18/06/14

Cerita dari Kampung (1)



SAYA lahir dan besar di sebuah kampung transmigran, dusun Suka Damai, desa Pondok Meja. Lokasinya nun di pelosok Jambi. Di kebun keluarga yang letaknya tidak jauh dari rumah, kadang-kadang masih terlihat segerombolan beruk liar yang berlompatan dari satu pohon karet ke pohon karet lain. Masih ada satu dua cerita tentang pasukan babi hutan yang menggasak kebun palawija warga. Sekali waktu saya bertatapan dengan biawak, binatang soliter yang ditakuti warga kampung karena dianggap bertuah. Di parit dekat rumah, seekor ular sebesar paha orang dewasa pernah ditangkap. Seekor kobra nyelonong masuk ke ruang tamu ketika kami sekeluarga tidur siang. Suatu pagi saat menyadap getah karet, ibu menyaksikan penampakan harimau putih.

Penduduk kampung saya rata-rata migran dari pulau Jawa, antara lain dari Jepara, Pacitan, Sunda, Kebumen, Ponorogo, Pati. Yang terbanyak adalah migran dari Kebumen, tanah leluhur saya. Datang ke Jambi dalam beberapa gelombang migrasi. Gelombang pertama menginjak Jambi pada zaman revolusi.

Mayoritas migran Jawa ini petani. Mereka menggarap kebun karet sendiri, walaupun tidak seberapa luas. Ada juga yang menjadi buruh penggarap lahan karet milik saudara, tetangga, atau taukenya. Umumnya para migran ini kerasan di Jambi. Yang setiap tahun mudik ke Jawa saat Lebaran, bisa dihitung jari jumlahnya. Ibu saya baru mudik ke Jawa setelah lebih dari 20 tahun hidup di Jambi.

Di kampung saya, jumlah warga Melayu Jambi sedikit. Profesi mereka umumnya tidak ‘ndeso’, yaitu guru, penyuluh pertanian, pegawai bank, dan sebagainya. Ada sorang dua orang yang menyadap getah karet, mengikuti jejak tetangganya yang Jawa.

Dalam percaturan sosial, posisi mereka tidak begitu berarti, bahkan terdesak, terjepit, dan terpinggir. Ayah menyebut minoritas sosial ini sebagai orang kenyok. Sebab, mereka sering mengucapkan kata kenyok, sebuah kata dalam bahasa Melayu Jambi yang artinya ‘bukan’. Hubungan antara komunitas Jawa dengan komunitas Melayu harmonis, tetapi tidak bebas dari prasangka etnis. Api sentimen antaretnis yang bersifat pribadi, belum pernah berkobar menjadi konflik terbuka.
Hingga saya merantau ke Yogya, belum ada keluarga Bugis, Banjar, Tionghoa, Batak, atau Padang yang tinggal di kampung saya. Saya juga heran, kok bisa begitu? Padahal, di daerah Jambi kota, yang berjarak kira-kira 15 kilometer dari kampung saya, lima etnis tersebut tidak sulit dijumpai.

Kampung Abangan
Tentu saja, lantaran mayoritas penduduknya berdarah Jawa, kampung saya amat bernuansa Jawa. Bukan Jawa santri apalagi Jawa priyayi, tetapi Jawa abangan. Sebelum peristiwa 30 September 1965, konon kampung saya jadi sarang judi togel. Seorang bandar togel yang kawentar hingga ke kampung-kampung tetangga, sampai sekarang masih hidup. Mbah Muji namanya, teman sekaligus tetangga almarhum kakek. Selidik punya selidik, keduanya ternyata dedengkot PKI.

Ketika saya sowan ke rumahnya, Mbah Muji menasihati saya untuk belajar bahasa Jawa, maksudnya bahasa Jawa halus, krama inggil. Ia tahu, saya sedang merantau di Yogya, jantung budaya Jawa.

Saya bisa memastikan, tak seorang pun anak muda di kampung saya yang menguasai krama inggil, meskipun mereka keturunan Jawa. Sama seperti saya, mereka lahir dan besar di Jambi. Sejak kecil, sehari-hari mereka berkomunikasi dengan bahasa Jawa ngoko yang bercampur-aduk dengan bahasa Melayu-Jambi. Tanyai mereka arti rahayu atau widodo, pasti jawabannya ‘tidak tahu’.

Kalau mau mantu atau nyunat atau nyukur, warga kampung berkonsultasi dengan seorang sesepuh, Mbah “Haji” Ngadino, untuk menentukan kapan acara itu akan diselenggarakan. Sebelum menentukan jadwal acara, ia menanyakan weton kliennya.

Gelar ‘haji’ yang disandang sesepuh satu ini, perlu ditandapetiki. Dalam pergaulan sosial, ia sangat menonjolkan kehajiannya dan keislamannya. Entah kenapa. Ia sampel sintesa Jawa dan Islam yang terjadi di Jambi. Bukankah proses sintesa Jawa dan Islam tidak hanya terjadi di pulau Jawa, tetapi juga berlangsung di daerah-daerah perantauan orang Jawa, termasuk Jambi?

Ritual slametan tujuh hari, empat puluh hari, atau seribu hari meninggalnya salah seorang anggota keluarga, belum punah di kampung saya. Justru warga akan was-was kalau ritual ini tidak diadakan. Takut ketiban sial. Takut kena balak. Takut sang arwah menjadi marah atau penasaran.

Apabila menghadiri slametan, Anda bisa melihat tumpeng kuat, nasi kuning, ingkung, jajan pasar, dan macam-macam uba rampe khas ritual Jawa lain. Pada pengujung ritual, doa dibacakan dalam dua bahasa oleh dua tokoh kampung: bahasa Arab oleh imam kampung dan bahasa Jawa oleh sesepuh kampung yang tugasnya memang sebagai pendoa, tepatnya perapal mantra doa. Dalam doa berbahasa Jawa ini, disebut nama nabi-nabi, tetapi disebut pula nama makhluk-makhluk halus yang barangkali menjadi penjaga kampung. Ayah dan ibu, yang belakangan ini keislamannya menebal sedangkan keabangannya menipis, agak tidak sreg dengan doa yang sinkretis tersebut. Saya sih netral-netral saja…

Tradisi Nyekar
Sewaktu saya kecil, menjelang bulan Puasa seperti saat ini atau menjelang Lebaran, ayah biasanya pergi ke pasar Angso Duo untuk membeli kembang setaman. Pulang dari pasar, ia mengajak saya ke pemakaman kampung. Membersihkan makam kakek, bibi, dan sepupu yang telah wafat. Lalu membaca Yasin dan berdoa di sana. Sementara itu, di rumah ibu membuat bubur merah bubur putih dan segelas air teh untuk diletakkan di sudut kamar sembahyang. Di antara sesajen dinyalakan sebuah lampu teplok kecil. Tanpa sepengatahuan ibu dan ayah, diam-diam saya mendulit-dulit bubur merah yang manis rasanya itu.

Warga kampung menyebut rangkaian ritual ziarah kubur menjelang bulan Puasa dan Lebaran tersebut sebagai nyekar. Saat belajar di Yogya, saya baru ngerti bahwa ritual semacam ini tidak hanya ada di kampung saya, melainkan juga merupakan tradisi di daerah-daerah berbudaya Jawa. Nyekar sangat berkesan bagi saya, sampai-sampai dengan tidak begitu saya sadari, saya pernah memuisikan ritual ini.

Tapi sayang, kelihatannya di kampung saya nyekar nyaris punah. Pada beberapa pulang kampung terakhir, saat menjelang Lebaran saya tidak menemukan sesajen yang diletakkan di kamar sembahyang, kendati masih melihat ayah berziarah ke pemakaman seorang diri.

Mungkin kampung saya, setidaknya keluarga saya, telah menjadi semakin modern dan menjadi semakin Islam. Ayah kini kerap mengimami salat jamaah di masjid, sedangkan Ibu kini rajin mengenakan jilbab. Keluarga besar saya rutin mengikuti pengajian thoriqoh yang diadakan sebuah pondok pesantren di desa tetangga, cabang pondok pesantren Lirboyo, Jawa Timur. Saban Jumat Pon diadakan pengajian selapanan di masjid kampung. Pembina merangkap penceramah tetapnya ialah ibu nyai pengasuh pondok pesantren Nurul Iman yang terletak di desa tetangga, cabang pondok pesantren Tebu Ireng, Jawa Timur. Kiainya berkerabat dengan kiai-kiai pondok pesantren al-Munawir, Krapyak, Yogya.

Yogya, 8 Juni 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam