06/03/13

Terjemahan 2



Soal Guru, Bukan Kurikulum

Oleh: A. Chaidar Alwasilah

Kurikulum baru 2013 yang segera dikenalkan tidak menjamin teratasinya masalah pendidikan bangsa saat ini. Kurikulum baru selalu merupakan gagasan yang baik. Akan tetapi, masalah selalu muncul dalam implementasi. Jadi, yang penting bukan mengganti kurikulum, tapi mengimplementasikannya.

Secara sederhana, implementasi kurikulum berarti memberlakukan kurikulum sebagaimana dimaksudkan, termasuk memberlakukan seperangkat sistem untuk menilai efektivitasnya. Proses penilaian memberi umpan-balik bagi proses pengembangan, dimana data digunakan untuk perbaikan kurikulum. Kurikulum pendidikan membutuhkan perbaikan yang berkelanjutan, bukan pergantian yang berkelanjutan.

Perbaikan kurikulum tidak harus mengganti kurikulum lama; seringkali dilaksanakan pada saat kurikulum lama masih dijalankan. Perbaikan kurikulum seperti itu biasanya dimulai dengan mengganti bagian kurikulum lama tertentu, dengan metode trial-and-error, sebagai alternatif praktik yang sedang dijalankan. Data evaluatif berguna untuk mengamati kurikulum lama yang sedang dijalankan dan berharga untuk memperbaikinya.

Kurikulum 2013, sebagaimana dikatakan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhammad Nuh, adalah perbaikan atas kurikulum 2004 yang berbasis kompetensi dan kurikulum 2006 yang berbasis sekolah. Sementara itu, guru masih belajar bagaimana menjalankan kurikulum 2006.

Sayangnya, kebanyakan guru dan publik pada umumnya tidak diberi tahu apa yang sesungguhnya salah dengan kurikulum 2006. Pemerintah harus mempublikasikan data evaluatif untuk mengidentifikasi aspek mana dalam kurikulum tersebut yang bermasalah. Data seperti itu akan membuat pergantian kurikulum lebih dimaklumi.

Organisasi seperti Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) harus menghasilkan praktik-praktik pengajaran terbaik tidak untuk komunitasnya masing-masing saja, tetapi juga untuk profesi guru secara keseluruhan. MGMP tampaknya lebih bekerja dalam konteks yang spesifik, diprakarsai oleh guru, dan diarahkan untuk kebutuhan jangka menengah.

Merupakan kerugian bagi MGMP bila kita gagal meneliti efektivitas program MGMP yang tengah dilaksanakan dan mengabaikan hasil yang telah dicapainya. Mekanisme seperti itu memerlukan pengembangan profesi berkelanjutan (PPB) untuk guru.

Perbaikan kurikulum, bukan pergantian kurikulum, difokuskan pada aspek tertentu yang bermasalah. Jadi, perbaikan kurikulum lebih ekonomis dan berbasis masalah. Perlu diulangi, apa yang esensial bagi guru adalah PPB, yaitu suatu proses karir jangka panjang dimana guru memperbaiki pengajarannya untuk memenuhi kebutuhan siswa. Yang memperoleh manfaat terbesar dari PPB adalah siswa. PPB langsung menangani gaya mengajar guru—jalan untuk mengoptimalkan hasil belajar siswa.

Mempertimbangkan jumlah guru yang besar, hambatan pelaksanaan PPB adalah kurang dapat diaksesnya peluang pengembangan profesi. Peluang pengembangan profesi tidak dapat diperoleh oleh seluruh guru. Saat ini hanya 1 juta dari 2,9 juta guru yang telah tersertifikasi.

Namun demikian, kajian baru-baru ini oleh World Bank tentang dampak sertifikasi guru mengungkapkan bahwa sertifikasi memperbaiki standar hidup guru tapi gagal meningkatkan kualitas kinerjanya. Guru gagal memotivasi siswa untuk belajar. Jelaslah bahwa persoalan kebanyakan ada pada guru, bukan kurikulum.

Keterangan berikut dapat menjelaskan kenapa Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG), program mutakhir yang diprakarsai pemerintah, gagal meningkatkan profesionalisme guru.

Pertama, tidak semua guru merupakan individu yang berbakat dan berjiwa mengabdi, yang berkomitmen untuk mengajar. Perekrutan yang dilakukan oleh lembaga pendidikan guru gagal membedakan calon guru yang berbakat dan tidak berbakat.

Kedua, guru yang satu dengan yang lain berbeda dalam penguasaan pengetahuan teoritis dan profesional dan dalam jenjang karir. Sekarang ada 10 universitas pendidikan negeri dan lusinan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) negeri dan swasta. Sumber daya semua lembaga pelatihan guru tersebut bervariasi, dan ini dapat menjelaskan kesenjangan kualitas para lulusannya.

Ketiga, program profesi belum tentu sesuai dengan kebutuhan dan motivasi guru, sehingga mereka tidak mengembangkan rasa-memiliki terhadapnya. Beberapa guru tidak punya penguasaan yang baik atas materi pengetahuan yang diajarkan, pengetahuan pedagogis secara umum, dan pengetahuan kontekstual. Jadi, materi program profesi harus disesuaikan dengan kebutuhan dan motivasi guru.

Keempat, beberapa guru secara sederhana menganggap pengembangan profesi sebagai kewajiban administratif, bukan sebagai ikhtiar karir jangka panjang. Ketika program rampung, guru kembali pada cara mengajar mereka yang dulu. PPB sejati bertujuan untuk mendorong bangkitnya faktor-faktor penyebab kesuksesan semua guru dan siswa.

Kelima, pengembangan profesi guru terpisah dari keseluruhan budaya dan iklim sekolah. Program PPB akan berefek terhadap belajar siswa jika melibatkan pengetahuan tentang proses belajar mengajar dalam sekolah yang terlibat. Keberhasilan program PPB tidak diukur hanya dengan mempertimbangkan faktor-faktor individual dalam program.

Efek program PPB diketahui dengan memeriksa bagaimana berbagai faktor dan stakeholder berinteraksi satu sama lain. Pengembangan profesi harus terhayati dalam rutinitas kerja sehari-hari mereka. Pendeknya, PPB harus berbasis sekolah.

Supaya efektif, pengembangan profesi guru harus dikembangkan dengan memenuhi kriteria yang disarankan oleh Diaz-Maggioli dalam bukunya Teacher-centerd Professional Development (2004) sebagai berikut: (1) pengambilan keputusan secara kolaboratif, (2) pendekatan yang diarahkan pada pertumbuhan, (3) pembangunan program secara kolektif, (4) ide yang ilmiah, (5) teknik yang sesuai, (6) metode penyampaian yang bervariasi dan tepat waktu, (7) sistem pendukung yang memadai, (8) program dengan konteks yang spesifik, (9) penilaian proaktif, dan (10) instruksi yang berpusat pada orang dewasa.

Penetapan kurikulum baru selalu disambut dengan keraguan dan sinisme. Gurulah yang akan bertanggung jawab jika kurikulum baru itu gagal berfungsi sebagaimana yang diharapkan. Sekaranglah saatnya mengubah paradigma dari prakarsa pemerintah dan kurikulum dari atas ke bawah, diganti jadi paradigma berpusat pada guru dan pengembangan profesi berkelanjutan yang berbasis sekolah sebagai bagian dari perbaikan kurikulum, bukan pergantian kurikulum.

Penulis adalah profesor di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam