WAKTU yang terus mengegelinding memberi
kita anugerah yang patut disyukuri. Salah satunya, pengalaman yang kian kaya
dan pengertian yang kian luas. Saya yang dulu dengan saya yang sekarang melihat
sesuatu melalui dua tingkatan cahaya yang berbeda. Saya bergerak dinamis di
dalam diri saya sendiri. Dan penyebab gerakan dinamis intrapersonal tersebut
adalah waktu, selain cara saya merespon dan menafsirkan rangkaian peristiwa
yang saya menjadi tokoh porosnya.
Saya sudah membaca buku yang merangkum
pandangan Gandhi, Semua Manusia Bersaudara, diterbitkan Yayasan Obor Indonesia.
Waktu itu, saya membacanya dengan pengalaman yang masih miskin dan pengertian
yang masih sempit. Hasilnya, saya merasa telah sungguh-sungguh memahami apa
yang dikemukakan Gandhi, padahal saya belum memahaminya sedikit pun. Sekarang
saya membaca kembali buku tersebut, dengan cahaya yang berbeda. Memang, saya belum memahami isinya secara utuh karena, terus terang saja, saya bukan orang yang berpengalaman kaya dan berpengertian luas. Akan tetapi, identifikasi-diri
saya kepada Gandhi rasanya menjadi lebih kuat. Dapat sedikit saya bayangkan
bagaimana Gandhi berjuang menempuh jalan kebenaran yang pelik nan berbahaya.
Dan Gandhi adalah Gandhi, tidak surut langkahnya menghadapi setiap cobaan dan
percobaan yang merundungnya tanpa belas kasih.
Pada bagian otobiografis di mana Gandhi
bercerita tentang eksperimentasinya terhadap kebenaran, saya terpukau dengan
kualitas pribadi yang dimilki Gandhi, yang sekarang telah jadi spesies yang
terancam punah, yakni keluguan. Ketika SMP, gurunya mengisyaratkan Gandhi untuk
menyontek agar akreditasi dan prestise sekolahnya tidak jatuh. Gandhi tidak
memahami, atau mungkin sengaja tidak memahami, isyarat gurunya tersebut. Ia
mengaku tidak bisa menyontek.
Saat bekerja sebagai pengacara di Afrika
Selatan, lantaran alasan tertentu Gandhi mulai belajar mencuci dan menyetrika
sendiri pakaiannya. Terlalu banyak Gandhi menuangkan tepung kanji. Ia
menyetrika baju berkerahnya dengan setrika yang kadar panasnya tak mencukupi.
Ia mengenakan baju itu ketika bertugas. Teman-temannya menertawai dan
mengolok-oloknya karena tepung kanji yang meresap di kerahnya luntur dan
meleleh. Olok-olok itu Gandhi terima dengan kasih sayang yang begitu lugu.
Tidak ada perasaan tersinggung, terhina, atau amarah yang buas. Perlu dicatat,
ketika itu Gandhi sudah menjadi tokoh terhormat tidak saja di kalangan
masyarakat imigran India, namun juga di kalangan masyarakat kulit putih. Jika
saya kebetulan bertemu dengan orang yang perilakunya seperti ini, saya pasti
akan menilainya sebagai orang bodoh atau orang gila.
Kisah lugu berikutnya masih terjadi
ketika Gandhi tinggal di Afrika Selatan. Syahdan, Gandhi hendak potong rambut
di sebuah salon yang hanya melayani pengunjung kulit putih. Sang juru pangkas
rambut menolak melayani Gandhi. Gandhi memaklumi penolakan itu. Bagi sang juru
pangkas rambut, melayani pengunjung kulit berwarna akan memacetkan aliran
rezekinya. Sampai di sini kisah belum berakhir. Selanjutnya, Gandhi mencukur
sendiri rambutnya. Bagian depan tercukur rapi. Tapi bagian belakang
acak-acakan. Dengan “gaya” rambut seperti itu Gandhi pergi ke kantornya untuk
menjalankan tugasnya. Tentulah rekan-rekan kulit putihnya lagi-lagi menertawai
dan mengolok-oloknya. Seorang rekannya mengejeknya, “Kenapa rambutmu, Gandhi?
Dimakan tikus?”. Jawaban Gandhi lugu saja: “Oh tidak. Hanya karena tukang
pangkas rambut putih tidak mau menyentuh rambutku yang hitam ini, jadi saya
potong sendiri. Biar jelek, nggak apa.” Jawaban itu membuat rekan-rekannya
kaget. Jawaban itu menikam jantung rasialisme koloni Inggris di Afrika Selatan.
Itulah tiga kisah keluguan Gandhi.
Barangkali banyak lagi kisah keluguannya yang lain yang tidak diceritakannya
kepada kita. Biar cuma tiga biji, kisah-kisah berharga itu sudah cukup memulihkan
kepercayaan saya bahwa keluguan, khususnya keluguan kanak-kanak, adalah modal
yang sangat diperlukan oleh seorang pemimpin. Keluguan yang dimiliki seorang
pemimpin tidak menunjukkan kebodohan, keloloan, atau kegilaannya. Sama sekali
tidak. Keluguan justru menandakan kobaran api iman di dalam dadanya yang tidak
mudah dipadamkan, apalagi dipadamkan oleh sekadar pandangan mayoritas manusia.
Keluguan menjadikannya sabar, tabah, dan tegar berjalan menentang arus opini umum
yang disalahpahami sebagai kebenaran. Keluguan mencerminkan keagungan jiwanya
dan kualitas kepemimpinannya yang mumpuni. Punyakah kita keluguan yang membuat
nama Gandhi mulia dan abadi itu?
Yogyakarta,
11 April 2013
terima kasih sudah share..
BalasHapusKalau boleh tau judul bukunya apa ya? Trims
Tahun berapa terbit? Pengarangnya?