut paradigma tradisional, agar perilaku serakah tak muncul, iman perlu dikuatkan. Cara manjur untuk menguatkan iman adalah memberikan nasihat.
Pada masa lampau, ketika sistem sosial masih merupakan gema dari sistem religius, menggunakan metode dakwah semacam itu untuk membasmi keserakahan memang membuahkan hasil positif. Tapi sekarang, ketika sistem sosial menjadi bagian sistem pasar, hal itu seperti memukul asap.
Kapitalisme mutakhir yang berekspansi secara global dengan teknologi informasi dan transportasi, merevolusi pola interaksi manusia, dari pola yang cenderung etis dan manusiawi, ke pola yang ekonomistik. Bagiku, orang lain adalah kapital yang aku akumulasikan untuk memperoleh sebesar-besarnya laba. Demikian makna eksistensial konsep kapital-sosial Pierre Bourdieu, filsuf sosial dari Perancis.
Implikasi pola interaksi manusia yang ekonomistik itu adalah terbentuknya masyarakat ekonomi. Meski memproduksi komoditas, masyarakat ekonomi lebih merupakan masyarakat konsumen daripada masyarakat produsen. Individu didesak struktur sosial, yang telah menghuni alam bawah sadarnya, untuk menciptakan komoditas yang kemudian dijual untuk memperoleh uang. Dia kemudian didesak lagi untuk dengan uang tersebut membeli komoditas yang dinafsuinya dan belum tentu dibutuhkannya.
Mengapa itu terjadi? Pangkalnya: media. Pada zaman kapitalisme mutakhir yang ditopang tekonologi informasi, peran sosial media tak bisa diabaikan. Media membangun opini publik. Media, sebagaimana digarisbawahi cendekiawan publik Amerika, Noam Chomsky, adalah alat propaganda. Media tak saja menyetir pikiran masyarakat, tapi juga menggerakkan masyarakat ke arah tertentu yang direncanakan.
Media menyediakan ruang istimewa bagi iklan. Terutama dengan iklan itu, suatu lembaga media bertahan hidup. Target iklan tak lain kecuali membujuk pemirsa, masyarakat, untuk membeli komoditas tak sebatas demi memiliki, tapi juga demi merebut identitas dan posisi sosial yang lebih bergengsi. Iklan membentuk pemikiran publik yang dilandasi hasrat konsumsi.
Media menciptakan masyarakat konsumen: masyarakat yang haus gengsi dan lapar eksistensi, terus-menerus mengejar trend, kecanduan belanja, selalu mencari apa yang dipandang sebagai kebahagiaan, tapi tak kunjung menemukan kepuasan. Media, terkondisikan hukum pasar, menciptakan masyarakat yang serakah, yang dikutuk untuk selalu mencari tanpa pernah menemukan, bagai kuda yang mengejar ekornya sendiri.
Karena bergaul sebegitu intim dengan media, kita diam-diam menjadi bagian masyarakat konsumen. Artinya, secara personal, di alam bawah sadar kita telah lahir monster keserakahan. Aku bernafsu untuk membeli dan memiliki begitu banyak sesuatu—walaupun pada hakikatnya tak aku butuhkan—demi memperoleh gengsi setinggi mungkin, posisi sosial seterhormat mungkin, nama seharum mungkin, popularitas sebesar mungkin. Itulah salah satu sebab korupsi sukar diberantas.
Kalau memang demikian kasunyatan sosial yang melingkungi kita, efektifkah menumpas keserakahan dengan dakwah verbal? Bukan sekadar masalah moral, pada zaman kita serakah juga gejala struktural. Secara sosial, penyakit serakah perlu diobati dengan strategi dakwah struktural. Secara personal, untuk mengalahkan monster keserakahan yang menghuni alam bawah sadar, kita perlu ambil jarak dari dan bersikap kritis terhadap media, tentu juga terhadap iklan.
“Bagi hati,” kata Syaikh Ibnu Athaillah al-Sakandari, sufi masyhur dari Mesir, “tak ada yang lebih bermanfaat daripada uzlah. Dengan uzlah, hati menyelam jauh ke dalam lubuk samudera renungan.” Dengan uzlah, kita menimbang kembali mana yang benar dan mana yang salah, mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang indah dan mana yang jelek, mana yang dibutuhkan dan mana yang hanya dinafsui. Pada zaman ini, uzlah di-laku-kan antara lain dengan mengambil jarak dari media dan kritis terhadapnya. Selamat ber-uzlah dari media….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam