01/03/13

fungsi puisi



Perkenankan saya memulai tulisan ini dengan menyatakan, puisi itu banyak manfaatnya. Belajar puisi bukanlah kerja yang tak berguna. Puisi bisa digunakan untuk mencari uang, mencari nama, mencari gelar, dan yang kerap terjadi: mencari perempuan bagi yang laki-laki, mencari laki-laki bagi yang perempuan. 

Fungsi pragmatis puisi merentang dari fungsi ekonomi hingga fungsi politik. Kita ingat Lekra, lembaga kebudayaan yang dibayang-bayangi PKI, yang para aktivisnya menggunakan puisi sebagai alat politik, untuk berkampanye, berproganda, tidak jarang pula untuk menjatuhkan reputasi lawan-lawan politik golongan komunis. Kita juga ingat apa yang disebut sebagai penyair koran, yang katanya mereka menggubah puisi agar dapur tetap mengepul, atau meminjam ibarat Iman Budhi Santosa, agar cerita terus bergulir.

Di samping fungsi pragmatis, puisi, agar pantas dihargai sebagai ekspresi kebudayaan, sepatutnya difungsikan secara idealistis. Misalnya, kita perlu kembali mengungkit dan mengangkat fungsi didaktis puisi yang terpendam dalam tradisi, setelah wilayah puisi oleh estetika modern, yang sebagiannya diimpor ke Indonesia, dipersempit sebatas di ranah teknis-linguistis dan atau mekanis-kognitif. 

Secara didaktis, puisi berguna sebagai sarana belajar. Belajar menggubah puisi adalah belajar mengendalikan kata-kata. Manusia berpikir dengan bantuan kata-kata. Maka, belajar menggubah puisi adalah belajar mengendalikan pikiran. Belajar mengendalikan pikiran adalah juga belajar mengendalikan rasa, karsa, kerja, dan karya. Diluaskan spektrumnya, belajar menggubah puisi sama halnya dengan belajar menyiasati hidup, hidup dalam makna yang sesungguhnya, yaitu hidup yang bermakna. Ada garis yang menghubungkan puisi, kebudayaan, dan kehidupan. Dan garis itu semestinya ialah fungsi didaktis puisi.

Apa boleh buat, ketika mendiskusikan fungsi didaktis puisi ini, teori sastra modern tampaknya mesti dikesampingkan dulu. Walaupun memang, dunia sastra modern tidak sunyi sama sekali dari diskusi tentang fungsi didaktis puisi dan peran pragmatik penyair. Penyair dalam dunia sastra modern—dalam hal ini yang dimaksud modern adalah Barat—pernah bertanggung jawab secara sosial sebagai sang pencerah atau juru selamat. Penyair adalah lampu, salah satu sumber cahaya bagi masyarakat. 

Tapi itu terjadi ketika raja masih harus merupakan penganut agama yang saleh. Kemudian, setelah menyebar keraguan kolektif terhadap agama serta harapan kolektif terhadap ilmu pengetahuan, penyair pun mengambil tanggung jawab yang sekuler, sesuai zamannya. Penyair menjadi juru bicara kebebasan, berdiri di garda depan kemerdekaan. Penyair ditakzimi dan dikenang karena dia berhasil melancarkan revolusi konvensi, baik konvensi puisi, sastra, bahasa, dan karena itu, juga konvensi sosial dan budaya. Penyair adalah lambang pemberontakan. Penyair adalah teladan kegelisahan, pencarian, petualangan. Penyair adalah ilmuwan dalam arti esoterisnya. Yang dicarinya adalah kebaruan yang segar dan memikat. Yang dihindarinya adalah keklisean yang basi dan membosankan.

Pada saat itu, wilayah puisi dipersempit atau menjadi sempit, meskipun wilayah gerak penyair secara teknis diperluas dan diperbebas. Puisi tampaknya menjadi semata-mata teknologi bahasa. Kerja penyair terutama berkutat pada aktivitas kognitif. Pandangan terhadap penyair pun berubah. Orang melihat penyair pertama-tama sebagai jenius linguistis, kamudian sebagai penyuara semangat zamannya. Sebagai karya seni bermedium bahasa, puisi pun dikaji secara otonom, dilepaskan dan dibebaskan dari kehadiran penyair. 

Dikatakan secara sloganistis, penyair telah mati. Yang diperhatikan adalah karya penyair, puisi itu sendiri. Bagaimana adab penyair, tidak lagi dipedulikan. Penyair disanjung tinggi sekali kalau puisinya terbukti canggih dan mendapat banyak kritik, kendati perilaku sehari-hari penyair itu tidaklah sastrawi, untuk tidak mengatakan kurang atau malah tak beradab. Keindahan dan kebaikan ditempatkan dalam ruang yang berbeda, bahkan dalam posisi yang bertentangan.

Dalam keadaan demikian, fungsi didaktis puisi sudah hilang. Atau, jika pun masih ada, fungsi didaktis itu tidak lebih dari sekadar pertama, latihan kognitif, latihan intelektual, latihan otak; dan kedua, latihan membebaskan jiwa sebebas-bebasnya. Manusia tidak lagi dipersepsi secara lengkap, utuh, dan holistik. Sebab, pertama, kemanusiaan dinilai atas dasar kecanggihan pikiran. Manusia hampir tidak ada bedanya dengan mesin, robot, komputer. Kata Marcuse, manusia menjadi cuma satu dimensi. Kebudayaan pun menjadi cuma kebudayaan teknologis. Kedua, manusia dinilai atas dasar kebebasan yang dinikmatinya. Menjadi manusia adalah menjadi semakin dan semakin bebas. Penilaian seperti ini membuka jalan bagi manusia untuk jatuh ke dalam derajat binatang, suatu potensi kodrati yang memang telah ada dalam diri manusia itu sendiri.

Itu sebabnya, kita perlu mendiskusikan fungsi didaktis puisi pada khususnya, dan fungsi puisi pada umumnya. Diskusi dengan tema ini akan membawa kita pada diskusi yang pasti sangat bermanfaat, yaitu peran penyair, suatu serial diskusi yang mungkin akan membuat kita merindukan tradisi yang telah lama dimuseumkan, atau bahkan dipusarakan. Semua diskusi tersebut, pada dasarnya, berujung pangkal pada masalah estetika.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam