04/03/13

Terjemahan 1



Merancang Pendidikan Menuju Modernitas

oleh: A. Chaidar Alwasilah

Dalam bukunya yang provokatif, The New Asian Hemisphere: The Irresistible Shift of Global Power to the East (2008), Kishore Mahbubani percaya bahwa jutaan penduduk Asia sekarang sedang bergerak menuju modernitas. Pada abad ke-21, Asia bakal termodernisasi.

Itu hanya soal waktu. Sebagai seorang idealis yang optimistis, bagaimana pun, Mahbubani mengingatkan kita akan tujuh pilar modernitas Barat, yakni ekonomi pasar bebas, sains dan teknologi, meritokrasi, pragmatisme, budaya damai, penegakan hukum, dan pendidikan.

Di antara tujuh variabel itu, pendidikanlah yang memainkan peran paling vital. Teori modal manusia menekankan pentingnya investasi dalam meningkatkan kapasitas tenaga kerja melalui pelatihan pada umumnya, dan melalui pendidikan formal pada umumnya. Dengan kata lain, pendidikan merupakan bagian paling esensial untuk membangun jalan menuju modernitas.

Esensi ekonomi pasar bebas adalah kompetisi dan kewirausahaan. Sebenarnya, kompetisi juga penting dalam kesuksesan politisi, profesional, dan intelektual. Masyarakat yang kompetitif mendorong orang untuk mengeksplorasi dan mengembangkan potensinya baik demi kemajuan individual maupun kemajuan kolektif.

Meritokrasi penting untuk merangsang kreativitas dan kemajuan dalam masyarakat. KKN, khususnya dalam urusan layanan publik, bertentangan dengan kemajuan. Menjadi pragmatis secara sederhana berarti bahwa tidak ada metode tertentu yang diklaim lebih unggul daripada metode-metode yang lain. Itu artinya, menjadi pragmatis adalah membuat keputusan tepat yang praktis lagi menguntungkan.

Budaya damai adalah prasyarat bagi terselenggaranya pembangunan yang berkelanjutan. Di negara berkembang, kemajuan sering dihalangi oleh konflik yang berulang-ulang.

Gejala semacam ini sekarang tak banyak ditemui di Eropa, tetapi masih marak di negara berkembang. Konflik seperti itu sering disebabkan oleh hambatan psikologis laten yang susah dihilangkan.

Aturan hukum memandu orang bagaimana harus bertingkah laku dalam masyarakat. Penegakan hukum penting dalam rangka merawat kemajuan. Di sebuah negara dimana hukum tidak sepenuhnya ditegakkan, buah pembangunan berada di tangan sekelompok kecil masyarakat. Akibatnya, tidak ada kepemilikan kolektif terhadap pembangunan.

Mencermati tesis Mahbubani tentang modernitas Asia yang akan segera terjadi, pendidik dan guru perlu bertanya apakah kurikulum yang ada cukup efektif untuk mengimplementasikan tujuh pilar modernitas di negara ini. Bagaimana cara agar pilar-pilar itu menjadi bagian dari kurikulum dan terimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari?

Pendidikan mengajari siswa sains dan teknologi, tapi itu belum cukup untuk mengembangkan modernitas. Mengembangkan pilar-pilar tersebut berarti menanamkan nilai-nilai sains dan teknologi yang harus diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Universitas kerap dikritik karena melulu mengajarkan teori kepada mahasiswa, mengabaikan kenyataan bahwa teori tersebut segera menjadi usang dan tak relevan.

Konsekuensinya, keterampilan yang diajarkan kepada mahasiswa harus dapat difungsikan dalam situasi yang selalu berubah. Guru dan profesor akan gagal jika mereka menggunakan proses belajar yang tidak berdampak sepanjang hayat.

Mengajar pada abad ke-21 adalah membekali siswa/mahasiswa keterampilan dan nilai dasar untuk hidup dalam masyarakat berbasis pengetahuan.

Empat prinsip masyarakat berbasis pengetahuan adalah sebagai berikut. Pertama, pembelajaran sepanjang hayat. Seorang muslim akan langsung setuju dengan prinsip ini karena sejalan dengan sabda nabi Muhammad, orang harus belajar sejak masa buaian hingga liang lahat. Pendidik mesti mengajari siswanya rasa ingin tahu yang sejati untuk terus belajar hal-hal baru selama hidup.

Kedua, belajar mandiri. Siswa harus diajari memikul tanggung jawab pribadi dalam pendidikannya. Keterampilan berpikir kritis dan kreatif adalah krusial dalam belajar mandiri. Orang yang kritis cenderung mengantisipasi datangnya masalah baru dan mencari tahu bagaimana mengatasi masalah tersebut.

Ketiga, pembelajaran berbasis masalah. Kehidupan kita dibanjiri oleh masalah-masalah baru. Pendidikan tradisional disibukkan dengan teori, sementara pada kenyataannya, kehidupan di luar sekolah lebih menawari kita masalah daripada teori. Kurikulum harus dirancang ulang untuk membekali siswa keterampilan berpikir dan menyelesaikan masalah.

Pendekatan berbasis masalah terhadap kurikulum, juga berbasis pengalaman. Belajar lebih merupakan mediasi-oleh-pelatih daripada arahan-dari-guru. Siswa lebih merupakan pemecah masalah daripada penyerap pengetahuan.

Jelasnya, peran guru bukan mengantarkan pengetahuan, tetapi berkolaborasi bersama siswa menciptakan pengetahuan. Dengan kata lain, siswa diperlakukan sebagai pembangun pengetahuan yang masih pemula.

Keempat, belajar dari berbagai sumber dan dengan berbagai sumber daya. Secara tradisional, guru biasanya menjadi sumber pengetahuan yang utama dan berwenang. Guru harus menyadari bahwa sekarang siswa belajar dengan lebih cepat dari berbagai sumber. Sumber tersebut tak terbatas jumlahnya. Kerja utama guru hari ini bukan membekali pengetahuan, melainkan membantu siswa menyaring pengetahuan yang terhampar di depannya.

Lembaga pendidikan ditantang untuk menggeser paradigmanya dari “menerapkan model teori” ke model berbasis masalah.

Saat ini, calon guru dibekali teori dan cara mengajar melalui PPL atau program pengalaman lapangan. Guru magang dalam kebanyakan kasus merasa tidak siap mengajar di kelas.

Normalnya, di Indonesia mahasiswa mengikuti PPL pada semester kedelapan selama tiga hingga empat bulan. Waktu sependek ini sangat tidak cukup untuk secara penuh memahami masalah sekolah sehari-hari.

Sebagai perbandingan, di Inggris dan Jepang calon guru menjalani PPL lebih dini, yaitu pada semester pertama atau kedua. Manfaatnya, mereka merasakan budaya sekolah dalam jangka waktu yang lebih lama dan karenanya tahu bagaimana cara menghadapi masalah sekolah.

Pendidikan adalah cara paling efektif untuk memodernisasikan bangsa. Kita butuh guru yang menguasai tidak saja materi pelajaran (pedagogi), tetapi juga yang punya kemampuan menanamkan nilai dan karakter untuk hidup dalam masyarakat yang selalu berubah. Karena itu, program pendidikan guru harus secara kritis ditinjau untuk terus diperbaiki secara berkelanjutan.

Penulis adalah profesor di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) dan pengarang Pokoknya Rekayasa Literasi (2012)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam