22/06/13

Sepeda Buat Ibu


Adam belum bisa memejamkan matanya, padahal malam sudah sangat larut. Di dalam kepala Adam, hanya terdapat tujuh kata, sepeda, sepeda, sepeda, sepeda, sepeda, sepeda, sepeda…. Ingatannya tertambat pada kejadian di sekolahnya tadi pagi, saat jam pelajaran Bahasa Indonesia. Tidak seperti biasa, pagi itu Bu Mala mendeklamasikan puisi yang bagi Adam bagus sekali, juga menyentuh sekali. Puisi itu mengisahkan pengorbanan seorang ibu.

“Anak-anak, tahukah kalian kenapa Ibu pagi ini mendeklamasikan puisi ini?” tanya Bu Mala setelah selesai berdeklamasi.

Teman-teman sekelas Adam sibuk dengan pikiran masing-masing. Ada yang berbisik-bisik dengan teman sebangkunya. Ada yang diam, berusaha mencari jawaban. Adam juga diam.

“Anak-anak, Ibu membaca puisi ini karena pada bulan ini, bulan April, kita memperingati Hari Ibu. Nah, pada Hari Ibu besok, hadiah apa yang akan kalian berikan untuk ibu kalian?”

Kelas hening sejenak.

“Baju baru, Bu” jawab Hendra, bersemangat.

“Bunga, Bu. Bunga melati yang buanyak.” Lili menjawab tak kalah bersemangat.

Kelas pun menjadi ribut. Anak-anak berebutan menjawab pertanyaan Bu Mala. Tapi Adam masih diam. Bingung menentukan hadiah yang akan diberikannya untuk ibunya. Bu Mala, yang mengamati gelagat Adam, bertanya: “Adam, hadiah apa yang akan kamu berikan untuk ibumu? Tidak tahu?” Adam mengangguk lugu. “Pernahkah ibumu mengutarakan keinginannya kepadamu?” Adam mengangguk, lagi-lagi dengan lugu. “Apa yang ibumu inginkan?”

“Sepeda, Bu. Ibu ingin sepeda.”

Ibu Adam menginginkan sepeda baru. Dengan sepeda itu, ibu akan dapat menjajakan gorengannya hingga ke luar kampong. Ibu akan lebih banyak memperoleh rejeki. Dan Adam ingin memberi ibunya hadiah berupa sepeda baru agar keinginan ibunya terwujud. Namun, Adam tak punya uang. Tidak sempat menabung. Uang jajannya pas-pasan, kadang-kadang malah kurang. Dari mana aku memperoleh uang untuk membeli sepeda? Itulah yang menjadi pikiran Adam sekarang. Mungkin karena telah letih, Adam akhirnya tertidur. Dalam mimpinya, Adam melihat ibunya menaiki sepeda baru sambil tersenyum.


***

Adam menceritakan keinginannya kepada Rina, teman sekelasnya. Ia juga menceritakan kesulitannya memperoleh uang untuk membeli sepeda baru.

“Itu gampang,” ujar Rina.

“Gampang?” tanya Adam keheranan.

“Iya, gampang. Ayahku kan punya restoran. Kamu bisa kerja di restoran ayahku. Nanti aku bilangin ke ayah.”

Ayah Rina sebenarnya tidak sampai hati memperkerjakan Adam di restorannya. Adam masih kecil, masih sekolah SD. Tapi, karena dipaksa oleh anaknya yang manja, Ayah Rina membolehkan Adam bekerja di restorannya. Pekerjaan yang diberikan sangat ringan sekali, hanya mengelap meja makan. Gaji per hari yang diberikan, besar. Jika tak dipaksa oleh anaknya, ayah Rina sebenarnya ingin memberikan uang gaji itu secara cuma-cuma kepada Adam, tanpa memperkerjakan Adam.

Adam menikmati hari pertamanya bekerja. Hari kedua dijalaninya dengan semangat. Hari ketiga demikian pula. Memasuki hari kelima, mendung di wajah Adam mulai tampak. Uang yang dikumpulkannya belum cukup untuk membeli sepeda. Padahal, Hari Ibu tinggal satu hari lagi. Adam masih harus bekerja seminggu lagi agar uangnya cukup. Melihat laci uang yang terdapat di restoran tempatnya bekerja, pikiran jahat Adam muncul.

“Adam, ambil saja uang itu. Uang yang ada di laci itu pasti cukup untuk menggenapi uang yang telah kau kumpulkan. Ambil saja uang itu biar kau bisa membeli sepeda. Ambil saja uang itu, mumpung tak ada orang,” demikian setan membisiki Adam.

“Jangan Adam. Jangan diambil uang itu. Itu bukan uangmu. Berdosa kalau kau mengambil uang itu,” bisik hati nurani Adam.

“Jangan dengarkan dia, Adam. Acuhkan nasihatnya. Ambil saja uang itu. Kalau kau tak mengambilnya, kau tak akan bisa membelikan ibumu sepeda. Kau akan jadi anak durhaka!” tangkis setan yang bersemayam di dalam hati Adam.

Adam tidak mau menjadi anak durhaka, lagi pula Adam ingin, amat ingin, membelikan ibunya sepeda. Adam berjalan berjingkat-jingkat mendekati laci, membukanya pelan-pelan, mengambil uangnya selembar demi selembar.

“Adam, kamu lagi apa?” tegur Ayah Rina.

Adam kaget. Berlembar-lembar uang yang dipegangnya buyar, jatuh berhamburan ke lantai. Wajah Adam memucat. Ayah Rina mendelik, marah-marah kepada Adam dengan suara mengguntur.

Setelah Adam meminta maaf, mengakui kesalahannya, dan menyatakan alasannya kenapa mencuri uang, marah Ayah Rina surut. Ayah Rina justru kasihan dengan Adam dan ingin membantu Adam.

“Oh, jadi begitu? Kenapa itu tidak kamu katakan dari kemarin-kemarin?”

Adam tidak mengerti dengan pertanyaan Ayah Rina.

“Kalau kamu mengatakannya sejak kemarin, saya pasti memberimu gaji yang lebih besar. Kamu tidak perlu bekerja berminggu-minggu. Kamu hanya perlu bekerja dua atau tiga hari saja untuk mengumpulkan uang itu.”

“Baiklah. Tenang saja, Adam. Nanti, biar sepeda itu saya yang beli. Anggap saja itu sebagai hadiah untukmu karena kamu telah berani mengakui kesalahanmu. Tapi ingat ya Adam, kamu jangan mengulangi kesalahanmu lagi. Jangan pernah mencuri lagi…”

Adam mengangguk.

***
Ketika melihat ibunya tersenyum, Adam merasa menjadi orang yang paling bahagia sedunia. Dan kebahagiaan Adam semakin membuncah ketika ibunya mengucapkan terima kasih kepadanya, terima kasih untuk sepeda yang diberikan Adam.

“Ibu senang sekali mendapat hadiah sepeda baru ini, Adam. Senang sekali. Ibu bangga sekali punya anak seperti kamu. Tetapi Adam, kamu jangan mencuri lagi ya. Ibu sudah mendengar semuanya dari Ayah Rina. Bila kamu berhasil mencuri, dan uang hasil curian itulah yang kamu pakai untuk membeli sepeda, ibu pasti akan sangat bersedih.”

Mendengar ucapan Ibu tersebut, Adam tertunduk.

“Jangan merasa bersalah lagi. Kan kamu tidak jadi mencuri. Ibu menghargai usahamu. Ibu pun sangat berterima kasih atas sepeda ini. Sepeda ini bakal banyak gunanya bagi Ibu. Tapi Adam, kamu tahu, hadiah apa yang paling ibu inginkan?”

“Tidak, Bu.” Jawab Adam, polos.

“Hadiah yang paling Ibu inginkan adalah, kamu menjadi anak yang baik. Menjadi anak yang baik artinya kamu harus menjadi orang yang jujur, yang amanah, yang tidak mau mencuri. Adam, kamu mau membahagiakan Ibu, kan?”

“Mau, Bu.”

“Kalau kamu mau membahagiakan Ibu, berjanjilah, kamu akan menjadi anak yang baik. Janji ya, demi Ibu .…”

“Ya, Bu. Adam janji. Adam akan jadi anak yang baik demi Ibu.”

Lalu Adam dipeluk ibunya. Mata Ibu Adam berkaca-kaca. Pipinya dialiri air.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam