22/06/13

Nasib Sang Pawang


I
Kamdi boleh bertepuk dada. Dan nyatanya, itu memang dilakukan Kamdi, baik secara kiasan maupun harfiah. Sahibul hajat tentu puas dengan hasil kerjanya hari itu. Apabila kelak menyelenggarakan hajat lagi, ia pasti akan membeli jasa Kamdi lagi. Ia pasti akan menceritakan kasuksesan Kamdi hari itu kepada tetangganya, teman-temannya, kepada orang sekampung.

Reputasi dan popularitas Kamdi akan pulih. Kamdi akan bergelut dengan pekerjaannya yang dulu, sebelum bekerja sebagai buruh karet. Problem-problem ekonominya yang tergawat akan segera teratasi. Hari depanku pasti cerah, pikir Kamdi, optimistis dan percaya diri. Terbayang rumah bata yang diimpikannya, lengkap dengan perabotan yang perlu-perlu dan bagus-bagus dan mahal-mahal, ditambah sebuah sepeda motor baru yang terparkir di halamannya. Kamdi pun sesumbar, “Bagiku, urusan atur-mengatur hujan, soal kecil belaka. Apalah arti cuaca bagiku.” Kamdi yakin, ia bakal segera jadi orang kaya, mimpinya sejak kecil yang sampai waktu itu belum kesampaian.

Dan Kamdi berjalan hilir-mudik di belakang panggung organ tunggal dengan kepala yang mendongak, bahu yang terangkat tinggi, dada yang dibusung-busungkan, juga dengan langkah kaki yang sengaja diseretnya, srek-srek-srek bunyinya. Sungguh berisik dan tak nyaman didengar sebenarnya. Untung saja, bunyi srek-srek-srek itu dikalahkan oleh gelegar organ tunggal yang kadang-kadang sampai menggetarkan tiang panggung tempat biduan bernyanyi dan berjoget.

Kamdi kemudian berjalan menuju bagian belakang rumah sahibul hajat. Dipantaunya atap rumah yang terbuat dari genting merah. Di atasnya beberapa helai bra dan celana dalam wanita yang berserakan masih terjemur aman. Belum ada maling jahil yang mengambilnya. Ah, siapa pula manusia primitif yang menyaru mengambil sandangan bekas dan sronok itu. Ini kan zaman modern, Bung! Abad teknologi dan informasi. Sekali lagi Kamdi memantau atap, sekadar untuk memastikan.

Pandangannya lalu dinaikkannya, diarahkan pada langit. Matahari sedang berada tepat di atas ubun-ubunnya. Langit tampak lapang. Biru dan cerah. Gerumbulan awan putih melintasi langit pelan-pelan. Beberapa di antaranya menyerupai citra tertentu. Langit mengeluarkan aura magisnya, merangsang mekarnya rasa bangga, rasa puas, dan rasa gembira di hati Kamdi. Kamdi menarik kedua ujung bibirnya ke atas. Tersenyum. Dan mengangguk-angguk.

Ketika sampai di salah satu pojok rumah sahibul hajat, Kamdi kembali mengangguk-angguk. Dupa yang pagi tadi dibakarnya belum mati. Asapnya mengepul tipis, membumbung ke atas, meliuk-liuk gemulai dimainkan angin. Mulutnya komat-kamit merapal mantra. Terdengar bagai igauan, atau gumaman. Tangannya bersedekap, persis bersedakapnya orang sembahyang. Tegaknya kokoh, tenang dan khidmat. Selesai bermantra, Kamdi membatin, “Aku memang hebat. Coba, cuaca saja patuh padaku. Hujan saja bisa kusuruh-suruh. Tidak ada yang dapat menyaingi ngelmu dan kemampuanku.”

Prak. Wadah dupa pecah terbentur tembok rumah setelah tertendang kaki anak kecil yang berlari buta karena dikejar temannya. Setelah tendangan yang mengolengkan kesadaran Kamdi tersebut, anak kecil itu terus saja berlari, tertawa-tawa pula, seperti sengaja menertawakan Kamdi. “Bocah setannnn,” Kamdi mengumpat.

Orang-orang di sekitarnya, yang dari tadi sibuk mencuci piring, menoleh ke arahnya. Mereka hanya sempat mereaksi kejadian tersebut dengan tolehan karena Kamdi segera mengembalikan kesadarannya sendiri, dan kepada mereka berkata, “Tidak apa-apa. Tidak masalah. Anak-anak kalau bermain memang selalu kebablasan. Semua barang mereka hancurkan. Lanjutkanlah pekerjaan kalian.” Walaupun ucapan yang berasal dari mulut Kamdi itu terdengar tenang dan tenteram, tetapi sebetulnya kerusuhan dan keresahan hati Kamdi belum lenyap, malah meluap-luap.

Dengan pikiran kalut dan semrawut, Kamdi menukar wadah dupa yang pecah itu dengan yang baru. Tanggannya bergetar waktu mengisi dupa dan kemenyan ke dalamnya, menyalakannya. Merapal mantra. Tetapi, saat sampai pada pertengahan mantra, komat-kamit Kamdi terhenti. Kamdi mengatupkan kelopak matanya lebih dan lebih rapat. Keningnya berkerut. “Celaka, kenapa aku bisa lupa sambungan mantra ini.”

“Lha, Kang Kamdi, sampeyan di sini rupanya. Tak cari-cari dari tadi.” Tegur-sapaan sahibul hajat, Pak Parman, itu membuat Kamdi kontan membuka matanya, terkejut. Pak Parman menepuk-tepuk punggung Kamdi. “Cek-cek-cek, sampean betul-betul wong pinter. Ngelmu sampeyan ampuh. Ndak percuma saya panggil sampeyan hari ini.” Pujian Pak Parman menyebabkan Kamdi terlupa akan masalah mantra tak rampungnya. Pujian itu juga berhasil membuat Kamdi tersipu. “Terima kasih, Mas. Kalau hari ini tidak hujan, itu cuma kebetulan.” Kamdi merendah.

Pawang hujan profesional mesti pandai berbasa-basi, demikian prinsip Kamdi. Prinsipnya yang lain, pawang hujan profesional harus mahir merahasiakan isyarat-isyarat buruk yang muncul saat ia melangsungkan ritual. Dan kebanggaan Kamdi surut seketika, berganti kegusaran. Ia teringat akan mantranya yang tak rampung dirapal dan wadah dupa yang pecah itu. Bukankah dua hal itu merupakan isyarat petaka yang dikirim oleh alam? tanya Kamdi kepada dirinya sendiri.

“Sampeyan boleh berkata apa saja. Tapi bagi saya, pokoknya sampean itu hebat. Luar biasa. Oalah, saya kok malah lupa. Saya mencari-cari sampeyan untuk mengajak makan siang. Mari. Makanan terlezat yang kami olah sudah kami siapkan, spesial untuk sampean. Mari…”

Mereka berdua berjalan masuk ke dalam rumah. Pak Parman bergerak enteng dan luwes, bercerita berkelakar. Kamdi bergerak kaku, membisu. Terjedut daun pintu yang tingginya setelinganya. Memang, pintu belakang rumah Pak Parman rendah.

II
Sendirian Kamdi duduk di lincak bambu yang terletak di teras rumahnya yang berdinding papan beratap seng. Jarum 76-nya yang terakhir hampir habis dihisapnya. Kamdi memandangi asap yang ia hembuskan sendiri. Ditiupnya. Seolah-olah dengan meniup asap, Kamdi meniup bersih berbagai masalah yang mengepungnya dan menyesakkan dadanya. Panas telah tak menyengat tetapi magrib masih jauh. Perutnya berkeruyuk. Melilit perih. Hari ini ia hanya makan bergelas-gelas air putih dan asap rokok itu. Istri dan anak-anaknya juga belum menelan sebutir nasi pun.

Benar, istrinya belum makan nasi, apalagi minum obat. Itulah yang mencemaskan Kamdi. Sudah tiga hari istrinya terbaring di atas dipan, hanya beralaskan tikar pandan yang robek dan bolong. Kamdi belum tahu apa penyakit istrinya. Ia tak mungkin memeriksakan istrinya ke puskesmas atau rumah sakit. Tiada lain di dalam dompetnya kecuali KTP dan lipatan-lipatan kertas tak berharga. Televisi, radio tape, kipas angin, semua perkakas elektronik sudah dijualnya untuk menyambung hidup. Juga emas dan tanah warisan.

Terus terang, Kamdi takut kalau-kalau istrinya kena penyakit mematikan, demam berdarah atau muntaber misalnya. Setengah bulan lalu, keponakannya, yang tinggal sekampung dengannya, meninggal karena demam berdarah. Tetapi kata tetangga, muntah-muntah istrinya tak usah dicemaskan betul. Itu gejala sakit biasa. Paling masuk angin atau apa. Pokoknya sakit biasa. Diagnosis tetangganya yang tidak tamat SD itu tambah mencemaskan Kamdi. Soalnya, tetangga yang sok tahu dan banyak bicara itu bercerita tentang saudara dekatnya yang dibunuh oleh muntaber dan saudara jauhnya yang dimangsa oleh demam berdarah.

Kamdi beranjak dari lincak, hendak menengok istrinya di satu-satunya kamar di rumahnya. Menatap istrinya tertidur damai, Kamdi merasa sedikit terbebas dari kecemasan. Tatapan Kamdi bergulir ke dinding depan dipan, di samping almari pakaian plastik. Di sana tergantung seragam SMP Trimo, anak bungsunya, yang minggu depan harus mendaftar masuk SMA. Duit lagi. Kamdi melenguh. Biaya masuk SMA pasti tak murah. Kamdi berkhayal, ah, seandainya semua SMA gratis. Tidak ada biaya pendaftaran, biaya SPP, atau biaya tetek-bengek lain. Seandainya.

Khayalan tinggal khayalan. Andaian selamanya bukan kenyataan. Kenyataan yang dihadapi Kamdi adalah, ia harus mendapatkan uang untuk mendaftarkan Trimo masuk SMA dan untuk mengobati istrinya. Tetapi, dari mana uang itu akan didapatkan? Jelas tidak dari langit. Tuhan belum sekali pun menurunkan hujan uang.

Melintas wajah Pak Parman di dalam benaknya. Pak Parman ialah tengkulak getah karet, orang terkaya di kampung kami. Rumahnya bertingkat. Mobilnya empat. Semua anaknya kuliah di luar negeri, dua di Malaysia, satu di Singapura, dan satu lagi di Belanda. Kebun karetnya puluhan hektar. Buruhnya 50-an orang. Kamdi salah satunya. Kepada Pak Parmanlah Kamdi menjual panenan getah karetnya. Kepada majikannya itu pulalah Kamdi biasanya berhutang.

Menurut Kamdi, menghutang kepada Pak Parman bukan jalan keluar. Hutangnya kepada Pak Parman sudah menggunung. Baru bisa dilunasi dengan dua atau tiga ton getah karet. Untuk memperoleh jumlah panenan getah karet sebanyak itu, Kamdi harus bekerja tanpa gaji selama dua atau tiga tahun. Tanpa gaji! Memikirkan itu, kepala Kamdi berdenyut-denyut, tengkuknya mengeluarkan keringat dingin. Merinding. Namun, apa boleh buat, malaikat penyelamat Kamdi sekeluarga hanya Pak Parman. Terpaksa Kamdi berhutang lagi kepada Pak Parman.

“Kang, sampeyan kan tahu, hutang sampeyan sudah banyak. Kalau saya kasih pinjaman lagi, saya khawatir sampean ndak sanggup bayar. Jadi, maaf, kali ini saya ndak bisa kasih sampean pinjaman.”

Mendengar perkataan Pak Parman tersebut, Kamdi menunduk, tetapi ia merasakan darahnya yang naik ke kepala dan jantungnya yang berdentam-dentum, sedangkan kedua tangannya meremas udara sekeras-kerasnya. Kamdi tak menyangka, Pak Parman setega itu. Setelah Kamdi merendah-rendah dan menghiba-hiba memohon pinjaman untuk sekadar mengobati istrinya dan mendaftarkan Trimo masuk SMA, Pak Parman malah menolak permohonannya dengan kata-kata yang demikian lugas dan tajam. Padahal, Kamdi sudah berbulat pikir, berapa pun jumlah pinjaman yang diberikan Pak Parman akan diterima dengan suka cita meskipun tidak mencukupi kebutuhannya. “Orang kaya di mana-mana kikir. Tidak punya perasaan. Melupakan dan menginjak saudaranya yang miskin. Mentang-mentang kaya!” batin Kamdi.

“Kang Kamdi, saya ndak seperti yang sampean pikirkan. Penduduk sekampung tahu, saya ndak tegaan orangnya. Saya memang ndak akan meminjami sampean uang. Itu akan lebih menyulitkan kehidupan sampean. Ndak. Saya ndak akan meminjamkan uang, saya hanya akan memberikan uang kepada sampean.”

Kamdi mengangkat kepalanya. Kepalan tangannya mengendor. Mulutnya agak terlongo sebelum ia berkata, “Memberi saya uang, Pak?”

“Ya. Memberi sampean uang. Tapi ndak cuma-cuma. Saya dengar, sebelum pindah ke kampung ini, sampean dulu pawang hujan ya? Tiga hari lagi, saya akan mengadakan pesta pernikahan anak saya yang pertama. Pawang hujan yang saya hubungi sakit, ndak bisa pergi ke mana-mana. Bagaimana kalau sampean membantu saya memperlancar pesta pernikahan besok? Uang yang akan saya berikan kepada sampean, untuk membayar jasa mengatur hujan itu. Bagaimana, Kang?”

Kamdi tak menjawab. Tak bisa menjawab. Situasi yang membingungkan tersebut belum lagi ternalar olehnya.

“Diam artinya bersedia. Saya kasih segini, buat panjar. Sisanya menyusul habis pesta. Uang segini pasti lebih dari cukup untuk mengobati istri sampean dan mendaftarkan Trimo. Kalau kurang, sampean silakan ke sini, mengambil sisanya.” Pak Parman mengatakan itu sambil menyodorkan beberapa lembar seratusan ribu tanpa memedulikan Kamdi yang masih duduk mematung termangu-mangu.

III
Pak Parman tidak bohong. Hampir seluruh makanan yang menurut Kamdi lezat tersaji di hadapannya. Ada opor ayam, nila bakar, sayur asam, rendang, dan beberapa jenis makanan lain yang jarang benar dinikmati Kamdi. Siap santap. Ada pula beberapa jenis minumam. Sirup, kopi, es jeruk. Tinggal pilih. Buah-buahannya pun boleh dikata lengkap. Di sebelah kiri depan, ada pisang, jeruk, semangka, pepaya. Di sebelah kanan depan, ada jambu air, mangga, dan entah buah apalagi.

Melihat komposisi hidangan tersebut, Kamdi merasa dijamu laksana raja. Justru penjamuan yang di luar kebiasaan itulah yang membuat Kamdi kehilangan selera makan. Rendang, makanan yang paling disukainya, tidak meneteskan air liurnya. Sedikit pun tak berkeinginan melahap mangga atau semangka atau buah lain. Tak tahu mengapa, Kamdi merasa tidak berhak memperoleh jamuan segila itu, gila menurut ukuran Kamdi tentu. Bayangan wadah dupa yang pecah tertendang dan mantra yang tak rampung dirapal masih berlalu-lalang dalam kepala Kamdi. Dan bayangan itu membuatnya lebih tidak berselera makan.

Kamdi mengambil nasi serta lauk-pauk dengan gerakan tangan yang berat setelah Pak Parman menyilakannya. Di lidah Kamdi, rendang hambar rasanya. Semangka tawar. Bahkan, es teh pun jadi pahit. Hanya rasa tak enak dengan sahibul hajatlah yang membuat Kamdi memaksa diri berbasa-basi mengaku makanan ini lezat, buah itu sedap, minuman ini segar, dibumbui dengan senyum dan tertawa yang tak jujur. Pak Parman tampaknya sedang terlalu larut dalam kebahagiaan sehingga kepura-puraan Kamdi tak tertangkap olehnya.

“Hujan, hujaan, hujaaan,” teriak orang-orang di luar. Riuh-rendah. Berbalas-balas, sambung-menyambung. Teriakan tersebut terdengar jelas oleh Kamdi dan Pak Parman karena kru organ tunggal tengah istirahat untuk makan siang. Mestinya, teriakan tersebut tak mengagetkan Kamdi sebab alam telah mengiriminya dua isyarat kegagalan pekerjaannya. Tetapi, ternyata respon Kamdi terhadap teriakan itu sama dengan respon Pak Parman: kaget.

Kamdi tak berani memutar badannya ke belakang untuk memeriksa dengan mata kepala sendiri melalui jendela apakah hujan benar turun atau tidak. Pandangan Kamdi terpaku pada piring bekas makannya yang berada di depan kakinya yang dilipat bersila. Kendati penasaran dengan reaksi Pak Parman, Kamdi takut melirik muka majikannya. Tamat sudah riwayatku, simpul Kamdi.  Tamat.

Sementara itu, melalui jendela yang berada tak jauh di depannya, Pak Parman mengamati lekat-lekat hujan deras yang tak diharapkan itu. Tamu-tamunya yang duduk-duduk di luar tenda berlarian kocar-kacir kesana kemari mencari tempat berteduh. Demikian pula saudara-saudara dan tetangga-tetangganya yang membantunya menyelenggarakan pesta. Pak Parman lalu menyorotkan pandangan ke tubuh Kamdi, dari rambut hingga kaki, dari kaki hingga rambut. Menatap jendela lagi. Menatap Kamdi lagi. Jendela. Kamdi. Yang ditatap meng-keret, mengecil, tersudut, tertusuk. Pak Parman bangkit dari duduknya, berjalan tergesa-gesa keluar rumah, pergi meninggalkan Kamdi sendirian tanpa berkata apa-apa.

Jika Pak Parman mendadak diam, sorot matanya terasa menusuk, kemudian pergi menghilang entah ke mana, itu artinya Pak Parman marah besar. Kamdi mengenal betul perangai Pak Parman yang satu ini. Kalau marah, Pak Parman tidak mengumpat, menyumpah, atau melontarkan kata-kata makian yang kasar dan jorok, tidak juga menggampar atau menampar orang yang ia marah kepadanya, tetapi diam dan pergi menghilang, menjauhi sumber marahnya. Karena itu, wajar bila Kamdi jadi semakin takut, cemas, dan putus asa. 
           
            Emosi-emosi negatif yang mengaduk-aduk batinnya menyebabkan Kamdi merasa letih dan lemas tak kepalang. Ia masih duduk, duduk lemas-lunglai di tempat itu, di depan aneka makanan dan minuman yang seperti turut merutuki dan mengutuki kegagalannya.

Kamdi tidak menerima dengan tabah rutukan dan kutukan tersebut, tetapi memproyeksikannya kepada hujan deras. Hujan deras keparat itu membuyarkan segala angan-anganku, begitu Kamdi murka dalam hati. Kamdi tak jadi membangun rumah baru. Mungkin tak pernah akan jadi. Tak jadi membeli sepeda motor baru. Mungkin tak pernah akan jadi. Tak jadi membeli perabotan yang perlu-perlu dan bagus-bagus dan mahal-mahal. Mungkin, mungkin tak pernah akan jadi karena di kantong Kamdi hanya terselip selembar sepuluh ribuan.

Uang panjar sebagai balas jasanya mengatur hujan sudah habis untuk mengobati istrinya, untuk mendaftarkan Trimo, dan untuk bermain judi. Di meja judi, Kamdi malah nombok, berhutang kepada lawan-lawannya. Ia berjanji kepada mereka, hutang kalah judi itu akan dibayarnya setelah ia menerima pembayaran pelunasan dari Pak Parman.

Namun, hujan deras tentu mengubah pikiran Pak Parman. Pasti uang pelunasan itu tidak bakal Kamdi terima. Dan nyaris pasti pula, besok atau lusa majikannya akan memecatnya. Semua pikiran itu membuat Kamdi pusing. Dan tatkala memalingkan kepala hendak menatap hujan deras lewat jendela, Kamdi hanya dapat menatap gelap. Kesadarannya hilang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam