22/06/13

Surat Izin Palsu


Teman kita ini bernama Nina. Kelas VI SD. Minggu lalu, Nina dan teman-teman sekelasnya diberi tugas oleh Bu Maryam, guru yang paling ditakutinya. Tugas harus dikumpul besok. Nina merasa tugas itu sangat berat. Nina jadi malas mengerjakannya, bahkan hingga hari ini. Bila hari ini baru mulai dikerjakan, pasti tugas itu tidak bakal selesai tepat waktu.

Bila besok tidak mengumpulkan tugas, Bu Maryam, seperti biasa, akan marah dan menghukum Nina. Bu Maryam akan menyuruhnya hormat bendera sampai bel istirahat berbunyi. Juga akan menyuruhnya mengelilingi lapangan sekolah sepuluh kali. Nina tidak mau dimarahi dan dihukum oleh Bu Maryam.

Nina lalu mendapat ide. Menulis surat tidak masuk sekolah. Pada surat tersebut Nina menulis, minta izin tidak masuk sekolah karena sakit. Akan tetapi, surat harus diisyarattangani orang tuanya. Nina tidak mungkin minta ayah atau ibunya menandatangani surat izin itu. Ia pun memalsukan isyarat tangan ibunya.

***

Malam ini Nina pergi menemui Lala yang rumahnya tidak begitu jauh dari rumah Nina, kira-kira 500 meter saja. Sampai di rumah Lala, Nina langsung menemui teman karibnya itu. Setelah Nina menceritakan misinya kepada Lala, Lala buru-buru menasihati, “Nin, itu bohong namanya. Kita kan tidak boleh bohong. Berdosa. Nanti kamu kena batunya.”

“Habis, gimana? Bu Maryam sih, sudah galak, seneng marah, seneng menghukum, ngasih tugas berat banget lagi. Sebel aku sama monster itu.”

“Husy! Guru sendiri kok dikatain monster. Besok masuk aja lah kayak biasa. Kalau tugasmu belum selesai, ngomong aja ma Bu Maryam. Paling dihukum. Tapi kalau kamu bicara jujur ma Bu Maryam, ‘Bu, tugasnya berat banget,’ mungkin Bu Maryam mau maafin kamu.”

“Ah, nggak mungkin. Bu Maryam nggak bakalan kasih maaf. Tugasmu udah?”

“Udah. Barusan.”

“Pokoknya,” desak Nina “Kamu besok harus bantu aku ngasih surat izin ini sama Bu Maryam. Kalau nggak mau bantu, persahabatan kita pu-tus.”

“Lho, Nin…” kata lala, sedikit mengerutkan dahi.

“Pokoknya harus. Harus bantu. Nih, suratnya. Udah ya, pulang dulu. Met malem…”

Setelah berkata seperti itu, setelah menitipkan surat izinnya kepada Lala, Nina ngacir pulang. Lala sebenarnya tidak setuju dengan misi Nina. Lala ingat nasihat yang diulang-ulang ibunya, bohong itu dosa, orang yang berbohong akan kena batunya. Namun demikian, Lala akhirnya membantu Nina. Lala tidak mau persahabatannya dengan Nina putus.

***

Sebagaimana direncanakan sebelumnya, Nina tidak masuk sekolah hari ini. Waktu ditanya ibunya kenapa tidak sekolah, Nina menjawab: “Libur, Bu. Semua guru rapat. Sekolah diliburkan.” Ibu Nina tidak sepenuhnya percaya dengan ucapan anaknya. Ia melihat gelagat aneh pada wajah Nina, seperti sedang menyembunyikan sesuatu. Namun, ia membiarkannya, tidak mengusut ucapan Nina lebih lanjut.

Hingga sore, Nina di rumah saja. Tidak pergi ke mana-mana. Sekitar pukul tiga, pintu rumah diketuk. Saat itu Nina di dapur. Seorang perempuan beruluk salam dan mengucapkan “permisi”. Nina merasa kenal dengan suara tersebut. Nina bingung dan ketakutan. Pintu diketuk lagi. Suara uluk salam dan “permisi” lagi. Kian keras. “Aduh, gimana nih?” ujar Nina dalam hati. Ia kemudian berjalan buru-buru masuk ke dalam kamarnya. Mengunci pintunya.

“Nin, pintu depan dibuka. Ada tamu,” perintah Ibu. Karena Nina lama tak menyahut, Ibu membukakan pintu dan menyambut sang tamu. “Waalaikum salam. Eh, Bu Maryam. Mari masuk. Silakan duduk. Minum apa, Bu? Oh ya, saya baru menerima kiriman kopi dari luar kota. Katanya sih enak. Saya bikinkan kopi saja, ya Bu.” Setelah mempersilakan Bu Maryam duduk, ibu Nina pergi ke dapur, menyedu secangkir kopi. Tak berapa lama, Ibu telah menyuguhkan secangkir kopi itu untuk Bu Maryam.

“Bagaimana, Bu, enak kan kopinya?”

“Enak sekali. Ini kopi dari daerah mana? Baru sekali ini saya minum kopi seenak ini. Sebenarnya, saya datang ke sini untuk menjenguk Nina. Nina sakit apa, Bu? Kok sampai tidak masuk sekolah?”

Ibu Nina terkejut. Nina sakit? Lho, katanya sekolah libur. “Benar dugaanku,” pikir ibu Nina, “Anak itu memang menyembunyikan sesuatu”. Ibu malu  karena tahu bahwa Nina menipu Bu Maryam. Ibu lantas memanggil Nina, “Nin, ke sini. Ada Bu Maryam. Menjengukmu.”

Nina, yang menguping pembicaraan antara ibunya dengan Bu Maryam, semakin takut dan bingung. Andai punya teman seperti Doraemon, ia akan minta Doraemon mengeluarkan “pintu kemana saja” dari kantong ajaibnya, tetapi Nina bukan Nobita. Tidak punya teman seperti Doraemon. Tidak bisa lari. Tidak bisa sembunyi. “Nin, cepat ke sini. Bu Maryam menunggu,” sekali lagi Ibu memanggil, dengan suara yang lebih tinggi. Ibu memang sedang menahan marah.

Nina keluar dari kamarnya, berjalan gontai menuju ruang tamu dengan kepala tertunduk, untuk memenuhi panggilan ibunya. “Duduk,” perintah Ibu, singkat, rada kasar. Kemarahan Ibu meledak rupanya.

Giliran Bu Maryam yang terkejut. Nina tampak sehat-sehat saja. Badannya bugar. Sangat bugar malah. Hanya, wajahnya memang pucat. Pucat bukan karena sakit tetapi karena takut. Sebisa mungkin Bu Maryam menyembunyikan keterkejutannya.  Sebagai basa-basi, Bu Maryam bertanya kepada Nina, “Nin, sudah sembuh? Sakit apa, kok sampai tidak masuk sekolah? Wajahmu pucat.”

Tidak dapat membuka mulutnya Nina. Tidak tahu harus menjawab apa. Malah manangis. Menyaksikan Nina menangis, Bu Maryam berbasa-basi lagi, “Kok nangis, Nin?” Karena marah betul, Ibu tidak trenyuh oleh tangis Nina. Malah tambah marah. “Cepat minta maaf sama Bu Maryam!” Bukan mematuhi perintah ibunya, Nina malah terus menangis, menjadi-jadi. Tanggap keadaan, Bu Maryam berkata, “Sudah, jangan nangis. Ibu sudah tahu. Ibu akan memaafkan kamu, asal kamu mau mengakui kesalahanmu, asal kamu mau berterus terang memaparkan alasanmu kenapa kamu menulis surat izin palsu itu, asal kamu janji tidak akan mengulangi kesalahanmu lagi. Jangan bohong lagi. Jangan menipu lagi.”

“Cepat minta maaf!” Ibu mengulangi perintahnya. sambil sesenggukan, Nina pun minta maaf kepada Bu Maryam. “Nina, kenapa bohong?” tanya Bu Maryam. “Saya belum mengerjakan tugas yang disuruh Ibu. Tugasnya berat. Saya takut, kalau saya masuk dan belum mengerjakan tugas, Ibu marah. Ibu menghukum saya.”

Sekali lagi, Bu Maryam terkejut. Bu Maryam sadar, ternyata justru karena dirinyalah Nina berbohong. Ia juga sadar, selama ini memang galak terhadap murid-muridnya. “Kalau begitu, saya juga perlu minta maaf sama Nina. Maafkan saya ya Nin, selama ini galak sama kalian, termasuk sama Nina. Tapi kegalakan Ibu bukan alasan untuk tidak masuk sekolah.  Tidak mengerjakan tugas juga bukan alasan untuk tidak masuk sekolah. Ibu janji tidak akan galak lagi sama kalian, tapi Nina juga janji ya, tidak menipu lagi, apalagi menulis surat izin palsu lagi.” Nina mengangguk.

Mendengar pengakuan anaknya, marah ibu Nina luntur. Nina tidak sepenuhnya bersalah. “Dengar itu kata-kata Bu Maryam. Jangan bohong lagi. Jangan menipu lagi. Jangan menulis surat izin palsu lagi.” Kepada Bu Maryam, Ibu berkata, “Bu, tolong maafkan kesalahan anak saya. Nina memang nakal. Saya malu kepada Ibu, apalagi Ibu malah minta maaf sama Nina. Ibu tidak perlu minta maaf sama anak nakal ini.”

“Tidak apa-apa, Bu,” balas Bu Maryam. “Minta maaf sama Nina merupakan keharusan bagi saya. Saya harus memberi teladan baik. Wah, sudah setengah empat. Sudah waktunya menjemput Aan. Kalau begitu, saya permisi ya, Bu…”

Ibu Nina tidak mencoba menahan tamunya agar tidak segera pulang. Ia tahu, Aan, putra Bu Maryam yang mengikuti kursus bahasa Perancis, sekarang pasti sudah menunggu jemputan ibunya.

***

Sejak mengalami kejadian itu, Nina tidak mau menulis surat izin palsu lagi. Nina bertekad, tidak akan berbohong untuk tujuan buruk lagi. Ia tidak mau kena batunya lagi. Nina kini juga rajin mengerjakan tugas-tugas sekolah, selain tambah dekat dengan Bu Maryam yang dulu ditakutinya, tetapi yang sekarang disayanginya karena sudah tidak galak dan suka marah-marah. Sementara itu, Ibu kini lebih teliti mengawasi perilaku Nina, sering menanyakan kepada Nina apakah ada tugas sekolah dan apakah tugas sekolahya telah dikerjakan apa belum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam