01/03/13

Apresiasi Puisi 5



Teks I

ORANG-ORANG MALIOBORO 1969

oleh: Iman Budhi Santosa

Rumah kami Malioboro
Mata kami Malioboro
Hati kami Malioboro
Buku kami Malioboro
Puisi kami Malioboro

Di antara debu, trotoar, dan tahun-tahun kelabu
secarik kertas, berita dalam sepotong koran bekas
pernah jadi teramat perlu; di sini. Karena terik matahari
tak menjanjikan senja benar-benar temaram
malam direngkuh sinar rembulan
dan pagi pasti memuat cericit burung gereja
mengeja lapar yang semalam tertunda
tersangkut pada bentangan kabel telepon di atas kepala kita

Di pojok stasiun Tugu, masih melintas kereta demi kereta
sedang kami malah menyimpan cemas dalam saku
dalam kata, dalam senyum, ketika hanya secarik catatan
layak dibanggakan, dipamerkan
pengganti ijazah yang terlipat dalam angan-angan

Menyusuri Malioboro, pagar tembok jadi bangku
taman dan pokok asam merangkai sunyi
lebih indah dan santun dari hening rumah sendiri.
Kadang ada debat, mengadu kutipan-kutipan dari buku tua
menguji jejak pujangga, menukar pena dengan tajamnya lidah
yang tak terukur oleh rumus matematika
Ya, kami pernah di sini. Menyaksikan lampu-lampu
menjelma mercuri, mengukur panjangnya langkah
dari keraton hingga pemberhentian ini
dengan baju lusuh, mulut tabu mengaduh
tanpa sedikit pun berani memandang langit
negeri berawan yang robek dan belum terjahit

Bertahun-tahun kami mengais remah cerita
yang bertebaran di kaki lima
sepanjang Senisono sampai hotel Garuda
untuk bekal sabar mengolah musim dan cuaca.
Bertahun-tahun kami bertabrakan dengan angin pasat tenggara
yang membuat bibir retak dan kering
namun, juga memberitahu bagaimana belajar menjadi batu
yang tak pernah lapuk dalam terkaman waktu.
Bertahun-tahun kami menapak bumi keras
menginjak duri, teriris tatapan beringas
terpinggirkan bunyi klakson
terhalang bangunan toko, tiang listrik,
dan pengemis yang terus memohon.

Sungguh, kami tidak berhenti, dan hanya berhenti
ketika puluhan kisah wayang sudah tersimpan dalam hati.
Ketika sahabat bukan lagi orang-orang sakti
tapi, juga tembok dan beton, lukisan dan puisi
air comberan dan pemantik api

Di Malioboro, kami pernah menjadi bayi
pernah bertapa, sekaligus bercinta
pernah menyerupai sampah
pernah belajar mengeja
pernah tak dikenal tetangga
pernah menghitung bintang, mengikuti jejak tikus tua
membangun sarang yang nyaman
di bawah tanah kelahiran kedua
bernama Yogyakarta

2009

Parafrase I

Malioboro adalah rumah kami, tempat kami berteduh dari hujan dan panas, tempat kami bercengkerama bersama keluarga, tempat kami dibesarkan ibunda dan ramanda, tempat kami memperoleh pendidikan dasar dan perdana. Malioboro adalah mata kami, dengan mana kami memandang dunia, memandang orang lain, memandang diri kami sendiri, memandang Tuhan. Malioboro adalah hati kami, perangkat yang membuat kami dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, cahaya yang membimbing langkah perjalanan kami. Malioboro adalah buku kami, catatan atas kehidupan dari zaman ke zaman dari tempat ke tempat. Malioboro adalah puisi kami.

Di sini, di Malioboro, secarik kertas yang berisi berita dalam sepotong koran bekas, yang ditemukan di antara debu, trotoar, dan tahun-tahun kelabu, pernah jadi teramat perlu bagi kami. Karena, terik matahari tak menjanjikan bahwa senja akan benar-benar temaram sehingga malam direngkuh sinar rembulan; dan karena, pagi pasti memuat cericit burung gereja yang tersangkut pada bentangan kabel telepon di atas kepala kita. Burung gereja itu rupanya mengeja lapar yang semalam tertunda.

Masih melintas kereta demi kereta di pojok stasiun Tugu. Sementara itu, kami malah menyimpan cemas dalam saku, kata, dan senyum. Karena, kami hanya punya secarik catatan yang layak dibanggakan dan dipamerkan. Secarik catatan tersebut merupakan pengganti ijazah yang terlipat dalam angan-angan.

Ketika kami menyusuri Malioboro, pagar dan tembok pun menjadi bangku, sedangkan taman dan pokok asam merangkai sunyi. Malioboro lebih indah dan santun dari hening rumah sendiri. Kadang ada perdebatan untuk mengadu kutipan-kutipan dari buku tua, menguji jejak pujangga, dan menukar pena dengan tajamnya lidah. Bagaimana perdebatan itu, tak terukur oleh rumus matematika. Ya, kami pernah di sini, di Malioboro. Kami pernah menyaksikan lampu-lampu menjelma mercuri. Kami pernah mengukur panjangnya langkah dari keraton hingga pemberhentian ini, dengan baju lusuh, dengan mulut yang dilarang mengaduh, tanpa sedikit pun berani memandang langit, yaitu negeri berawan yang robek dan belum terjahit.

Bertahun-tahun kami mengais remah cerita, yang bertebaran di kaki lima sepanjang Senisono sampai hotel Garuda, untuk bekal sabar dalam mengolah musim dan cuaca. Bertahun-tahun kami bertabrakan dengan angin pesat dari tenggara yang membuat bibir retak dan kering. Namun, angin itu jugalah yang memberitahu bagaimana belajar menjadi batu yang tak pernah lapuk dalam terkaman waktu. Bertahun-tahun kami menapak bumi yang keras, menginjak duri, teriris tatapan beringas, terpinggirkan bunyi klakson, terhalang bangunan toko, tiang listrik, dan pengemis yang terus memohon.

Walaupun demikian, sungguh, kami tidak berhenti. Kami hanya berhenti ketika puluhan kisah wayang sudah tersimpan dalam hati. Kami hanya berhenti ketika sahabat bukan lagi orang-orang sakti, tetapi mereka juga menjadi tembok dan beton, lukisan dan puisi, air comberan dan pemantik api.

Di Malioboro, kami pernah menjadi bayi, pernah bertapa sekaligus bercinta, pernah menyerupai sampah, pernah belajar mengeja, pernah tak dikenal tetangga, pernah menghitung bintang, dan pernah mengikuti jejak tikus tua. Tikus tua itu membangun sarang yang nyaman di bawah tanah Yogyakarta, dimana kami dilahirkan untuk kedua kalinya.


Teks II

ORANG-ORANG MALIOBORO 2009

oleh: Iman Budhi Santosa

Selembar daun angsana yang gugur musim ketiga
dinihari menyapa (dengan wajah kecewa)
setelah terinjak sepatu bersama semut hitam di bawahnya
yang harus mati sebelum menemukan remah berkah
yang tengah dicari atau dicuri.
“Apa yang kau tunggu di sini, laki-laki tua?”
Tapi, laki-laki beruban itu merasa tak ada siapa-siapa
di bawah sepatunya, karena dirinya hanya mondar-mandir
sambil mengunyah catatan lama

“Di sini pernah ada Rendra.” Gumamnya
setelah di sepanjang tembok kusam
tak ada lagi poster dan iklan teater.
Tak ada lagi denting gitar melantunkan puisi
yang tak pernah dimuat oleh koran-koran besar

Waktu sepotong kenangan melintas
di seberang balkon tua lantai dua
lagi-lagi ia berhenti. “Di situ ada Umbu.”
Gumamnya, setelah merasa di sana hanya ada gelap
dan aroma karat. “Benarkah ini Malioboro yang dulu?
Benarkah sekarang jadi makam, jadi lorong hantu
milik iklan siang malam yang terus mengharu-biru?”

Maka, berhari-hari ia pun mencari
orang-orang yang masih menggenggam puisi
berhari-hari mencari sketsa lukisan
seperti disimpan handai taulan
dan dimuliakan pada kamar-kamar pribadi.
Tapi, yang ditemukan hanya suvenir yang sengaja diukir
oleh tangan para fakir membuat cerita terus bergulir.
Tengah hari ketika hidup serasa makin diburu-buru
sekali lagi ia melangkah ke utara, mencari puisi
yang dulu disembunyikan di celah pintu warung kopi
yang sekarang tiada (dan sejarahnya pun tak ada)

Demikianlah. Senantiasa ada orang-orang gila
merasa Malioboro miliknya. Ada orang-orang buta
merasa Malioboro seperti yang diraba.
Ada orang-orang bisu bahagia melukis Malioboro
dengan lidahnya. Ada orang-orang tuli
yang tak pernah mendengar
hiruk-pikuk Maliboro begitu bebas merdeka.
Ada orang-orang lumpuh yang senantiasa mengaduh
ketika harus patuh menuai peluh
beringsut sepanjang Malioboro yang terbuka.

Ada rasa malu ketika tak ada lagi tegur sapa bersahabat
ratusan orang memilih hidup dalam etalase
berkubang dalam harga
dan angka-angka yang senantiasa berkhianat

2009

Parafrase II

Pada dinihari, selembar daun angsana—yang gugur pada musim ketiga—menyapa (dengan wajah kecewa), setelah terinjak sepatu bersama semut hitam di bawahnya, semut hitam yang harus mati sebelum menemukan remah berkah yang tengah dicari atau dicuri. "Apa yang kau tunggu di sini, laki-laki tua?" tanya daun angsana tersebut. Tetapi, laki-laki beruban itu merasa tak ada siapa-siapa di bawah sepatunya karena dirinya hanya mondar-mandir sambil mengunyah catatan lama.

Setelah tak ada lagi poster dan iklan teater yang tertempel di sepanjang tembok kusam, juga setelah tak ada lagi denting gitar melantunkan puisi yang tak pernah dimuat oleh koran-koran besar, ia pun bergumam “Di sini pernah ada Rendra”.

Waktu sepotong kenangan melintas di seberang balkon tua lantai dua, lagi-lagi ia berhenti. Setelah merasa di sana hanya ada gelap dan aroma karat, ia pun bergumam, “Di situ ada Umbu”.

Maka, selama berhari-hari ia pun mencari orang-orang yang masih menggenggam puisi. Berhari-hari lamanya ia mencari sketsa lukisan. Apa yang dicarinya itu seperti disimpan oleh handai tulan dan dimuliakan pada kamar-kamar pribadi. Tetapi, ia hanya menemukan suvenir yang sengaja diukir oleh tangan para fakir dengan maksud untuk membuat cerita terus bergulir. Pada tengah hari, ketika hidup serasa makin diburu-buru, sekali lagi ia melangkah ke utara untuk mencari puisi yang dulu disembunyikan di celah pintu warung kopi, tetapi yang sekarang tiada (dan sejarahnya pun tak ada).

Demikianlah. Senantiasa ada orang-orang gila yang merasa bahwa Malioboro adalah miliknya. Senantiasa ada orang-orang buta yang merasa bahwa wujud Malioboro seperti yang dirabanya. Senantiasa ada orang-orang bisu yang merasa bahagia melukis Malioboro dengan lidahnya. Senantiasa ada orang-orang tuli yang tak pernah mendengar hiruk-pikuk Malioboro yang begitu bebas-merdeka. Ada orang-orang lumpuh yang senantiasa mengaduh ketika harus patuh menuai peluh saat beringsut di sepanjang Malioboro yang terbuka.

Ada rasa malu ketika tak ada lagi tegur sapa bersahabat. Ratusan orang memilih hidup dalam etalase serta berkubang dalam harga dan angka-angka yang senantiasa berkhianat.

2 komentar:

mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam